Headlines News :

Minggu, 22 Maret 2009

Perkara

Kaidah ke -24
مااوجب اعظم الامرين بخصوصه لايوجب اهونهمابعمومه

Sesuatu yang dengan karakter khususnya mewajibkan perkara yang lebih tinggi diantara dua perkara, tidak secara otomatis mewajibkan yang lebih rendah jika dilihat dari karakter umumnya.

Dalam tata bahasa Indonesia, kita mengenal istilah kata umum dan kata khusus. Kata “air” misalnya, adalah kata umum bagi beragam jenis air, misalnya, air hujan, air sungai, air kotoran, air minum dan lain sebagainya. Kata-kata khusus ini pun terkadang bias menjadi kata umum ketika disandarkan pada kalimat lain. Kita ambil contoh kata air kotoran, yang merupakan kata umum bagi air limbah, air seni dan sebagainya.
Dalam bahasa Inggris juga terdapat suatu kata yang digunakan untuk menunjukkan sifat (adjective noun / kata sifat). Adjaktive ini ada yang mempunyai derajat biasa (positive degree), misalnya tinggi, dan ada juga yang menunjuk derajat lebih, atau yang dikenal dengan istilah comparative degree dan superlative degree, kita juga tidak asing dengan af’al al-tafdlil dalam gramatika arab, misalnya kata paling tinggi atau lebih tinggi, semua itu memberi pengertian yang nyaris sama, yakni kalimat yang menunjukkan tingkatan kualitatif tertentu.
Dalam ilmu fiqih pun kita mengenal istilah-istilah yang bersifat umum atau khusus. Kata hadist, misalnya, adalah sebentuk kata umum yang mengandung dua variasi kata khusus, yaitu hadast besar (hadast akbar) dan hadast kecil (hadast asghar). Hadast akbar adalah hadast yang dapat hilang dengan cara berwudlu’, jika dua kata khusus itu “diadu”, maka unsure yang lebih besar (hadast akbar) akan mencakup unsure yang lebih kecil (hadast asghar). Namun keumuman hadast besar ternyata tidak selamanya mewajibkan kekhususan hadast kecil. Andainya kita berhadast besar, maka tidak secara otomatis kita juga berhadast kecil sebab keumuman sifat hadast besar tidak selamanya mengharuskan kekhususan hadast kecil, inilah makna esensial yang dikandung kaidah di atas.

APLIKASI KAIDAH
Kaidah ini dapat diterapkan pada beberapa persoalan, diantaranya:
a. keluarnya seperma dapat menjadi penyebab wajibnya mandi jinabat (junub), akan tetapi tidak mewajibkan wudlu, pada mulanya, kita mungkin punya asumsi bahwa keluarnya seperma akan mewajibkan mandi sekaligus mewajibkan wudlu, karena jika diperinci, seperma dalam karakter khususnya tergolong salah satu yang mewajibkan mewajibkan mandi besar. Sedangkan dalam tinjauan umum, tergolong sebagai sesuatu yang keluar dari salah satu alat rekresi (pembuangan kotoran) yang mewajibkan wudlu. Namun ketentuan syari’at tidak berkata demikian. Jika secara khusus keluarnya seperma telah menetapkan mewajibkan untuk mandi janabat, maka kewajiban wudlu yang merupakan efek dari karakter umum keluarnya seperma dari alat pengeluaran tidak lagi menjadi wajib. Mandi janabat dalam kategorisasi fuqoha’ merupakan bersuci yang a’zham (cara bersuci yang lebih tinggi dari pada wudlu). Jadi yang lebih mendapatkan penekanan (stressing) oleh fuqoha’ dalam kaidah ini adalah sifat khusus yang melekat pada air seperma. Yaitu, karateristiknya yang dapat mewajibkan mandi, fuqoha’ tidak memosisikan seperma sebagai objek yang keluar dari alat kelamin secara umum, seperti air seni, darah dan lain sebagainya.
b. Had (vonis hukuman) zina statusnya lebih tinggi dari pada ta’zir (a’zham al-amrayn). Pelaksanaan had zina adalah dengan dicambuak (jild) seratus kali dan dihukum rajam, apabila hukuman ini sudah dijatuhkan kepada pelaku zina (zani) secara tidak langsung sudah dapat menggugurkan tuntutan ta,zir.
c. Hukuman had bagi pezina muhshan, yakni pezina yang masih berstatus bujang atau gadis. Hukuman dalam kapasitas pezina muhshan yang berupa rajam (khusus) tidak lagi mewajibkan hukuman yang lebih ringan, yakni dicambuk (umum).
PENGECUALIAN
Pengecualian kaidah ini dapat dicermati dalam permasalahan sebagai berikut:
 haid, nifas, dan wiladah(melahirkan) yang dialami perempuan. Ketiganya bias membatalkan wudlu dan sekaligus mewajibkan mandi, padahal ketiganya dalam kategoris fuqaha’ mempunyai predikat sifat khusus yang lebih tinggi (a’zham), yakni mewajibkan mandi jinabat (khusus) dan keluarnya sesuatu dari dua jalan rekresi (umum). Seharusnya tiga peristiwa ini hanya bias mewajibkan mandi saja, tidak mewajibkan wudlu. Namun dalam permasalahan ini tidak demikian halnya. Kewajibkan menghilangkan hadast kecil dengan berwudlu tetap diberlakukan besertaan dengan kewajiban mandi besar. Dengan demikian permasalahan ini masuk dalam hal pengecualian.
 seseorang yang menuduh zina (qadzf) yang mencabut kembali kesaksiannya setelah eksekusi hukuman dilangsungkan, akan berimplikasi dijatuhkannya qishash beserta had qadzf atasnya. Seharusnya, jika berpedoman pada kaidah ini, dia cukup mendapatkan hukuman qishsash saja yang notabene memiliki karakter lebih tinggi dari pada had.
 seorang perajurit yang melakukan peperangan dan mampu membunuh musuh yang lebih banyak, berhak mendapatkan bonus (tips) tambahan, disamping gaji tetap yang memang sudah menjadi haknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger