Headlines News :

Minggu, 29 September 2013

Al Istishhab


PENDAHULUAN
1. pengertian istishhab
االا ستصحاب عند الاصوليّين هو الحكم علي الشيئ بالحال التي كان عليها من قبل حتي يقوم دليل علي تغير تلك الحال او هو جعل الحكم الذيكان ثابتا في الماض باقيا في الحال حتي يقوم دليل علي تغيره
Istihhab menurut ulama’ usuliyin adalah meneapkan hokum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebeumnya, sampai ada dalil yang merubahnya “ dengan ungkapan ini istihhab ialah menjadikan hokum suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga hingga peristiwa berikutnya kecuali ada dalil yang merubah ketentuan itu.
Sedangkan istihhab secara harfiyah ialah. Mengakui adannya hubugan perkawinan.Oleh sebab itu apabila seorang mujtahid di tannya tentang sesuatu perkara atu hukum, yang mana hukum tersebut tidak bias di cari kaidah hukumnya baik didalam Al Quran atupun Al hadis atupun didalam dalil-dalil syara’ maka alternatif terahir alah menggunakan dasar hukum islam yang kedelapa yaitu istishhab dan di hukumi boleh sebab pada dasarnya semua apa yang ada di bumi ini adalah hukumnya boleh, sebelum ada dalil-dalil yang melarangnya. Sesuai dengan koidah usul fiqih
الأصل فىالأشياء الإباحة
Artinya : padadasarnya sesuatu itu adalah boleh
Kemudian apabila seorang mujtahid ditannya tentang hokum binatang, benda-benda, tumbuh-tumbuhan, makanan dan minuman atu sesuatu amal yang hukumnya tidak di temukan di dalam dalil syara’ maka hukumnya ialah boleh sesuai dengan hukum pada asal mula perkara tersebut. Sebelum ada dalil yang mengubahnya menjadi tidak boleh. Kebolehan disini adalah merupakan pangkal (asal ) meskipun tidak ada dalil yangmenunjukan atas kebolehannya. Dengan demikian pangkal sesuatu itu adalah boleh seperti firman Allah dalam surat Al Baqoroh
هو الذى خلق لكم ما فى الارض جميعا
Artinya : dialah allah yangmenjadikan segala apa yang ada dibumi ini untukmu
Istishhab merupakan dalil syara yang terahir yang dipakai mujtahid yang dipaki untuk menggali hokum. Sedangkan ulama’ usul mengatakan pada dasarnya istihhab merupakan tempat berputarnya fatwa yang terahir untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hokum yangtelah di tetapkan sebelum ada dalil yang merubahnya. Hal tersebut merupakan metode didalam pengambilan dalil yang telah menjadi lebiasaan atu adat manusia pada seluruh pemeliharaan dan penetapan mereka. Karena jika seseoragmengetahui adanya seseorangyang hidup, maka ia itu di hukumi hidup dan dasar hidupnya itu di pelihara hingga terdapat dalil yang menunjukan bahwa ia itu sudah meninggal. Dengan dasarnya ialah
االأ بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
Artinya : asal sesuatu itu merupakan ketetapan terhadap sesuatu yangtelah ada berdasarkan keadaan semula hingga adanya ketetapan sesuatu yang merubahnya
الأ صل فى الانسان البرأة
Artinya asal yang ada pada manusia iu adalah kebebasan
2. KEHUJAHAN ISTISHHAB
Istishhab merupakan dalil syara’ terahir yang dipakai oleh mujtahid sabagi hujah untuk mengetahui hokum sesuatu kejadian yang dihadapkan kepadanya. Sedangkan istishab menurut ulama’ usul merupakan berputarnya fatwa yang terahir untuk mengetahui sesuatu berdasrkan hukum tang telah di tetapkan selama tidak ada dalil yang merubahnya. Sedangkan apabila setalah itu ada dalil yang melarangnya, maka hukum yang tadinya boleh menjadi tidak boleh.
Jika seseorang memiliki sesuatu berdasarkan sebab pemilikan, maka pemilikan itu tetap berlaku sampai adanya ketetapan lain yangmenggugurkan pemilikan hal itu. Halalnya hubunganan suami isterikarna ikata akat nikah, berlaku seterusnya hingga adanya ketetapan yangmengharampan hubungan itu.tanggungan hutang tetap berlaku hingga adanya ketetapan akan gugurnya tanggungan itu.
Sedangkan dalam masalah khujahan istishab ini ada tiga pendapat dikalanganulama’ ulama’ usul fiqih:
a) Mayoritas dari pengikut Maliki syafi’i , Ahmad dan sebagian ulama’ Hanafiberpendapat bahwa istishhab bias menjadi hujandalam menetapkah hukum
syara’
alasan mereka ialah sesuatu yangtelah ditetapkan pada masalalu , selama tidak ada dalil yang mengubahnya,baik secara qoti maupun zoni maka ukum yan telah ditetapkan itu terus berlaku karna ada dugan keras belum ada perubahan.
b) Sebagian besar ulama’ mutahirin, Hanafi berpendapat, bahwa istishab dapat menjadi hujah dalam menetapkan hokum syara’
sedangkan alasan mereka seorang mujtahid dalm meneliti hukum suatu masaah yangtelah ada, mempunyai gambaran bahwa hukum nya sudah ada atu sudah di batalkan.
c) Segolongan ulama’ mutakalimin seperti Hasa al basri dan yang sependapat dengannya. Berpendapat bahwa istishab secara mutlaq tidak dapat dipakai (dijadikan hujah ) didalammenentukan hokum syara’ karna hokum yang ditetapkan adalah ukum yang sama pada mas lampau yangmenghendaki adanya dalil. demikian juga untuk menetapkan hokum yangsama pada masa sekarang dan mas yang akan dating harus pula berdasrkan dalil.
3. MACAM-MACAM ISTISHAB
para ulama’ fiqih mengemukakanbahwasanya istishhab itu terbagi menjadi lima macam yang sebagiannya di sepakati dan sebagian yanglain masih di perselisihkan. Kelima istishab ini antara lain:
a. استصحاب حكم الاباحة الاصليّة
b. Maksutnya ialah menetapkah hokum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukan kharamannya.
c. istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlaku terus maksutnya ialah sifat yang melekat pada suatu hokum sampai ditetapkannya hukumyang berbeda degan hokum itu. Misalnya hak milik sesuatu benda adalahtetap dan berlangsung terus disebabkan adanya teransaksi pemilikan, yaitu aqat,sampai ada sebab lain yang meyebab kan hak milik itu berpindah tanga kepada orang lain.
d. istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yangmenghususkannya dan istishab dngan nas selama tidak ada dalil nas yang membatalkannya.
e. istishab hokum akal sampai datangnya hokum syara’
4. PENDAPAT ULAMA’ TENTANG ISTISHHAB
Ulama’ Hanafiyah menetapkan bahwa istishab merupakan hujah untuk mempertahanka dan bukan menetapkan apa-apa yang dimaksut oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jeas bahwa istishab merupakan ketetapan sesuatu yangtelah asa menurut keadaan dan juga mempertahankan keadaan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan perbedaannya.
5. KESIMPULAN
Dengan mencermati pendapat-pendapat para ulam’ di atas maka kami bias menarik kesimpulan bahwasanya apabila kita dihadapkan pada suatu masalah atu perkara yang mana perkara tersebut tersebut menuntut adanya sebuah hokum, maka kita haus mencarinya di dalam Al Quran dan Al Hadis dan namun bila kita tidak menemuka dasar hokum untuk perkara tersemut maka bolehlah kita beristishhab tentang perkara tersebut. Karena sesuai dengan dalil
الاصل فى الشياء الا باحة dan firman Allah
هوالذي خلق لكم ما فىالارض جميعا
Dengan melihat dalil di atas, maka segala sesuatu itu pada dasarnya adalah mubah (boleh) sebelum ada dalil yang melaragnya.
Olehkarna itu kai sangatlah mendukung tentang istihsan ini sebagi landasan hokum islam yang terahir. Sebab bila ada sesuatu masalah yang timbul dan tidak ada hokum yang menetapkannya baik itu di dalam Al Quran dan Al Hadis apakah perkaraitu akn kitabiarkan begitu saja, sedangkan orang-orang itu dibuat bingung akan masalah itu akrna tidaj jelas hokumnya.menurut saya tidak seperti itu . jelas allah menciptakan akal, itu untuk kebaikan agar manusia itu bias memilah dan memilih mana yang dianggap benar dan yang di anggap salah.jelas kalau dalam tataran hokum maka akal lah yang difungsikan untuk menggali hokum, bila tidak ada hokum yang pasti di dalam al quran dan al hadis dan yanglain-lain maka jalan satusatunya ialah menggunakan istihsan. Demi kemaslahatan umat.




AL-IMAMAH
(Telaah tentang menhangkat penguasa dan mendirikan lembaga pemerintahan)





“Dari Abdullah Ibnu Umar (Ibnul-Ash) ra. sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: tidak halal bagi tiga orang yang berada ditanah lapang, kecuali mereka mengangkat sebagai pemimpin salah seorang dari mereka.” (HR. Ibnu Hambal)

“Dari Abi Said al- Khudri bahwasannya Rosulullah Saw. telah bersabda: bila bergegas tiga orang melakukan perjalanan maka seyogyanya mereka mengangkat sebagai pimpinan salah seorang dari mereka . (HR. Abu Daud)

Dari hadit diatas maka timbullah berbagai pertanyaan, diantaranya apakah suatu kewajiban bagi umat Islam menyelenggarakan (mendirikan) pemerintahan?, bagaimana sistem pemerintahan itu ?, dan urgenkah lembaga pemerintahan?.
Dalam wacana fiqh siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan khilafah. Keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam. Istilah imamah lebih banyak digunakan oleh kalangan Syi’ah sedangkan istilah khilafah lebih populer penggunaanya dalam masyarakat Sunni. Hanya saja terdapat perbedaan yang mendasar antara kedua aliran ini dalam memahami imamah. Kelompok Syi’ah memandang bahwa imamah merupakan bagian dari prinsip ajaran agama, sedangkan Sunni tidak memandang demikian.
Penegakan institusi imamah dan khilafah, menurut para fuqoha’, mempunyai dua fungsi, yaitu menegakkan agama Islam dan malaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan polotik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan Islam. Menurut al-Mawardi, imamah dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.
Sejalan dengan pandangan al-Mawardi, ‘Audah mendefinisikan bahwa khilafah atau imamah adalah kepemimpinan umat Islam dalam masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad Saw dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat Islam
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad mempunyai dua fungsi sekaligus menjalankan dakwahnya, yaitu manyampaikan risalah dari Allah dan menegakkan peraturan-peraturan duniawi berdasarkan risalah yang dibawanya. Setelah beliau wafat, fungsi pertama otomatis berakhir dan tidak dapt dijalankan oleh siapapun , sebab beliau adalah penutup para rosul. Maka tinggallah fungsi yang kedua yang dilanjutkan oleh pengan tidak beliau .Karena orang yang mengantikan hanya melaksanakan peran kedua maka ia dinamakan khalifah
Dalam pandangan Islam, antara fungsi religius dan fungsi politik imam atau khalifah tidak dapat dipisahkan. Antara keduanya menpunyai hubungan timbak balik yang erat sekali. Dalam praktiknya, para khalifah didunia Islam mempunyai kapasitas sebagai pemimpin agama dan pemimpin politik sekaligus. Kenyataan ini kemudia melahirkan pandangan dikalangan pemukir modern bahwa Islam merupakan agama dan negara sekaligus, sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad Yusuf Musa ( al Islam din wa dawlah ). Barulah ketika kekhalifahan Turki Usmani melemah dan dihancurkan oleh Musthafa Kemal Attaturk (1924), timbul wacana pemisahan antara kekuasaan agama dan politik dalam dunia Islam. Attaturk melepaskan semua yang berbau agama dalam kehidupan Turki modern. Pandangan demikian juga terdapat pada Thaha Husain.
Arah kepemimpinan Islam (imamah atau khalifah) tersebut berelaku efektif dalam dunia Islam, maka umat Islam membutuhkan pendirian negara untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa negara dibutuhkan dalam Islam untuk merealisasikan wahyu-wahyu Allah, maka Islam memandang negara hanyalah merupakan alat, bukan tujuan itu sendiri. Karena merupakan alat, para ulama berbeda pendapat tentang landasan berdirinya negara Islam. Menutut al- Mawardi pendirian agama ini didasarkan pada ijma’ ulama, adalah fardhu kifayah. Pandangan ini didasarkan pada kenyatan sejarah al- khulafa’ al – Rasyidun dan khalifah –khalifah setelah mereka .Pandangan ini juga sejalan dengan kaidah yang menyatakan ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak sempurna kecuali melalui alat atau sarana, maka alat atau sarana itu juga hukumnya wajib ) Artinya menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib , sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan itu adalah negara , maka hukum mendirikan negara adalah fardhu kifayah.
Pandangan senada juga dianut oleh juris sunni lainnya, Al-Ghozali. Menurutnya agama adalah landasan bagi kehidupan manusia dan kekuasaan politik (negara ) adalah penjaganya. Keduanya mempunyai hubungan yang erat politik tanpa agama bisa hancur, sebaliknya agama tanpa kekuasan polotik atau negara merupakan penjaga bagi pelaksanaan agama. Karena itu, pembentukan negara bukanlah didararkan pada pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i.
Berbeda dengan dua pemikir Sunni diatas, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa pengatur kehidupan umat memang merupakan bagian kewajiban agama yang terpenting. Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa agama tidak bisa hidup tanpa negara. Ibnu Taimiyyah menolak ijma’ sebagai landasan kewajiban mendirikan negara. ia melakukan pendekatan sosiologis dalam hal ini. Menurutnya kemaslahatan manusia tidak akan tercipta kecuali hanya dalam suatu tatanan sosial di mana setiap orang saling bergantung pada yang lainnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan negara dan pemimpin yang akan mengatur kehidupan sosial tersebut. Jadi Ibnu Taimmiyyah, penegakan negara bukanlah salah satu asas atau dasar agama Islam, melainkan hanya kebutuhan praktis saja.
Kelompok Khowarij berpendapat hampir sama dengan pendapat Ibnu Taimmiyyah. Pendirian negara menurut mereka bukanlah didasarkan pada perintah syar’i. Pertimbangan mendirikan negara adalah kemaslahatan. Kalau menurut kemaslahatan dibutuhkan negara maka hal tersebut boleh dilakukan .tapi kalau tanpa negara sudah tercipta kemaslahatan, maka negara tidak dibutuhkan. Pendapat ini juga dianut oleh Mu’tazilah. Hanya saja Mu’tazilah menambahkan bahwa akallah yang menetapkan perlu tidaknya membentuk negara, maka umat Islam wajib mematuhinya.sebab kekuatan hukum akal sama dengan Nash. Dalam hal ini, berbeda dengan Khowarij yang terkesan sederhana dalam cara berfikirnya, kaum Mu’tazilah memberikan argumentasi teologis dan filosofis dalam menjelaskan landasan berdirinya negara.
Pemikir modern aktivis al- Ikhwan al-Muslimun, ‘Abd al Qodir ‘Audah, mengemukakan enam argumen tentang wajibnya mendirikan negara ini, yaitu:
1. Khilafah atau imamah merupakan sunnah fi’liyah Rosuluallah Saw. sebagaimana pendirian negara madinah.
2. Sebagian besar kewajiban syar’i tergantung pada adanya negara. kemaslahatan yang hendak diciptakan oleh Islam tidak akan terwujud tanpa sarananya. Jadi negara merupakan sarana untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan dalam kehidupan manusia.
3. Nash-nash al-Qur’an dan hadis Nabi sendiri mengisyaratkan tentang wajibnya mendirikn negara seperti dalm surat An- Nisa’ ayat 59 dan juga hadis Nabi.
4. Sesungguhnya Allah menjadikan umat Islam sebagai satu kesatuan meskipun berbeda bahasa ,suku bangsa, warna kulitnya.
5. Konsekwensi dari kesatuan politik ini adalah bahwa umat Islam harus memilih dan mematuhi pemimpin tertinggi.
Di samping itu ‘Audah juga mengemukakan argumentasi kewajiban mendirikan negara secara akal. Menurutnya mewujudkan pemerintah dalam masyakat Islam merupakan kebutuhan bagi masyarakat itu sendiri. Mereka membutuhkan negara untuk menciptakan kemaslahatan dan menghilangkan persengketaan.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa baik secara akal maupun syar’i mendirikan lembaga pemerintahan (negara) merupakan kewajiban umat Islam. Mendirikan lembaga pemerintahan itu sangat urgen, karna untuk mensejahterakan umat dari kemungkinan berebut kepentingan, mempersatukan mereka dalam upaya mewujutkan cita-cita bersama dalam kondisi sosial yang dinamis. Dan juga, negara merupakan alat bagi umat Islam untuk dapat melaksanakan ajaran-ajaran Islam sehingga tujuan syara’ menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudaratan dapat tercapai dalam masyarakat. Sedangkan sistem pemerintahan yang dianut harus berdasarkan syari’at Islam.

DAFTAR PUSTAKA

 Ahmad ibnu hambal, Al-musnad, II.
 As-Syaukani, Nailul-Authar.
 Abu Hasan al-Mawardi, Al-ahkam al sulthaniyyah.
 Muhammad Yusuf Musa, Nizham al- Hukum fi al- Islam.
 Ibnu Taimiyyah, Al- Siyasah al- Syari’yah.
Ibnu Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah al- Nabawiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger