Headlines News :

Minggu, 22 Maret 2009

Aristoteles

BAB I
ARISTOTELES

A. Sejarah Singkat Aristoteles
Aristoteles adalah teman dan murid Plato, ia dilahirkan di Trasia (Balkan), keluarganya adalah orang-orang yang tertaik pada ilmu kedokteran. Ia banyak mempelajari filsafat, matematika, astronomi, retorika, dan ilmu-ilmu lainnya.
Dengan kecerdasannya yang luar biasa, hampir-hampir ia menguasai berbagai ilmu yang berkembang pada masanya. Tatkala ia berumur 18 tahun, ia dikirim ke Athena ke Akademia Plato. Di kota itu belajar pada Plato. Kecenderungan berpikir saintifik nampak dari pandangan-pandangan filsafatnya yang sistematis dan banyak menggunakan metode empiris. Maka jika dibandingkan dengan Plato yang pandangan filsafatnya Aristoteles orientasinya pada hal-hal yang kongkrit (empiris).
Ia menjadi dikenal lebih luas karena pernah menjadi tutor (guru) Alexander, seorang diplomat ulung dan jenderal terkenal. Di Athena ia mendirikan sekolah yang bermana Lycoum. Dari sekolah itu banyak menghasilkan hasil penelitian yang tidak hanya dapat menjelaskan prinsip-prinsip sains, tetapi juga politik, retorika, dan lain sebagainya.
Namun lama kelamaan posisi Aristoteles di Athena tidak aman, karena ia orang asing. Lebih dari itu diisukan sebagai penyebar pengaruh yang bersifat subversif dan dituduh Atheis. Kemudian akhirnya ia meninggalkan Athena dan pindah ke Chalcis dan meninggal di sana pada tahun 322 SM.

B. Pendapat-pendapat Aristoteles
Sebenarnya ia banyak menghasilkan karya-karya hasil penelitian dan pemikiran-pemikiran filsafat. Di antara karya-karya yang dikenal seperti : Anganan (logika), Priar Analystics (silogisma), Pasteriar Analystics (sains) dan lain sebagainya.
Dari karya-karyanya dapat diketahui pandangan-pandangan dia tentang beberapa persoalan filsafat, misalnya etika, negara, logika, metafisika, dan lain-lainnya.
Di dalam dunia filsafat, Aristoteles terkenal sebagai Bapak Logika. Logikanya disebut tradisional karena nantinya berkembang apa yang disebut logika modern. Logika Aristoteles itu sering juga disebut Logika Formal.
Bila orang-orang sufis banyak yang menganggap manusia tidak akan mampu memperoleh kebenaran, Aristoteles dalam metaphysis menyatakan bahwa manusia dapat mencapai kebenaran. Salah satu teori metafisika Aristoteles yang penting ialah pendapatnya yang mengatakan bahwa matter dan form itu bersatu. Matter memberikan substansi sesuatu, form memberikan pembungkusnya. Setiap obyek terdiri atas matter dan form. Bagi Plato, matter dan form berada sendiri-sendiri. Ia juga berpendapat bahwa matter itu potensial dan form itu aktualitas.
Namun, ada substansi yang murni form, tanpa potentiality, jadi tanpa matter, yaitu Tuhan. Aristoteles percaya adanya Tuhan. Bukti adanya Tuhan menurutnya ialah Tuhan sebagai penyebab gerak.
Tuhan itu, menurut Aristoteles, berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia tidak berhubungan dengan (tidak memperdulikan) alam ini. Ia bukan pesona, ia tidak memperhatikan doa dan keinginan manusia.
Pandangan filsafatnya tentang etika adalah bahwa etika adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan dan merupakan sebagai barang yang tertinggi dalam kehidupan.

C. Gema Pengenalan Dunia Islam terhadap Aristoteles
Di antara penulis-penulis Islam yang mengagumi Aristoteles ialah Ibnu Rusyd. Ulasannya terhadap filsafat Aristoteles telah merupakan suatu karya standar (pegangan) untuk Eropa abad pertengahan. Tidak ada pemisahan yang dibuat antara karya asli Aristoteles dengan pengulas-pengulas Plato, yang terakhir dipelajari dan kadang-kadang diutamakan.
Pada garis besarnya, pikiran-pikiran Aristoteles diperbaiki menurut ajaran-ajaran Islam. Pikirannya yang bersifat analitist dan panteistis bukan saja ternyata tidak dapat diterima oleh teolog-teolog Islam, melainkan ditolak dan dikritik oleh mereka.
Menurut Aristoteles, manusia terdiri atas benda dan hakikat yang tidak berbeda. Akal adalah abadi dan bersifat ketuhanan serta merupakan wujud ketiga. Pikiran ini harus dipertemukan oleh filosuf-filosuf Islam dengan pengertian-pengertian yang dibentangkan dalam berbagai ayat Al-Qur'an.
Banyak pemikir Islam yang menulis sanggahan Aristoteles, diantara-nya adalah Abu Zakaria Ar-Razi dan Ibnu Hazm, keduanya menentang logika Aristoteles. Sedangkan An-Nadhan dan Abu Ali Al-Jubbai adalah penulis sanggahan karya-karya Aristoteles lainnya.
Pemikiran dia tentang negara adalah bahwa tujuan dibentuknya negara adalah untuk mencapai keselamatan bagi semua penduduknya. Manusia pada sifat dasarnya memiliki barometer yang hanya dapat dikembangkan melalui hubungan dengan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial (zoon poltical). Tentang bentuk negara ia mengelompokkan menjadi tiga, yaitu Monarchi, Aristokrasi, dan Politea (demokrasi). Adapun yang paling baik menurutnya adalah kombinasi antara aristokrasi dengan demokrasi.
Dari pemikiran dia tentang logika dapat kita kenal dari apa yang disebut silogisme. Inti ajaran logika ialah menarik kesimpulan dengan suatu cara yang disebut silogisme. Contoh silogisme : Semua orang fana. Socrates adalah orang, maka Socrates adalah fana.
Kesimpulan terakhir diambil dari kebenaran yang sifatnya umum (semua orang fana). Padahal telah jelas bahwa Socrates adalah jenis orang. Menarik kesimpulan menurutnya dapat dilakukan dengan dua, jalan pertama yaitu dengan jalan silogistik yang lazim disebut deduksi, dan kedua adalah dengan jalan epagogi yang sering disebut induksi yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan khusus.

BAB II
AL-ASY’ARI

A. Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H / 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H / 935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibu Al-Asy’ari sepeninggal ayahnya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (w. 303 H / 915 M). Ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H / 932 M). Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Basrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakin, yang melatar-belakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu Rasulullah memperingatkan agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
B. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintetis antara formulasi ortodoks esktrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi Kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab / w. 854 M).

C. Mengenai Aliran Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya. Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hambaNya atau memberi siksa dengan sekehendak hatiNya, danitu semua adalah adil bagi Tuhan. Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak dapat berbuat sekehendakNya karena Dia adalah penguasa mutlak. Sekiranya Tuhan menghendaki semua makhlukNya masuk ke dalam surga ataupun neraka, itu adalah adil, karena Tuhan berbuat dan membuat hukum menurut kehendakNya.
Aliran Asy’ariyah yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak-mutlaknya. Al-Asy’ari sendiri menjelaskan bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun dan tidak satu dzat lain di atas Tuhan yang dapat membuat hukum serta menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Malah lebih jauh dikatakan oleh Asy’ari, kalau memang Tuhan menginginkan, Ia dapat saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh manusia.
Ayat-ayat Al-Qur'an yang dijadikan sandaran oleh aliran Asy’ariyah untuk memperkuat pendapatnya adalah: Ayat 16 surat Al-Buruj (85), ayat 99 surat Yunus (10), ayat 13 surat As-Sajdah (32), ayat 112 surat Al-An’am (6), dan ayat 253 surat Al-Baqarah (2).
Ayat-ayat tersebut dipahami Asy’ari sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, kehendak Tuhan mesti berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku, itu berarti Tuhan lupa, lalai dan lemah untuk melaksanakan kehendakNya itu, sedangkan sifat-sifat lalai, apalagi lemah, adalah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah. Oleh sebab itu, kehendak Tuhan tersebutlah yang berlaku, bukan kehendak yang lain. Manusia berkehendak setelah Tuhan sendiri menghendaki agar manusia berkehendak. Tanpa dikehendaki oleh Tuhan, manusia tidak akan berkehendak apa-apa. Ini berarti kehendak dan kekuasaan Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya dan sepenuh-penuhnya. Tanpa makna itu kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak memiliki arti apa-apa.
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asy’ariyah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhlukNya dan dapat berbuat sekehendak hatiNya. Dengan demikian, ketidakadilan difahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendakNya terhadap makhlukNya atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil, bila yang difahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milikNya.
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlakNya.

BAB III
PENUTUP


Kalau kita berkata mengenai Aristoteles bahwa di dalam dunia filsafat, Aristoteles terkenal sebagai Bapak Logika. Logikanya biasanya disebut logika tradisional dikarenakan nantinya berkembang apa yang disebut logika modern. Logika Aristoteles itu sering juga disebut logika formal.
Aristoteles berpendapat bahwa logika dapat kita kenal dari apa yang disebut silogisme yaitu kesimpulan akhir diambil dari kebenaran yang sifatnya umum. Sementara aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil yang mana memang Al-Asy’ari sering mengutamakan wahyu daripada akal.

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Tafsir, Dr., Filsafat Umum, Rosdakarya, Bandung, 1990.
Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Ramadhani, Semarang, 1970.
Amin, Dr. Oemar, Filsafat Islam, Jakarta, 1975
Abdullah Amin, Falsafah Kalam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
Poedjawijatna, Ir., Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Pembangunan, Jakarta, 1974.



KATA PENGANTAR


Bismillahirrahmanirrahim
Kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat inayah-Nyalah tulisan “Perbandingan Hukum Kausalitas antara Aristoteles dan Imam Asy’ari” ini dapat diselesaikan.
Dewasa ini bidang studi pemikiran Islam yang meliputi beberapa disiplin ilmu, yaitu : Ilmu Kalam (Teologi), Filsafat Islam dan Tasawuf, telah benyak mendapat perhatian dari kalangan para sarjana dan mahasiswa di Indonesia. Sehubungan dengan itu, maka upaya mengkaji, menggali dan memperkenalkan ilmu ini kelihatan semakin meningkat. Maka dari itu kami mencoba memperkenalkan salah satu sisi dari pemikiran Islam dan ahli filsafat, agar kita semua lebih mengerti tentang pemikiran-pemikiran mereka.
Kami menyadari bahwa tulisan ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Karena itu kepda para pembaca dan peminat dimohon kritik dan saran yang bersifat membangun. Untuk itu kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Akhirnya kami memohon kepada Allah SWT, semoga selalu melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.


Tebuireng, 30 Januari 2008

Luthfi Makhzuni

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I ARISTOTELES 1
A. Sejarah Singkat Aristoteles 1
B. Pendapat-pendapat Aristoteles 2
C. Gema Pengenalan Dunia Islam terhadap Aristoteles 3
BAB II AL-ASY’ARI 5
A. Riwayat Singkat Al-Asy’ari 5
B. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari 6
C. Mengenai Aliran Asy’ariyah 6
BAB III PENUTUP 8
DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger