Headlines News :

Rabu, 18 Maret 2009

Abu Hanifa

Abu Hanifah dan Ijtihadnya
Ditulis Oleh Sahlul Khuluq, LC
Minggu, 17 Februari 2008
Pendahuluan
Fiqh merupakan produk hukum yang dihasilkan melalui metode ijtihad, pada masa Rasul SAW belum dimunculkan istilah Fiqh, Istilah fiqh mulai populer memasuki pertengahan abad pertama. Di mana era mulai berkembangnya ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.
Perkembangnya ilmu pengetahuan dalam Islam dipelopori oleh orang-orang negara Syam terutama kawasan Babilonia atau dikenal dengan Iraq. Oleh karena itu tidak mengherankan bila muncul tokoh-tokoh Islam di sana, di antara Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’Imam, Ibrahim al-Nakha’i, Imam Ghozali, Imam Haramain, Ibnu Rushd dan yang lainnya.
Dari sekian banyak tokoh Islam, Imam Abu Hanifah merupakan tokoh ulama’ dalam Islam fiqh yang mempunyai pengikut paling banyak sampai sekarang. Ia merupakan salah satu tokoh mujtahid yang mempunyai pemikiran yang maju. Sampai-sampai dikarenakan kemajuan dalam menggunakan akal pikiran, ia dikenal dengan tokoh dalam ilmu Fiqh yang rasional, dikarenakan ia sering menetapkan hukum dengan nalar atau qiyas. Pada dasrnya ia juga seperti Imam Syafi’i atau yang lainnya, di mana pijakan utama dalam menetapkan hukum menggunakan Alquran dan hadits. Akan tetapi kelebihan beliau adalah dalam menginterpretasikan nash-nash yang ada tidak hanya melihat dari satu aspek, akan tetapi tinjaaunnya dari beberapa aspek, inilah yang menjadikan mazhab Abu Hanifah lebih banyak diterima di berbagai dunia Islam.

Sosiohistoris Imam Abu Hanifah
Nama lengkap Abu Hanifah adalah Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit Ibn Zuta Al-Taimi. Lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ia berasal dari keturunan persi, lahir di kufah tahun 80 H/699 M dan wafat di baghdad tahun 150 H/767 M. ia menjalani hidup di dua lingkungan sosio-politik, yakni di masa akhir dinasti Umayyah dan masa awal dinasti Abbasiyah. Abu hanifah adalah pendiri mazhab Hanafiyah yang dikenal dengan Al-Imam al-Abu’dham, yang berarti Imam terbesar. Ia termasuk dalam golongan Tabi’ al-Tabi’in.
Imam Abu Hanifah banyak mendapat pujian dari beberapa tokoh ulama’, baik yang semasa dengan beliau maupun pada masa-masa sesudahnya, di antara ulama’ yang semasa dengan beliau adalah Muhammada Ibn Abdurrahman Ibn Abi Laila, Sufyan Ibn Sa’id al-Thauri dan Syarik Ibn Abdillah al-Nakho’i.
Sufyan al-Thauri berkata : Bahwa Imam Abu Hanifah merupakan orang yang paling alim di bidangi Fiqh di atas bumi ini, hal ini sama dengan apa yang disampaikan oleh Al-Nadhr Ibn Shamil. Abu Hanifah perna ditawari untuk menduduki jabatan sebagai Hakim atau Qadhi, akan tetapi ia menolaknya, sehingga ia dipukuli oleh penguasa setempat dan dipanggil oleh Khalifah Al-Mansur untuk datang ke baghdad .

Pola Pemikiran dan Metodologi Ijtihad Imam Abu Hanifah

Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18 tahun pada masa dinasti Abbasiya. Alih kekuasaan dari Umayyah yang runtuh kepada Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di Kufah sebagai Ibu kota Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah kedua Abbasiyyah, Abu Ja’far al-Manshur (754 – 775 M), sebagai ibu kota kerajaan tahun 762 M. Dari perjalanan hidupnya itu, Abu Hanifah sempat menyaksikan tragedi-tragedi besar di Kufah. Di satu segi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya, sehingga menjadi salah seorang ulama’ besar dan al-Imam al-A’zham. Di sisi lain, ia merasakan kota Kufah sebagai kota teror yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Bashrah dan kota Kufah di Iraq melahirkan banyak ilmuwan dalam berbagai bidang.

Abu Hanifah dikenal sebagai ulama’ Ahl al-Ra’yi. Dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diIstinbatkan dari Alquran ataupun hadits, beliau banyak menggunakan nalar. Ia mengutamakan Ra’yi dari pada hadits Ahad. Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan jalan Qiyas atau Istihsan.

Faktor-faktor Sosiologi Yang Mempengaruhi Abu Hanifah Dalam Menetapkan Hukum Islam.

Dalam menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai tempat tinggal Rasul SAW, yang banyak mengetahui hadits. Disamping itu, Kufah sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan Persia, kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya. Karena problema itu belum perna terjadi di zaman Nabi SAW, atau zaman Sahabat dan Tabi’in. maka dari itu, untuk menghadapinya memerlukan ijtihad atau Ra’yi .

Hal inilah penyebab perbedaan perkembangan pemikiran hukum di Kufah, Iraq dengan di Madinah, Hijaz. Ulama’ Madinah banyak memakai Sunnah dalam menyelesaikan problema-problema yang muncul dalam measyarakat. Sedangkan di Kufah, Sunnah hanya sedikit yang diketahui disamping banyak terjadi pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadits, dan karena itu maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual, beliau banyak menggunakan Ra’yi. Dalam membentuk mazhab Hanafiyah, Abu Hanifah banyak menggunakan ra’yu ( Rasional), karena itu mazhabnya terkenal dengan aliran ra’yu/Rasional. Dari. Faruq Abu Yazid mengatakan; Faktor yang melatar belakangi kecenderungan dan metode Abu Hanifah yaitu kota Kufah, di mana ia dilahirkan dan dibesarkan, yang merupakan masyarakat yang sudah mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqaha’ (para ahli Fiqh) daerah ini sering dihadapkan pada berbagai persoalan hidup berikut problematika yang berkembang. Untuk mengatasi persoalan tersebut mereka terpaksa memakai ijtihad dan akal. Hal ini berbeda dengan di Madinah, yang suasana kehidupannya sederhana, seperti masa Nabi SAW. Sehingga untuk mengatasi problema hidup cukup dengan Alquran, hadits, ijma’ para sahabat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad ‘Ali AL-Says, bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi pemikiran hukum bagi ulama’ Iraq yaitu :

Pertama, Pemikiran mereka dipengaruhi oleh guru mereka yang pertama, Abullah Ibn Mas’ud. Dimana ia termasuk pengikut Umar yang menggunakan dasar akal dalam menetapkan hukum Islam. Sehingga ia diikuti pula oleh tokoh-tokoh ulama’ Iraq yang menjadi muridnya misalnya, ‘Alqamah Al-Nakha’i, Ibrahim al-Nakha’i dan ulama’-ulama’ Baghdad yang lain

Kedua, Iraq merupakan wilayah berkembangnya golongan Syiah, tempatnya orang-orang Khawarij dan tempat berkembangnya fitnah dalam Islam, dimana banyak tersebar hadits-hadits palsu untuk mendukung kelompk masing-masing. Untuk itu dalam menerima hadits Rasul SAW para tokoh ulama’ di Iraq, termasuk Abu Hanifah, sangat selektif dalam menggunakan hadits sebagai dasar hukum, sehingga mau tidak mau dalam menetapkan hukum harus menggunakan nalar akar tidak terjebak dalam hadits yang palsu.

Ketiga, Berkembangnya problematika dalam masyarakat yang menuntut penyelesaian secara hukum Islam, hal ini berbeda dengan wilayah Hijaz yang perkembangan masyarakatnya tidak secepat di Iraq. Para ahli hukum di Kufah, Iraq merumuskan ketentuan hukum mmereka dari pendapat dan pertimbangan sahabat, seperti; Ali, Abullah Ibn Mas’ud dan para Tabi’in seperti; ‘Alqamah, al-Aswad, Ibrahim al-Nakha’i dan yang lainnya. Pemikiran para pakar hukum di Iraq ini diwarisi oleh Abu Hanifah dengan mempelajari preseden (ketentuan hukum yang terdahulu) dari mereka dan melakukan perbincangan dengan pakar-pakar hukum sezamannya dalam mengambil keputusan-keputusan. Kemudian ia melakukan ijtihad dengan tetap memelihara semangat dan praktek yang berlaku di Kufah ketika itu. Metode Abu Hanifah pengaruhnya tersebar luas dan menjadi simbol kristalisasi dalam tradisi Iraq.

Melihat perkemabangan sejarah yang terus bergulir dan berputar, zaman terus berubah dan masyarakatpun mengalami perubahan, maka sejak awal tokoh-tokoh mazhab sudah melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ketika itu. Abu Hanifah menolak sebagian hadits yang diragukan kesahihannya dan hanya bertumpuh pada Alquran. Melalui qiyas ia berusaha agar ayat-ayat Alquran dapat disesuaikan pada tiap ragam kondisi. Mazhab Hanafi menggambarkan upaya penyesuaian hukum Islam (Fiqh) dengan kebutuhan masyarakat di segala bidang. Karena mazhab Hanafi ini berdasarkan pada Alquran,Hadits, Ijma’, Qiyas dan Istihsan, maka bidang-bidang ijtihad menjadi luas, sehingga suatu ketentuan hukum-hukum dapat ditetapkan sesuai dengan keadaan masyarakat tanpa keluar dari prinsip-prinsip dan aturan pokok Islam.
Menururt Shubhi Mahmasani, pengetahuan Abu Hanifah yang mendalam di bidang ilmu hukum (Fiqh) dan profesinya sebagai saudagar, memberi peluang baginya untuk memperlihatkan hubungan-hubungan hukum secara praktis.
Kedua faktor inilah yang menyebabkan keahliannya sangat luas dalam menguasai pendapat dan logika dalam menetapkan hukum syari’at dengan qiyas dan istihsan. Karena itulah mazhab hanafi terkenal dengan sebutan mazhab Ra’yi .

Hukum-hukum Ijtihad Abu Hanifah

Abu Hanifah merupakan tokoh ulama’ yang dikenal sangat cerdas dan ber-IQ tinggi, oleh sebab itu dalam menetapkan hukum, beliau dikenal orang yang sangat kuat Hujjahnya, namun demikian banyak kritikan yang ditujukan kepadanya. Di antaranya yang disampaikan oleh orang-oorang pengikut faham Zhahiriyah, mereka mengklaim, bahwa Abu Hanifah seorang pengikut filsafat Persia, sehingga pemikiran-pemikiran hukum beliau banyak yang hanya melalui pendekatan nalar. Hal ini ditolak oleh mereka, karena dalam syari’at tidak diperkenan menetapkan hukum dengan rasional atau penta’wilan. Pada dasarnya orang Zhahiriyyah tidak setuju dengan adanya penetapan hukum dengan pendekatan analog (Qiyas).

Selain pertentangan di atas, ada beberapa hal, dimana Abu Hanifah berseberangan dengan para ulama’ yang lain. Misalnya, menurut Abu Hanifah, hadits Ahad tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Hal ini berbeda dengan mayoritas ulama’ lain yang mengatakan, bahwa hadits ini bisa bisa dijadikan hujjah selain urusan Aqidah . Akan tetapi hal ini bisa dibenarkan, karena tujuan Imam Abu Hanifah adalah untuk berhati-hati dalam menetapkan hukum.

Selain kasus di atas, Abu Hanifah terkadang tidak memakai qiyas atau Athar karena adanya Dharurah, hal ini yang disebut dengan Istihsan, berbeda dengan tiga tokoh Mujtahid selain Abu Hanifah yang menolak metode pendekatan Istihsan dalam penggalian hukum. .Pendapat Abu Hanifah yang juga kontradiktif adalah, bahwa lafaz yang Am dilalahnya Qoti (pasti), berbeda dengan ulama’ yang lain, bahwa lafaz yang Am dilalahnya dhanni .

Di antara cotoh ijtihad beliau tentang hukum adalah, bahwa zakat bisa dibayarkan dengan uang, hal ini berbeda dengan madzhab ulama’ fiqh yang lain yang mengatakan bahwa zakat harus dibayar sesuai dengan jenis barang kewajiban yang harus dibayarkan, Abu Hanifah memunyai dasar alasan yang rasional, bahwa seseorang itu lebih membutuhkan uang dari pada beras contohnya. Pendapat ini bisa dimaklumi bila melihat dari sisi sosial kehidupan Imam Abu Hanifah, karena beliau berada di tengah-tengah lingkunagn yang sudah maju yakni kota Baghdad, dimana kehidupan di kota lebih memberikan dampak positif dalam membeerikan uang dari pada besar, berbeda dengan tiga tokoh yang lain, mereka berada dalam wilayah yang masih bisa dikatakan tidak maju dibanding dengan kkota Baghdad.

Penutup

Sebagai penutup, kami melihat bahwa Abu Hanifah merupakan sosok tokoh cendekiawan yang mempunyai pemikiran maju dan sempurna yang tidak banyak dimiliki oleh tokoh lain. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hasil pemikiran beliau tentang hukum yang luwes dan mempunyai argumen yang kuat terutama dalam Hujjah ‘Aqliyah. Walau ada orang yang menuduh bahwa Abu Hanifah tidak mengetahui banyak akan hadits. Padahal pada dasarnya, beliau tidak banyak menggunakan dalil hadits dikarekan beliau sangat hati-hati sekali dalam menerima dan menggunakan hadits sebagai hujjah, disebabkan banyak orang yang memalsukan hadits demi kepentingan-kepentingan terntentu.
Bukti faktual yang menunjukkan akan keluwesan beliau adalah beliau adalah ulama’ mazhab yang peling banyak pengikutnya yang tersebar di beberapa dunia Islam, khususnya umat Islam yang beraliran sunni, seperti di Iraq, Turki, Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syiria, Asia tengah, Mesir, dan Libanon.

Di samping kecendikiawannya, beliau termasuk dikenal orang yang zuhud (menjauhkan diri dari keduniaan), salah satu contoh, beliau perna berpesan kepada pembantunya dalam berjual beli agar ia menjelaskan salah cacat yang ada pada sepotong kain yang dijual, lalu pembantunya lupa menerangkan. Setelah Abu Hanifah mengerti akan hal itu, ia menyedekahkan semua hasil uang yang ia dapat dari berniaga sa’at itu.


Daftar Pustaka

1. Huzaemah Tahida Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta ; Logos, 1997)
2. Awdh Ahmad Idris, Al-Wajiz fi Usul ( Beiru; Dar wa Maktabah l-Hilal, 1992 )
3. Huzaemah Tahida Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta ; ogos, 1997)
4. ahmad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islami (Egypt; Dar al-Fikr l-‘Arabi, tt)
5. Sauqi Abduh al-Sahi, Almadkhal Li Dir]sah al-Fiqh al-Islami ( Egypt; aktabah al-Nadwah al-Misriyah, 1989)
6. Ahmad Shalabi. DR, Tarikh al-Tashri’ al-Islami (beirut; Dar l-Fikr, 1999)
7. Ahmad ‘Ali Toha Rayyan. Prof. DR, Mudzakarat Fi Tarikh al-Tashri’ l-Islami, (tt,tt,tth)
8. Bojina Ghiana, Fi Tarikh al-Tashri’ al-Islami ( Beirut; Dar al-Afaq l-Jadidah, 1980 )
9. Wahbah Zuhaili. Prof. DR, Al-Wasit Fi Usal al-Fiqh al-Islami damaskus; Dar al-Kitab, 1978)
10. Ahmad Ibrahim Bik, Tarikh al-Tashri’ al-Islami (Egypt; Dar l-Ansar, 1939)
11. Al-Sarakhsyi, Usul al-Fiqh al-Islami (Beirut; Dar al-Kutub l-Ilmiyah, 1993)
12. Al-Shatibi, Al-Muwafaqat, ( Beirut; Dar al-Fikr, 1999)
13. Faruq Abu Yazid, Hukum Islam antara Tradisionalis dan modernis Jakartta; P3masa, 1986)
14. Muhammad ‘Ali AL-Says, Tarikh al-Tashri’ al-Islami (Beirut; Dar l-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990)


KONSEP-KONSEP ISTIHSAN, ISTISHLAH DAN MASHLAHAT AL-AMMAH

Oleh KH Ali Yafie http.media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Istihsan.html
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara
wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya
ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak
ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah
(al-kitab wa sunnah). Dengan demikian, sumber hukum Islam
terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari
sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya
sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu:
syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi
(qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan,
Istishlah dan Istishhab.

ISTIHSAN

Pada saat-saat awal terbentuknya pemikiran hukum Islam yang
metodis (ilmu fiqh), dikenal adanya dua kubu pengembangan
pemikiran hukum Islam; yaitu kubu Irak dan kubu Hijaz. Tokoh
utama kubu Irak ialah Imam Abu Hanifah, dan tokoh utama kubu
Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para ulama pendukung kubu
Irak dikenal sebagai ahl al-ra'y, dan para ulama pendukung
kubu Hijaz dikenal sebagai ahl al-hadits.

Ahl al-ra'y sesuai dengan situasi lingkungannya, dalam
pengembangan pemikiran hukumnya (metoda ijtihadnya) volume
penggunaan rasio lebih besar dari volume penggunaan hadist
(sebagai salah satu sumber syari'ah). Ini tidak berarti,
mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau sama sekali
tidak menggunakan sumber hukum itu. Tapi penggunaannya sangat
terbatas.

Di pihak lain kita dapat mengamati, ahl al-hadits sesuai
dengan situasi lingkungannya, mereka dalam pengembangan
pemikiran hukum (metode ijtihadnya) volume penggunaan sumber
hukum hadits lebih besar dari volume penggunaan sumber rasio
(dalam hal ini qias). Ini tidak berarti mereka menolak
penggunaan sumber rasio itu. Kedua kubu tersebut mengakui
keabsahan sumber hukum qias.

Ahl al-ra'y yang volume penggunaan rasionya lebih besar,
ternyata tidak saja menggunakan qias yang merupakan bentuk
penggunaan rasio dengan cara analogis ilmiah ketat, tapi
mereka juga menggunakan analogi yang longgar dan lebih luas.
Dalam hubungan inilah lahir konsep Istihsan.

Istilah "Istihsan" sebagai technische-term banyak beredar di
kalangan tokoh-tokoh (ulama) dari aliran pemikiran hukum
(mazhab) Hanafiyah. Mereka menggunakannya secara tersendiri
atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka
sering mengatakan, hukum dalam masalah ini bersumber dari
Istihsan.

Dengan kata lain mereka mengatakan, dalam masalah ini, menurut
qias hukumnya begini, dan menurut Istihsan hukumnya begini.
Kita menggunakan qias dalam masalah ini, atau kita menggunakan
istihsan dalam masalah ini. Sepanjang penelitian guru besar
ilmu-ilmu Syari'ah pada Fakultas Hukum Universitas Kairo,
Syekh Muhammad Zakariya al-Bardisi, mereka yang menggunakan
Istihsan sebagai sumber hukum tidak mempunyai kesepakatan atas
suatu definisi tentang Istihsan itu, bahkan kita menemukan
dari mereka beberapa definisi yang kontradiktif, di antaranya
adalah:

Istihsan itu, ialah peralihan dari hasil sesuatu qias kepada
qias yang lain yang lebih kuat. Menurut al-Bardisi definisi
ini tidak mencakup (ghair jami'), karena tidak dapat menampung
Istihsan yang ditegakkan di luar landasan qias, seperti
Istihsan yang ditegakkan di atas landasan nas, atau ijma' atau
dharurah.

Definisi yang lain, menyebutkan Istihsan itu suatu qias yang
lebih dalam (khafi), tidak segera dapat ditangkap,
dibandingkan dengan qias yang jelas (jali). Definisi ini
menurutnya, bukan saja tidak mencakup, tapi apa yang dia
maksud dengan qias di sini tidak begitu jelas, apakah itu qias
dalam arti technische-term, atau dalam arti yang mencakup qias
yang lebih luas yang dikaitkan dengan suatu ketentuan umum
atau suatu kaidah-kaidah hukum yang baku.

Sebagian lagi memberikan definisi, istihsan itu ialah semua
ketentuan syar'i (baik yang bersifat nash, atau ijma', atau
dharurah, atau qias yang lebih dalam) dibandingkan dengan qias
yang jelas. Definisi ini pun belum mencakup, karena ada juga
istihsan yang ditegakkan atas landasan 'urf atau mashlahah

Secara harfiah Istihsan itu berarti menganggap baik akan
sesuatu baik itu fisik maupun nilai. Kata ini kemudian
digunakan sebagai suatu technische-term yang membentuk
pengertian baru menggambarkan suatu konsep penalaran dalam
rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan
menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum
dari sumber syari'ah yang tersurat, atau sumber hukum yang
dipersamakan dengan itu, yakni kesepakatan para ahli yang
berwenang (ahl al-ijtihad) di kalangan umat Islam.

Dalam analogi qias, dibutuhkan adanya suatu ketentuan pokok
yang bersifat terinci (tafshili) untuk dijadikan landasan
mengaitkan sesuatu yang ada persamaannya, dalam hal tujuan dan
sasaran ditetapkannya ketentuan tersebut. Dalam bahasa
tekniknya harus ada ashl dan harus ada 'illah, untuk
menghasilkan suatu hukum bagi kejadian baru.

Dari uraian ini dapat ditangkap, ada empat elemen dari analogi
qias itu, yakni ketentuan pokok (ashl), landasan penyamaan
('illah), kejadian baru (far), ketentuan yang dihasilkan dari
pengaitan (ilhaq) tersebut di atas dan inilah yang disebut
hukum qias. Sebagian ahl al-ijtihad menganggap qias ini
merupakan upaya final dalam penggalian dan penemuan
hukum-hukum dari sumber syari'ah atau sumber yang dipersamakan
(ijma'), tapi sebagian yang lain beranggapan, masih ada upaya
penalaran yang lain seperti Istihsan dan istislah dan
seterusnya.

Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi qias
karena dimungkinkan adanya qias alternatif (qias kahfi) yang
terlepas dari elemen 'illah (dalam analogi qias biasa), atas
pertimbangan sesuatu alasan yang lebih kuat. Alasan itulah
menjadikan qias jali (biasa) dialihkan kepada qias khafi
(alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan. Termasuk pula
dalam kategori Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari
suatu ketentuan pokok yang bersifat umum, atau dari suatu
kaidah hukum, karena pengecualian itu didukung oleh suatu
nash, atau ijma', atau 'urf atau dharurah, atau mashlahah.
Dengan kata lain pertimbangan adanya ketentuan lain atau
kesepakatan, atau kebiasaan, atau keadaan darurat atau suatu
kepentingan nyata, semua itu merupakan elemen-elemen dalam
hukum Istihsan.

Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, Istihsan ini
ditempatkan sebagai sumber hukum sekunder, di kalangan
penganut aliran pemikiran hukum (madzhab) Hanafiyah. Kemudian
berkembang pula secara terbatas dalam aliran Malikiyah dan
Hambaliyah, sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda.
Yang dicatat sebagai seorang tokoh yang menolak menempatkan
Istihsan itu sebagai suatu sumber hukum sekunder, adalah Imam
Syafi'i, karena beliau berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi
atas ketentuan-ketentuan syari'ah (al-Qur'an dan Sunnah)
ditambah dengan analogi qias, sudah cukup, untuk menampung
segala perkembangan yang terjadi, yang perlu ditata dalam
hukum Islam.

ISTISHLAH

Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam
yang menjadikan mashlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang
sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu sumber hukum
sekunder. Karenanya juga konsep ini lebih dikenal dengan
sebutan, al-mashlah al-mursalah atau al-mashalih al-mursalah.
Konsep penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran
pemikiran hukum Islam (madzhab) Malikiyah. Tapi dapat kita
catat, pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan
oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di kalangan sahabat dan
tabi'in. Dan ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam
al-Ghazali dari aliran Syafi'iyah dengan beberapa
penyempurnaan. Tapi perlu dicatat, konsep ini ditolak oleh
aliran Zhahiriyyah dan Syi'ah.

Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini ialah, kenyataan
bahwa, syari'ah Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya
mengarah kepada terwujudnya mashlahah (apa yang menjadi
kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya
di permukaan bumi). Maka tidak dituntut untuk dilakukan
manusia untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak dicegah
melakukan sesuatu, kecuali hal-hal yang pada galibnya
membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan
mashlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak) adalah
sesuatu yang sangat nyata dibutuhkan setiap orang dan jelas
dalam syari'ah yang diturunkan Allah kepada semua rasul-Nya.
Dan itulah sasaran utama dari hukum Islam.

Dalam kajian para ahl-ijtihad ada tiga jenis mashlahah, yaitu:

1.Mashlahah yang diakui ajaran syari'ah, yang terdiri dari
tiga tingkat kebutuhan manusia, yaitu:

1.1.Dharuriyyah (bersifat mutlak) karena menyangkut
komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni
hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga
dan kehormatannya) akal pikirannya, harta bendanya,
nasab keturunannya dan kepercayaan keagamaannya. Kelima
tersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau
al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar mashlahah
(kepentingan dan kebutuhan manusia).

1.2.Hajiyyah (kebutuhan pokok) untuk menghindarkan
kesulitan dan kemelaratan dalam kehidupannya.

1.3.Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka
memelihara sopan santun dan tata krama dalam kehidupan.

2.Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari'ah, yaitu
kepentingan yang bertentangan dengan maslahah yang diakui
terutama pada tingkat pertama.

3.Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua.

Penempatan masalah ini sebagai suatu sumber hukum sekunder,
menjadikan hukum Islam itu luwes dan dapat diterapkan pada
setiap kurun waktu di segala lingkungan sosial. Namun perlu
dicatat ruang lingkup penerapan hukum mashlahah ini adalah
bidang mu'amalat, dan tidak menjangkau bidang ibadat, karena
ibadat itu adalah hak prerogatif Allah sendiri.

Para ahli yang mendukung konsep penalaran ini mencatat tiga
persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,

1. Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan
atau rekaan, bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat atau
mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau kemelaratan).

2. Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau
segolongan kecil masyarakat, tapi harus bersifat umum dan
menjadi kebutuhan umum.

3. Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada
terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan oleh nash
syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma').

AL-MASHLAHAH AL-'AMMAH

Hukum Islam mengenal mashlahah 'ainiyah (kepentingan perorang)
dari setiap manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan
kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang
digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-kulliyyat
al-khams. Hal-hal ini terkait dengan taklif yang berbentuk
fardhu 'ain. Seperti misalnya yang menyangkut mashlahah harta
benda/kepentingan seorang manusia memiliki harta benda (untuk
makan, pakaian dan tempat tinggalnya) hal ini bersangkutan
dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam tuntunan Rasulullah
saw (thalab-u 'l-halal faridhatun 'ala kulli muslim) yaitu
kewajiban bekerja mencari rizki memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Seterusnya yang menyangkut mashlahah akal
pikiran, bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam
hadits lain yang berbunyi (thalb-u 'l-'ilmi faridhatun 'ala
kulli muslim). Begitu seterusnya menyangkut tiap mashlahah
yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan keterkaitannya
dengan kewajiban perorangan sebagai imbalan adanya pengakuan
atas mashlahah dharuriyyah yang menimbulkan hak-hak mutlak
perorangan bagi setiap manusia.

Di samping mashlahah tersebut di atas, hukum Islam juga
mengenal mashlahah 'ammah yang menjadi kepentingan bersama
masyarakat atau kepentingan umum (algemeen blang). Ini
menyangkut hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.

Imam Rafi'i menjelaskan,fardhu kifayah itu adalah urusan umum
yang menyangkut kepentingan-kepentingan (mashalih) tegaknya
urusan agama dan dunia dalam kehidupan kita, di antaranya
adalah mencegah kemelaratan orang banyak (kaum Muslim),
menciptakan lapangan kerja untuk mewujudkan mata pencaharian
bagi anggota-anggota masyarakat, menegakkan kontrol sosial
melalui amar ma'ruf nahi mungkar, mencerdaskan kehidupan
masyarakat melalui pendidikan, bimbingan keagamaan (fatwa) dan
penyebaran buku-buku.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Imam al-Ghazali, Al-Mustashfa.

2. Imam al-Syathibi, Al-Muwafaqat.

3. Imam al Syafi'i, Al-Umm.

4. Imam Suyuthi, Al-Asybah wa 'l-Nazhair:

5. Al-Mahmashani, Hikmatuttasyri'wa Falsafatih.

6. M. Sallam Madkur, Madkhal al-Fiqh al-Islami.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman

SEJARAH PEMBENTUKAN MADZHAB

Kelima Madzhab yang akan kita bicarakan -Ja'fari, Maliki,
Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali-- tumbuh pada zaman kekuasaan
dinasti Abbasiyah. Pada zaman sebelum itu, bila orang
berbicara tentang madzhab, maka yang dimaksud adalah madzhab
di kalangan sahabat Nabi: Madzhab Umar, Aisyah, Ibn Umar, Ibn
Abbas, Ali dan sebagainya. Para sahabat dapat dikelompokkan
dalam dua besar. Yaitu ahl al-Bayt dan para pengikutnya, juga
para sahabat di luar ahl al-Bayt. Ali dan kedua puteranya, Abu
Dzarr, Miqdad, 'Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abu Rafi Mawla
Rasulullah, Ummi Salamah, dan sebagainya, masuk kelompok
pertama. Sedangkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Abu
Hurairah dan lain-lain masuk kelompok kedua.

Murtadha al-'Askary menyebut dua madzhab awal ini sebagai
Madrasah al-Khulafa dan Madrasah Ahl al-Bayt. Kedua madrasah
ini berbeda dalam menafsirkan al-Qur'an, memandang sunnah
Rasulullah, dan melakukan istinbath hukum. Pada zaman
kekuasaan dinasti Umawiyyah, madrasah al-Khulafa bercabang
lagi ke dalam dua cabang besar: Madrasah al-Hadits dan
Madrasah al-Ra'y. Yang pertama, berpusat di Madinah,
melandaskan fiqhnya pada al-Qur'an, al-Sunnah dan Ijtihad para
sahabat, dan sedapat mungkin menghindari ra'yu dalam
menetapkan hukum. Yang kedua, berpusat di Iraq, sedikit
menggunakan hadits dan lebih banyak berpijak pada penalaran
rasional dengan melihat sebab hukum (illat) dan tujuan syara'
(maqashid syar'iyyah).

Sementara itu, Madrasah ahl al-Bayt tumbuh "di bawah tanah"
mengikuti para imam mereka. Karena tekanan dan penindasan,
mereka mengembangkan esoterisme dan disimulasi untuk
memelihara fiqh mereka. Ibn Qutaybah dalam Kitab al-Ikhtilaf
menceritakan bagaimana raja-raja Umawiyyat berusaha
menghapuskan tradisi ahl al-Bayt dengan mengutuk Ali bin Abi
Thalib di mimbar-mimbar, membunuh para pengikut setianya, dan
mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ahl al-Bayt. Tidak
jarang sunnah Rasulullah yang sahih ditinggalkan karena sunnah
itu dipertahankan dengan teguh oleh para pengikut ahl al-Bayt.

Ibn Taymiyyah menulis perihal tasyabbuh dengan syiah: "Dari
sinilah para fuqaha berpendapat untuk meninggalkan
al-mustahabbat (yang sunat) bila sudah menjadi syiar
orang-orang Syi'ah. Karena walaupun meninggalkannya tidak
wajib menampakkannya berarti menyerupai (tasyabbuh) mereka,
sehingga sunni tidak berbeda dengan syi'ah. Kemaslahatan
berbeda dengan mereka dalam rangka menjauhi dan menentang
mereka lebih besar dari kemaslahatan mengamalkan yang musthab
itu." Salah satu contoh sunnah yang dijauhi orang adalah
tasthih seperti diceritakan oleh Muhamamd bin 'Abd al-Rahma
yang berkata: "Yang sunnah dalam membuat kubur adalah
meratakan permukaan kubur (tasthith). Inilah yang paling kuat
menurut madzhab Syaf'i. "Tapi Abu Hanifah dan Ahmad berkata:
"Menaikkan permukaan kubur (tasnim) lebih baik, karena tasthih
sudah menjadi syi'ar sy'iah."

IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (4/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh Jalaluddin Rakhmat

Pada periode Umawiyyah, madrasah-madrasah itu tidak melahirkan
pemikiran-pemikiran madzhab. Dr. Muhammad Farouq al-Nabhan
menjelaskan sebab-sebab berikut: a) Hubungan yang buruk antara
ulama dan khulafa. Banyak tokoh sahabat dan tabi'in yang
menganggap daulat Umawiyyah ditegakkan di atas dasar yang
batil. Para khalifah banyak melakukan hal-hal yang melanggar
sunnah Rasulullah saw b) Terputusnya hubungan antara pusat
khilafah dengan pusat ilmiah. Waktu itu, pusat pemerintahan
berada di Syam, sedangkan pusat-pusat ilmiah berada di Iraq
dan Hijaz; c) Politik diskriminasi yang mengistimewakan orang
Arab di atas orang bukan Arab. Dinasti Umawiyah memisahkan
Arab dan mawali. Kebijakan ini menyebabkan timbulnya rasa
tidak senang pada para mawali - yang justru lebih banyak pada
daerah kekuasaan Islam. Banyak di antara mereka adalah para
sarjana dalam berbagai disiplin ilmu.

Karena itu pada permulaan pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah
disambut dengan penuh antusias baik oleh mawali maupun
pengikut ahl al-Bayt. Di antara mawali itu adalah Abu Hanafi
dan di antara imam ahl al-Bayt adalah Ja'far bin Muhammad.
Keduanya mengembangkan ajaran mereka pada zaman Abbasiyah.

IMAM-IMAM MADZHAB YANG TERLUPAKAN

Sudah disebutkan di muka, bahwa madzhab-madzhab besar yang
kita kenal sekarang --kecuali mazhab Ja'fari-- membesar karena
dukungan penguasa. Madzhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu
Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam
pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: al-Mahdi, al-Hadi, dan
al-Rasyid. Al-Kharaj adalah Kitab yang disusun atas permintaan
al-Rasyid. Kitab ini adalah rujukan utama madzhab Hanafi.

Madzhab Maliki berkembang di khilafah Timur atas dukungan
al-Manshur dan di khilafah Barat atas dukungan Yahya bin Yahya
ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di
Afrika, al-Mu'iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk
mengikuti madzhab Maliki. Madzhab Syafi'i membesar di Mesir
ketika Shalahuddin al-Ayyubi merebut negeri itu. Madzhab
Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan al-Mutawakkil.
Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali
dengan persetujuan Imam Ahmad ibn Hanbal.

Dalam menyimpulkan semua ini, Syah Wali al-Dahlawi menulis:
"Bila pengikut suatu madzhab menjadi masyhur dan diberi
wewenang untuk menetapkan keputusan hukum dan memberikan
fatwa, dan tulisan mereka terkenal di masyarakat, lalu orang
mempelajari madzhab itu terang-terangan. Dengan begitu,
tersebarlah madzhabnya di seluruh penjuru bumi. Bila para
pengikut madzhab itu lemah dan tidak memperoleh posisi sebagai
hakim dan tidak berwewenang memberi fatwa, maka orang tak
ingin mempelajari madzhabnya. Lalu madzhab itu pun hilang
setelah beberapa lama."

Beberapa madzhab yang hilang itu secara singkat diuraikan
sebagai berikut:

1. Madzhab al-Tsawri. Tokoh madzhab ini adalah Abu Abd
Allah Sufyan bin Masruq al-Tsawry. Lahir di Kufah tahun
65 H dan wafat di Bashrah tahun 161 H. Imam Ahmad
menyebutnya sebagai seorang faqih, ketika Ahmad menyebut
dirinya hanya sebagai ahli hadits. Ia berguru pada
Ja'far al-Shadiq dan meriwayatkan banyak hadits. Ayahnya
termasuk perawi hadits yang ditsiqatkan Ibn Ma'in.
Berkali-kali al-Manshur mau membunuhnya, tetapi ia
berhasil lolos. Ketika ia diminta menjadi qadhi, ia
melarikan diri dan meninggal di tempat pelarian.
Pahamnya diikuti orang sampai abad IV Hijrah;

2. Madzhab Ibn 'Uyaiynah. Nama lengkapnya Abu Muhammad
Sufyan ibn 'Uyaiynah wafat tahun 198 H. Ia mengambil
ilmu dari Imam Ja'far, al-Zuhry, Ibn Dinar, Abu Ishaq
dan lain-lain. Di antara yang mengambil riwayat dari
padanya adalah Syafi'i. Ia memberi komentar: "Seandainya
tidak ada Malik dan Ibn 'Uyaiynah, hilanglah ilmu Hijaz.
Madzhabnya diamalkan orang sampai abad IV, tetapi
setelah itu hilang karena tidak ada dukungan penguasa.

3. Madzhab al-Awza'iy. Pendirinya Abd al-Rahman bin Amr
al-Awza'iy adalah imam penduduk Syam. Ia sangat dekat
dengan Bani Umayyah dan juga Bani Abbas. Madzhabnya
tersisihkan hanya ketika Muhammad bin Utsman dijadikan
qadhi di Damaskus dan memutuskan hukum menurut Madzhab
Syafi'i Ketika Malik ditanya tentang siapa di antara
yang empat (Abu Hanifah, al-Awza'iy, Malik dan
al-Tsawry) yang paling benar? Malik berkata:
"Al-Awza'iy." Mazhabnya diamalkan orang sampai tahun 302
H;

4. Madzhab al-Thabary. Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir ibn
Yazid ibn Khalid ibn Ghalib al-Thabary lahir di
Thabaristan 224 H dan wafat di Baghdad 310 H. Ia
termasuk mujtahid ahl al sunnah yang tidak bertaklid
kepada siapa pun. Kata Ibn Khuzaymah: Ia hafal dan paham
al-Qur'an; mengetahui betul makna al-Qur'an. Ia faqih,
mengetahui sunnah dan jalan-jalannya; dapat membedakan
yang sahih dan yang lemah, yang nasikh dan yang mansukh
dan paham akan pendapat para sahabat. Tidak diketahui
sampai kapan madzhabnya diikuti orang.

5. Madzhab al-Zhahiry. Abu Sulayman Dawud ibn 'Ali
dilahirkan di Kufah tahun 202 H dan hidup di Baghdad
sampai tahun 270 H. Madzhabnya berkembang sampai abad
VII. Salah seorang muridnya yang masyhur adalah Ibn
Hazm. Ia diberi gelar al-Zhahiry karena berpegang secara
harfiah pada teks-teks nash. Ia berkembang di daerah
Maroko, ketika Ya'qub ibn Yusuf ibn Abd al-Mu'min
meninggalkan mazhab Maliki dan mengumumkan
perpindahannya ke madzhab al-Zhahiry.

Inilah sebagian di antara tokoh-tokoh madzhab yang tidak lagi
dianut secara resmi sekarang ini. Berikut adalah para pemuka
madzhab yang terkenal. Karena riwayat hidup mereka sudah
disebutkan di atas --kecuali Imam Ja'far-- di sini hanya
disebutkan beberapa catatan kecil saja. Pokok-pokok pikirannya
dalam fiqh akan kita perkenalkan secara singkat.

IMAM JA'FAR IBN MUHAMMAD AL-SHIDIQ (82-140 H)

Ja'far ibn Muhammad ibn Ali ibn Husain (ibn Ali) ibn Fathimah
binti Rasulullah saw lahir di Madinah tahun 82 H pada masa
pemerintah Abd al-Malik ibn Marwan. Selama lima belas tahun ia
tinggal bersama kakeknya, Ali Zainal Abidin keturunan Rasul
yang selamat dari pembantaian di Karbela. Setelah Ali wafat,
ia diasuh oleh ayahnya Muhammad al-Baqir dan hidup bersama
selama sembilan belas tahun.

Ia sempat menyaksikan kekejaman al-Hajjaj, pemberontakan Zaid
ibn Ali, dan penindasan terhadap para pengikut madrasah ahl
al-Bayt. Ia juga menyaksikan naiknya al-Saffah dan al-Manshur
dengan memanipulasikan kecintaan orang pada ahl al-Bayt. Ia
juga menyaksikan bahwa para khalifah Abbasiyah tidak lebih
baik dari para khalifah Umawiyah dalam kebenciannya kepada
keluarga Rasul. Abu Zahrah menulis:

Dinasti 'Abbasiyah selalu merasa terancam dalam
kekuasaannya oleh para pengikut Ali. Kaum 'Alawi
menunjukkan nasab seperti mereka dan memiliki kekerabatan
dengan Rasulullah yang tidak dimililki 'Abbasiy.
Orang-orang yang menentang mereka semuanya berasal dari
'Alawiyyin. Mereka selalu cemas menghadapi mereka. Karena
itu, bila para penguasa 'Abbasiyah melihat ada dakwah
'Alawi, mereka segera menghukumnya. Bila mereka melihat
ada pejabat yang memuji Bani 'Ali, mereka segera
mengucilkannya atau membunuhnya. Mereka tak perduli
membunuh orang tak berdosa karena dianggap mengancam
pemerintahannya.

Dalam suasana seperti itulah, Imam Ja'far memusatkan
perhatiannya pada penyebaran sunnah Rasulullah dan peningkatan
ilmu dan akhlak kaum Muslim. Di antara murid-muridnya adalah
Imam Malik, al-Tsawry, Ibn 'Uyaiynah, Abu Hanifah, Syu'bah ibn
al-Hajjaj, Fadhail ibn Iyadh, dan ribuan para perawi.

Untuk mengetahui pemikiran Imam Ja'far dalam hal fiqh, kita
tuliskan percakapannya dengan muridnya selama dua tahun
seperti diceritakan Abu Nu'aim:

Abu Hanifah, Ibn Syabramah, dan Ibn Abi Layla menghadap
Imam Ja'far. Ia menanyakan Ibn Abi Layla tentang kawannya,
yang kemudian dijawab Ia orang pintar dan mengetahui
agama. "Bukankah ia suka melakukan qiyas dalam urusan
agama?," tanya Ja'far. "Benar."

Ja'far bertanya kepada Abu Hanffah: "Siapa namamu?"
"Nu'man."

"Aku tidak melihat Anda menguasai sedikit pun." kata
Ja'far sambil mengajukan berbagai pertanyaan yang tidak
bisa dijawab Abu

"Hai Nu'man, ayahku memberitahukan kepadaku dari kakekku
bahwa Nabi saw bersabda: Orang yang pertama menggunakan
qiyas dalam agama adalah iblis. Karena ketika Allah
menyuruhnya bersujud kepada Adam ia berdalih: Aku lebih
baik dari dia karena aku Kau buat dari api dan ia Kau buat
dari tanah. Barang siapa yang menggiyas dalam agama, Allah
akan menyertakannya bersama iblis, karena ia mengikutinya
dengan qiyas.

Manakah yang lebih besar dosanya - membunuh atau berzinah?
"Membunuh."

"Lalu, mengapa Allah hanya menuntut dua orang saksi untuk
pembunuhan dan empat orang saksi untuk zinah."

"Mana yang lebih besar kewajibannya - shalat atau shawm
(puasa)?"

"Shalat"

"Mengapa wanita yang haidh harus mengqadha shawmnya tetapi
tidak harus mengqadha shalatnya. Bagaimana kamu
menggunakan qiyasmu. Bertaqwalah kepada Allah dan jangan
melakukan qiyas dalam agama."

Dari percakapan di atas kita melihat perbedaan pendekatan
hukum di antara dua pemuka madzhab. Di antara karakteristik
khas dari madzhab Ja'fari, selain menolak qiyas adalah hal-hal
berikut: a) Sumber-sumber syar'iy adalah al-Qur'an, al-Sunnah
dan akal. Termasuk ke dalam sunnah adalah sunnah ahl al-Bayt:
yakni para imam yang ma'shum. Mereka tidak mau menjadikan
hujjah hadits-hadits yang diriwayatkan para sahabat yang
memusuhi ahl al-Bayt; b) Istihsan tidak boleh dipergunakan.
Qiyas hanya dipergunakan bila 'illat-nya manshush (terdapat
dalam nash). Pada hal-hal yang tak terdapat ketentuan nashnya,
digunakan akal berdasarkan kaidah-kaidah tertentu; c)
Al-Qur'an dipandang telah lengkap menjawab seluruh persoalan
agama. Tugas mujtahid adalah mengeluarkan dari al-Qur'an
jawaban-jawaban umum untuk masalah-masalah yang khusus. Karena
Rasulullah dan para imam adalah orang yang mengetahui
rahasia-rahasia al-Qur'an, penafsiran al-Qur'an yang paling
absah adalah yang berasal dari mereka.

IMAM ABU HANIFAH

Abu Hanifah terkenal sebagai alim yang teguh pendirian. Ia
menentang setiap kezaliman. Beberapa kali ia mengkritik
al-Manshur secara terbuka. Ketika Muhammad dan Ibrahim dari
ahl al-Bayt memberontak, Abu Hanifah mendukungnya. Begitu
pula, ketika Imam Zayd melawan penguasa, Abu Hanifah berbay'at
kepadanya. Abu Zahrah, penulis biografi Abu Hanifah, menulis:
"Sesungguhnya Abu Hanifah itu Syi'ah dalam kecenderungan dan
pendapatnya tentang penguasa di zamannya. Yakni, ia melihat
bahwa khalifah haruslah diserahkan pada keturunan Ali dari
Fathimah; dan bahwa para khalifah yang sezaman dengan mereka
telah merampas haknya dan karena itu mereka zalim."

Sikap Abu Hanifah itu, ditambah hasutan Ibn Abi Layla,
menimbulkan kemarahan Al-Manshur. Tapi karena kedudukan Abu
Hanifah di masyarakat, Al-Mansur tak dapat membunuhnya tanpa
alasan. Lalu ia menjebak Abu Hanifah dengan jabatan qadhi.
Ketika Abu Hanifah menolaknya, ia dipenjarakan. Setiap hari,
ia dicambuk sepuluh lecutan. Ia mengakhiri hidupnya, menurut
satu riwayat, karena diberi makanan beracun.

Abu Hanifah meninggalkan banyak murid. Di antaranya Abu Yusuf,
yang kemudian menjadi qadhi dan banyak memasukkan hadits dalam
kitab-kitabnya; Muhammad ibn Hasan al-Syaybany, yang pernah
berguru pada Malik dan kemudian menggabungkan madrasah hadits
dengan madrasah Ra'y; dan Zafr ibn al-Hudzail, yang sangat
ekstrem menggunakan qiyas.

Pokok fiqih madzhab Hanafi bersumber pada tiga hal: a)
Sumber-sumber naqliyah, yang meliputi al-Qur'an, al-Sunnah,
ijma, dan pendapat para sahabat. Abu Hanifah berkata, "Aku
mengambil dari al-Kitab, jika aku dapatkan di dalamnya. Bila
tidak, aku ambil Sunnah Rasulullah dan hadits-hadits yang
sahih, yang disampaikan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Jika tidak aku dapatkan dalam al-Kitab dan Sunnah Rasulullah,
aku mengambil pendapat para sahabat yang aku kehendaki dan
meninggalkan yang tidak aku kehendaki. Aku tidak keluar dari
pendapat sahabat kepada pendapat yang lain. Bila sudah sampai
pada tabi'in, mereka berijtihad dan aku pun berijtihad,", b)
Sumber-sumber ijtihadiyah, yaitu dengan menggunakan qiyas dan
istihsan. c) Al-A'raf, yakni adat kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan nash, terutama dalam masalah perdagangan.
Abu Hanifah bahkan mengarqurkan beramal dengan 'urif.

Apa definisi dari pembaharuan hukum Islam itu sendiri?
View clicks
Posted November 15th, 2007 by mhs_newStudi Fiqh
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1.2 Topik Bahasan
1.3 Tujuan penulisan makalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pembahuruan Hukum Isalam
2.2 Historis Perkembangan Hukum Islam
2.3 Islam Datang Ke Indonesia
2.4 Hukum Islam Menjelang Dan Sesudah Indonesia Merdeka
2.5 Metode Untuk Melakukan Pembaharuan Hukum Islam
2.6 Tujuan Dilakukanya Pembaharuan Hukum Islam
BAB III
KESIMPULAN
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Kategori I’tiqad Al-A’immah
Jumat, 26 Nopember 2004 06:21:00 WIB

LARANGAN ABU HANIFAH TERHADAP ILMU KALAM DAN BERDEBAT DALAM MASALAH AGAMA

Oleh Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Imam Abu Hanifah berkata: âہ“Di kota Bashrah orang-orang yg mengikuti hawa nafsu (selera) sangat banyak. Saya dating di Bashrah lebih dari dua puluh kali. Terkadang saya tinggal di Bashrah lebih dari satu tahun,, terkadang satu tahun, dan terkadang kurang dari satu tahun. Hal itu krn saya mengira bahwa Ilmu Kalam itu ialah ilmu yg paling mulia.â€Â [1]
[2]. Beliau menuturkan: âہ“Saya pernah mendalami Ilmu Kalam, sampai saya tergolong manusia langka dalam Ilmu Kalam. Suatu saat saya tinggal dekat pengajian Hammad bin Abu Sulaiman. Lalu ada seorang wanita datang kpdku, ia berkata: âہ“Ada seorang lelaki mempunyai seorang istri wanita sahaya. Lelaki itu ingin menalak dgn talak yg sesuai sunnah. Berapakah dia hrs menalaknya?â€Â
Pada saat itu saya tdk tahu apa yg hrs saya jawab. Saya ha menyarankan agar dia dating ke Hammad untuk menanyakan hal itu, kemudian kembali lagi ke saya, dan apa jawaban Hammad. Ternyata Hammad menjawab: âہ“Lelaki itu dpt menalak ketika istri dalam keadaan suci dari haid dan juga tdk dilakukan hubungan jimaâۉ„¢, dgn satu kali talak saja. Kemudian istri dibiarkan sampai haid dua kali. Apabila istri itu sudah suci lagi, maka ia halal untuk dinikahi.
Begitulah, wanita itu kemudian datang lagi kpd saya dan memberitahukan jawaban Hammda tadi. Akhir saya berkesimpulan, âہ“saya tdk perlu lagi mempelajari Ilmu Kalam. Saya ambil sandalku dan pergi untuk berguru kpd Hammad.â€Â [2]
[3]. Beliau berkata lagi: âہ“Semoga Allah melaknati Amr bin Ubaid, krn telah merintis jalanuntuk orang-orang yg mempelajari Ilmu Kalam, padahal ilmu ini tdk ada guna bagi mereka.â€Â[3]
Beliau juga pernah dita seseorang, âہ“Apakah pendpt anda tentang masalah baru yg dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah sifat-sifat dan jism?â€Â Beliau menjawab, âہ“itu adalh ucapan-ucapan para ahli filsafat. Kamu hrs mengikuti hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yg baru krn hal itu ialah bidâۉ„¢ah.â€Â [4]
[4]. Putra Imam Abu Hanifah, yg nama Hammad, menuturkan, âہ“Pada suatu hari ayah datang ke rumahku. Waktu itu di rumah ada orang-orang yg sedang menekuni Ilmu Kalam, dan kita sedang berdiskusi tentang suatu masalah. Tentu saja suara kami keras, sehingga tampak ayah terganggu. Kemudian saya menemui beliau, âہ“Hai Hammad, siapa saja orang-orang itu?â€Â, Ta beliau. Saya menjawab dgn menyebutkan nama mereka satu persatu. âہ“Apa yg sedang kalian bicarakan?â€Â, Ta beliau lagi. Saya menjawab, âہ“Ada suatu masalah ini dan ituâ€Â. Kemudian beliau berkata: âہ“Hai Hammad, tinggalkanlah Ilmu Kalam.â€Â
Kata Hammad selanjutnya: âہ“Padahal setahu saya, ayah tdk pernah berubah pendpt, tdk pernah pula menyuruh sesuatu kemudian melarangnya. âہ“ Hammad kemudian berkata kpd beliau., âہ“wahai Ayahanda, bukankah ayahanda pernah menyuruhku untuk mempelajari Ilmu Kalam?â€Â âہ“ya, memang pernahâ€Â. Jawab beliau, âہ“Tetapi itu dahulu. Sekarang saya melarangmu, jangan mempelajari Ilmu Kalamâ€Â, tambah beliau
âہ“Kenapa, wahai ayahanda?â€Â, Ta Hammad lagi. Beliau menjawab, âہ“Wahai anakku, mereka yg berdebat dalam Ilmu Kalam, pada mula ialah bersatu pendpt dan agama mereka satu. Nemun syetan mengganggu mereka sehinggamereka bermusuhan dan berbeda pendpt.â€Â [5]
[5]. Kepada Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah berkata: âہ“Jangan sekali-kali kamu berbicara kpd orang-orang awam dalammasalah ushuluddin dgn mengambil pendpt Ilmu Kalam, krn mereka akan mengikuti kamu dan akan merepotkan kamu.â€Â [6]

Inilah rangkuman dari pendpt-pendpt Imam Abu Hanifah rahimahullah, tentang aqidah beliau dalam masalah ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam dan ahli-ahli Ilmu Kalam

[Disalin dari kitab I’tiqad Al-A’immah Al-Arba’ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Al-Kurdi, Manaqib Abi Hanifah, hal.137
[2]. Tarikh Baghdad XIII/333
[3]. Al-Harawi, Dzamm ‘Ilm Al-Kalam, hal. 28-31
[4]. Al-Harawi, Dzamm ‘Ilm Al-Kalam, lembar 194-B
[5]. Al-Makki, Manaqib Abu Hanifah, hal.183-184
[6]. Ibid, hal.37

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1191&bagian=0




Memuat berita yang memihak kepada ISLAM
September 28, 2007Sejarah Singkat Imam Hanafi
Diarsipkan di bawah: Ilmu Hadist — iaaj @ 12:04 am

Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.

Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.

Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.

Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.

Beberapa penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.
3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.
4. Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya …
Dan dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya; dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak maka akan mengampuninya.”
5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan di sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.
Dan kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abiu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak dari para imam yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang yang adil”

Beberapa nasehat Imam Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:
a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.
Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”. Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. …”.
c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.

Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.

(diambil dari majalah Fatawa)

Daftar Pustaka:
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh

Sumber: http://muslim.or.id

Imam Abu Hanifah (80 - 150 H)
Published Date: June 19th, 2007
Category: Abad 02, Tokoh Islam
Imam Hanafi dilahirkan pada tahun 80 Hijrah bertepatan tahun 699 Masehi di sebuah kota bernama Kufah. Nama yang sebenarnya ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maha. Kemudian masyhur dengan gelaran Imam Hanafi. Imam Abu Hanafih adalah seorang imam Mazhab yang besar dalam dunia Islam. Dalam empat mazhab yang terkenal tersebut hanya Imam Hanafi yang bukan orang Arab. Beliau keturunan Persia atau disebut juga dengan bangsa Ajam. Pendirian beliau sama dengan pendirian imam yang lain, iaitu sama-sama menegakkan Al-Quran dan sunnah Nabi SAW.
Kemasyhuran nama tersebut menurut para ahli sejarah ada beberapa sebab:
1. Kerana ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah, maka ia diberi julukan dengan Abu Hanifah.
2. Kerana semenjak kecilnya sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang dipelajarinya, maka ia dianggap seorang yang hanif (kecenderungan/condong) pada agama. Itulah sebabnya ia masyhur dengan gelaran Abu Hanifah.
3. Menurut bahasa Persia, Hanifah bererti tinta. Imam Hanafi sangat rajin menulis hadith-hadith, ke mana, ia pergi selalu membawa tinta. Kerana itu ia dinamakan Abu Hanifah.
Waktu ia dilahirkan, pemerintahan Islam berada di tangan Abdul Malik bin Marwan, dari keturunan Bani Umaiyyah kelima. Kepandaian Imam Hanafi tidak diragukan lagi, beliau mengerti betul tentang ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu kalam, dan juga ilmu hadith. Di samping itu beliau juga pandai dalam ilmu kesusasteraan dan hikmah.
Imam Hanafi adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan soleh, seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika beliau berdoa matanya bercucuran air mata demi mengharapkan keredhaan Allah SWT. Walaupun demikian orang-orang yang berjiwa jahat selalu berusaha untuk menganiaya beliau.
Sifat keberanian beliau adalah berani menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Untuk kebenaran ia tidak takut sengsara atau apa bahaya yang akan diterimanya. Dengan keberaniannya itu beliau selalu mencegah orang-orang yang melakukan perbuatan mungkar, kerana menurut Imam Hanafi kalau kemungkaran itu tidak dicegah, bukan orang yang berbuat kejahatan itu saja yang akan merasakan akibatnya, melainkan semuanya, termasuk orang-orang yang baik yang ada di tempat tersebut
Sebahagian dilukiskan dalam sebuah hadith Rasulullah SAW bahawa bumi ini diumpamakan sebuah bahtera yang didiami oleh dua kumpulan. Kumpulan pertama adalah terdiri orang-orang yang baik-baik sementara kumpulan kedua terdiri dari yang jahat-jahat. Kalau kumpulan jahat ini mahu merosak bahtera dan kumpulan baik itu tidak mahu mencegahnya, maka seluruh penghuni bahtera itu akan binasa. Tetapi sebaliknya jika kumpulan yang baik itu mahu mencegah perbuatan orang-orang yang mahu membuat kerosakan di atas bahtera itu, maka semuanya akan selamat.
Sifat Imam Hanafi yang lain adalah menolak kedudukan tinggi yang diberikan pemerintah kepadanya. Ia menolak pangkat dan menolak wang yang dibelikan kepadanya. Akibat dari penolakannya itu ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam penjara ia diseksa, dipukul dan sebagainya.
Gubernur di Iraq pada waktu itu berada di tangan Yazid bin Hurairah Al-Fazzari. Selaku pemimpin ia tentu dapat mengangkat dan memberhentikan pegawai yang berada di bawah kekuasaannya. Pernah pada suatu ketika Imam Hanafi akan diangkat menjadi ketua urusan perbendaharan negara (Baitul mal), tetapi pengangkatan itu ditolaknya. Ia tidak mahu menerima kedudukan tinggi tersebut. Sampai berulang kali Gabenor Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap ditolaknya.
Pada waktu yang lain Gabenor Yazid menawarkan pangkat Kadi (hakim) tetapi juga ditolaknya. Rupanya Yazid tidak senang melihat sikap Imam Hanafi tersebut. Seolah-olah Imam Hanafi memusuhi pemerintah, kerana itu timbul rasa curiganya. Oleh kerana itu ia diselidiki dan diancam akan dihukum dengan hukum dera. Ketika Imam Hanafi mendengar kata ancaman hukum dera itu Imam Hanafi menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan.” Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan pendirian hidupnya.
Pada suatu hari Yazid memanggil para alim ulama ahli fiqih yang terkemuka di Iraq, dikumpulkan di muka istananya. Di antara mereka yang datang ketika itu adalah Ibnu Abi Laila. Ibnu Syblamah, Daud bin Abi Hind dan lain-lain. Kepada mereka, masing-masing diberi kedudukan rasmi oleh Gabenor.
Ketika itu gabenor menetapkan Imam Hanafi menjadi Pengetua jawatan Sekretari gabenor. Tugasnya adalah bertanggungjawab terhadap keluar masuk wang negara. Gabenor dalam memutuskan jabatan itu disertai dengan sumpah, “Jika Abu Hanifah tidak menerima pangkat itu nescaya ia akan dihukum dengan pukulan.”
Walaupun ada ancaman seperti itu, Imam Hanafi tetap menolak jawatan itu, bahkan ia tetap tegas, bahawa ia tidak mahu menjadi pegawai kerajaan dan tidak mahu campur tangan dalam urusan negara.
Kerana sikapnya itu, akhirnya ditangkap oleh gabenor. Kemudian dimasukkan ke dalam penjara selama dua minggu, dengan tidak dipukul. Lima belas hari kemudian baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan, setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu gabenor menawarkan menjadi kadi, juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110 kali. Setiap hari didera sebanyak sepuluh kali pukulan. Namun demikian Imam Hanafi tetap dengan pendiriannya. Sampai ia dilepaskan kembali setelah cukup 110 kali cambukan.
Walaupun demikian ketika Imam Hanafi diseksa ia sempat berkata. “Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman neraka di akhirat nanti.” Ketika ia berusia lebih dari 50 tahun, ketua negara ketika itu berada di tangan Marwan bin Muhammad. Imam Hanafi juga menerima ujian. Kemudian pada tahun 132 H sesudah dua tahun dari hukuman tadi terjadilah pergantian pimpinan negara, dari keturunan Umaiyyah ke tangan Abbasiyyah, ketua negaranya bernama Abu Abbas as Saffah.
Pada tahun 132 H sesudah Abu Abbas meninggal dunia diganti dengan ketua negara yang baru bernama Abi Jaafar Al-Mansur, saudara muda dari Abul Abbas as Saffah. Ketika itu Imam Abu Hanifah telah berumur 56 tahun. Namanya masih tetap harum sebagai ulama besar yang disegani. Ahli fikir yang cepat dapat menyelesaikan sesuatu persoalan.
Suatu hari Imam Hanafi mendapat panggilan dari baginda Al-Mansur di Baghdad, supaya ia datang mengadap ke istana. Sesampainya ia di istana Baghdad ia ditetapkan oleh baginda menjadi kadi (hakim) kerajaan Baghdad. Dengan tawaran tersebut, salah seorang pegawai negara bertanya: “Adakah guru tetap akan menolak kedudukan baik itu?” Dijawab oleh Imam Hanafi “Amirul mukminin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya daripada saya membayar sumpah saya.”
Kerana ia masih tetap menolak, maka diperintahkan kepada pengawal untuk menangkapnya, kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad. Pada saat itu para ulama yang terkemuka di Kufah ada tiga orang. Salah satu di antaranya ialah Imam Ibnu Abi Laila. Ulama ini sejak pemerintahan Abu Abbas as Saffah telah menjadi mufti kerajaan untuk kota Kufah. Kerana sikap Imam Hanafi itu, Imam Abi Laila pun dilarang memberi fatwa.
Pada suatu hari Imam Hanafi dikeluarkan dari penjara kerana mendapat panggilan dari Al-Mansur, tetapi ia tetap menolak. Baginda bertanya, “Apakah engkau telah suka dalam keadaan seperti ini?”
Dijawab oleh Imam Hanafi: “Wahai Amirul Mukminin semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin.
Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, janganlah bersekutu dalam kepercayaan dengan orang yang tidak takut kepada Allah. Demi Allah saya bukanlah orang yang boleh dipercayai di waktu tenang, maka bagaimana saya akan dipercayai di waktu marah, sungguh saya tidak sepatutnya diberi jawatan itu.”
Baginda berkata lagi: “Kamu berdusta, kamu patut dan sesuai memegang jawatan itu.” Dijawab oleh Imam Hanafi: “Amirul Mukminin, sungguh baginda telah menetapkan sendiri, jika saya benar, saya telah menyatakan bahawa saya tidak patut memegang jawatan itu. Jika saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang maulana yang dipandang rendah oleh bangsa Arab. Bangsa Arab tidak akan rela diadili seorang golongan hakim seperti saya.”
Pernah juga terjadi, baginda Abu Jaffar Al-Mansur memanggil tiga orang ulama besar ke istananya, iaitu Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan ats Tauri dan Imam Syarik an Nakhaei. Setelah mereka hadir di istana, maka ketiganya ditetapkan untuk menduduki pangkat yang cukup tinggi dalam kenegaraan, masing-masing diberi surat pelantikan tersebut.
Imam Sufyan ats Tauri diangkat menjadi kadi di Kota Basrah, lmam Syarik diangkat menjadi kadi di ibu kota. Adapun Imam Hanafi tidak mahu menerima pengangkatan itu di manapun ia diletakkan. Pengangkatan itu disertai dengan ancaman bahawa siapa saja yang tidak mahu menerima jawatan itu akan didera sebanyak l00 kali deraan.
Imam Syarik menerima jawatan itu, tetapi Imam Sufyan tidak mahu menerimanya, kemudian ia melarikan diri ke Yaman. Imam Abu Hanifah juga tidak mahu menerimanya dan tidak pula berusaha melarikan diri.
Oleh sebab itu Imam Abu Hanifah dimasukkan kembali ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman sebanyak 100 kali dera. Setiap pagi dipukul dengan cambuk sementara dileher beliau dikalung dengan rantai besi yang berat.
Suatu kali Imam Hanafi dipanggil baginda untuk mengadapnya. Setelah tiba di depan baginda, lalu diberinya segelas air yang berisi racun. Ia dipaksa meminumnya. Setelah diminum air yang beracun itu Imam Hanafi kembali dimasukkan ke dalam penjara. Imam Hanafi wafat dalam keadaan menderita di penjara ketika itu ia berusia 70 tahun.
Imam Hanafi menolak semua tawaran yang diberikan oleh kerajaan daulah Umaiyyah dan Abbasiyah adalah kerana beliau tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang mereka kendalikan. Oleh sebab itu mereka berusaha mengajak Imam Hanafi untuk bekerjasama mengikut gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka seksa hingga meninggal, kerana Imam Hanafi menolak semua tawaran yang mereka berikan.
Sepanjang riwayat hidupnya, beliau tidak dikenal dalam mengarang kitab. Tetapi madzab beliau Imam Abu Hanifah atau madzab Hanafi disebar luaskan oleh murid-murid beliau. Demikian juga fatwa-fatwa beliau dituliskan dalam kitab-kitab fikih oleh para murid dan pengikut beliau sehingga madzab Hanafi menjadi terkenal dan sampai saat ini dikenal sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara murid beliau yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, yang merupakan guru dari Imam Syafi’iy.

sumber: http://www.geocities.com/Athens/Acropolis/9672/imam4.htm


Imam Abu Hanifah : BERANI UNTUK MENYUARAKAN KEBENARAN Feb 24, '07 8:05 AM
for everyone

Islam diturunkan oleh Allah SWT sebagai penerang kehidupan anak-cucu Adam. Islam dihadirkan oleh Allah SWT untuk mengatur segala aspek kehidupan. Namun, seiring jaman yang bergulir, Islam semakin asing. Aturan Islam satu persatu dipinggirkan.
Ujian berat bagi orang-orang yang masih ingin konsisten dengan ke-Islaman mereka. Kala banyak orang menjadikan uang dan kedudukan sebagai tujuan hidup, masih ada segelintir yang berusaha tetap kukuh dalam keimanan dan berani menyampaikan Islam sebagai sebuah kebenaran. Imam Abu Hanifah atau dikenal dengan sebutan Imam Hanafi merupakan contoh sosok yang kukuh dalam iman dan berani itu, dan beginilah kisahnya ...
Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci, lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. dan mazhab fiqihnya dinamakan Mazhab Hanafi. Ayahnya yang seorang pedagang besar, sempat hidup bersama ‘Ali bin Abi Talib radhiallahu ‘anh. Abu Hanifah kadang ikut serta dalam urusan niaga ayahnya akan tetapi minatnya yang lebih besar ialah ke arah membaca dan menghafal Qur'an.
Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Abu Hanifah telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri.
Imam Syaqiq al Balkhi berkata: "Imam Abu Hanifah adalah seorang yang terhindar jauh dari perbuatan yang dilarang oleh agama; ia sepandai-pandai orang tentang ilmu agama dan seorang yang banyak ibadahnya kepada Allah; amat berhati-hati tentang hukum-hukum agama."
Imam Ibrahim bin Ikrimah berkata: "Di masa hidupku, belum pernah aku melihat seorang alim yang amat benci kemewahan hidup dan yang lebih banyak ibadahnya kepada Allah dan yang lebih pandai tentang urusan agama, selain Imam Abu Hanifah."
Imam Abu Hanifah terkenal berani dalam menegakan kebenaran yang telah diyakini. Berani yang berdasarkan bimbingan wahyu Ilahi. Beliau tidak mencintai kemewahan hidup, tidak sedikitpun hatinya khawatir menderita. Karena sunnatulah berlaku bagi manusia; bahwa orang yang cinta kemewahan hidup di dunia biasanya menjadi penakut, tidak berani menegakan kebenaran yang diridlai Allah. Setiap kali Beliau melihat kemungkaran atau maksiat, seketika itu juga beliau berusaha memusnahkannya. Sifat lunak segera lenyap dari hatinya berganti ketegasan untuk meluruskan kemungkaran di hadapannya.
Beliau berani menolak kedudukan yang diberikan oleh kepala negara; berani menolak pangkat yang ditawarkan oleh pihak penguasa waktu itu dan tidak sanggup menerima hadiah dari pemerintah apapun bentuknya.
Suatu hari Gubernur Iraq Yazid bin Amr menawarkan jabatan Qadli atau Hakim kepada Imam Hanafi, tetapi beliau menolaknya. Hal itu tentu saja membuat Sang Gubernur tersinggung! Perasaan itu menumbuhkan rasa curiga. Sejak itu, segala gerak-gerik Imam Abu Hanifah diamat-amati.
Tawaran yang sama disampaikan sekali lagi. Imam Abu Hanifah tetap menolak, dan hukuman cambuk dijatuhkan terhadap beliau. Sewaktu mendengar ancaman tersebut, Imam Hanafi menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan menduduki jabatan yang itu, sekalipun aku sampai dibunuh karenanya!"
Sejumlah ulama besar negeri Iraq mengkhawatirkan nasib Imam Abu Hanifah. Mereka datang berduyun-duyuun ke rumahnya untuk menyampaikan harapan supaya beliau menerima jabatan yang diberikan itu.
"Kita memohon kepada engkau dengan nama Allah, hendaknya engkau suka menerima jabatan yang telah diberikan kepada engkau. Gubernur Yazid sudah bersumpah akan menghukum engkau jika masih juga kau tolak tawarannya. Kita masing-masing sebagai kawan yang sangat erat tidak akan suka jika engkau dijatuhi hukuman, dan kita tidak mengharapkan peristiwa itu menimpa diri engkau."
Imam Abu Hanifah tetap teguh, tak bergeming sedikitpun dari kebenaran pendirianya. Akibatnya beliau ditangkap dan dipenjarakan oleh polisi negara selama dua Jum'at. Gubernur memerintahkan agar Imam Abu Hanifah setiap hari dicambuk sebanyak 10 kali. Sekalipun demikian beliau tetap bersikeras pada pendirian semula. Akhirnya beliau dilepaskan dari penjara setelah menikmati geletaran cambuk algojo sebanyak 110 kali! Wajahnya yang memar bekas cambukan jelas terlihat. Hukuman cambuk itu memang hukuman yang hina. Gubernur sengaja hendak menghinakan diri beliau yang sebenarnya mulia itu. Namun, hukuman itu oleh Imam Hanafi disambut dengan penuh kesabaran serta dengan suara bersemangat beliau berkata: "Hukuman dunia dengan cemeti masih lebih baik dan lebih ringan bagiku daripada cemeti di akhirat nanti." Demikian awal ujian berat Sang Imam kali. Padahal beliau sudah berusia kurang lebih 50 tahun.
Imam Abu Hanifah di usia itu sempat menyaksikan peralihan kekuasaan negara, dari tangan Bani Umayyah ke tangan bani Abbasiyyah sebagai kepala negara pertama adalah Abu Abbas as Saffah. Sesudah itu kepala negara digantikan oleh Abu Ja'far al Manshur, saudara muda dari Khalifah sendiri.
Pada masa pemerintahan Abu Ja'far, Imam Abu Hanifah mendapat panggilan dari Sang Kepala Negara di Bagdad. Sesampai di istana, beliau di tunjuk dan diangkat menjadi hakim kerajaan di Baghdad. Baginda bersumpah keras bahwa beliau harus menerima jabatan itu. Namun, Abu Hanifah menolak dan bersumpah tidak akan mengembannya.
Di tengah pertemuan ada seorang yang pernah menjadi santrinya dan sekarang menjadi pegawai kerajaan, tiba-tiba memberanikan diri berkata kepada beliau, "Apakah guru akan tetap menolak kehendak Baginda, padahal Baginda telah bersumpah akan memberikan kedudukan tinggi kepada guru. Imam Hanafi dengan tegas menjawab: "Amirul mu'minin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya dari pada saya membayar kifarat sumpah saya!"
Khalifah Abu Ja’far al Manshur marah! Dia kemudian memerintahkan Imam Abu Hanifah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara Baghdad sampai pada masa yang ditentukan oleh Abu Ja’far sendiri.
Suatu hari, Abu Ja’far mengeluarkan Imam Abu Hanifah dan bertanya kepada beliau: "Apakah engkau senang dalam keadaan seperti ini?"
Imam Abu Hanifah menjawab dengan tenang, "Semoga Allah memperbaiki Amirul Mu'minin! Wahai Amirul Mu'minin takutlah engkau kepada Allah, dan janganlah engkau bersekutu dalam kepercayaan engkau dengan orang yang tidak takut kepada Allah! Demi Allah, saya bukanlah orang yang boleh dipercaya di waktu tenang. Maka bagaimana mungkin saya menjadi orang yang boleh dipercaya diwaktu marah? Sungguh saya tidak sepatutnya diberi jabatan yang sedemikian itu!"
Abu Ja’far berkata: "Kamu berdusta, karena kamu patut memegang jabatan itu!" Imam Abu Hanifah kembali menjawab,"Ya Amirul Mu'minin! Sesungguhnya baginda telah menetapkan sendiri (bahwa saya seorang pendusta). Jika saya benar, saya telah menyatakan bahwa saya tidak patut menjabat itu, dan jika saya berdusta, maka bagaimana Baginda akan mengangkat seorang hakim yang berdusta? Di samping itu, saya ini adalah seorang hamba yang dipandang rendah oleh bangsa Arab, dan mereka tidak akan rela diadili oleh seorang golongan hamba (maula) seperti saya ini."
Abu Ja’far memninta ibu Imam Abu Hanifah untuk ikut membujuk, namun hanya dijawab oleh beliau dengan lemah lembut dan senyuman manis: "O... ibu! Jika saya menghendaki akan kemewahan hidup di dunia ini, tentu saya tidak dipukuli dan tidak dipenjarakan. Tetapi saya menghendaki akan keridhlaan Allah swt semata-mata, dan memelihara ilmu pengetahuan yang telah saya dapati. Saya tidak akan memalingkan pengetahuan yang selama ini saya pelihara kepada kebinasaan yang dimurkai Allah.
Imam Hanafi tahu persis, apa yang akan terjadi jika dia masuk dalam jajaran pejabat pemerintahan waktu itu. Beliau sangat tahu bahwa pemerintahan Bani Ummayah dan Bani Abbasiyah berdiri bukan atas dasar sunnah Rasul. Kebijakan negara lebih banyak bertumpu pada kehendak raja (penguasa).
Kehendak raja begitu dominan. Imam Abu Hanifah tak sudi menjadi Qadhi karena khawatir kebenaran sejati akan dipasung. Beliau khawatir kebenaran Al Quran dan Sunnah Rasul yang selama ini beliau perjuangkan akan terkikis dan musnah. Sebenarnya, andaikan pemerintah secara total mau mengikuti sunnah Rasul, Imam Abu Hanifah tidak keberatan diangkat menjadi Qadhi. Itulah sebabnya kenapa Imam Abu Hanifah bersikeras tak mau menerima tawaran jabatan tinggi yang tentu saja bagi para pelacur ilmu sangat menggiurkan, tapi bukan untuk seorang Imam Abu Hanifah.
Begitulah kisah Imam Abu Hanifah yang begitu tegar, kukuh mempertahankan kebenaran walaupun ujian pangkat, harta, bahkan siksaan raga menghantam bertubi-tubi.
Imam Abu Hanifah, sosok cerdas dan berwibawa, contoh konkrit seorang Imam sejati. Adakah sosok seperti beliau hadir di negeri ini?
Kita merindukan sosok seperti Imam Abu Hanifah ada di tengah-tengah kita, di tengah-tengah kondisi negeri yang carut-marut, di tengah-tengah para penguasa yang semakin gelap hati untuk saling berebut. Berebut harta dan kekuasaan. Rakyat menjerit pun sepertinya lambat-laun semakin samar-samar didengar.
Sosok seperti Imam Abu Hanifah bukan sosok yang dilahirkan secara instan, namun dia ada karena orang tua beliau yang mendidik dan membina beliau hingga bisa tumbuh dan tampil menjadi sosok yang seperti itu. Beliau hadir sebagai sosok yang agung karena orang-orang di sekitar beliau memberikan wahana untuk beliau mengasah diri menjadi ulama yang lurus dan mumpuni.
Kini tanggung jawab itu beralih kepada kita. Kita, kaum muslimin, selayaknya menjadi manusia yang paling merindukan tegaknya kembali kebenaran Alquran dan Sunnah Rasul di muka bumi. Di tangan kitalah lahirnya sosok-sosok seperti Imam Abu Hanifah ditentukan. Jika keadilan dan kesejahteraan hidup yang kita damba, sepatutnya perjuangan Imam Abu Hanifah menjadi inspirasi bagi perjalanan hidup diri, bagi diri kita dan orang-orang di sekitar kita. (dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger