Headlines News :

Rabu, 11 Maret 2009

PUASA

Untuk tujuan agar manusia yang berpuasa terlatih atau melatih diri atau mempersiapkan diri untuk menjadi manusia yang bertaqwa. Bertaqwa itu dimulai dari kewajiban-kewajiban dan berujung dengan rambu-rambu dan larangan. Oleh sebab itu bertaqwa itu berat, karena persoalan mental, perlu kekuatan spiritual terutama untuk menundukkan keinginan-keinginan yang sifatnya murahan dan rendah dari tuntutan tubuh jasmaniah yang memang terbuat dari “tanah” dan “air yang hina” ini. Kebebasan yang seharusnya hanya milik Tuhan itu mestilah dimaklumi karena kita bukan Tuhan tapi ciptaannya. Kewajiban dan rambu-rambu atau larangan bila difahami hakekatnya adalah mengembalikan citra manusia sebagai hamba Tuhan. Ketundukan dan kepatuhan adalah kedamaian itu sendiri. Puasa adalah batu ujian untuk itu, karena ketika kita berpuasa tiada orang yang tau kecuali diri kita sendiri dan Tuhan yang mengamati.

Nabi Muhammad mengatakan bahwa “puasa itu mampu membuat orang sehat”. Sungguh telah terbukti secara medis bahwa “puasa” sebagai salah satu terapi kesehatan, terkait dengan kesehatan jasmani, namun yang lebih penting bahwa puasa menjadikan batin rohani seseorang menjadi bening, karena konsentrasi hanya kepada Tuhan. Oleh sebab itu Nabi menstimulus bahwa: “seseorang yang melakukan puasa dengan konsentrasi dan kebeningan hati, maka Tuhan akan mengampuni segala dosa-dosanya”. Analisis psikologis terhadap pernyataan ini dapat mendukung kenyataan bahwa tiada kedamaian selain kebeningan hati, kebersihan jiwa dan optimis terhadap keampunan segala dosa.

Bila kita andaikan bahwa seluruh umat beragama melakukan puasa, tentunya dengan keyakinan dan tatacara yang berbeda, dan kondisi mental-spiritual ketika berpuasa itu dapat dipertahankan selama mungkin dalam pergaulan kita berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa, tentulah kedamaian adalah buahnya.

Ayat 188 surah kedua (al-Baqarah), sungguh tidak langsung menjelaskan kaitannya dengan puasa akan tetapi secara kronologis ayat dapat dimaknai sebagai kesimpulan yang semestinya dicapai bagi seseorang yang terlatih melakukan puasa. Bila seseorang mampu menahan diri untuk tidak makan dan minum yang selama ini menjadi miliknya, juga mampu menahan diri dari nafsu terhadap wanita yang selama ini halal digaulinya, maka larangan memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak sah dan terlarang, menjadi logis sebagai tujuan akhir dari ibadah puasa itu.

Telah dimaklumi bahwa kekacauan, peperangan, dan ketidak damaian dunia ini adalah disebabkan antara lain oleh harta. Menurut Muhammad Husain Haekal bahwa bangun peradaban dalam Islam itu dimulai dari persaudaraan. Persaudaraan itu terbentang dari yang terdekat sampai yang terjauh, yaitu dari persaudaraan sedarah, sesuku, seklan, seagama, sebangsa dan sesama umat manusia. Inti dari persaudaraan itu adalah pengendalian diri terhadap harta. Persaudaraan dimulai dari memberi bukan menerima[8]. Kepedulian terhadap penderitaan dan kemiskinan adalah bangun utama persaudaraan itu. Karenanya puasa adalah latihan untuk merasa peka terhadap rasa haus dan lapar orang lain dan tentunya diaplikasikan dengan memberi, bukan malah mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah dan terlarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger