Headlines News :

Minggu, 11 April 2010

ijma' dalam islam

BAB I
PENDAHULUAN


Ijma’ merupakan hukum Islam yang ketiga setelah as-Sunnah. Ijma’ digunakan untuk menggali dalil-dalil dari suatu permasalahan yang ada. Karena banyaknya permasalahan yang timbul saat ini dalam masyarakat, banyak juga yang tidak dapat menyelesaikannya sehingga para Ulama’ bersepakat untuk menyelesaikannya.
Saya mengambil pembahasan ijma’ karena saya ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang ijma’ dan saya juga ingin menggali dalil-dalil dan hukum-hukum yang terkandung dalam ijma’.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Definisi Ijma’
Ijma’ menurut ulama’ ushul fiqh adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka sepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut ijma’. Kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa hukum itu adalah syara’ atas suatu kejadian. Dalam definisi disebutkan “setelah wafatnya Rasul”, hukum syara’, sehingga tidak mungkin ada perbedaan hukum syara’ juga tidak dapat ada kesepakatan. Karena kesepakatan hanya bisa terwujud dari beberapa orang. Lafal al-Ijma’ menurut bahasa arab berarti tekad, seperti dalam firman Allah SWT.
  
”Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).”

B. Unsur-unsur
Dalam definisi telah disebutkan bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid mulim pada suatu masa atas hukum syara’ bila mencakup empat unsur:
Pertama : Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian.
Kedua : Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan atau kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa oleh hanya mujtahid Haramain, Iraq, Hijaz, keluarga Nabi, atau mujtahid Ahlu Sunnah tidak termasuk Syi’ah. Maka kesepakatan masing-masing negara, kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hukum syara’.
Ketiga : Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid. Pendapat itu diungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas peristiwa, atau perbuatan seperti bentuk putusan hukum.
Keempat : kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia Islam. Bila yang bersepakat hanya mayoritas, maka kesepakatan itu tidak disebut ijmak meskipun yang tidak sepakat adalah minoritas dan yang sepakat adalah mayoritas.

C. Kekuatan Ijma’ sebagai Hujjah
Bila keempat unsur ijma’ tersebut terpenuhi yakni setelah wafatnya Rasul dapat didata jumlah seluruh mujtahid dunia Islam dari berbagai negara, bangsa dan kelompok. Kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka untuk mengetahui hukumnya, dan seluruh mujtahid tersebut mengemukakan, pendapat hukumnya secara jelas dengan perkataan atau perbuatan, berkelompok atau perorangan.

Bukti Kekuatan Ijmak sebagai Hujjah antara lain:
1. Sebagaimana Allah SWT, dalam al-Qur’an memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya, dia juga memerintahkan untuk taat kepada ulil amri, seperti dalam firmannya:
          

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’: 59)

Lafal al-Amri artinya adalah hal atau perkara, ia bersifat umum, meliputi masalah agama dan dunia. Ulir Amri pada masalah dunia adalah raja, para pemimpin dan penguasa, sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa.
2. Pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat Islam adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya. Ada beberapa hadits dari Rasul dan atsar dari para sahabat yang menunjukkan terpeliharanya umat (dalam kebersamaan) dari kesalahan, antara lain:
لا تجمع أمتي على خطأ
“Umatku tidak akan berkumpul (dan sepakat) untuk kesalahan”
لم يكن الله ليجمع أمتي على الضلالة
“Tidak mungkin Allah mengumpulkan umatku melakukan ketaatan”
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik menurut Allah SWT”
Ketidak mungkinan melakukan kesalahan itu ditunjukkan oleh kesepakatan seluruh mujtahid atas satu hukum terhadap itu ditunjukkan oleh kesepakatan seluruh mujtahid atas satu hukum terhadap satu kejadian. Perbedaan sudut pandang, lingkungan dan bermacam-macam sebab perbedaan mereka adalah bukti bahwa kesamaan haq dan kebenaranlah yang menyatukan pendapat mereka dan menyisihkan alasan-alasan perbedaan pendapat mereka.
3. Ijma’ atas suatu hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula, karena mujtahid Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasil ijthadnya tidak didukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nash dan makna dari petunjuk nash yang ada.
Sebagaimana ijma’ dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum terdapat suatu peristiwa, ia juga dapat digunakan memberikan ta’wil atau tafsir suatu nash, alasan hukum nash atau penjelasan hal-hal yang berkenan dengan nash.
4. Kemungkinan mengadakan Ijma’
Sekelompok ulama’ termasuk diantaranya kelompok Nadzdzam dan sebagian Syi’ah berkata: Ijma’, dengan unsur-unsur yang telah jelas ini, menurut adat tidak mungkin untuk daidakan, karena sulit untuk memenuhi semua unsur-unsurnya. Hal itu karena tidak ada ukuran pasti, seseorang sudah mencapai tingkat ijtihad atau belum. Juga tidak ada patokan hukum, seseorang termasuk mujtahid atau tidak. Sehingga sulit mengetahui mujtahid selain oleh mujtahid sendiri.
Apabila mungkin masing-masing mujtahid di dunia Islam pada saat terjadinya suatu peristiwa itu diketahui, maka mengetahui pendapat mereka secara keseluruhan dalam peristiwa itu dengan cara yang meyakinkan atau mendekati yakin adalah sulit.
Diantara alasan yang memperkuat bahwa ijma’ tidak mungkin diadakan adalah bila ijma’ itu diadakan, maka harus distandarkan kepada dalil. Jika dalil yang dipakai sandaran itu pasti, menurut kebiasaan pasti diketahui, karena bagi umat Islam tidak sulit mengetahui dalil syara’ yang pasti sehingga mereka butuh untuk menunjuk pada mujtahid dan kesepakatan mereka.
Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Ahkam meriwayatkan pendapat Abdullah bin Ahmad bin Hambal: saya mendengar Ayah berkata, “Apa yang diakui oleh seseorang sebagai ijma’ adalah bohong dan siapa yang mengakui adanya ijma’ dia adalah pembohong.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat diadakan, menurut kebiasaan. Mereka berkata, “Apa yang dikatakan oleh penentang kemungkinan ijma’ itu adalah pasti kerena meragukan masalah yang terjadi, “Mereka menyebutkan beberapa contoh hal-hal yang telah ditetapkan sebagai hasil ijma’, seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, keharaman minyak babi.
Pendapat yang saya anggap lebih kuat adalah bahwa ijma’, dengan definisi dan unsur-unsur seperti yang telah saya jelaskan, menurut kebiasaan tidak mungkin diadakan bila diserahkan kepada masing-masing umat Islam dan kelompoknya. Ijma’ mungkin dapat diadakan bila dikuasai oleh pemerintah Islam dimana saja. Masing-masing pemerintahan dapat menentukan syarat seseorang dianggap mencapai tingkatan ijtihad dan memberikan title ijtihad kepada orang telah memenuhi syarat-syarat tersebut.

5. Terbentuknya Ijma’
Apakah ijma’ dalam pengertian seperti tersebut setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pernah terjadi? Tidak. Orang yang melihat kenyataan pada masalah hukum yang telah diputuskan oleh para sahabat kemudian hukum itu dianggap sebagai ijma’. Akan mengetahui bahw aijma’ itu tidak dalam pengertian seperti diatas. Tetapi kesepakatan dari ilmuwan pada waktu itu atas hukum mengenai peristiwa yang diajukan. Kesepakatan itu pada dasarnya adalah hukum yang dihasilkan dari musyawarah orang banyak, bukan pendapat perorangan.
Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ketika menerima suatu pengaduan masalah dan tidak mendapatkan hukumnya dalam kita Allah maupun Al-Sunnah, maka beliau mengumpulkan pemimpin umat serta para sahabat pilihan untuk diajak musyawarah. Bila mereka sepakat atas satu pendapat, maka hukumnya segera dilaksanakan. Demikian juga yang dilakukan Umar. Ini yang oleh ulama’ Fiqh disebut Ijma’, yang pada hakikatnya adalah pembentukan hukum oleh Jama’ah, bukan satu orang.
Maka penetapan hukum itu bersifat individu, bukan hasil musyawarah, kadang-kadang ada kesamaan dan kadang-kadang ada pertentangan. Maksimal yang dapat dikatakan seorang ahli fikih, ”Hukum tentang peristiwa ini tidak diketahui ada yang menetangnya.”
6. Macam-macam Ijma’
Ijma’, dintinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma’ Shahih : Yaitu para Mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terpada suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti : Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jeals terdapat suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak terdapat yang telah dikemukakan.
Ijma’ shahih adalah ijma’ yang sesungguhnya, dalam pandangan jumhur ulama’ ia adalah suatu hujjah hukum syara’. Sedangkan ijma’ sukuti adalah ijma’ yang seakan-akan, karena diam berarti sepakat sehingga tidak dikatakan pasti adanya kesepakatan dan tidak pasti terjadinya ijma’.
Pendapat yang saya anggap lebih kuat adalah pendapat jumhur ulaama’; karena seorang mujtahid yang diam, kemungkinan terpengaruh beberapa masalah dan keragu-raguan, baik masalah pribadi atau bukan masalah pribadi. Tidak mungkin meneliti semua masalah dan keragu-raguan yang mempengaruhinya lalu memutuskan bahwa diamnya adalah setuju dan pendapat menerima pendapat yang lain. Mujtahid yang diam berarti tidak mempunyai pendapat dan tidak dapat dikatakan setuju atau menentang.




DAFTAR PUSTAKA

Syaikh Muhammad Al-Khudhori Biek. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Amani. 2007
Prof. DR. Abdul Wahab Khallaf. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Amani. 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger