Headlines News :

Senin, 03 Mei 2010

PEMBAGIAN HADIS

PEMBAGIAN HADIS A. Pendahuluan. Sebelum kita menganalisa mengenai pembagian hadis dalam segi kuantitasnya maupun dari segi kualitas sanatnya.Perjalanan mencari hadis itu memang berbeda-beda sesuai dengan pelaku, tempat tujuan dan waktunya. Ada yang menempuh jalan kaki,ada yang melakukannya ketika berusia 15 hingga 20 tahun, begitupun ada yang dengan susah payah, namun ada pula yang tampa rintangan berarti. Sebab para perawi itu sendiri tidak merasa puas hanya menimba ilmu dari penduduk negeri sendiri. Karena itu, mereka ingin memperoleh ilmu dari sumbernya yang pertama serta mereka dapat mewujutkan keyakinannya, yaitu bahwa “Mendapatkan kemampuan melalui pengajaran langsung akan efektif dan lebih mengakar”. Dengan demikian kita diharuskan paham betul dalam menganalisa mana hadis yang Shahih dan yang tidak Masyhur. B. Pembahasan 1. Hadis Berdasarkan Tinjauhan Kuantitasnya. Pendapat para ulama dalam pembagian hadis ditinjau dari sudut kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita ini, mereka ada yang mengatakan dikelompokkan tiga bagian yaitu Hadis Mutawatir, Masyhur dan Ahad serta ada yang mengatakan hanya dua yakni Hadis Mutawatir dan Ahad. Para ulama golongan yang mengatakan tiga bagian yang ditinjau dari kuantitasnya hanya sebagian ulama ushul diantaranya Abu Bakar al-Jashshash, yakni hadis masyhur berdiri sendiri. Sedangkan yang dua bagian (hadis mutawatir dan hadis Ahad) di ikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Di sini saya akan menguraikan definisi hadis-hadis di atas. a. Hadis Mutawatir Adapun pengertian mutawatir menurut etimologi, berarti Mutatabi’ yaitu yang (datang) berturut-turut, dengan tidak ada jaraknya. Sedangkan menurut terminologi yaitu “Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berdusta. (jumlah banyak itu) sejak awal sanad sampai akhirnya. Maksudnya suatu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah bilangan rawi daam tiap-tiap tingkatan sanadnya, dimana secara akal mustahil mereka akan sepakat menyalahi hadis tersebut. Hadis Mutawatir itu sendiri terbagi dua bagian yakni: Mutawatir Lafzhi atau hadis yang diriwayatkan oleh banyak para perawi sejak awal sampai akhir sanadnya dengan memakai lafadz yang sama (Lafzhun wahid). Dan Mutawatir Ma’nawi atau bisa dikatakan hadis yang diriwayatkan disepakati maknanya, akan tetapi lafadznya tidak. Misalnya tentang ar-ru’yat; bilngan raka’at dalam shalat, membaca al-qur’an dengan jahr (nyaring) pada waktu shalat Magrib, Isya, dan Subuh. Adapun syarat-syaratnya hadis mutawatir itu sendiri antara lain: 1. Diriwayatkan oleh banyak pe-rawi. 2. Adanya keyakinan. 3. Adanya kesamaan dalam jumlah sanad pada tiap-tiap thabaqahnya (tingkatan) 4. Berdasarkan tanggapan panca indra. b. Hadis Ahad. Hadis Ahad secara Etimologi yakni satu, Jadi suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Adapun ulama lain mendefinisikan dengan :” Hadis yang sanadnya Shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi SAW), tetapi kandungannya memberikan pengertian zhani dan tidak sampai kepada qat’I atau yakin. Bila kita melihat dari sudut kuantitas perawinya, hadis Ahad berada di bawah hadis Mutawatir serta isinya pun memberikan faedah zhanni bukan qat’I. Misalnya ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an yang hanya diperoleh melalui hadis Ahad. Seperti halnya hukum haram mengumpulkan dua istri yang bersaudara (istri dengan bibinya), Iddah bagi wanita yang cerai mati dan sebagainya. c. Hadis Masyhur. Kata masyhur dari kata Syahara, yasyharu, syhran (yang terkenal atau yang populer di kalangan manusia). Adapun secara terminologi Hadis Masyhur yaitu hadis yang disampaikan oleh orang banyak akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak pe-rawi mutawatir. Maksud hadis mutawatir di atas, pe-rawi pada hadis ini banyak akan tetapi dari jumlah tersebut belum sampai memberikan faedah ilmu dharuri, sehingga kedudukan hadisnya zhanni akan tetapi masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat misalnya: “Sungguh Allah tidak mengambil ilmu dengan mencabut begitu saja dari manusia (masyhur yang Shahih). 2. Hadis Berdasarkan Tinjauan Kualitas. Bila kita menganalisa tinjauhan kualitas, bahwasanya kualitas itu sendiri mempunyai arti mutu, nilai, tingkat atau kadar sesuatu. Jadi bila kita menghubungkan dengan hadis, maka yang dianalisa kualitas hadis itu berbicara mengenai soal nilai atau mutu hadis yang mana apakah hadis itu bisa dijadikan hujah dalam menetapkan sesuatu kepastian ajaran Agama atau tidak. Jadi bila kita ingin memperoleh gambaran atau fakta mana yang bermutu dan mana yang tidak, maka kita harus melalui penelitian yang mendalam dan akurat. Maka saya akan membahas yang berhubungan dengan kualitas hadis itu sendiri antara lain Hadis Shahih, hasan, dhaif, Ma’mulbin dan goiru ma’mulbin. a. Hadis Shahih Bila kita menganalisa hadis ini, menurut Etimologi mempunyai arti sehat, yang selamat serta yang sempurna.Serta bila kita melihat dari segi terminologi yaitu Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan dan diterima dari pe-rawi yang adil dan dha’bith, serta selamat atau terhindar dari kejanggalan dan Illat. Sebab Asy-syafi’I menyebutkan bahwa suatu hadis dapat dijadikan hujah, apabila diriwayatkan oleh para pe-rawi yang dapat dipercaya pengalaman Agamanya, dikenal jujur, memahami dengan baik hadis yang diriwayatkannya serta sanadnya bersambung sampai kepada Rosul SAW. Sebab ini merupakan kriteria adanya yang jelas diterima atau tidak kehujjahannya. Adapun syarat-syaratnya hadis ini antara lain: Diriwayatkan oleh perawi yang adil, Ke-dhabith-an perawinya sempurna atau bisa dikatakan hafalannya baik, tidak pelupa, antara sanadnya harus muttashil atau kedekatan antara pembawa dan penerima hadis itu bertemu langsung serta tidak cacat dan janggal. Kehujahan hadis ini, menurut ulama sependapat bila hadis Ahad yang Shahih dijadikan untuk menetapkan syari’at Islam. Namun mereka berbeda pendapat, apabila kategori ini dijadikan hujah untuk soal-soal Akidah. b. Hadis Hasan Bila kita menganalisa historis hadis hasan ini, pada mulanya hadis itu terbagi dua yaitu hadis shahih yang memenuhi kriteria maqbul, dan yang dhaif tidak memenuhi itu atau bisa dikatakan mardud. Sehingga munculah hadis hasan yang mana kedudukan perawinya yang memiliki kualitas hafalannya menengah dengan memiliki sebutan tersendiri dan kemampuannya dihargai. Hadis hasan menurut Etimologi yaitu hadis yang baik atau yang sesuai dengan keinginan jiwa. Adapun menurut terminologi yaitu “Hadis yang diriwayatkan oleh pe-rawi yang Adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan syadz. Adapun hadis ini menurut ulama terbagi dua yaitu hadis hasan Li-Dzatih yang menerangkan bahwa perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi data ingatannya atau hafalanya mereka belum sampai kepada derajat hafalan para pe-rawi yang shahih. Sedangkan yang kedua hadis hasan Li-Gairih yang mana hadis ini bukan sendirinya, atau bisa dikatakan kualitas asalnya di bawah hadis hasan yakni hadis Dhaif. Hadis hasan inipun mempunyai syarat-syaratnya, adapun antara lain: Para pe-rawinya Adil, ke-dhabith-an perawinya di bawah perawi hadis Shahih, sanadnya bersambung, tidak terdapat kejanggalan atau syadz dan tidak mengandung illat. Sedangkan kehujjahan hadis ini bisa dijadikan hukum apabila dalam bidang hukum menurut jumhur ulama hadis ini merupakan sumber hukum bagi Islam baik itu moral maupun Akidah. c. Hadis Daif. Bila kita melihat hadis ini, hadis dhaif ini merupakan hadis yang lemah, yang mana memilki dugaan yang lemah tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasullah. Bila kita mendefinisikan secara terminologi, para ulama berbeda –beda dalam redaksinya. Tetapi intinya sama yakni Hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis Shahih dan hadits hasan. Dalam hadis dhaif ini secara garis besar ada dua penyebab yaitu: gugurnya rawi dalam sanadnya dan adanya cacat pada rawi atau matan. Misalnya hadis yang gugur rawinya antara lain: Hadits Mursal, Munqati dan sebagainya, sedangkan yang cacat dari pada rawi dan matan antara lain : Hadits Maudui, hadits munkar dan sebagainya. d. Hadis Ma’mulbin dan Ghairu Ma’mulbin. Bila kita melihat hadis ini, merupakan sifat dari hadis Makbul yang mana mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai hujah, adapun lawannya yakni hadits Mardud.Jadi bila kita berbicara hadis ma’mulbin yaitu hadis yang mana mempunyai sifat yang dapat dijadikan hujah serta diamalkan, sedangkan lawan dari hadis ini hadits Ghairu Ma’mulbin. Adapun yang temasuk hadis makbul yang ma’mulbin antara lain hadits muhkam (hadits yang tidak mempunyai saringan dengan hadits lain, yang dapat mempengaruhi artinya ), hadits mukhtalif (hadis yang dapat di kompromikan) sedangkan yang termasuk Ghairu ma’mulbin antara lain Hadis Marjuh (suatu hadis makbul yang ditengah oleh hadits makbul lain yang lebih kuat ) serta hadis mansukh dan sebagainya. C. Kesimpulan. Bila kita menganalisa pembahasan tentang hadis itu sendiri yang mana dilihat dari segi kuantitas dan kualitasnya, para perawi dalam paradigmanya memang banyak berbeda dalam penilaian atas ideologinya yang di jelaskan dalam hadits itu sendiri. Tetapi pada dasarnya hadis itu sendiri mana yang bisa dijadikan hujah dalam menetapkan hukum atau permasalahan yang akurat. Maka kita harus paham betul dalam membedakan antara hadits yang Shahih dan dhaif. Sebab hadits itu sendiri merupakan teori atau bisa dikatakan praktek dalam pemahaman isi Al-Qur’an. DAFTAR PUSTAKA  As Shahih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Fuirdaus. Jakarta. 2002.  Thahhan, Mahmud, Ulumul Hadits. Titihan Ilahi Pres. Yogyakarta. 1997.  Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Gaya Media Pratama. Jakarta. 1996.  Rahman, fatchur. Iktisar Mushtalahul’l Hadits. PT. Alma’arif. Bandung. 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger