Headlines News :

Kamis, 12 Maret 2009

Amar

BAB I
PENDAHULUAN

Menurut mayoritas ahli ushul fiqh, amr adalah suatu tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya
Definisi di atas hanya ditujukan pada lafadz yang memakai sighat amr, tetapi ditujukan pula pada semua kalimat yang mengandung perintah, karena kalimat perintah tersebut terkadang menggunakan kalimat majazi (samar), namun yang paling penting dalam amr adalah bahwa kalimat tersebut mengandung unsur tuntutan untuk mengerjakan sesuatu.
Pada dasarnya perintah itu untuk menunjukkan wajib, artinya jika perintah itu tidak disertai sesuatu qorinah yang menyimpangkan kepada tujuan selain wujud maka ternyata pengertian hukum yang keluar dari amar itu wajib. Untuk lebih jelasnya akan dibahas pada bab berikutnya.

BAB II
PEMBAHASAN
AMR (PERINTAH)

A. Bentuk AMR (perintah)
Bentuk amr ada beberapa macam, yaitu sebagai berikut :
1. Dengan menggunakan fiil amar, misalnya :
"Dirikanlah olehmu shalat (al-Baqarah : 43)
2. Dengan Fiil mudharik yang diberi lam amar, misalnya
"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling ka'bah itu (al-hajj : 29)
3. Menggunakan lafadz kutiba (diwajibkan) seperi firman Allah dalam surat al-Baqara ayat 183
4. Perintah dengan memakai redaksi pemberitahuan (jumlah khobariyah) tetapi yang dimaksud adalah perintah, seperti firman Allah surat Al-Baqarah ayat 228.
5. Perintah dengan menggunakan kata wajaba dan faradha, seperti firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 50
6. perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu baik seperti firman Allah :
7. perintah disertai janji kebaikan yang banyak bagi pelakunya, seperti firman Allah surat Al-Baqarah ayat 245.
8. melalui lafadz amara dan seakar dengannya yang mengandung perintah (suruhan) seperti firman Allah.

B. Kandungan Penunjukan Amr
1. Berarti menunjukkan hukum wajib seperti dalam surat al-Baqarah ayat 110 "Dirikanlah olehmu "shalat dan tunaikanlah zakat.
2. Menjelaskan bahwa sesuatu itu mubah hukumnya seperti surat al-Mukminun ayat 51. "Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik"
3. Untuk menunjukkan anjuran, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 282 "Hai orang-orang yang beriman, apabila kami bermuamalat secara tidak tunai untuk waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya".
4. Untuk melemahkan seperti dalam surat al-Baqarah ayat 23 "Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami Muhammad, buatlah suatu surat saja semisal Al-Qur’an.
5. Sebagai ejekan dan penghinaan, seperti dalam surat al-Dukhan ayat 49 "Rasakanlah, sesungguhnya orang-orang perkasa lagi mulia"
6. Untuk menakut-nakuti (tahdid) seperti "Berbuatlah apa yang kamu inginkan

C. Penerapan AMR
1. Kesegeraan dalam amar
Perintah adakalanya ditentukan waktunya dan adakalanya tidak, jika suatu perintah disertai waktu tertentu, seperti shalat lima waktu, perintah semacam itu mesti dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan, tetapi jika tidak dihubungkan dengan waktu tertentu, perintah (amr) itu berjalan sesuai dengan dasar pokoknya yaitu :

"Pada dasarnya perintah (amr) itu tidak dilaksanakan dengan segera.
2. Amr tidak menuntut dilaksanakan terus menerus
Bahwa sighat amr menunjukkan adanya tuntutan mengerjakan sesuatu pada masa yang akan datang. Apakah amr berdasarkan konteks bahwasanya membutuhkan kesinambungan atau tidak, dalam hal ini terbagi dalam dua pendapat.
a. Menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dan berulang-ulang selama masih hidup.
b. Hal itu tidak menunjukkan kepada mutlak, tetapi menunjukkan sekali saja, karena hakikat dari perintah itu adalah pemenuhan tuntutan.
Perli diingat bahwa apabila perintah tersebut tidak mungkin dilaksanakan, kecuali satu kali, maka yang sekali itu merupakan hal pokok dalam melaksanakan hakikat perintah. Namun, yang sekali bukan berarti petunjuk sighat amar, melainkan untuk melaksanakan hakikat dari amar tersebut. Jadi jumhur ushul fiqih menetapkan suatu perintah tidak wajib dilakukan berulangkali kecuali pada dalil untuk itu.
3. Perintah berarti larangan melakukan sebaliknya.
"Memerintahkan sesuatu berarti melarang sebaliknya"
Artinya melarang melakukan yang berlawanan dengan yang diperintah beriman, berarti melarang syirik atau kufur, lawan itu adakalanya beberapa macam, misalnya perintah berdiri berarti jangan duduk, berbaring, berjongkok dan seterusnya. Perintah itu pada dasarnya menunjukkan wajib dan kelaziman wajib ialah meninggalkan semua yang berlawanan, maka setiap perintah berarti menunjukkan kelaziman meninggalkan semua yang berlawanan.
4. Selesainya perintah
"Apabila yang diperintahkan sudah selesai mengerjakan sesuatu dengan peraturan-peraturannya berarti yang diperintah bebas dari perintah itu". suatu perintah yang disertai petunjuk-petunjuk cara mengerjakannya jika telah dilaksanakan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang semestinya, maka orang-orang yang diperintah itu telah bebas dari tanggungan memenuhi perintah itu dilaksanakan sesuai dengan syarat rukunnya hingga selesai, maka orang itu telah bebas dari perintah, tak usah melakukan beberapa kali.
5. Perintah Qadha
Qadha ialah melakukan sesuatu pekerjaan sesudah habis waktunya. Mengkadha pekerjaan wajib adalah wajib, tetapi kewajiban qadha tadi masih dalam rangkaian perintah adaan. Adaan yaitu mengerjakan kewajiban tepat pada waktunya, tegasnya, perintah qadha itu memerlukan perintah baru.
Dal hal ini ada pendapat lain, yaitu :
"Qadha itu harus dengan perintah baru " " artinya, bukan yang datang dari perintah yang pertama sebab apabila waktu yang tertentu itu sudah lewat, kemaslahatran yang berhubungan dengan waktu itu telah lewat pula. Karena itu, diperlukan lagi perintah baru sebagai susulan untuk kemaslahatan tersebut
6. Keadaan Amr
Makna hakiki amr yang diperselisihkan di atas adalah apabila Amr itu tidak disertai qorinah, golongan zahiriyah, antara lain Ibnu Hazm berpendapat bahwa Amr yang terdapat dalam Al-Qur’an, sungguhpun disertai qorinah tetap menunjukkan wajib, kecuali kalau ada nash lain atau ijma' yang memalingkan pengertian amr dari wajib. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa tak adanya qarinah menunjukkan wujub, sebaliknya adanya suatu qarinah sudah cukup dapat mengubah hakikat arti amar itu.
BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan pada bab pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1. Suatu perintah selalu menunjukkan pada kaum wajib kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut.
2. Suatu perintah tidak wajib dilakukan berulang kali kecuali ada dalil untuk itu. Pada prinsipnya suatu perbuatan telah terwujud bila perbuatan yang diperintahkan dilakukan, meskipun dilakukan satu kali.
3. Suatu perintah tidak harus segera dikerjakan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan itu, karena tujuan dari suatu perintah adalah mewujudkan perbuatan yang diperintahkan


DAFTAR PUSTAKA
• Khallaf, Abdul Wahab. Prof. DR. Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Amani, Jakarta, 2003.
• Firdaus, M.Ag. Ushul Fiqih, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Zikrul Media Intelektual, Jakarta, 2004.
• Rifa'i, Muhammad. Drs. Ushul Fiqih. PT. Al-Ma'arif, Bandung, Bandung, 1973.
• Syafi'e, Rahmad, Prof. Dr. MA, Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia, Bandung, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger