Headlines News :

Jumat, 13 Maret 2009

qiyas 22

PENDAPAT PARA ULAMA
TENTANG QIYAS SEBAGAI DALIL HUKUM SYARA’

1. Pendahuluan
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali syara’ dalam hal-hal yang nash Al-Qur’an dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secaara jelas. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu, yaitu: penggunaan ra’yu yang masih merujuk kepada nash dan penggunaan ra’yu secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas, meskipun qiyas tidak menggunakan nash secara langsung, tetapi karena merujuk kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas juga sebenarnya menggunakan nash, namun tidak secara nash.
Dasar pemikiran qiyas itu ialah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir dalam setiap hukum di luar bidang ibadat, dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum ituoleh Allah. Alasan hukum yang rasional itu oleh Ulama’ disebut. Disamping itu dikenal pula konsep mumatsalah, yaitu kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang diciptakan Allah. Bila dua hal itu sama dalam sifatnya, tentu sama pula dalam hukum yang menjadi akibat dari sifat tersebut. meskipun Allah SWT hanya menetapkan hukum terhadapp satu dari dua hal yang bersamaan itu, tentu hukum yang sama erlaku pula pada hal yang satu lagi, meskipun Allah dalam hal itu tidak menyebutkan hukumnya.

2. Arti qiyas.
Secara etimologis, kata qiyas berarti qadar, artinya mengukur, membanding sesuatu denga yang semisalnya. Menurut terminologi (istilah hukum), terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi itu adalah:
1. Al-Ghazali dalm al-Mustashfa memberi definisi qiyas:
“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkann hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduannya disebabkan ada hal yang sama antar keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.

2. Ibnu Subki dalam bukunya Jam’u al Jawami’ memberikan definisi sebagai berikut:
“ Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam Illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (Mujtahid)”

3. Abu Hasan al-Nashri memberikan definisi:
“ Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada furu’ karena keduanya sama dalam Illat hukum menurut Mujtahid”.

4. definisi qiyas menurut al-Amidi:
“ Ibarat dari kesamaan antara furu’ dengan ashal dalam illat yang di-istinbath-kan dari hukum ashal”

5. Abu Zahrah memberikan definisi qiyas sebagai berikut:
“ Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam illat hukumnya”.

6. Ibnu Qudamah mendefinisikan qiyas sebagai berikut:

“ Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduannya”.

Demikianlah diantara beberapa definisi tentang qiyas yang dikemukakan para ahli ushul fiqih. Definisi-definisi tersebut berbeda rumusannya, namun berdekatan maksudnya. Ada yang merumuskannya secara sederhana namun padat isinya seperti yang dikemukakan Ibnu Qudamah. Ada juga yang merumuskannya secara panjang dan agak rumit seperti yang dikemukkakan al-Ghazaali. Masing-masing definisi itu mempunyai titik lemah sehingga menjadi sasaran kritik dari pihak lain.
Dari uraian beberapa definisi qiyas tersebut dapat diketahui hakikat qiyas itu, yaitu:
1. Ada dua kasus yang mempunyai illat yangsama.
2. Satu di antara dua kasus yang bersamaan illatnya itu sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdasar nash, sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
3. Berdasarkan illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang belaku pada kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdaasarkan nash.
Dari uaraian mengenai hakikat qiyas tersebut, terdapat empat unsur (rukun) pad setiap qiyas, yaitu:
1. Suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri huhkumnya oleh pembuat hukum. Ini disebut “maqis alaih” atau “ashal” atau “musyabbah bihi”.
2. Suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash syara’. Ini disebut “maqis” atau “furu” atau “musyabbah”.
3. Hukum yang disebutkan sendiri oelh pembuat hukum (syar’I) paada ashal. Berdasarkan kesamaan ashal itu dengan furu’ dalam illatnya, para mujtahid dapat menetapkan hukum pada furu’. Ini disebut “hukum ashal”.
4. Illat hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada Furu’.

3. Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara’.
Dalam hal penerimaan qiyas sebagai dalil hukum syara’. Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. kelompok Jumhur Ulama’ yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah dan dalam Ijma’ ulama’. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
2. Kelompok ulama’ Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahiriyah juga menolak penemuan illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu megetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’.
3. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat di antara keduanya; kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas dapat membatasi keumuman sebagian ayat al-Qur’an atau Sunnah.
Argumentasi ketiga kelompok ulama’ tentang penggunaan qiyas tersebut, dapat dikelompokkan lagi kedalam dua kelompok, yaitu: yang menerima (Jumhur Ulama’) dan yang menolak (Zhahiriyah) penggunanaan qiyas. Dan masing-masing kelompok mempunyai dalil baik al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ maupun dalil Aqli.

1. Dalil Al-Qur’an, dalam surat yasin (36) ayat 78-79:
قال من يحيى العظام وهي رميم قل يحييها الذى أنشأها اول مرة (يس 78-79)
Ia berkata,; “Siapakah yang akan menghidupkan tulang belulang sesudah ia berserakan?” katakanlah, “Yang akan menghidupkan nya adalah yang mengadakan pertama kali.”

 Jumhur Ulama’:
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang tang berserakan di kemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada penciptaan pertama kali.
 Zhahiriyah
Allah tidak pernah menyatakan bahwa Ia mengembalikan tulang belulang oleh karena Ia yang menciptakan pertama kali. Allah juga tidak mengabarkan bahwa penciptaan-Nya pertama kali mewajibkan untuk mengembalikannya ke bentuk pertama lagi. Seandainya penciptaan tulang pertama kali oleh Allah mewajibkan untuk menghidupkannya kembali, maka wajib pula Allah melenyapkannya sesudah diciptakannya pertama kali, dan berarti Allah akan melenyapkan tulang itu untuk kedua kali sesudah diciptakann yang kedua kalinya. Mengenai hal ini tidak seorangpun yang berpandangan demikian. Kalaupun begitu, tentu Allah akan mengembalikan tulang belulang itu ke dunia untuk kedua kalinya sebagaimana Allah menciptakan manusia pertama kali. Pendapat seperti ini adalah kafir dan tidak ada yang berpendapat demikian kecuali dalam sejarah reinkarnasi. Karena itu
menurut Zhahiriyah maksud ayat tersebut hanyalah sebagaimana arti Dhahirnya, yaitu: Yang sanggup menciptakan sesuatu pertama kali, sanggup pula menghidupkan orang mati.

2. Dalil Hadits:
Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz ibn Jabal, saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa di sana (hadits ini sangat masyhur)
 Jumhur Ulama’
Hadits tersebut merupakan dalil Sunnah yang kuat (menurut jumhur ulama’) tentang kekuatan qiyas sebagai dalil syara’
 Zhahiriyah
Mereka menolak hadits di atas, baik daari segi matan (teks) maupun dari segi sanad (periwayatan).
Menurut Zhahiri, dari segi sanad hadits itu dianggap gugur, karena tidak seorangpun yang meriwayatkan hadits ini di luar jalur periwayatan ini. Indikasi gugurnya ialah: pertama, hadits ini diriwayatkan dari suatu kaum yang namanya tidak diketahui, karenanya tidak menjadi hujjah atas orang-orang yang tidak mengetahui siapa perawinya. Kedua, dalam urutan perawinya terdapat Harits ibn ‘Amru yang tidak pernah mengemukakan hadits selain jalur ini.
Kelompok ulama’ Zhahiri juga menilai bahwa hadits tersebut adalah maudhuh’ (dibuat-buat) dan jelas kebohongannya, karena mustahil ada hukum yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, padahal Allah telah menegaskan dalam al-Qur’an surat al-An’am (6) ayat 38: ما فرطنا في الكتاب من شيئ
“Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab (al-Qur’an)”.

Dari segi artinya, menurut Zhahiri, hadits Muaz irtu tidak sedikitpun menyebut tentang qiyas dengan cara apapun. Dalam hadits itu hanya disebutkan penggunaan ra’yu, pengguna ra’yu tidaklah berarti qiyas. Ra’yu hanyalah menetapkan hukum dengan cara yang terbaik, lebih hati-hati dan selamat akibatnya. Sedangkan qiyas menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya seperti hukum sesuatu yang ada nashnya, pakah itu terbaik, secara hati-hati dan berakibat baik atau tidak.

Kelompok ulama’ yang menoalk penggunaan qiyas dalam menetapkan hukum syara’ adalah:
1. Syi’ah Imamiyah, yang membatalkan beramal dengan qiyas.
Mereka tidak membolehkan sama sekali penggunaan qiyas. Dalil yang populer dikalangan mereka adalah: “Agama Allah tidak dapat dicapai melalui akal” dan “ Sunnah itu bila diqiyaskan, akan merusak agama.”
2. Al-Nazham (Ibrahim ibn Siyar ibn Hani’ Al-Bishri) yang mengambil ilmu kalam dari Abu Huzail al-Allaf al-Mu’tazili. Al-Nazham mengatakan bahwa illat yang tersebut dalam nash mewajibkan adanya usaha “menghubungkan hukum” melalui “lafadz” yang umum, tidak memalui qiyas.
Menurutnya, tidak ada bedanya penggunaan bahasa antara, umpamanya, “diharamkan khomr karena daya rangsangnya” yang mencakup khomr dan minuman lain selain yang bernama khomr.
3. Ahlu Zhahir yang populer dengan sebutan Zhahiriyah yang memimpinnya adalah Daud ibn Khollaf. Pandangan mereka tentang qiyas sebenarnya kelihatan dari tanggapan mereka atas argumentasi yang dikemukakan jumhur ulama’. Meskipun mereka tidak menggunakan qiyas, tetapi tidaklah berarti mereka tidak mempunyai metode penggalian hukum atas suatu kasus yang oleh ulama’ jumhur ditetapkan melalui qiyas. Sebagai pengganti qiyas, Zhahiriyah menggunakan kaidah “Umum lafadz nash”.
Selain itu , Zhahiriyah juga mengemukakan beberapa dalil tentang tidak bolehnya menetapkan hukum berdasarkan qiyas:
a. Penggunaan dalil qiyas disamping al-Qur’an dan Sunnah mengandung pengertian atau anggapan bahwa al-Qur’an itu belum lengkap dan ada yang masih belum terjangkau oleh dalil al-Qur’an, padahal Allah SWT menegaskan dalam surat al-An`am ( 6) ayat 38, Allah juga menegaskan :
ما فرطنا في الكتاب من شيء
“Tiadalah kami alpakan sesuatupun didalam al-kitab ( al-Qur`an ).”

b. Tidak dibenarkan seseorang untuk mengikuti tasyabbuh dalam al-Qur’an dan tiak boleh mencari makna ayat yang mutasyabih. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat Ali Imron (3) ayat 7:
فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله
“ Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan (suka kepada yang bathil), maka mereka mengikuti ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya”.

c. Terdapat beberapa nash al-Qur’an yang dengan jelas menolak penggunaan akal dalam menetapkan hukum, diantaranya:
ولا تقف ما ليس لك به علم (الاسراء : 36)
“ Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”

Dalil-dalil ayat diatas dipahami oleh kelompok penolak qiyas untuk menyatakan tidak bolehnya menetapkan hukum melalui qiyas. Namun jumhur ulama’ yang menggunakan qiyas memahaminya dalam arti lain yaitu dalam hal penggunaan akal secaara mutlak dan penggunaan akal dalam menetapkan aqidah dan pokok-pokok ibadah. Jumhur ulama’pun menolak penggunaan akal tanpa menyandarkan diri kepada nash atau dalam hal-hal yang berkaitan dengan pokok aqidah dan ibadah.








D. Eksistensi qiyas pada zaman sekarang
Setelah mengamati pendapat para ulama’ diatas, baik yang menerima maupun yang menolak qiyas, pada akhirnya akan menemui masalah yang sama, yaitu mereka dituntut untuk menemukan sebuah hukum dari peristiwa yang mereka temui dengan cara menggali hukum yang terdapat dalam nash-nash. Jika kita melihat pada keadaan sekarang, dimana semua berjalan dengan begitu cepat seiring dengan kemajuan zaman, peristiwa yang menuntut segera ditemukan hukumnya juga semakin banyak dan komplek, sehingga peran para ulama’ (mujtahid masa kini) sangatlah diharapkan untuk segera menjawab tantangan yang ada di hadapannya.
Oleh karena semuanya harus berjalan dengan cepat dan tepat (termasuk dalam lingkup hukum islam), maka saya setuju dengan pendapat jumhur ulama’ yang menggunakan qiyas dan menjadikannya sebagai dalil hukum syara’, dengan alasan:
1. Pada hakikatnya, ulama’ yang menggunakan qiyas tidaklah bisa dikatakan hanya menggunakan ra’yunya saja, karena mereka memakai hukum asalnya adalah juga dari dalil syara’ yang disepakati (al-Qur’an dan Sunnah). Penggunaan ra’yu atau akalnya adalah merupakan satu-satunya cara, sebagaimana kita juga harus menggunakan akal kita didalam menangkap dalil-dalil syar’i. misalnya penguasaan terhadap Bahasa Arab yang baik dan benar, ilmu Mustholah Hadits dan lain-lain. Semuanya itu tidak mungkin bisa kita lakukan tanpa menggunakan akal kita.
2. Perkembangan zaman yang begitu pesat menuntut para ahli Hukum Fiqh didalam mencaari istimbat hukum juga ahrus cepat. Karena jika terlambat, maka yang sengsara adalah orang-orang (umat Islam) yang menjadi tanggung jawabnya). Jika umat islam itu dalam keadaan terombang-ambing didalam menetapkan hukum, secara otomatis kehidupan mereka juga akan kacau, sedangkan membiarkan diri kedalam kerusakan adalah dilarang dalam Islam.
3. Jika pada akhirnya antara ulama’ yang menentang dan menerima qiyas itu sama didalam keputusan hukumnya (hanya caranya yang berbeda), kenapa harus saling mengkritik didalam menggunakan qiyas, apalagi sampai menyalahkan. Bukankah Nabi menyuruh kepada umatnya untuk mencari kemudahan dan dilarang untuk mencari kesulitan.
4. Jumhur ulama’ didalam menggunakan qiyas juga tidak menggunakan akalnya secara mutlak dan tanpa menyandarkan diri kepada nash, tetapi didalam menggunakan qiyas ada syarat-syarat tertentu, yaitu rukun-rukunnya harus terpenuhi, dan dengan metode yang sangat hati-hati, sehingga hasil dari metode qiyas didalam menetapkan hukum adalah bisa dibuat sebagai dalil hukum syara’

Wallahu A’lam bis Showab

Daftar Pustaka

Depag R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya : Surya Cipta Aksara, 1993 )
Abdul Wahab Khalaf, Prof.Dr. Ilmu Ushul Fiqh (Alih Bahasa: Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy), Bandung: Gema Risalah Press, 1997.
Amir Syarifuddin, Prof.DR.H., Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.
Fathurrahman Djamil, MA.DR.H., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger