Headlines News :

Kamis, 29 April 2010

FIQIH UNTUK PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

WACANA BERLABEL FIQIH UNTUK PEMBERDAYAAN PEREMPUAN*) PENGANTAR WACANA Sungguh prestasi yang luar biasa bila perlakuan ketidakadilan terhadap perempuan oleh wacana keagamaan bertendens patriarchi mampu dipresentasikan oleh cendekia muslimah dengan predikat guru besar. Seakan tumbu ketemu tutup (ungkapan Jawa) tercitrakan pada suami yang muslim berpredikat akademis sama. Amat layak dan berkepatutan sosial sekira surprise ilmiah tersebut diapresiasi dengan target minimal bisa memahami akar pemikiran yang tersirat dan maksimal berkontribusi setara dialektika ilmiah sesuai kemampuan. Persepsi keadilan setinggi jangkauan akal manusia tak lepas dari standar kesejahteraan hidup duniawi, cenderung nisbi/relatif dan subyektif. Kriteria keadilan versi Tuhan yang sebagian teramati lewat teks firman-Nya dan terverbalisasi dalam hazanah matan sunnah/hadis nabawi sejauh mengeksplisitkan syari’ah ‘amaliyah yang baku cenderung absolut. Pengaturan ibadah bertaraf ritual, bidang mu’amalah yang tersedia aturan tertulis (nash) secara rinci dan memanfaatkan ungkapan “muhkam” mengimplisitkan hak prerogatif shahibu al-syari’ah untuk merumuskannya. Peluang ijtihad kreatif (insya’i) menjadi tertutup. Pembaharuan tafsir atas nash syari’at (Al-Qur'an dan matan sunnah/hadis) melalui kaidah kritik substansi memang terniscayakan sepanjang dikontrol oleh prasyarat ilmiah yang berlaku bagi kegiatan ijtihad dalam idiom sebenarnya. Upaya memahami nash-nash syar’i (bukan ungkapan produk fuqaha’) memanfaatkan metode pembacaan ilmu-ilmu sosial amat spekulatif hasilnya dengan resiko antara tafsir bi al-ra’yi yang tercela atau inkar al-sunnah, atau meragukan kejujuran Muhamad Saw selaku pengemban risalah. Memadaikah bekal “ilmu” untuk memodifisir, menduga transisi, memaksakan makna ta’wil dengan mengorbankan legalitas teks suci Al-Qur'an dan validitas ungkapan matan sunnah/hadis. Asumsi, membongkar universalitas hukum syari’at ‘amali, mempromosikan kayfiat ibadah model baru, menawar hal-hal yang tersedia dengan nash syar’i, menyamaratakan hak hukum subyek mukallaf dengan mengabaikan jenis kelamin pria–wanita atas pertimbangan lokalitas Arab abad keenam masehi (periode pembentukan hukum Islam paralel misi kerasulan), terlebih ingin menggugat keadilan Allah terkait detail norma syari’at-Nya, merupakan akses “obsesi ilmiah” karena lebih mengedepankan persepsi (hawa) individu. Kebenaran wahyu terjamin oleh kemahatahuan Mutakallim dan keabadian keberlakuan syari’at-Nya merupakan konsekuensi dari risalah Muhamad Saw yang berstatus pamungkas. Upaya mendialektikan pemahaman atas teks syari’at dan bernuansa uji materiil atas doktrin fuqaha’ yang tertuang dalam hazanah klasik hingga kontemporer adalah sah-sah saja sebagai implementasi kebebasan berpikir. Namun dikhawatirkan metode pemahaman itu terjebak tradisi berpikir sekuler, berseberangan dengan mainstream “sabil al-mu’minin” (QS. al-Nisa’ : 115) dan selebihnya berspekulasi lewat kaidah bahasa untuk mengunggulkan pemahaman kontekstual tentatif. Tanggung jawab moral akademis seyogyanya tetap menempati komitmen “tawashaw bi al-haqqi” dan butuh periode pengujian kebenaran berbekal kesabaran, sebab indikasi minus keilmuan berdampak kesesatan dan penyesatan. CARA PANDANG KEILMUAN Sumber inspirasi buku “Fiqih Pemberdayaan Perempuan” yang mereduksi kepustakaan disiplin ilmu fiqih tidak lebih dari 4 (empat) judul dari 108 judul yang terlampirkan, yakni Al-Mughni susunan Ibnu Qudamah berorientasi mazhab Ahmad bin Hanbal, Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd pengikut mazhab Maliki, al-Majmu’ syarah al-Muhadzab karya Imam Nawawi dikenal sebagai muharrir mazhab Syafi’i dan Fiqh al-Sunnah susunan Sayid Sabiq yang berkecenderungan Syi’ah. Keempat kitab fiqih klasik tersebut didukung kitab editing atas koleksi doktrin fuqaha’ klasik sebanyak 3 (tiga) unit kitab, yaitu Fiqih ‘ala Mazahib al-Arba’ah koleksi al-Jaziri, al-Halalu wa al-Haram karya Yusuf al-Qardhawi dan al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh yang disusun oleh Wahbah al-Zuhaili. Rujukan pemikiran tafsir melibatkan 15 unit karangan mufassir klasik dan kontemporer. Sekalipun tercatat 6 kitab koleksi hadis, namun hanya sebuah kitab syarah hadis yang terekspose, yaitu Fathu al-Bari. Justeru untuk perkamusan bahasa atau kamus istilah melibatkan 10 unit dan yang paling dominan adalah referensi bermuatan wacana pemikiran keagamaan sebanyak 34 judul. Dari pendataan sumber kepustakaan dan narasi per thema dalam buku berjudul “Fiqih Pemberdayaan Perempuan” tidak mengembangkan nalar fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu, lebih dominan pada muara pemaknaan/ pemahaman terkait ide dasar simbol-simbol keagamaan. Obyek kajian buku mengarusutamakan isu-isu fiqih terkait perempuan dengan menyertakan statemen yang terkesan memarginalkan perempuan, seperti: dapur–sumur dan kasur, 3 M (macak, manak, masak), swarga nunut neraka katut, dan sejenisnya. Karena berangkat dari isu yang fenomenologik, tak pelak bila narasi yang menindaklanjuti mencerminkan pembelaan atas ketidakadilan perlakuan yang patriarchi. Dalam buku tersebut fiqih dipandang sebagai penafsiran secara kultural terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, merupakan ajaran non dasar sehingga bersifat lokal/elastis/tidak permanen. Dalam format kitab-kitab fiqih teramati sebagai kumpulan fatwa atau catatan pelajaran. Kesan umum statemen buku tersebut menyatakan fiqih bukan elaborasi syari’at dan ungkapan tekstual sumber syari’at yang terdiri atas ayat Al-Qur'an, matan sunnah/hadis, sepenuhnya tidak menjadi acuan primer pemikiran fuqaha dalam kerja istinbath (deduksi) hukum normatif. Pantas bila mekanisme “pemberdayaan” adalah merubah manhaj pemahaman teks-teks syari’at sebagai rasional obyektif dan perspektif positif, bukan berkutat pada manhaj tekstual normatif. Hal itu paradoks dengan pernyataan tertulis (hal. 57) bahwa pemahaman bukan ajaran. Alur pemikiran semacam itu bersambut gayung dengan editor yang memandang fiqih bukan agama, ia dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Agama tak lebih dari sistem ide moral. Fiqih serupa produk kreatifitas manusia, karenanya pembacaan teks wahyu harus mempertimbangkan kepatutan sosial dan kepantasan sosial. Bila thema besar buku tersebut ingin tetap dipertahankan, maka epistimologi fiqih sebagai disiplin ilmu harus dieksplisitkan. Produk luarannya berupa hukum syar’i ‘amali (normatif praktis), sumber teks-teks syar’i diposisikan sebagai postulat berpikir yang mekanisme perumusan deduksinya mematuhi kaidah istinbath dan pengembangan konseptualisasinya mengaplikasikan asas ijtihad-istidlal. Rangkaian berpikir tetap membentuk manhaj yang sistematis, terkontrol bias kesalahan rasional karena pemihakan subyektif yang spekulatif. Sebagai contoh, istilah yang terbakukan dalam teks ayat/matan hadis menghormati hirarchi pemaknaan asli hakiki atau majazi ‘urfi dan seterusnya. APRESIASI SUB THEMA Bahasan bersub thema “hijrah” direfleksikan sebagai pemahaman pola pikir (mind set) yang tidak adil menuju pola relasi laki-laki dan perempuan. Persepsi demikian lebih mengesankan makna ta’wil yang mirip tafsir isyari. Hijrah dalam eksplanasi hadis tetap meniscayakan kegiatan riil, yaitu mobilitas jihad dengan tetap mempertahankan motivasi hijrah. Sub thema “maulid” langsung dikorelasikan dengan misi utama kenabian, bila dirunut sejarah perlembagaan awalnya justeru menyetarakan jatidiri kemanusiaan bayi Muhamad dengan bayi manusia yang lain, termasuk Isa al-Masih yang menyegarkan semangat tempur tentara bersalib. Peristiwa kelahiran bila disikapi dengan fiqih sebagai disiplin ilmu menormatifkan status keyatiman dengan nasab jelas kepada Aminah dan Abdullah bin Abdu al-Muthalib. Ulasan kurban dipersepsikan pribadi perempuan (dalam status isteri) harus dibuat kuat dan tegar seperti Hajar (tanpa Siti). Apresiasi yang loyal pada akar kata qa-ra-ba seharusnya penekanan mendekatkan diri kepada Allah dengan media sedekah makanan bergizi tinggi. Selebihnya adalah pendidikan moral religious kepada anak dan penghormatan atas hak mengeluarkan pendapat. Insiden tuntutan formalisasi syari’at terkesan pemaksaan oleh sekelompok orang Islam dengan model sweeping yang bersasaran perempuan tak berjilbab dan yang berprofesi PSK. Ironisnya gagasan yang ditawarkan berlabel fiqih pemberdayaan tidak menawarkan solusi kultural berupa kepatutan dan kepantasan sosial yang diadopsi dari Nashr Abu Zayd. Fiqh pemberdayaan seyogyanya berbasis pemikiran normatif dengan proyeksi “tathbiq al-syari’ah” (aplikasi norma hukum) yang tahapan budayanya dari content of law, belanjut penciptaan structure of law dan tahap implementasi dengan culture of law. Gagasan kepemimpinan perempuan diwarnai klaim mendasar bahwa agama Islam dikenal sebagai agama penganut patriarchi Arab. Tampilan hadis diambil yang mendasari penggeneralisiran tanggung jawab dan gugatan dominasi laki-laki serta beretnis Quraisy. Bila rancangan gagasan itu melihat fakta hukum waris yang mengakui awlad al-umm (saudara seibu) dengan pewaris dan berlaku rasio pria-wanita adalah satu banding satu, serta pemberian waris pada nenek ibu, tuduhan sistem patriarchi Arab terpatahkan. Sedang paradigma kepemimpinan berpihak laki-laki serta beretnis Quraisy itu sebatas (terlokalisir) pada sistem khilafah yang setara al-imamah al-udzma. Memasuki gagasan hak politik dengan cara menganalogkan tugas berdakwah dan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar, pola berpikir tersebut wajar dan proporsional pada tataran premis yang setingkat. Untuk peran publik yang terbayangi resiko besar, seperti jihad fisik di medan perang menurut fiqih nabawi dinyatakan sebagai hal yang muthawa’ah (karitatif), demikian pula untuk merepresentasikan diri sebagai kuasa pemutus qishash (waliyyu al-damm). Sub thema kesaksian perempuan terlihat dominasi pandangan mufassirin (7 orang) dan berakhir dengan pandangan penulis buku bahwa hukum Islam Indonesia boleh mengabaikan QS. al-Nisa 15, QS. al-Nur 4 dan QS. al-Thalaq 2. Bila gagasan itu mematuhi rumus gramatika kata bilangan dan benda yang dihitung (‘adad-ma’dud), maka tradisi kebahasaan Arab yang dipilih Allah sebagai pengantar kalam Al-Qur'an mengajarkan bahwa jenis kelamin untuk kesaksian atas pelaku tindak pidana zina, pembunuhan, pemberontakan, pencurian, tuduhan zina, amat representatif dibebankan saksi berkelamin pria. Memasuki sub thema “imamatu al-shalah” yang menempuh solusi tarjih dengan mengunggulkan hadis Ummu Waraqah al-Anshariyah, solusi tersebut mengabaikan data sabab al-wurud yang dalam koleksi Abu Dawud (no. indeks 591) terbaca jelas. Karenanya solusi tersebut tidak konteks dengan historisitas kejadian yang amat kasuistik. Mencermati momentum pelarangan wanita menjadi imam shalat fardhu disampaikan oleh Rasulullah Saw sebagai narasumber dan forumnya adalah saat khutbah, maka watak generalis lebih unggul. Menggugat bias keadilan pada pensyari’atan khitan bagi perempuan, landas pemahaman penulis buku hadis koleksi Abdu Dawud (no. indeks 356) adalah dha’if, bukan hasan seperti diasumsikan. Lebih-lebih kisah Israiliyat yang terangkat dengan substansi normatif melubangi (daun) telinga. Hujjatu al-Islam Imam al-Ghazali tegas mengancam orang tua yang melubangi daun telinga puterinya untuk diqisash. Klaim penulis buku bahwa asal khitan itu haram bertentangan diametris dengan informasi hadis-hadis yang mengkategorikan khitan sebagai “sunan al-fithrah” dan diperkuat oleh tradisi agama Ibrahimi. Penolakan suara perempuan sebagai awrat dengan argumentasi “tidak ada teks yang tegas” dipersilahkan merujuk pada koleksi hadis Abu Dawud (no. indeks 939–942), koleksi al-Bukhari dan Imam Muslim. Ungkapan matan ketiga kitab tersebut menegaskan: cara mengingatkan kesalahan imam dalam shalat jama’ah oleh makmum pria dengan membaca tasbih dan bila yang menegur wanita cukup dengan kode pukulan tangan atas tangan. Selebihnya adalah indikasi (dalalah) implisit QS al-Ahzab 33, dengan penalaran isteri Nabi sebagai ummu al-mu’minin adalah representasi keteladanan yang ideal. Usul penulis buku untuk memodifikasi pendapatan jatah waris pria dua kali porsi ahli waris sederajat yang wanita dengan asumsi keberlakuan ayat itu transisional, bisa langsung digulirkan untuk jatah awlad al-umm (QS. al-Nisa’ 12). Adapun modifikasi rasio 2 : 1 untuk yang lain terbentur tidak adanya informasi dari kalangan ahlu al-tanzil bahwa QS. al-Nisa;’ 11 itu mansukh. Gagasan melibatkan perempuan dalam status isteri dalam menjatuhkan thalaq, kalau hanya merujuk kitab Bulugh al-Maram yang sebatas menyajikan teks-teks hadis hukum tanpa komentar terasa janggal sekali. Inisiatif pemisahan/ mengakhiri hubungan nikah bisa diajukan oleh isteri menempuh lembaga hukum: fasakh, khulu’, furqah dan konsekuensi dari ila’ yang lampau waktu. Keterlibatan suami menjalani iddah termaktub dalam doktrin fuqaha’ bila suami menceraikan satu diantara empat orang isteri. Demikian pula bila suami akan mengawini ipar (saudara perempuan isteri yang meninggal dunia). Alasan kasus pertama adalah status wanita thalaq raj’iy setara dengan status masih punya suami. Saudara perempuan isteri terikat mahram muaqqat (sementara). Perihal dekrit Khalifah Umar bin Khathab mengenai thalaq tiga sekaligus tidak ada yang menggolongkan sebagai bagian integral syari’at Islam. Imam Malik dan lain-lain memandang dekrit khalifah bernilai siyasah syar’iyyah yang bertaraf yurisprudensi hukum. Asas ijtihadinya adalah preventif (saddu al-dzari’ah). Sebagaimana dzari’ah yang lain terbuka peluang dibuka kembali bila kondisi dampak negatifnya telah tiada. RANGKUMAN Adalah hak azazi penulis dengan otonomi ilmiah sesuai predikat guru besarnya untuk menuangkan gagasan kritis rasional dalam format ilmiah. Setingkat wacana akdemik buku tersebut layak disosialisasikan agar paradigma dan metode pembacaan teks syari’at dengan pendekatan ilmu sosial bisa diikuti oleh pemerhati fiqih kontemporer. Sebagai wacana amat terbuka untuk disempurnakan, dikritisi dan diapresiasi oleh pihak-pihak yang berkompeten. Senyampang pembanding lebih terikat oleh komitmen al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih, maka respon atas gagasan cerdas fiqih pemberdayaan ini bila belum jelas kadar ashlahnya dari segi argumentasi dan manhaj fikriahnya masih diperlukan waktu serta pertimbangan moral ilmiah sebijak mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger