Headlines News :
Logo Design by FlamingText.com

SA'ATUL AN

TARIKHUL AN

ARCHIVE

Tarjim

POST

Jumat, 25 Desember 2009

istihsan

ISTIHSAN (الاستحسان)


A. ISTIHSAN (الاستحسان)
1. Pengertian
Menurut pengertian bahasa, istihsan berarti "menganggap baik". Sedang menurut istilah Ahli Ushul yang dimaksud dengan istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian).
Menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan Istihsan tetapi haram menurut qiyas.
Qiyas : wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci.
Istihsan : Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama.
Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Menurut dalil kully, syara' melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad.

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
1. Jumhur ulama menolak berhujjah dengan Istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
2. Golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan, mereka berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafi yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan satu quays terhadap qiyas lain.

B. ISTISHAB (الاستصحاب)
1. Pengertian
Istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya, sebelum ada hukum yang mengubahnya, misalnya seseorang ragu-ragu, apakah dia sudah wudhu atau belum? Harusnya berpegang kepada "belum wudhu", karena hukum yang asal adalah belum wudhu.

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
a. Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Qur'an, As-Sunnah maupun Ijma'. Termasuk kelompok Syafi'iyah, Hanabilah, Malikiyah, Dhahiriyah, firman Allah dalam surat Yunus ayat 36 sebagai berikut:
•        •     
Artinya : "Sesungguhnya persangkaan itu sedikitpun tidak berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan."

Ulama ushul menetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai berikut:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
Artinya : "Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya."

الأصل في الأشياء الإباحة
Artinya : "Asal hukum sesuatu adalah boleh"
b. Menolak Istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum. Mereka menyatakan bahwa istishab dengan pengertian seperti di atas adalah tanpa dasar.

C. MASHALIHUL MURSALAH (المصالح المرسلة)

1. Pengertiannya
Mashalih berbentuk jama dari kata mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka.


2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
1. Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan:
a. Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan kemashlahatan umat manusia.
b. Pembinaan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2. Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Menurut Imam syafi'i:
a. Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya.
b. Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'. Misalnya membuat penjara.

3. Syarat-Syarat Berpegang Kepada Mashalihul Mursalah
1. Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
2. Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
3. Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan Nash atau Ijma.

D. AL-'URF (العرف)
1. Pengertiannya
Al-'Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, contoh 'urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dan tidak mengucapkan sighat yang diucapkan. Contoh 'Urf Qauly ialah orang yang telah mengetahui bahwa kata Ar-Rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.



2. Macam-Macam Al-'Urf dan Hukumnya
1. 'Urf Shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Misalnya orang melamar itu menyerahkan emas dan pakaian.
2. 'Urf Fasid, yaitu apa yang dikenal itu bertentangan dengan syara'. 'Urf jenis ini hukumnya haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama. Artinya : "Tidak boleh taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq".

E. SYAR'U MAN QABLANA (شرع من قبلنا)

1. Pengertiannya
Syar'u man qablana ialah syari'at yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya agama Islam. Diantara isi syari'at tersebut ada yang berlaku terus untuk umat selanjutnya dan ada yang tidak.
          •                     
Artinya : "Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang."

2. Pembagian dan Hukumnya
1. Apa yang disyariatkan kepada mereka juga ditetapkan kepada umat Nabi Muhammad.
2. Apa yang disyariatkan kepada mereka tidak disyariatkan kepada kita. Misalnya "Dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain membunuh dirinya sendiri"

SADDUDZ DZARI'AH (سد الذريعة)
1. Pengertiannya
Dzara'i jama dari kata dzari'ah artinya jalan. Menurut istilah ulama Ushul Fiqh bahwa yang disebut dengan dzari'ah ialah :
المسألة التى ظاهرها الإباحة ويتوسل بها إلى فعل المحظور
Artinya : "Masalah yang lahirnya boleh (mubah) tetapi dapat membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang"

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
1. Menurut Imam Malik bahwa saddudz dzari'ah dapat dijadikan sumber hukum, Al-Qurtubi menyatakan: "Sesungguhnya apa-apa yang dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang (maksiat) adakalanya secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan.
Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.
2. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah.
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
Artinya: "Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".
من حام حول الحمى يوشك أن يواقعه
Artinya: "Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama-kelamaan dia akan melanggar larangan tersebut".


F. MADZHAB SHAHABY (مذهب الصحابي)
1. Pengertiannya
Madzhab Shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rasulullah wafat. Fatwa-fatwa ini ada yang berdasarkan ijtihad mereka, yang terbagi menjadi dua yaitu hasil ijtihad yang mereka sepakati (Ijma Shahaby) dan hasil ijtihad yang tidak disepakati.

2. Kedudukan Madzhab Shahaby
Sifat fatwa Sahabat seperti disebutkan di atas, maka kedudukan madzhab shahabat ini juga dapat dipisahkan menjadi:
1. Madzhab sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib ditaati, sebab, hakekatnya ia merupakan sunnah Rasul.\
2. Madzhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad yang mereka sepakati (Ijma Shahaby) dapat dijadikan hujjah dan wajib ditaati, sebab mereka disamping dekat dengan Rasul, mereka mengetahui rahasia-rahasia tasyri'. Contoh madzhab sahabat yang telah mereka sepakati antara lain ialah mengenai bagian harta waris bagi nenek, yaitu seperenam.
3. Madzhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujjah dan tidak wajib diikuti. Imam syafi'i menyatakan: "Tidak melihat seorang pun ada yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah".
Lanjuuut..

Abu Yazid

Kiai Yazid dan Si Anjing Hitam
Cerpen Wawan Susetya

Syahdan, pada zaman dahulu, ada seorang kiai besar yang sangat dihormati. Orang-orang di sekitarnya memanggilnya Kiai Yazid --lengkapnya Kiai Abu Yazid al-Bustami. Santrinya banyak. Mereka belajar di bawah bimbingan Sang Guru. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia; ada yang dari Irak, Iran, Arab, Tanah Gujarat, Negeri Pasai dan sebagainya. Mereka setia dan tunduk patuh atas semua nasihat dan bimbingan Sang Mursyid.
Selain Kiai Yazid punya santri di pesantrennya, banyak pula masyarakat yang menginginkan nasihat dari beliau. Mereka pun datang dari berbagai penjuru dunia. Ada yang menanyakan tentang perjalanan spiritual yang sedang dihayatinya, ada pula yang bertanya cara menghilangkan penyakit-penyakit hati, bahkan tak jarang yang menginginkan usaha mereka lancar serta keperluan-keperluan yang Sifatnya pragmatis dan teknis lainnya. Semuanya dilayani dan diterima dengan baik oleh Sang Kiai.
Meski demikian, kadang-kadang terjadi pula tamu yang datang dengan maksud menguji dan mencoba Sang Kiai: apakah Kiai Yazid itu memang benar-benar waskita (tajam penglihatan mata batinnya)?
Para tamu yang datang, bukan hanya didominasi kalangan lelaki saja, tetapi juga ada perempuan sufi yang belajar kepadanya. Mereka ingin ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana yang dilalui Sang Kiai. Di antara mereka ada yang berhasil, ada pula yang gagal di tengah jalan. Semua itu, kata Kiai Yazid, memang bergantung pada ketekunannya masing-masing. Beliau hanya mengarahkan dan membimbing; semuanya bergantung dari keputusan-Nya jua.
Karena ke-’alim-annya itu, akhirnya masyarakat memang benar-benar menganggap bahwa Kiai Yazid adalah sosok yang patut dijadikan tauladan atau panutan. Bukan hanya itu. Para kalangan sufi pun menghormati kedalaman rasa Sang Kiai. Para sufi pun banyak yang mengajak diskusi, konsultasi, musyawarah dan membahas soal-soal spiritual yang pelik-pelik. Nglangut. Hadir dan menghadirkan. Berpisah dan bersatu.
Kedalaman rasa Sang Kiai, misalnya, ia bisa saja merasa kesepian atau "menyendiri" ketika berkumpul dengan orang banyak. Di tempat lain, Sang Kiai sangat merasakan ramai, padahal ia sendirian. Begitulah, semua rasa itu tertutup oleh penampilan beliau yang memikat, mengayomi, melindungi, mengajar, dan gaul dengan banyak orang.

***

Pada suatu hari, Kiai Yazid sedang menyusuri sebuah jalan. Ia sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Ia mengalir begitu saja. Maka dengan enjoy-nya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.
Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Kiai Yazid merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. E?.ternyata tahu-tahu sudah dekat; di sampingnya. Melihat Kiai Yazid --secara reflek dan spontan-- segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena -barangkali-- merasa khawatir: jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis itu!
Tapi, betapa kagetnya Sang Kiai begitu ia mendengar Si Anjing Hitam yang di dekatnya tadi memprotes: "Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!"
Mendengar suara Si Anjing Hitam seperti itu, Kiai Yazid masih terbengong: benarkah ia bicara padanya?! Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata? Sang Kiai masih terdiam dengan renungan-renungannya.
Belum sempat bicara, Si Anjing Hitam meneruskan celotehnya: "Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!"
Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Si Anjing Hitam di dekatnya, Kiai Yazid baru menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah Si Anjing Hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar; ia telah menghina sesama makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.
"Ya, engkau benar Anjing Hitam," kata Kiai Yazid, "Engkau memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih!"
Ungkapan Kiai Yazid tadi, tentu saja, merupakan ungkapan rayuan agar Si Anjing Hitam mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu.
"Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu, tetapi Siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para mistik. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!" kata Si Anjing Hitam dengan tenang.
Kiai Yazid masih termenung dengan kesalahannya pada Si Anjing Hitam. Setelah dilihatnya, ternyata Si Anjing Hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si Anjing Hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati Sang Kiai.
"Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing milik-Mu! Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersama-Mu Yang Abadi dan Kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk-Mu yang terhina di antara semuanya!" seru Kiai Yazid kepada Tuhannya di tempat yang sepi itu.
Kemudian, Kiai Yazid dengan langkah yang sempoyongan meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang menunggu pengajarannya.

***

Keunikan dan ke-nyleneh-an Kiai Yazid memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi juga diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Sang Kiai; baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan ketuhanan.
Suatu hari, Kiai Yazid sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah Si Anjing Hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia Si Anjing Kuning yang lebih jelek dari Si Anjing Hitam. Begitu melihat Si Anjing Kuning tadi terlihat tergesa-gesa --barangkali karena ada urusan penting-- maka Kiai Yazid segera saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada Si Anjing Kuning itu.
"Hai murid-muridku, semuanya minggirlah, jangan ada yang mengganggu Si Anjing Kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa," k ata Kiai Yazid kepada para muridnya.
Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Sang Kiai. Setelah itu, Si Anjing Kuning melewati di depan Kiai Yazid dan para santrinya dengan tenang, tidak merasa terganggu. Secara sepintas, Si Anjing Kuning memberikan hormatnya kepada Kiai Yazid dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Kiai Yazid ataukah Si Anjing Kuning.
Si Anjing Kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Kiai Yazid yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: "Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Sementara, kiai adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?!"
Kiai Yazid menjawab: "Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: "Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para mistik (kaum sufi)?" Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya."
Mendengar penjelasan Kiai Yazid seperti itu, murid-muridnya manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu. Mereka tidak ada yang membantah lagi. Mereka pun terus meneruskan perjalanannya.

***

(Inspirasi cerita: Kisah Abu Yazid al-Busthomi, tokoh besar dari kalangan kaum sufi)
Tulungagung, 9 Oktober 2003

posted by imponk | 8:11:00 AM
Lanjuuut..

Profil Imam Ghozali

EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI

Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-angannya bahwa seandainya ada seorang nabi setelah Muhammad, maka Al-Ghozali-lah orangnya (R.A Nicholson,1976), pernyataan ini meskipun tak sepenuhnya dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu sifat seorang nabi itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus keilmuan, seperti; ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan untuk menguatkan pernyataan tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang membuat Al-Ghozali tak pernah lepas dari pertimbangan siapapun yang berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam (Nurcholis Madjid, 1996).
Kendati demikian, ibarat kata pepatah tiada gading yang tak retak, kebesaran reputasi Al Ghozali itu bukan tanpa cacat. Justru keterlibatannya dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman tersebut dipandang oleh sebagian pengamat sejarah sebagai salah satu faktor penyebab hilangnya rasionalisme, yang pada gilirannya nanti menjadi faktor penting bagi kemunduran dunia Islam. Misalnya, pertama, usahanya dalam mempertahankan afiliasi kalamnya (Asy’ariah) sebagai ideologi resmi penguasa Abbasyiah, paling tidak semakin menambah kebencian umat Islam terhadap aliran Mu’tazilah, kalau bukan justru menegasikan sama sekali terhadap aliran teologi Islam yang rasionalis tersebut, sehingga semangat rasional yang terdapat didalamnya dengan sendirinya juga ditinggalkan oleh umat Islam. Kedua, magnum opusnya dibidang filsafat, Tahafut al Falasifah, sering dipahami oleh beberapa pengamat sebagai penyebab hilangnya rasionalisme di dunia Islam, sehingga meskipun perlahan tapi pasti, Islam berangsur-angsur mulai mengalami kemunduran. Ketiga, dua penilaian diatas semakin lengkap dengan lahirnya karya sensasional Al-Ghozali dibidang sufisme, Ihya’ Ulum Al-Din, yang pada kenyataannya memang telah menjadi teman akrab umat Islam dalam melaksanakan praktek-praktek romantisme dengan Tuhan melalui pemberdayaan rasa (Dzauq) dan bukan nalar (akal). Dari sudut pandang ini, bila rasio itu memang dapat dipahami sebagai salah satu kunci kejayaan Islam, maka tak mengherankan bila ada beberapa pengamat seringkali melekatkan nama Al-Ghozali dengan kemunduran dunia Islam.
Walaupun begitu, terlepas dari penilaian kontroversial terhadap hujjatul Islam tersebut, yang pasti dia telah ikut aktif dalam mengisi lembaran sejarah umat ini. Karya-karya besar yang diciptakannya dalam berbagai diskursus ke-Islaman merupakan bukti penting bahwa Al-Ghozali, baik dalam kapasitasnya sebagai teolog , filosof, mapun seorang sufi. Sebab jangan-jangan kemunduran dunia Islam itu bukan semata-mata disebabkan olehnya, tetapi justru dikarenakan umat Islam sendiri yang terlalu fanatik terhadap Al-Ghozali, sehingga yang diwarisi bukan bangunan epistemologinya dan semangat pencariannya akan kebenaran yang hakiki, tetapi sekedar produk pemikirannya secara taken for granterd .

Sekilas tentang Epistemologi
Sebagai derivasi dari kata Yunani Episteme: pengetahuan dan logos: ilmu, maka secara sederhana epistemologi dapat dimaknai dengan teori pengetahuan. Epistemologi, sebagai ditegaskan Amin Abdullah, sedikitnya membahas tiga persoalan mendasar; pertama, sumber pengetahuan; dari mana dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar. Kedua, sifat pengetahuan ;apakah segala sesuatu itu bersifat fenomenal (tampak) ataukah essensial (hakiki)?. Ketiga, validitas (kebenaran) suatu pengetahuan; bagaimana pengetahuan yang benar dan yang salah dapat dibedakan.
Sedikitnya ada dua paradigma pemikiran dalam menjawab persoalan epistemlogi tersebut. Pertama, idealisme atau nasionalisme menitikberatkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato ( 427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah (Amin Abdullah;1996). Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai "alam ide", suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan alam inderawi bukanlah alam sesungguhnya.
Paradigma selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan (Harold H. Titus dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia. (Amin Abdullah;1996).
Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang paling absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme (Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas putih). Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan Indrawinya (Louis O. Katsof;1995).

Epistemologi Filsafat Al-Ghazali
Al-Ghazali, seperti telah disinggung sekilas di atas, sering secara tidak adil dituduh sebagai biang keladi kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi dalam ‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan terutama karena serangan terhadap filsafat melalui kitabnya, Tahafut al-Falasifah,serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling absah menuju kebenaran hakiki.
Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang memberikan kesan seperti itu, namun dalam telaah yang lebih luas dan mendalam, Al-Ghazali bukanlah penyebab kemunduran dunia Islam. Orang telah lupa bahwa sesungguhnya Asy’ariah seringkali dinilai sebagai suatu bentuk aliran teologi yang bersifat tradisional, bukan berarti dia menafikan akal atau penalaran dalam berbagai pemahamannya. Sedangkan terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita mengetahui sisi filsafat mana yang diserangnya , maka akan kita dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya bagian metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada kesalahan struktur argumentasi para filosof.
Kecuali itu, apabila kita lihat apa yang mendorong Al-Ghazali mempelajari falsafah dan kemudian menulis bukunya, Maqodis Al Falasifah dan Tahafut Al Falasifah, maka kita dapati bahwa adanya aliran dan madhab dalam Islam serta pengakuannya masing-masing bahwa pendapatnyalah yang paling benar sedangkan pendapat lain yang salah inilah yang memotivasi Al-Ghazali semenjak muda senantiasa mencari kebenaran yang hakiki. (Harun Nasution, 1996).
Yang dimaksud Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya; tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Demikian tegas Al-Ghazali :
Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular dan hal itu memang terjadi, bahwa memang kusaksikan sendiri, maka kejadian itu tidak akan membuatku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal itu sekali-kali tidak akan pernah membuat aku bimbang terhadap pengetahuanku". (Al-Ghazali, 1961).
Itulah bentuk kebenaran hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang meyakinkan, yang oleh Al-Ghazali keyakinan itu disimbolkan sampai ke tingkat yang sangat matematis, sehingga ia tidak akan tergoyahkan lagi oleh bentuk intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja, 1996).
Seseorang, demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.
Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
"Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi". (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah.
Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi." (Al-Ghazali,1961).
Sampai di sini, dikarenakan kebenaran hakiki yang dicari-carinya belum juga ketemu, akhirnya Al-Ghazali dihinggapi oleh sikap skeptis, suatu keadaan dimana hujjatul Islam ini didera oleh keadaan yang luar biasa, sehingga ia tidak mampu lagi untuk mengingat pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperolehnya, bahkan untuk sekedar berbicarapun ia tak mampu. Masa-masa kritis bagi pengembangan pengetahuannya ini berlangsung selama dua bulan hingga ia menemukan kesadarannya kembali. Dengan dipenuhi segala rasa aman dan yakin, Al-Ghazali akhirnya dapat menerima pengertian aksiomatis (awalli) dari akal.
"Mungkin tidak ada yang dapat dipercaya selain pengertian-pengertian aksiomatis (pengetahuan yang bersifat asasi), seperti pengertian bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; atau
bahwa negasi dan afirmasi tidak akan dapat berkumpul dalam satu perkara; tidak ada yang baru dan pada saat yang sama ia juga dahulu; tidak ada sesuatu yang ada dan pada saat itu juga ia tidak ada; atau sesuatu yang bersifat pasti dan ia juga bersifat mustahil pada saat yang sama." (Al-Ghazali, 1961). "……dengan perasaan sama dan yakin ia dapat menerima kembali segala pengertian aksiomatis dari akal. Semua itu tidak terjadi dengan mengatur alasan ataupun menyusun penjelasan, tetapi dengan nur yang dipancarkan Allah kedalam batinku……kita hendaklah mencari sekuat tenaga apa yang harus dicari sampai pada sesuatu yang tidak usah kita cari lagi, karena ia memang sudah ada. Kalau kita mencari terus sesuatu yang telah ada niscaya ia akan menjadi samar dan membingungkan." (Al-Ghazali, 1961).
Dengan berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti kebenaran hakiki yang ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama pengembaraannya didunia ilmu kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada yang didapatnya kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan yang akan mengantarnya kepada kebenaran yang masih menimbulkan keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan baru.
Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan jalan terang menuju pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini, yakni dibukakannya rahasia ke-Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala yang ada, sehingga tampaklah secara langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata ataupun tidak pernah terdengar oleh telinga.
"……Apa yang dikatakan orang tentang suatu jalan yang dimulai dengan membersihkan hati, sebagai syarat pertama, mengosongkan sama sekali dari segala sesuatu selain Allah, dan kunci pintunya laksana takbirotul ihrom dalam sholat ialah tenggelamnya hati dalam dzikir kepada Allah dan akhirnya fana sama sekali dengan-Nya……Diawal perjalan ini dimulailah peristiwa-peristiwa mukasyafah (terbukanya rahasia-rahasia) dan musyahadah (penyaksian langsung)……"(Al-Ghazali, 1961).
Pengetahuan terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan Al-Kasyf, yang merupakan puncak dari bangunan epistomologis. Hanya melalui Al-Kasyf inilah seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan yang kokoh, karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini dilahirkan dari suatu sikap (tingkah laku dan pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya kenabian).


Catatan Akhir
Dari sekilas uraian tentang epistemologis Al-Ghazali diatas, agaknya pengaruh paradigma rasionalisme dan empirisme memiliki ruang yang cukup luas dalam bangunan epistemologis hujjatul Islam tersebut, walaupun akhirnya ia sendiri tetap menempatkan secara hierarkis kedua paradigma pengetahuan Yunani itu, dari yang paling bawah empirisme, menyusul rasionalisme, dan akhirnya kasyf sebagai puncak tangga epistemologinya.
Berbeda halnya dengan Al-Ghazali, Imanuel Kant (1724-1804), meskipun ia juga melakukan beberapa kritik terhadap sikap eksklusif dari kedua arus pemikiran (empirisme dan rasionalisme) yang bersifat antagonis tersebut, Kant mampu memberikan perspektif baru dalam kajian epistemologinya, sehingga melahirkan filsafat ilmu (philosophy of science) yang sangat mempunyai arti penting bagi lahirnya ilmu pengetahuan yang multi dimensional di Barat dewasa ini.
Sementara kajian epistemologi dalam literatur Barat terus berkembang, didunia Islam sendiri, khususnya yang berbasis massa Sunni, kecenderungan arah epistemologinya justeru beringsut lebih tajam kepada batas wilayah idealisme dan kasyf, serta tidak peduli lagi dengan masukan-masukan yang diberikan oleh empirisme, sehingga semangat kritis dan pluralisme yang tersimpan dibalik paradigma empirisme tersebut tidak terwarisi masyarakat muslim. Sebaliknya mereka justru mendapatkan watak idealisme yang monistik. Karena itu, tidak berlebihan kesan yang ditangkap Amin Abdullah dari implikasi paradigma epistemologi yang seperti itu membuat alam pemikiran muslim menjadi terlalu rigid, puritan dan dikotomis dalam memecahkan masalah.
Lanjuuut..

Akidah Islam

BAB I I. Pendahuluan Latar Belakang Dalam pada dasar pembangunan Nasional, tentang program Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bahwa hakekat pendidikan Nasional adalah manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Karena sasaran utama pembangunan adalah terciptanya kwalitas manusia dan kwalitas masyarakat Indonesia yang maju di dalam suasana tentram dan sejahtera lahir dan batin, dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila, di dalam suasana kehidupan bangsa Indonesia yang serba berkeseimbangan dan selaras dalam hubungan sesama manusia. Manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam lingkungannya, manusia dengan Tuhan yang maha esa, Allah SWT. Maka ini berarti bahwa pembangunan fisik haruslah sejalan,
Lanjuuut..

haram nikah sama sesusun

HIKMAH DIHARAMKANNYA MENIKAHI SAUDARA SESUSUANRasulullah bersabda, "Diharamkan dari saudara sesusuan segala sesuatu yang diharamkan dari nasab".HR. Bukhari dan Muslim. Sejumlah penelitian ilmiah baru-baru ini menemukan adanya gen dalam ASI orang yang menyusui, dimana ASI mengakibatkan terbentuknya organ-organ pelindung pada orang yang menyusu. Yang demikian apabila ia menyusu antara 3 sampai 5 susuan. Dan ini adalah susuan yang dibutuhkan untuk bisa membentuk organ-organ yang berfungsi melindungi tubuh manusia.
Maka, apabila ASI disusu maka ia akan menurunkan sifat-sifat khusus sebagaimana pemilik ASI tersebut. Oleh karena itu, ia akan memiliki kesamaan atau kemiripan dengan saudara atau saudari sesusuannya dalam hal sifat yang diturunkan dari ibu pemilik ASI tersebut.
Lanjuuut..

ciri-ciri istri sholihah

Ciri Istri Sholehah Istri yang shalehah adalah yang mampu menghadirkan kebahagiaan di depan mata suaminya, walau hanya sekadar dengan pandangan mata kepadanya. Seorang istri diharapkan bisa menggali apa saja yang bisa menyempurnakan penampilannya, memperindah keadaannya di depan suami tercinta. Dengan demikian, suami akan merasa tenteram bila ada bersamanya. Mendapatkan istri shalehah adalah idaman setiap lelaki. Karena memiliki istri yang shalehah lebih baik dari dunia beserta isinya. ''Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri shalehah.'' (HR Muslim dan Ibnu Majah). Di antara ciri istri shalehah adalah, pertama, melegakan hati suami bila dilihat. Rasulullah bersabda, ''Bagi seorang mukmin laki-laki, sesudah takwa kepada Allah SWT, maka tidak ada sesuatu yang paling berguna bagi dirinya, selain istri yang shalehah. Yaitu, taat bila diperintah, melegakan bila dilihat, ridha bila diberi yang sedikit, dan menjaga kehormatan diri dan suaminya, ketika suaminya pergi.'' (HR Ibnu Majah).
Lanjuuut..

Melatih Kecerdasan

CARA MUDAH MELATIH KECERDASAN OTAK


Hadapilah, saat usia semakin tua ingatan kita cenderung semakin kehilangan ketajamannya. Kita mulai melupakan sesuatu, seperti nama orang, lupa meletakan sesuatu atau pekerjaan yang harus kita lakukan. Tetapi tua bukan berarti otak Anda juga menjadi semakin tumpul. Agar otak selalu bisa terasah dan ingatan pun tetap tajam, berikut beberapa tipsnya:

Langkah I : MELATIH OTAK KIRI
Otak kiri Anda bekerja untuk mengatur kemampuan dalam penalaran, bahasa, tulisan, logika dan berhitung. Daya ingat otak kiri bersifat jangka pendek (short term memory). Bila terjadi kerusakan pada otak kiri maka akan terjadi gangguan dalam hal fungsi berbicara, berbahasa dan matematika. Untuk mempertahankan kapasitas otak kiri Anda, cobalah untuk mempelajari bahasa baru atau melakukan permainan puzzles.

Langkah 2 : MELATIH OTAK KANAN
Fungsi otak kanan adalah untuk menangani proses berpikir kreatif manusia. Otak kanan biasa diidentikkan tentang kreatifitas, khayalan, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna. Daya ingat otak kanan bersifat panjang (long term memory). Cara kerjanya tidak terstruktur dan cenderung tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail. Bila terjadi kerusakan pada otak kanan misalnya pada penyakit stroke atau tumor otak, maka fungsi otak yang terganggu adalah kemampuan visual dan emosi. Untuk menjaga ketajaman otak kanan Anda berlatihlah bermain alat musik, bernyanyi atau membuat kerajinan tangan.

Langkah 3 : MELATIH OTAK KESELURUHAN
Belajar meditasi.
Dengan melakukan meditasi Anda dapat mengurangi stress, mengatasi rasa cemas yang berlebihan, dan mengaktifkan pusat kontrol otak untuk kebahagiaan dan kepuasan.

LATIH KEMAMPUAN MEMORI
Anda tentu masih ingat saat masih kecil, banyak hal yang harus Anda hapal. Ketajaman ingatan Anda akan meningkat jika Anda selalu melatih kemampuan memori.

Bergabunglah dalam kegiatan sosial.
Memiliki jadwal aktivitas sosial yang padat diyakini dapat membuat otak bekerja lebih aktif dan mengurangi kemunduran kerja otak.
Lanjuuut..

Talak yang Sah

TALAK YANG SAH 1. Suami harus dalam keadaan sadar, sehat dan tidak marah Imam Al-Bukhari membuat bab khusus dengan judul “Bab Talak ketika kalut, terpaksa, mabuk, gila, marah, linglung, dan sebagainya.” Kemudian mengutip sabda Nabi SAW: “Amal seseorang tergantung niatnya…” Utsman berkata: “orang gila dan mabuk tidak sah talak.” Rasulullah SAW menyatakan : “Tidak sah talak dalam keadaan kalut.” (HR. Ahmad, Abu Daud & Ibnu Majah dari Aisyah RA). Walaupun dalam keadaan lupa talak tidak sah, namun jika dipermainkan atau pura-pura mentalak istrinya maka talak itu jatuh dan sah. Karena Rasulullah SAW melarang mempermainkan urusan talak, sebagaimana sabdanya: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ

Lanjuuut..

Sabtu, 24 Oktober 2009

alqur'an 5

AL-QUR'AN

A. Pendahuluan
Al-Qur'an merupakan kitab Allah SWT yang sangat agung dan suci, bahkan dengan sucinya kitab Al-Qur'an seseorang yang punya hadas tidak boleh untuk memegangnya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur'an yang berbunyi (لا يمسّه الاّ المطهرون )
Al-Qur'an juga merupakan sumber Hukum Islam nomor Wahid yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantara Malikat Jibril dengan cara berangsur-angsur dan merupakan pedoman umat Islam di seluruh dunia.
Download Makalah Pendidikan : "Al qur'an" Lengkap
Lanjuuut..

kehujjahan al qur'an 2

KEHUJJAHAN Al-QUR'AN(Sebagai Dalil Syar’i)

A. Pendahuluan
Al-Qur'an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang diwahyukan kepada beliau dari Allah SWT melalui malaikat Jibril secara mutawatir diturunkan dari Lauh al-Mahfudz ke Bait al-Izzah, dari Bait al-Izzah ke langit bumi hingga sampai kepada Nabi SAW, kemudian disampaikan kepada umat beliau secara menyeluruh.
Lanjuuut..

mukjizat alquran

KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN

A. PENGERTIAN KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN
Secara bahasa kata mukjizat berasal dari kata ‘Ajaza-‘ujizu-‘ijazan, yang berarti melemahkan, memberikan, menetapkan kelemahan kepada orang lain untuk berbuat sesuatu. Al-qur’an dikatakan mempunyai mukjizat, karena al-Qur’an memberikan kelemahan kepada manusia dan jin untuk mendatangkan semisalnya. Sedangkan secara terminologis diartikan “menampakkan kebenaran Nabi SAW”. dalam pengakuan kerasulannya dengan melahirkan kelemahan bangsa Arab dan generasi-generasi sesudah mereka untuk menandingi mukjizat Nabi yang langgeng yaitu al-Qur’an.
Lanjuuut..

alqur'an petunjuk

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Islam meninggalkan dua pusaka yang sangat berharga, yang sampai sekarang dan seterusnya menjadi pegangan penting bagi umat Islam yaitu kitab suci Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tanpaknya tuntunan Al-Qur’an masih sukar dijangkau oleh manusia masa kini. Selama ini Al-Qur’an terkesan lebih disakralkan dan dikultuskan sebagai bunyi-bunyian belaka daripada pelaksanaannya. Al-Qur’an mempunyai fungsi utama yaitu sebagai petunjuk untuk seluruh umat manusia, petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama atau syari’at. “Jalan Menuju Sumber Air”.
Lanjuuut..

alqur'an 4

BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Al-qur’an adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami , diamalkan seluruh kandungan isinya dan sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia. . Seperti yang tertuang dalam ayat ini.
Lanjuuut..

alquran 3

BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Al-qur’an adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami , diamalkan seluruh kandungan isinya dan sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia. . Seperti yang tertuang dalam ayat ini.

يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ مِنْ رَبِّكُمْ فَآمِنُوا خَيْرًا لَكُمْ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.. (an-Nisa’:170).

Di dalam ayat-ayat al-Qur’an termuat berbagai seluruh aspek kehidupan manusia termasuk juga di dalamnya banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebenaran dan kebhatilan.
Dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (Al-israa:81).

Kebenaran merupakan sesuatu yang sangat langka di zaman modern sekarang ini dan kebenaran itu pasti mengalahkan kebhatilan. Kebenaran pasti menang di hadapan Allah SWT, sebaliknya kebhatilan pasti kalah dan musnah.
Begitu beratnya menjalankan kebenaran dan menjauhi kebatilan di tengah-tengah masyarakat sekarang ini, sehingga masih terlihat liar kebhatilan-kebhatilan di pelosok daerah dengan melupakan kebenaran yang ada.. untuk itu penulis mengingatkan kembali pada diri kami khususnya dan umumnya untuk semua kalangan bahwa begitu pentingnya untuk menerapkan kebenaran dan menghindari kebhatilan di era globalisasi sekarang ini, oleh karena itu penulis akan sedikit menjelaskan tentang kebenaran dan kebhatilan menurut al-Qur’an.
A. Identifikasi masalah
Masalah pokok yang menjadi landasan pemikiran dalam pembahasan ini adalah penafsiran terhadap ayat-ayat kebenaran dan kebhatilan dalam hal ini pemahaman terhadap metodologi ayat-ayat kebenaran dan kebhatilan dalam kitab suci al-Qur’an, implikasi dalam pemahaman ini menjadi dasar kita dalam memahami ayat kebenaran dan kebhatilan.
B. Rumusan masalah.
Dari latar belakang tersebut ada beberapa masalah yang menjadi pokok bahasan dalam paper ini antara lain :
1. Kenapa Allah swt menjelaskan ayat-ayat kebenaran dan kebhatilan banyak sekali dalam al-Qur’an?.
2. Apakah ayat kebhatilan dan kebenaran di dalam Al-qur’an semua menjelaskan tema yang sama?
C. Penegasan judul
Untuk memperjelas dan mempertegas judul tersebut di atas maka alangkah baiknya penulis uraikan dahulu secara harfiah.
• Kebenaran : Keadaan yang cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya.
• Dan : penghubung satuan tujuan (kata, frase) yang setara.
• Kebhatilan : tidak benar, tidak sah.
• Menurut : berdasarkan; sesuai dengan (ketentuan, tidak bertentangan dengan)
• Al-Qur’an : kitab suci Islam yang berisi firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia.
D. Tujuan pembahasan
Adapun tujuan pembahasan ini adalah :
1. Ingin mengetahui lebih jauh tentang penafsiran ayat-ayat al-Qur’an khususnya ayat-ayat yang mengulas tentang kebenaran dan kebhatilan.
2. Untuk memenuhi persayaratan dalam mengikuti ujian akhir nasional.
3. Untuk dijadikan bahan bacaan dan sumbangan khasanah (wawasan) ilmu pengetahuan.
E. Metode pembahasan
1. Pengumpulan data.
Untuk memperoleh data-data dalam pembuatan paper ini tidak terlepas dari penelaahan terhadap buku-buku yang ada kaitanya dengan permasalahan yang penulis bahas.
2. Metode induksi.
Dari arah yang khusus ke arah yang umum yaitu mengadakan penelitian sekecil-kecilnya kemudian diambil kesimpulannya.
F. Sistematika pembahasan.
Penulisan dalam menulis paper ini membagi dalam beberapa bagian-bagian, bagian pertama, halaman judul, nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, kata pengantar dan daftar isi, dan bagian kedua penulis membagi lagi atas beberapa sub bab sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, penegasan judul, tujuan pembahasan, metode pembahasan, sistematika pembahasan.
BAB II : Membahas kebenaran menurut konsepsi al-Qur’an dan berbagai macam dengan dampak terhadap umatnya.
BAB III : Membahas kebhatilan menurut konsepsi al-Qur’an dan berbagai macam bentuknya dengan dampak terhadap umatnya.
BAB IV : Penutup, terdiri dari kesimpulan, kata penutup.

BAB II
KEBENARAN MENURUT KONSEPSI AL-QURAN

A. Pengertian kebenaran
Kebenaran menurut bahasa ialah “ keadaan yang cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya. Akan tetapi kebenaran sesungguhnya mempunyai sari makna yang cukup luas dari para cendekiawan sampai al-Qur’an menggunakan kata tersebut dalam kajian masing-masing.
1. Tokoh Filosuf menggunakan kata tersebut sebagai petunjuk atas citra tritunggal yang luhur kebenaran, kebajikan dan keindahan.
2. Para cendekiawan etika memakai “kata kebenaran untuk digunakan sebagai timbal balik antara sesama manusia, artinya bahwa kebenaran selalu berkaitan dengan kewajiban.
3. Al-qur’an yang mulia memahami kata al-Haq (kebenaran) sebagai tandingan kata bhatil dan dhalal (kesesatan).
Kesimpulan bahawa suatu pemahaman yang memberi kerangka kepada setiap orang walaupun diabuhan pakarnya.
B. Istilah-istilah kebenaran dalam al-Qur’an.
Al-qur’an merupakan sumber kebenaran dalam Islam yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Terdapat beberapa lafdzs-lafadz yang menjelaskan tentang kebenaran di antaranya الحق dan الصدق dan banyak pula objek tujuan dalam kebenaran tersebut.
1. Kebenaran yang menunjukkan Nabi Muhammad ada 10 ayat (al-Baqarah:109,119. Ali imran:71, az-Zukhruf;30, al-Qashas:48, al-Fathir:24, as-Shaaf:37, Huud;120, al-Mu’min:5, Qaf:5).
2. Kebenaran tentang kiblat Allah ada 1 ayat (al-Baqarah:146)
3. Kebenaran tentang al-Qur’an ada 5 ayat (an-Nisa:105, al-Israa:105, al-Ahkaf:7, as-Sajadah:3, al-Haqah:51).
4. Kebenaran tentang keimanan ada 13 ayat (al-Maidah:48, al-Anfal:6, at-Taubah:48, Junus:35, Huud:120,Jusuf:51, an-Naml:79, asy-Syuara:17, Mu’minun:18, al-Ahzab:8, Saba:43, al-Mumtahanah:1).
5. Kebenaran adanya timbangan baik dan buruk ada 1 ayat (Al’a’raf:8).
C. Dampak kebenaran al-Qur’an terhadap umatnya.
Kebenaran mempunyai cakupan makna yang banyak, begitu juga kebenaran dalam konsep al-Qur’an mempunyai sebuah dampak terhadap kaum muslimin. Alangkah seriusnya Allah membimbing umatnya agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan seperti yang terjadi pada umat sebelumnya dan agar umatnya taat dan beriman kepada-Nya seperti tertera dalam ayat al-Qur’an yang dinyatakan pada surat as-Sajadah ayat :3.
بَلْ هُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ
Sebenarnya Al Qur'an itu adalah kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu; mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.

BAB III
KEBHATILAN MENURUT KONSEPSI AL-QUR’AN

A. Pengertian kebhatilan
Kebhatilan menurut bahasa ialah tidak benar, tidak sah.
Kebhatilan mempunyai beberapa versi makna yang terkandung di dalamnya menurut amatullah armstrong dalam bukunya yang berjudul kunci memasuki dunia tasawuf, dia menjelaskan bahwa kebhatilan adalah segala sesuatu selain Allah karena Allah adalah al-Haq yang Maha Benar. Tetapi menurut Ja’far as-Shidiq dalam bukunya 99 Wasil al Iman, ia menerangkan bahwa kebhatilan adalah segala sesuatu yang memutuskan hubungan dengan Allah. Dan dari sekian banyak pendapat dapat diambil kesimpulan bahwa kebhatilan adalah sesuatu tindakan yang sangat tidak disukai oleh Allah.

B. Kebhatilan menurut istilah al-Qur’an.
Al-qur’an merupakan kumpulan ayat yang juga dalam yang terdapat juga ayat kebhatilan. Terdapat beberapa lafadz yang menjelaskan tentang kebhatilan diantaranya الباطل dan مبطلون dan terdapat pula objek tujuan dalam kebhatilan tersebut.
1. Tidak sampainya kebhatilan masuk dalam al-Qur’an (al-Fushilat:42).
2. Tentang tampaknya kerugian-kerugian yang dilakukan oleh orang bhatil.
C. Dampak kebhatilan dalam al-Qur’an kepada umatnya.
Al-qur’an merupakan kitab suci umat Islam. Ayat-ayatnya mencakup berbagai seluk beluk perkara pada umatnya termasuk juga pada kebhatilan di dalam al-Qur’an. Terdapat kurang lebih 2 ayat kebhatilan yang menjelaskan tentang kitab-kitab terdahulu dan hari kiamat atau pembalasan itu semua supaya agar umat manusia untuk menjaga amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam surat al-Baqarah ayat 157 :
أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Seperti diterangkan pada ayat tersebut, betapa melimpahnya rahmat dari Allah kepada orang-orang yang menegakkan kebenaran di jalan Allah dan mereka-mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Allah.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Al-qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang memuat beberapa ayat di dalamnya termasuk juga ayat-ayat kebenaran dan kebhatilan, dan di dalam al-Qur’an terdapat kurang lebih 30 ayat yang mengulas tentang kebenaran dan kurang lebih 2 ayat yang menjelaskan tentang kebhatilan. Sesunggguhnya itu menunjukkan betapa seriusnya Allah membimbing umat-Nya agar tidak berbuat kesalahan dan juga agar berbuat amar m,a’ruf nahi munkar.
2. Al-qur’an menjelaskan tentang ayat kebhatilan dan kebenaran tidak semua temanya sama, ada yang menjelaskan tentang al-Qur’an, Nabi terdahulu, dan lain-lain, dimaksudkan agar umat-Nya tidak mengulangi kesalahan yang diperbuat oleh pendahulunya.
B. Kata penutup
Alhamdullillahirobbil Alamin.
Adalah kata yang tepat untuk mengungkapkan rasa syukur dengan terselesaikannya paper ini yang masih banyak kekurangan walaupun dengan demikian penulis tetap berharap semoga paper ini manfaat khususnya bagi penulis.
Wassalamualaikum Wr.Wb.





AYAT-AYAT KEBENARAN DI DALAM AL-QUR’AN
No Surat Ayat Lafadz Masdar Penjelasan
1






2




3




4



5





6




7





8







9







10



11







12







13


14





15





16






17






18








19




20



21




22






23






24



25





26




27






28






29




30




Al-Baqarah








-


-




Ali-imran



An-Nisa





Al-Maidah




Al-A’raf





Al-Anfal







At-Taubah







Junus



-







Huud







Yusuf


Al-Isra





An-Naml





Al-Mu’min






As-Syuraa






Az-Zukhruf








Al-Ahqaf




Qaf



An-Najm




Al-Qhashas






As-Sajdah






Mu’minun



Al-ahzab





Saba




Al-fatir






As-shaf






Almumtahanah




Al-haqah




Fhushilat






Al-jatsiyah




109






146




19




71



105





48




8





6







48







35



35







120







51


105





79





5






17






30








7




5



28




48






3






70



8





43




24






37






1




51




42






27





الحق


الحق

الحق
الحق

الحق

الحق

الحق

الحق


الحق


الحق

الحق


الحق


الحق
الحق


الحق

الحق

الحق


الحق


الحق

الحق

الحق

الحق

الحق


الحق

الحق

الحق

الحق

الحق


الحق

الحق

الباطل

المبلطون




















Kebenaran yang diperkuat dengan bukti-bukti nyata bahwa Nabi Muhammad saw adalah benar dan apa yang mereka hafal dari kitab mereka tentang berita gembira dan juga sebagai Nabi akhir zaman.

Kebenaran kiblat yang telah Allah tentukan, dalam hal ini juga Nabi Ibrahim dan para nabi sesudahnya juga menghadap ke arah tersebut.

Kebenaran Allah mengutus Nabi Muhammad saw dengan membawa perkara yang tetap, tegas dan takkan menyesatkan umat manusia.

Kebenaran tentang kenabian Muhammad saw yang tersebut dalam taurat dan injil.

Kebenaran Allah menurunkan al-Qur’a kepada umat manusia yang menetapkan dan menjelaskan yang haq.


Kebenaran larangan Allah bahwa manusia tidak boleh menuruti hawa nafsunya.


Kebenaran tentang adanya timbangan baik dan buruk di hari kiamat dan apa yang patut diterima oleh setiap orang, baik berupa pahala maupun siksa.

Kebenaran tentang membantah kaum mukminin akan kemenangan dalam menghadapi angakatan perang musuh dan lebih suka menghadap kafilah dagang daripada angkatan perang musyrikin.

Kebenaran tentang pertolongan yang dijanjikan Allah kepada nabi Muhammad saw dengan mengazab kaum yahudi sang pengkhianat yang melanggar perjanjian dan kemenangan atas kaum musyrikin.


Kebenaran tentang orang-orang musyrik tidak bisa menunjukkan kebenaran.

Kebenaran tentang Allah AWT memberi petunjuknya yakni dengan mengutus utusan-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya lalu menunjukkan agar manusia memandang dan berfikir.


Kebenaran tentang apa-apa yang diserukan oleh para rasul supaya manusia ihklas melakukan ibadah semata-mata dan bertaubat kepada-Nya, di samping meninggalkan kekejian baik nyata maupun tidak nyata.

Kebenaran tentang nabi Yusuf yang digoda oleh istri Al-aziz.

Kebenaran tentang al-Qur’an diturunkan pada manusia dalam keadaan terpelihara dan terjaga tidak disusupi dengan yang lain dan tidak ditambahi dan dikurangi.

Kebenaran tentang orang-orang beriman berada di jalan yang benar-benar haq, sedangkan orang yang menentang-Nya akan mendapatkan kesengsaraan.

Kebenaran tentang orang kafir yang memusuhi Rasulullah saw dengan cara yang bathil dan mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang tidak ada kenyataannya.


Allah-lah yang telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para Nabi-Nya yang memuat kebenaran yang tidak ada keraguannya dan jauh dari kebhatilan.


Surat ini menjelaskan tentang kebenaran Rasulullah yang telah diutus oleh Allah swt dengan membawa kitab-Nya dan mukjjizat-Nya kepada kaumnya tetapi mereka menyangka apa-apa yang dibawa Rasulullah hanya sihir dan bukan wahyu dari sisi Allah swt.

Tentang kebenaran Al-qur’an yang telah dibicarakan kepada orang-orang musyrik, tapi mereka mengingkarinya.

Kebenaran tentang kenabian yang ditetapkan dengan mukjizatnya.


Sesungguhnya mengetahui sesuatu dengan pengetahuan yang hakiki haruslah berdasarkan keyakinan bukan berdasarkan prasangka.

Ketika Nabi Muhammad saw datang membawa al-Qur’an kepada kaum yang tidak pernah didatangi oleh seorang pemberi peringatan sebelumnya.

Kebenaran al-Qur’an adalah haq dan benar agar nabi Muhammad saw memberi peringatan kepada kaumya akan pembalasan dan siksa Allah yang akan menimpa mereka nanti, karena kekafiran mereka terhadap al-Qur’an.

Kebenaran apa yang dibawa rasul adalah yang haq.


Kebenaran tentang kesanggupan para rasul dalam menanggapi risalah dari Rabbi yang telah disampaikan oleh para rasul kepada manusia

Tentang kebenaran perkataan bohong otrang musyrik yang menyatakan al-Qur’an tak lain hanyalah sihir.

Kebenaran tentang Allah mengutus rasul dengan membawa iman kepada Allah semata-mata dengan membawa syariat-syariat yang Allah fardhukan atas hamba-hamba-Nya.

Kebenaran tentang nabi Muhammad saw membawa kebenaran yang tidak diragukan lagi yaitu tentang kekuasaan Allah yang diakui oleh akal dan dibuktikan dengan bukti-bukti.

Kebenaran tentang tidak boleh berteman dengan orang kafir karena mereka inkar kepada Allah, rasul dan kitab-kitab-Nya.

Al-Qur’an merupakan kebenaran tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an dari sisi Allah, bukan dibuat-buat oleh Muhammad.

Tak ada jalan bagi kebhatilan untuk sampai. Al-Qur’an maha al-Qur’an itu tidak bisa didustakan oleh kitab-kitab terdahulu seperti taurat dan injil dan takkan datang sesudahnya sebuah kitab mendustakannya.

Dan pada hari kiamat sedang manusia dikumpulkan dari kubur mereka masing-masing untuk diadili dan dihisab akan tampaklah kerugian-kerugian orang-orang yang ingkar dan membangkang terhadap ayat-ayat dan dalil-dalil yan g Allah turunkan kepada rasul-Nya yakni dengan dimasukkannya mereka ke dalam neraka, tempat yang paling baik.

DAFTAR PUSTAKA
- Ahmad D Marimba Drs, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, CV Al problema Arif,1982.
- Amatullah Amstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf…………
- Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus besar Bahasa Indonesia
- Jafar ash-Shidiq, 99 Wasiat al-Imam.
- Kitab Suci al-Qur’an, Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, Gema Risalah Press, Bandung 1989.
- Pius A Purtanto dan M Dahlan al-Barry, Kamus ilmiah Populer Surabaya, Ana Loha 1994
- Yusuf al-Qardawi Drs, al-Haq, Konsep Kebenaran.

KATA PENGANTAR

Bismillahirah manirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillah segala puji penulis haturkan kehadirat Ilahi Robbi pencipta alam semsta, kemudian shalawat serta salam semoga tetap atas junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarga serta sahabat-sahabatnya.
Paper yang berjudul KEBENARAN DAN KEBATILAN menurut al-Qur’an ini disusun untuk melengkapi persayaratan mengakhiri study di Madrasatul qur’an Tebuireng dan salah satu syarat lulus ujian akhir. Ribuan terimakasih penulis ucapkan kepada:
1. Pengasuh PONPES Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang yang telah menyediakan fasilitas demi lancarnya belajar dengan baik.
2. Bapak Drs. HM Junali Ruslan selaku Kepala sekolah Madrasah Aliyah Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang.
3. Bapak Ali Said Ismail,MHI selaku pembimbing dalam penyelesaian paper ini.
4. Segenap dewan guru Madrasatul Qur’an Tebuireng
5. Kedua orang tua kami yang telah banyak berkorban baik moril maupun material.
6. Teman-teman yang telah dengan setia menemaniku selama ini dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian paper ini.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu kami sangat mengharapkan teguran, saran dan kritik dari pembaca, dengan itu kami dapat pelajaran dan mampu memperbaikinya. Sebagai kata akhir penulis berdoa kepada Allah SWT semoga paper ini ada manfaatnya. Amin ya robbal alamin.

Tebuireng 2006

Penulis


MOTTO





KATAKANLAH, KEBENARAN TELAH DATANG DAN YANG BATHIL ITU TIDAK PULA MEMULAI DAN TIDAK (PULA) AKAN MENGULANGI
Lanjuuut..

ilmu alquran

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Islam meninggalkan dua pusaka yang sangat berharga, yang sampai sekarang dan seterusnya menjadi pegangan penting bagi umat Islam yaitu kitab suci Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tanpaknya tuntunan Al-Qur’an masih sukar dijangkau oleh manusia masa kini. Selama ini Al-Qur’an terkesan lebih disakralkan dan dikultuskan sebagai bunyi-bunyian belaka daripada pelaksanaannya.
Lanjuuut..

ilmu alquran

A. Pendahuluan
Para pujangga, sastrawan, cendikiawan dan penyair telah berlomba dalam mengomentari Al-Qur'an dengan mengemukakan keindahan dan kelebihannya. Rasanya kami belum menemui keterangan yang indah dan bernilai dan bernilai tinggi selain dari gambaran yang dibawakan oleh Muhammad (Rosulullah) Ibnu Abdillah SAW. Sebagai pembawa risalah, dimana beliau bersabda : “(inilah) kitab Allah (Al-Qur'an), di dalamnya tertera berita/ catatan sejarah dimasa mendatang serta ketentuan tentang sesamanya. Ia adalah pemisah (haq dan bathil) yang bukan dongeng (sandiwara). Siapa saja yang meninggalkannya niscaya akan rusak binasa dan siapa yang berpedoman dengan lainnya, niscaya akan sesat. Ia adalah petunjuk Allah SWT yang paten, peringatan yang luas dan jalan yang lurus.
Lanjuuut..

alqur'an

BAB I
PENDAHULUAN


Kata Al-Qur'an itu sendiri akar kata Qur'an memiliki pengertian lebih dari sekedar membaca karena tidak mensyaratkan adanya sebuah teks tertulis ketika pertama kali Nabi menerima wahyu itu. Al-Qur'an itu sendiri merupakan tuntutan dan pedoman bagi umat Islam. Al-Qur'an memiliki nama-nama lain seperti al-Kitab, al-Furqon, Al-Dzikr.
Adapun persoalan wahyu lebih sulit, khususnya jika orang ingin melampui dan memperbaharui ajaran-ajaran “ortodoks” yang diulang-ulang secara saleh dengan masing-masing tradisi monoestik. Konsepsi Islam tentang wahyu disebut tanzil (turun) sebuah metafora fundamental karena umat manusia yang berpandangan vertikal diundang untuk menuju Tuhan, transedensi.
Disini sebagaimana al-Quran merinci mekanisme wahyu dalam surat Asyura :
وما كان لبشر ان يكلمه الله الا وحيا او من وراء حجاب او يرسل رسولا فيوحي بإذنه ما يشاء انه علي حكيم

Ayat ini menjelaskan wahyu dari segi cara Allah menyampaikannya kepada para Nabi. Cara yang pertama dapat ber macam-macam. Menurut al-Biqa’i kata ( وحيا ) disini dapat mencakup pemberian informasi tanpa perantara dan dengan cara yang tersembunyi. Ia dapat juga berbentuk ilham atau mimpi atau juga dengan cara yang lain, baik Allah menganugerahkan kepada yang menerima wahyu itu kemampuan mendengar disini adalah peringkat tertinggi atau juga disertai dengan pandangan maupun tidak.


BAB II
PEMBAHASAN


A. Definisi Manusia
Manusia adalah salah satu mahluk Allah yang paling sempurna, baik dari segi aspek jasmaniyah lebih-lebih dari rohaniyahnya. Karena kesempurnaannya itulah, maka untuk dapat memahami, mengenal secara dalam dan totalitas dibutuhkan keahlian yang spesifik. Dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melalui study yang panjang dan hati-hati tentang manusia melalui Al-Quran dan sudah tentu harus dibawah bimbingan dan petunjuk Allah. Serta paradigma kepada proses pertumbuhan dan perkembangan eksistensi diri yang terdapat pada para Nabi, Rasul, dan khususnya Nabi Muhammad.

B. Potensi Manusia
Manusia dihadapan Allah Ta'ala bukanlah seperti mahluk makhluknya yang lain akan tetapi seorang makhluk yang memiliki kelebihan luar biasa. Hal ini terbukti dengan jatuhnya pilihannya kepadanya sebagai “khalifah” yakni sebagai penggantinya dalam hal memanage alam dan ekosistem Ilahiyah yang Rahmatan Lil Alamin. Menaburkan potensi keselarasan, kemanfaatan, musyawarah dan kasih sayang ke seluruh penjuru alam, baik di bumi maupun di langit, di dunia maupun di akhirat.
Adapun potensi yang ada dalam diri manusia adalah :
1. Potensi Nur Ilahiyah
Nur Ilahiyah ini adalah potensi yang paling tinggi dan bersifat luas, gaib dan tidak terbatas, karena ia sangat dengan eksistensi Allah Ta'ala. Esensi dari Nur itu mengandung energi afal (perbuatan-perbuatan Allah), asma (nama-nama Allah) sifat Allah dan Dzat Allah. Apabila nur itu telah hadir dan meresap serta integritas dalam diri manusia, maka atas izin, qudrat dan iradatnya seluruh eksistensi keinsanannya akan menampakkan cahaya-cahayaitu, yang bertpotensi menghidupkan fungsi utamanya yaitu membersihkan, mensucikan, membeningkan, menerangi, menampakkan, menunjukkan, dan mengantarkan kepada kutub kebenaran yang hakiki yaitu wajah Dzat allah Ta’ala.
Apabila nur ilahiyah itu telah utuh dan sempurna hadir atas izinnya, maka fungsi-fungsi esensinya akan tampak pada :
1.1 Keimanan yaitu dengan Nur itu tersingkaplah hijab-hijab yang menutupi keyakinan dan rasa percaya kepada Allah ta’ala dan segala kekuasaannya.
1.2 Keislaman, yaitu dengan Nur itu tersingkaplah hakikat keislaman secara transedental yang dapat mengantarkan manusia kedalam kepasrahan dan lebur didalam keislamannya.
1.3 Keihsanan : yaitu dengan Nur itu tersingkaplah rahasia dan wajah ketuhanan yang bersifat kamil (sempurna), jalal (agung), jamal (cantik) dan Qahhar (perkasa)
1.4 Ketauhidan : yaitu dengan nur itu terbukalah hijab yang menutupi ketauhidan yang hakiki. Dan lengkaplah seorang hamba dalam wahdaniyatnya dan kekal bersama-Nya.
1.5 Kegelapan : yaitu dengan nur itu seluruh kegelapan yang menutupi ruh, jiwa, hati, nurani, akal fikiran, inderawi dan jasmani, semua akan terbuka dan menampakkan esensi dan keberadaannya yang hakiki, bersih, suci dan bercahaya.
Untuk mengembangkan kualitas dan kuantitas dari potensi nur (cahaya) itu, seorang hamba dapat berusaha dan memohon kepada Allah ta’ala seperti, firmannya :
             •     
Artinya :
cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. At-Tahrim, 66:8)

Adapun orang-orang yang tidak mengembangkan potensi nur (cahaya)nya, sebagaimana sejak zaman Azali Allah ta’ala telah menganugrahkan kepada mereka, maka kerugian, kekurangan dan ketidaksempurnaanlah yang akan mereka dapatkan di dalam hidup dan kehidupan ini.
2. Potensi Ruh Ilhiyah
Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Isra’ 17:85
               

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Ayat ini turun karena adanya suatu peristiwa dimana orang-orang Yahudi menyuruh orang-orang Quraisy agar menanyakan kepada Rasulullah SAW, tentang “Ashaabul Kahfi", Dzul Qurnain, dan Ruh. Kemudian Allah Ta’ala menerangkan, khususnya cerita tentang Ashaabul Kahfi dan dzul Qurnain. Sedangkan jawaban dari pertanyaan mereka tentang Ruh adalah dengan turunnya ayat diatas. Masalah Ruh adalah masalah yang bersifat gaib dan tidak mudah begi seseorang yang belum cukup memiliki ilmu ketuhanan dan hakekat akan dapat menerima penjelasan Allah yang memang mereka belum mengalami dan meyakini dengan haqqul yakin tentang kebesaran dan kekuasaannya yang Maha Suci lagi Maha Luas.

3. Potensi Nafs Ilahiyah
Dalam perspektif bahasa kata “nafs” memiliki beberapa arti seperti jiwa, darah, badan, tubuh dan orang.
Dr. M. Quraish Shihab, M.A, menyatakan bahwa kata nafs dalam al-Quran mempunyai beberapa makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia.
Dalam kandungan firman Allah :
          

Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. (qs. Ar-Rad, 13:11)

Selanjutnya beliau mengatakan bahwa kata “nafs” yang digunakan juga untuk menunjuk kepada diri Tuhan (kalau istilah dapat diterima), seperti firmannya :
    

Allah." dia Telah menetapkan atas Diri-Nya menganugerahkan rahmat. (QS. Al-"an'am : 6:12)

Pengertian nafs disini adalah yang berhubungan dengan eksistensi seorang manusia sebagai hamba Allah Ta’ala, hal mana ia memiliki potensi yang khusus dalam diri setiap hamba. Dalam literatur Tasawuf, nafs dikenal memiliki delapan kata ganti dari kecendurangan yang paling dekat pada tindakan buruk sampai ke tingkat kedekatan kepada kelembutan ilahi yakni :
1. Nasfu ammarah Bissu', yaitu kekuatan pendorong naluri sejalan dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan, sebagaimana firmannya :
     • • •       •    

Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang. (QS. Yusuf, 6:53)

2. Nafsu lawwamah yaitu nafsu yang telah mempunyai rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan pelanggaran.
3. Nafsu musawwalah yaitu nafsu yang telah dapat membedakan mana yang lebih baik dan mana yang buruk, tetapi ia lebih memilih yang buruk dan belum mampu memilih yang baik. Bahkan mencampur adukkan antara yang baik dan yang buruk.
4. Nafsu Mulhamah yaitu nafsu yang memperoleh ilham dari allah SWT, di karunia ilmu pengetahuan.
5. Nafsu Muthmaimah : yaitu nafsu yang telah mendapat tuntunan dan pemeliharaan yang baik sehingga jiwa menjadi tentram.
6. Nafsu Radhiyah yaitu nafsu yang ridha kepada Allah, yang mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan kesejahteraan.
7. Nafsu Mardhiyah yaitu nafsu yang telah mencapai ridha kepada Allah SWT.
8. Nafsu Kamilah yaitu nafsu yang telah sempurna bnetuk dan dasarnya, sudah dianggap cukup untuk mencapai irsyad yang menyempurnakan penghambaan diri kepada Allah SWT.

C. Hakikat Manusia sebagai Kholifah Di Bumi
Manusia memang diciptakan oleh Allah untuk menjadi kholifah di bumi. Manusia harus bida menjadi pemimpin bagi orang lain. Di dalam al-Quran disebutkan bahwa segala sesuatu diatas bumi ini berupa daya dan kemampuan yang diperoleh seorang manusia, hanyalah karunia dari Allah SWT. Dan Allah memang menjadikan manusia sebagai kahlifah di bumi dalam firman Allah :
Berdasarkan ini maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya sendiri. Tetapi ia hanyalah khalifah atau sang pemilik yang sebenarnya. Di dalam al-Qur’an di sebutkan :

        ••         

Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (QS. 38:26)

Berdasarkan ini maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya sendiri, tetapi ia hanyalah khalifah atau sang pemilik yang sebenarnya. Didalam Al-Qur'an disebutkan :
        
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (QS. AL-Baqarah : 30)

Akan tetapi sebuah negara tidak menjadi sebuah negara yang benar selama tidak mengikuti hukum sang pemilik sebenarnya.
Peran manusia di dunia ini banyak sekali seperti halnya dalam hal teknologi dan sains, pendidikan, perindustrian maupun pemerintahan. Disinilah fungsi manusia sebagai kholifah di bumi.
Lanjuuut..

kehujjahan alquran

MAKALAH HUKUM ISLAM I ( TEORI RECEPTIO IN COMPLEXU )

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini memiliki empat aspek, yaitu (a) kebebasan nurani (freedom of conscience), (b) kebebasan mengekspresikan keyakinan agama (freedom of religious expression), (c) kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (freedom of religious association), dan (d) Kebebasan melembagakan keyakinan keagamaan (freedom of religious institution)1. Di antara keempat aspek tersebut, aspek pertama yakni kebebasan nurani (freedom of conscience),
Lanjuuut..

Hukum islam

MAKALAH HUKUM ISLAM I ( TEORI RECEPTIO IN COMPLEXU )

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini memiliki empat aspek, yaitu (a) kebebasan nurani (freedom of conscience), (b) kebebasan mengekspresikan keyakinan agama (freedom of religious expression), (c) kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (freedom of religious association), dan (d) Kebebasan melembagakan keyakinan keagamaan (freedom of religious institution)1. Di antara keempat aspek tersebut, aspek pertama yakni kebebasan nurani (freedom of conscience), merupakan hak yang paling asli dan absolut serta meliputi kebebasan untuk memilih dan tidak memilih agama tertentu. Menurut konsep kebebasan di atas, maka kebenaran pribadi harus dianggap sebagai nilai yang yang paling luhur (supreme value). Ia menghendaki komitmen serta pertanggungjawaban pribadi yang mendalam. Komitmen serta pertanggungjawaban pribadi ini harus berada di atas komitmen terhadap agen-agen otoritatif lainnya seperti negara, pemerintah, dan masyarakat.
Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras. Letak geografis Indonesia yang berada di tengah-tengah dua benua, menjadikan negara ini terdiri dari berbagai ras, suku bangsa, dan agama.
Kemajemukan agama di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan sejarah bagaimana bangsa Indonesia itu muncul. Hal tersebut ditandai dengan munculnya banyaknya kerajaan di Indonesia yang menganut bermacam agama. Tidak diragukan lagi, perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia itu mengakibatkan adanya beberapa agama yang dianut oleh bangsa Indonesia pada masa-masa selanjutnya. Agama bagi bangsa Indonesia merupakan potensi yang besar.
Sebagai potensi, pada satu sisi agama dapat menjadi pendorong dan pendukung arah pembangunan Indonesia. Pada sisi yang lain, isu tentang agama dapat menjadi pemicu konflik antarumat beragama. Oleh sebab itu, hubungan baik antarumat beragama yang terwujud dalam tiga kerukunan hidup beragama Indonesia diharapkan selalu terwujud dalam perjalanan hidup bangsa. Setiap agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Setiap penganut terpanggil untuk menanamkan dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak pada pihaknya serta kesesatan dan kecelakaan fatal pada pihak yang lain. Interpretasi yang berbeda dan pemikiran teologis yang berlain mengenai konsep ini merupakan sumber perselisihan antarumat beragama.
Sejak negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum islam memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di Indonesia selain hukum Belanda yang berlaku saat ini. Setelah Indonesia berusia 60 tahun dan telah mengalami 6 kali pergantian presiden, hukum islam tetap dipakai dibeberapa bidang hukum disam ping hukum Belanda tentunya. Seperti yang kita ketahui, gelombang reformasi yang menyapu seluruh kawasan Indonesia sejak kejatuhan Suharto banyak memunculkan kembali lembaran sejarah masa lalu Indonesia.Salah satunya yang hingga kini banyak menjadi sorotan adalah tuntutan untuk kembali kepada syariat Islam, atau hukum Islam yang kemudian mengundang beragam kontroversi di Indonesia. Kalau kita lihat lembaran sejarah Indonesia, salah satu faktor pemicunya adalah tuntutan untuk mengembalikan tujuh kata bersejarah yang tadinya terdapat dalam pembukaan atau mukadimmah konstitusi Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia. Tujuh kata itu adalah “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.
Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat Muslim secara umum.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membuat paper dengan mengambil judul ”Kajian Kritik Terhadap Teori Receptio In Complelxu”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah perhatian Islam terhadap masyarakat?
2) Apa yang melatarbelakangi munculnya teori receptio in complexu?
3) Bagaimana menerapkan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari paper ini adalah :
1) Untuk mengetahui sejauhmana perhatian orang Islam terhadap masyarakat
2) Untuk mengetahui latar belakang munculnya teori receptio in complexu
3) Untuk mengetahui hubungan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan hukum islam di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan Paper ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi rekan-rekan mahasiswa, khususnya penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perhatian Islam terhadap masyarakat, latar belakang munculnya teori receptie, dan hubungan teori receptio in complex terhadap pemberlakuan hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Masyarakat Islam dan Non Islam
Kebebasan dan toleransi merupakan dua hal yang sering kali dipertentangkan dalam kehidupan manusia, secara khusus dalam komunitas yang beragam. Persoalan tersebut menjadi lebih pelik ketika dibicarakan dalam wilayah agama.
Kebebasan beragama dianggap sebagai sesuatu yang menghambat kerukunan (tidak adanya toleransi), karena dalam pelaksanaan kebebasan, mustahil seseorang tidak menyentuh kenyamanan orang lain. Akibatnya, pelaksanaan kebebasan menghambat jalannya kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga sebaliknya upaya untuk merukunkan umat beragam agama dengan menekankan toleransi sering kali dicurigai sebagai usaha untuk membatasi hak kebebasan orang lain. Toleransi dianggap sebagai alat pasung kebebasan beragama.
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antarumat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga sebaliknya, toleransi antarumat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Keduanya tidak dapat diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya, yaitu penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi, dan usaha untuk merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan. Untuk dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan bergama dan toleransi antarumat beragama merupakan sesuatu yang penting.
Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak yang melekat pada manusia karena ia adalah manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Negara pun tidak berhak merampas hak tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan beragama yang melekat dalam setiap individu tersebut dinyatakan dengan gamblang dalam deklarasi universal HAM Pasal 1 dan 18.
Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Selanjutnya, kata “toleransi” juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan (Kamus Umum Bahasa Indonesia).
Jadi, dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaannya atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain, tetapi mengizinkan perbedaan itu tetap ada.
Toleransi menjadi jalan terciptanya kebebasan beragama, apabila kata tersebut diterapkan pada orang pertama kepada orang kedua, ketiga dan seterusnya. Artinya, pada waktu seseorang ingin menggunakan hak kebebasannya, ia harus terlebih dulu bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya telah melaksanakan kewajiban untuk menghormati kebebasan orang lain?” Dengan demikian, setiap orang akan melaksanakan kebebasannya dengan bertanggung jawab. Agama-agama akan semakin moderat jika mampu mempersandingkan kebebasan dan toleransi. Kebebasan merupakan hak setiap individu dan kelompok yang harus dijaga dan dihormati, sedang toleransi adalah kewajiban agama-agama dalam hidup bersama.
Sikap agama yang lebih moderat, tidak hanya dituntut ada dalam agama Islam, tetapi pada semua agama yang ada di Indonesia. Agama-agama harus menyadari bahwa dunia semakin heterogen. Jadi tidak mungkin lagi untuk memimpikan kehidupan beragama yang homogen. Diskriminasi yang dialami oleh agama-agama tidak perlu menimbulkan semangat balas dendam, karena biasanya diskriminasi agama tidak berasal dari agama itu sendiri, melainkan dipengaruhi faktor lain.
Agama dalam pelaksanaan misinya tidak boleh lagi bersikap tidak peduli dengan agama-agama lain. Kemajauan suatu agama tidak boleh membunuh kehidupan agama-agama yang ada di Indonesi
Toleransi dan kerukunan hidup umat beragam antara Islam dan non Islam, telah diperaktekan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, pada waktu itu rasulullah memimpin negara Madinah, beliau sebagai kepala negara dari komunitas negaranya, terdiri atas penganut Islam, Yahudi dan Nasroni beliau memimpin masyarkat majemuk.
Dengan shahifah (piagam madinah) sebagai konstitusinya yang oleh sementara pengamat disebut sebagai the first written constitution in the world. Piagam madinah memuat pokok-pokok kesepakatan.
(1) Semua umat Islam, walaupun berasal dari banyak suku merupakan satu komunitas
(2) Hubungan antara komunitas Islam dengan non Islam didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga baik. Saling membantu dan saling menghadapi musuh bersama. Membela mereka yang teraniyaya saling menasehati, menghormati, kebebasan beragama, kedua ke Abbesinin (Ethiopia) ketiga perlakuan adil terhadap non nISlam di pengadilan pada waktu dia berhadapn dengan Ali bin Abi Tholib (kepala negara waktu itu) dan Ali bin Abi Thalib di kalahkan. Keempat kerukunan hidup umat beragama pernah di peraktekan oleh ISLam, Yahudi dan Nasrani di Spanyol, sebagaimana di ungkapkan oleh Nurcholis Majid (1994:36) mengutip ungkapan Max Dimont bahwa selama 500 tahun dibawah pemerintahan Islam membuat Spanyol untuk tiga agama dan satu tempat tidur Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun bersama-sama menyertai perbedaan yang genting.
B. Latar Belakang Munculnya Teori receptio In Complexu
Berbicara tentang masalah hukum yang berlaku terhadap golongan Bumi Putera, yaitu hukum adat bangsa Indonesia. Timbulah beberapa teori yaitu: Teori pertama diketemukan oleh beberapa sarjana Belanda seperti Carel Frederik Hunter (1799-1859) Salomo Kayzor (1823-1868) dan Odeniya William Christian Van Berg (1845-1925)
Teori ini menyatukan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing jadi menurut teori ini bahwa hukum tentang berlaku bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragam khatolik, demikian juga bagi penganut agama lain, teori ini yang dikenal dengan teori receptio in complex (RIC).
Materi teori ini kemudian dimuat dalam pasal 75 RR (Regering Reglement) tahun 1855. pasal 75 ayat 3 RR berbunyi “oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama (Jadsdiensnge Wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu” pada masa teori ini berlaku, kemudian antara lain Sibi 882 No. 152 tentang pembentukan pengadilan agama (Priensterand) di samping pengadilan negeri (landrand). Berdasarkan pasal 75 dengan mengacu kepada teori RIC hukum waris yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum waris Islam dan menjadi kompetensi (wewenang) peradilan agama
Pada mulanya, politik kolonial Belanda sebenarnya cukup menguntungkan posisi hukum Islam, setidaknya sampai akhir abad ke 19 M dikeluarkannya Staatsblad No. 152 Tahun 1882 yang mengatur sekaligus mengakui adanya lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura, merupakan indikasi kuat diterimanya hukum Islam oleh pemerintah kolonial Belanda. Dari sinilah muncul teori Receptio in Complexu yang dikembangkan oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845 – 1927). Menurut ahli hukum Belanda ini hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, maka hukun Islam-lah yang berlaku baginya. Dengan adanya teori receptio in Complexu maka hukum Islam sejajar dengan dengan sistem hukum lainnya.
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven (1874 – 1933) dan C.S. Hurgronje (1857 – 1936) yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie, menurut teori ini hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adat yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Klaim provokatif dan distorsif ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi hukum Islam ketika itu, oleh karenanya Hazairin menyebutnya sebagai teori “Iblis’.
Dengan adanya teori Receptie ini, Belanda cukup punya alasan untuk membentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Dengan bekal sebuah rekomendasi (usulan) dari komisi ini, lahirlah Staatsblad No. 116 Tahun 1937 yang berisi pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk menangani masalah waris dan lainnya. Perkara-perkara ini kemudian dilimpahkan kewenangannya kepada Landraad (Pengadilan Negeri).

C. Hubungan Teori Receptio In Complexu Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih -yang dianggap representatif- telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Khusus untuk yang terakhir, ia merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya). Sehingga pada tahun 1991 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terlepas dari pro dan kontra keberadaan KHI nantinya diproyeksikan sebagai Undang-Undang resmi negara (hukum materiil) yang digunakan di lingkungan Pengadilan Agama sebagai hukum terapan. Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan reformasi di bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dengan diamandemennya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan Undang-Undang diatas secara otomatis membawa efek berantai pada Peradilan Agama, sehingga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga mengikuti jejak, yakni diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Seiring dengan momentum amandemen Undang-Undang tentang Peradilan Agama, maka muncul perubahan paradigma baru yakni Peradilan Agama dari peradilan keluarga menuju peradilan modern. Semula Peradilan Agama hanya menangani perkara-perkara sumir -sebagian besar masalah perceraian- kini dihadapkan pada perkara-perkara ekonomi syari’ah yang relatif baru dalam dunia ekonomi Indonesia, namun dalam perkembangannya cukup mempengaruhi konfigurasi ekonomi Indonesia. Oleh karena itu hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah tidak cukup hanya berbekal pada doktrin hukum “fikih madzhab” yang merupakan produk nalar para imam madzhab sekitar tiga belas abad yang lalu, tetapi harus dibekali dengan undang-undang, mengapa? Kalau penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah hanya didasarkan pada madzhab fikih yang dianut oleh masing-masing hakim, itu sangat berbahaya karena akan menjurus pada suatu putusan yang berdisparitas tinggi dan tidak adanya kepastian hukum, karena masing-masing hakim akan berbeda madzhab, sehingga yang terjadi adalah pertarungan madzhab. Hal ini akan sangat merugikan para pihak pencari keadilan yang kebetulan madzhabnya juga berbeda. Putusan yang demikian bertentangan dengan azas legalitas (principle of legality). Oleh karena itu adanya undang-undang yang mengatur tentang ekonomi syari’ah menurut teori kontrak sosial adalah merupakan bagian dari upaya negara untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara pencari keadilan. Pada dasarnya pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam disamping kearifan lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Syari’at Islam meskipun dalam realitanya telah membumi dan menjiwai setiap aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), dan banyak dijadikan acuan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara, namun belum merupakan undang-undang negara. Oleh karena itu pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kegiatan di bidang ekonomi syari’ah merupakan suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam, khususnya dan bagi para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah pada umumnya. Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.
Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum adanya hukum subtansial dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama untuk lingkungan tertentu dan subyek hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan jika terhadap subyek hukum Islam-yang melakukan kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya wajar pula dalam hubungan keluarga terkadang hukum adat setempat lebih dominan. Prinsip unifikasi hukum memang harus jadi pedoman, namun sejauh unifikasi tidak mungkin, maka pluralitas hukum haruslah secara realitas diterima. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima sebagai bagian dari tatanan hukum nasional. 14 Untuk memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang yang tidak dapat diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan kewenangan yang ada padanya dapat mengakui atau mempertahankan Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 107. hukum yang hidup dalam masyarakat, sekalipun itu bukan produk hukum negara, seperti hukum adat yang merupakan warisan nenek moyang, hukum Islam yang bersumber dari ajaran agama dan hukum Barat yang merupakan peninggalan kolonialis.
Prinsip negara hukum sebagaimana pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh warga negara diberikan pelayanan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Namun, bukan berarti pelembagaan hukum Islam bertentangan dengan prinsip di atas sebab bunyi Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yakni: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan aktifitas keperdataan sesuai dengan konsep syari’at Islam sebagai keyakinan yang dianutnya.
Hadirnya hukum ekonomi syari’ah dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development (hukum sebagai sarana pembangunan), agent of modernization (hukum sebagai sarana modernisasi) dan hukum sebagai a tool of social engineering (sarana rekayasa sosial)22. Namun dengan bertambahnya kewenangan tersebut belum diimbangi dengan kesiapan sarana hukum sebagai rujukan hakim dalam memutus perkara. Oleh karena itu adanya produk legislasi yang mengatur tentang ekonomi syari’ah sudah sangat mendesak dan urgen yang pasti akan dirasakan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama.
Keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi syari’ah yang akan datang adalah untuk mengisi kekosongan hukum subtansial yang dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, mengingat masih tersebarnya hukum materiil Islam khususnya yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah di berbagai kitab fikih muamalah,25 sehingga gagasan legislasi fikih muamalah dapat dipandang sebagai upaya unifikasi madzab dalam hukum Islam.
Dengan demikian, kehadiran undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah akan datang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena kehadirannya di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, di sisi lain secara subtansial akan dijadikan sebagai landasan bagi hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya diperlukan intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan dengan ketertiban umum dalam pelaksanaannya.


BAB III
KESIMPULAN

Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan tersebut.
Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak yang melekat pada manusia karena ia adalah manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Negara pun tidak berhak merampas hak tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan beragama yang melekat dalam setiap individu tersebut dinyatakan dengan gamblang dalam deklarasi universal HAM Pasal 1 dan 18.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. TT. Tafsir al-Maraghi, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
Daud Ali Mohammad. 1999. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Fatah, Syekh Abdul. 1990. Tarikh al-Tasyri al-Islam. Kairo: Dar al-Ittihad al’Arabi.
Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Mansyur. 1991. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhara.
Ridla, Muhammad Rasyid. TT. Tafsir al-Manar, Juz I. Bairut: Dar al-Fikr.
Suepomo. 1977. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Yamanni, Ahmad Zaki. 1388 H. Islamic Law and Contemporary Issues. Jedd
Lanjuuut..
 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger