Headlines News :

Jumat, 13 Maret 2009

Teori Maslahah

TEORI MASHLAHAH MURSALAH
IMAM AHMAD IBN HAMBAL

Pendahuluan
Pembentukan hukum tidaklah dimaksudkan kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan orang banyak. Artinya mendatangkan keuntungan bagi mereka atau menolak madharat atau menghilangkan keberatan dari mereka, padahal sesungguhnya kemaslahatan manusia tidaklah terbatas bagian-bagiannya, tidak terhingga individu-individunya dan sesungguhnya kemaslahatan itu terus menerus muncul yang baru bersama terjadinya pembaharuan dalam situasi dan kondisi manusia dan berkembang akibat perbedaan lingkungan.

1. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah yaitu yang mutlak, menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah : suatu kemaslahatan dimana syari’ tidak mensyari’atkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau pembatalannya. Maslahat ini disebut mutlak karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakuinya atau dalil yang membatalkannya. Misalnya ialah kemaslahatan yang karenanya para sahabat mensyari’atkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang.
Di dalam teori maslahah mursalah Mazdhab Hanbali menempuh apa yang telah ditempuh oleh Madzhab Maliki dalam memandang maslahah sebagai sumber yang dapat dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum.
Akan tetapi Madzhab Hanbali sebenarnya tidak mengakui maslahah mursalah sebagai sumber mandiri yang berdiri sendiri, sebagaimana pendapat Madzhab Malikiyah. Bahkan Madzhab Hanabilah menganggap maslahah sebagai bagian dari qiyas yang mengikutinya.
Oleh karena itu seolah-olah qiyas menurut madzhab hanabilah terbagi dua, yaitu qiyas khas dan qiyas ‘am. Qiyas khas yaitu qiyas yang mempunyai ‘illat sama yang berkumpul dalam dua perkara yang sama, sedangkan qiyas ‘am yaitu qiyas yang masuk di dalamnya masalah-masalah yang mempinyai illat ‘am, yaitu hikmah dan maslahat.

2. Stratifikasi Mashlahah
Dari sisi prioritas pemenuhannya, maslahah terbagi dalam tiga strata :
pertama, al-dlaruriyyat (primer), yakni hal-hal yang menjadi faktor penting dalam kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat.jika hal-hal ini tidak terwujud, maka tata kehidupan di dunia akan timpang, kebahagiaan akhirat tidak tercapai, bahkan siksalah yang bakal mengancam. Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan, yaitu memelihara tegaknya agama (hifzh al-din), perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), perlindunagn terhadap akal (hifzh al-aql_, pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan perlindungan atas harta kekayaan (hifzh al-mal).
Kedua, al-hajiyyat (sekunder), yakni hal-hal yang menjadi kebutuhan manusia untuk sekedar menghindarkan kesempitan dan kesulitan. Jika hal ini tidak terwujud maka manusia akan mengalami kesulitan dan kesempitan tanpa sampai mengakibatka kebinasaan.
Ketiga, al-tahsiniyyat, yakni kemaslahatan yang bertujuan mengakomodasikan kebiasaan dan perilaku baik serta budi pekerti luhur. Seperti pensyari’atan thaharah (bersuci) sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih, pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya.
Ketiga strata kemaslahatan ini merupakan pijakan wacana pemberlakuan mashlahah mursalah. Karena dari hasil penelusuran hukum-hukum tersebut syari’ mengakomodasikan berbagai sisi kemaslahatan manusia sebagai bentuk anugerah dan kebaikan-Nya, bukan atas dasar kewajiban yang harus dipenuhi syari’.

3. Syarat-Syarat Penerapan Maslahah Mursalah
Para Ulama Madzhab Maliki dan Hanbali menetapkan beberapa persyaratan dalam menerapkan mashlahah mursalah :
pertama, bentuk maslahah itu haruslah selaras dengan tujuan-tujuan syari’at, yakni bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dngan prinsip-prinsip dasarnya dan juga tidak menabrak garis ketentuan nash atau dalil-dalil lain yang qath’i.
Kedua, kemaslahatan tesebut adalah kemaslahatan yang rasional, maksudnya secara rasio terdapat peruntutan wujud kemaslahatan terhadap penetapam hukum. Misalnya, pencatatan administrastif dalam berbagai transaksi akan meminimalisir persengketaan atau persaksian palsu.
Ketiga, maslahah yang menjadi acuan penetapan hukum haruslah bersekup universal, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Karena hukum-hukum syari’at diberlakukan untuk semua manusia. Karenanya, penetapan huku tidak selayaknya mengacu secara khusus pada kepentingan-kepentingan pejabat, penguasa, atau bermotif nepotisme misalnya.

4. Argumentasi Pengguna Maslahah Mursalah
pertama, survei membuktikan bahwa dalam hukum-hukun syari’at terdapat unsur kemaslahatan bagi manusia. Asumsi semacam ini akan menimbulkan dugaan kuat akan legalitas mashlahah sebagai salah satu variabel penetapan hukum.sedangkan mengikuti dugaan kuat adalah suatu keharusan. Pemikiran semacam ini berlandaskan beberapa argumentasi nash. Allah berfirman :
وما أرسلناك إلا رحمة للعا لمين (الأنبياء 107)
Artinya : tidaklah kami mengutusmu wahai muhammad kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta. (Q.S: al-anbiya 107).

Al-Adludl, sebagaimana dikutip Wahbah, menguraikan sisi argumentatif ayat diatas. Menurutnya, dari ayat diatas yang secara zhahir menunjukan keumuman, dipahami bahwa dalam pensyariatan berbagai hukum, Alloh mengakomodasikan kemaslahatan bagi manusia. Sebab bila Alloh mengutus Rosul-Nya untuk memberlakukan syariat tanpa adanya kemaslahatan, maka sama halnya dengan pengutusan tanpa rahmat, karena hal tersebut adalah taklif (pembebanan) tanpa faedah. Dengan demikian, hal ini akan menyalahi keumuman ayat. Argumentasi yang menjadi dalih utama penggunaan mashlahah mursalah ini, oleh para penolaknya disangkal dengan sebuah antitesis. Bahwa meski mashlahah merupakan karakter syari’at islam sebagaimana dibuktikan oleh hasil survei namun kesimpulan ini tidak dapat digeneralisir bahwa setiap mashlahah adalah bagian dari syar’at islam.
Kedua, bahwa zaman berkembang kian pesat, seiring dengan itu paradigma pemenuhan kebutuhan hidup mengalami pergeseran. Berbagai metode pencapaian kesejahteraan pun beragam. Dalam kaitannya denga kehidupan keberagaman, berbagai permasalahan kontemporer yang timbul menyertainya harus segera disikapi secara hukum. Di sisi lain, secara tekstual, nash-nash tidak menyikapi semua permasalahan yang timbul tersebut berikut detil-detilnya secara spesifik. Bila maslahah mursalah tidak dipertimbangkan sebagai salah satu metode ijtihad, betapa banyak kemaslahatan manusia terabaikan. Penalaran hukum syara akan mengalami stagnasi, jumud, bahkan malah memunculkan kesan bahwa syari’at islam tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Kiranya perlu dirumuskan metode penalaran baru yang mengakomodasi kemaslahatan manusia, karena islam datang sebagai rahmat bagi lam semesta.
Argumen semacam ini menurut para penolak legalitas mashlahah mursalah sebagai dalil syara tidak diterima. Karena agama islam telah disempurnakan oleh Alloh menjelang kemangkatan Rosul-Nya. Alloh berfirman :
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الأسلام دينا (الماءدة 4)
Artinya : pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan padamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhoi islam itu jadi agama bagimu.(Q.S Al-Maidah 4)

Islam telah sempurna, tentunya segala macam persoalan sejak Rosulullah wafat hingga hari kiamat pun akan mampu terselesaikan dengan dalil-dalil syara, Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijma, Qiyas. Bisa jadi, secara tekstual nash tidak menyikapi persoalan-persoalan kontemporer scara eksplisit dan spesifik. Namun dengan keumuman redaksional nash ataupun dengan metode qiyas, bebagai macam problematika tersebut akan mampu terselesakan.
Ketiga, dengan menilik perilaku ijtihad para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya, dketahui bahwa pada beberapa kasus, mereka bertindak dan berfatwa berdasarkan prinsip maslahah, tanpa mengikatkan pada normatif qiyas, yakni tanpa didukung pengukuhan nash secara eksplisit dan spesifik. Hal ini berjalan tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya. Ini menimbulkan asumsi terbentuknya ijma’ atas keabsahan metode penggalian hukum berdasarkan maslahah mursalah.akan tetapi pihak yang menolak mengatkan bahwasannya paparan tadi belumlah cukum dijadikan sebagai argumen legalitas mashlahah mursalah. Anggapan bahwa sahabat dngan segala derajat kesalehannya mengadopsi maslahah mursalah, adalah anggapan yang keliru, bahkan hal ini merupakan su’u al-zhann ( buruk sangka) terhadap para sahabat.

Kesimpulan
Ulama Madzhab Hanbali di dalam menggunakan teori maslahah mursalah ini tidak jauh berbeda dengan apa yang digunakan oleh Madzhab Maliki. Ada sedikit perbedaan yakni Madzhab Maliki, beliau mengakui bahwasannya maslahah mursalah itu merupakan sebagai sumber hukum mandiri yang berdiri sendiri dan Madzhab Hanbali, beliau mengemukakan bahwasannya teori maslahah mursalah ini bukanlah sumber hukum yang mandiri sejajar dengan dalil-dalil yang lainnya. Bahkan Madzhab Hanabilah menganggap maslahah sebagai bagian dari qiyas yang mengikutinya. Maslahah mursalah berada pada martabat qiyas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger