Headlines News :

Minggu, 29 September 2013

FILSAFAT ANTARA IBADAH DAN MUAMALAH Pendahuluan Tujuan penciptaan manusia dan jin hanya tiada lain adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Penciptaan itu bukan sekedar main-main atau hal yang percuma. Di balik penciptaan itu, Allah SWT mempunyai rencana yang sungguh-sungguh. Setiap makhluk diberi kesempatan untuk berkembang maju ke arah suatu tujuan itu, yaitu keridhaan-Nya. Allah SWT adalah sumber dan pusat segala kekuasaan dan kesempurnaan. Kemajuan yang kita capai tergantung kepada cara kita mendapatkan diri sesuai dengan kehendak-Nya. Inilah sebaik-baik ibadah kita kepada-Nya. Gambaran tentang kemampuan syari'at Islam dalam menjawab segala persoalan modern dapat diketahui dengan mengemukakan beberapa prinsip syari'at Islam mengenai tatanan hidup secara vertikal (antara manusia dengan Tuhannya) dan secara horizontal (antara sesama manusia). kebanyakan ahli fiqh teah menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu'amalat) adalah boleh, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dilarang. Kaidah di atas berlawanan dengan kaidah hukum dalam bidang ibadah. Dalam bidang ibadah, syari'at Islam menetapkan sendiri garis-garisnya. Di sini dikemukakan nash yang tidak dapat ditafsirkan lain, sehingga terjaga dari kesimpangsiuran. Dalam bidang yang disebut terakhir ini terdapat kaidah bahwa ibadah tidak dapat dilakukan kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu telah diperintahkan oleh Allah SWT dan atau dicontohkan oleh Rasulullah. Sebagaimana yang dikatakan oleh imam al-Syathibi, ibadah memiliki maksud asli dan maksud sekunder, maksud asli adalah semata-mata menuju Allah SWT dengan tujuan tunduk, taat, mencintai dan menuju kepada Allah SWT dalam setiap kondisi, kemudian diikuti dengan bukti berupa beribadah untuk mendapatkan derajat di akhirat atau menjadi kekasih Allah SWT dan lain-lain. Sedangkan maksud sekunder dalam ibadah adalah seperti meluruskan diri dan mendapatkan keutamaan. Apabila makna-makna ibadah yang diberikan oleh masing-masing ahli ilmu diperhatikan baik, nyatalah bahwa takrif yang diberikan oleh suatu golongan berpaut untuk menyempurnakannya dengan takrif yang diberikan oleh golongan yang lain. Jelasnya, tidaklah dipandang seorang mukallaf telah beribadah (sempurna ibadahnya) kalau ia hanya mengerjakan ibadah-ibadah dalam pengertian fuqaha, atau ahli ushul saja. Di samping ia beribadah dengan ibadah yang dimaksudkan oleh ahli tauhid, ahli hadits dan ahli tafsir. Dan perlu pula ia beribadah dengan yang dimaksudkan oleh ahli akhlak, yaitu memperbaiki budi pekerti. Maka apabila pengertian-pengertian tersebut telah menyatu, barulah terdapat hakikat ibadah dan ruhnya : barulah rangka ibadahnya mempunyai motor yang menggerakkan. Al-Qur'an dan Al-Sunnah yang menjadi sumber dan pedoman bagi umat untuk beribadah mengandung ajaran-ajaran yang oleh Mahmud Syaltut dibagi kepada dua bagian, yaitu : ajaran tentang akidah dan ajaran tentang syari'ah, kemudian syari'ah itu sendiri terdiri atas ibadah dan mu'amalah. Ajaran tentang akidah berkaitan dengan persoalan keimanan dan keyakinan seseorang terhadap eksistensi Allah SWT, para malaikat, Rasul, kitab suci yang diturunkan Allah SWT, tentang hari akhirat, dan lain sebagainya. Ajaran tentang akidah bersifat permanen, pasti dan tidak berubah disebabkan terjadinya perubahan sosial-kultural Ajaran tentang ibadah berkaitan dengan persoalan-persoalan pengabdian kepada Allah SWT dalam bentuk-bentuk yang khusus seperti shalat, puasa, haji, zakat dan sebagainya. Ajaran tentang ibadah ini bersifat permanen dan ditetapkan secara rinci baik oleh Al-Qur'an maupun oleh Al-Sunnah, sikap seorang Muslim dalam persoalan ibadah adalah melaksanakannya sesuai dengan petunjuk dalil yang ada dalam Al-Qur'an yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui sunahnya. Ajaran tentang mu'amalah berkaitan dengan persoalan-persoalan hubungan antara sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan masing-masing, sesuai dengan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip yang dikandung oleh Al-Qur'an dan Al-Sunnah, itulah sebabnya bahwa bidang muamalah tidak bisa dipisahkan sama sekali dengan nilai-nilai ketuhanan. Dengan demikian, akidah, ibadah, muamalah merupakan tiga rangkaian yang sama sekali tidak bisa dipisahkan. Al-Syatibi mencoba mengembangkan lebih lanjut prinsip-prinsip di atas, ia sebagaimana ahli fiqh lainnya, membedakan materi hukum Islam menjadi dua bagian, bagian pertama, materi hukum Islam yang menyangkut ibadah daan bagian kedua materi hukum Islam yang menyangkut muamalah (adat). Ia secara filosofis telah merumuskan kaidah sebagai berikut : الأصل في العبادات بالنّسبة الي المكلّف التّعبّد دون الالتفات الي المعاني واصل العادات الالتفات الي المعاني "Prinsip dalam persoalan ibadat bagi mukallaf adalah ta'abbud tanpa perlu melihat kepada nilai atau hikmah, sedangkan prinsip dalam persoalan adat (muamalat) adalah melihat kepada nilai atau hikmah" Perlu segera ditambahkan, bahwa Al-Syatibi sendiri mengakui adanya beberapa bentuk muamalat yang mempunyai nilai ta'abbudi. Kelihatannya yang dimaksud dengan ta'abbudi di sini adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil yang terperinci. Berdasarkan prinsip di atas dapat dipahami bahwa modernisasi, dalam arti meliputi segala macam bentuk muamalat, diizinkan oleh syari'at Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syari'at Islam itu sendiri. Menyadari bahwa kehidupan dan kebutuhan manusia selalu berkembang dan berubah, syari'at dalam bidang muamalat, pada umumnya hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hukum secara umum. Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat Islam, dimana pun mereka berada. Tentu prinsip dan jiwa syari'at Islam. Dapat dikatakan bahwa jiwa dan prinsip hukum Islam bersifat konstant, permanen dan stabil, tidak berubah sepanjang masa, betapa pun kemajuan peradaban manusia. Sementara itu peristiwa hukum, teknis, dan cabang-cabang mengalami perubahan, berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Dengan tetap teguhnya jiwa dan prinsip hukum, dibarengi oleh terbuka lebarnya perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh norma hukum yang ketat dan kuat. Dengan adanya perubahan dan perkembangan masyarakat, cabang-cabang hukum Islam di bidang muamalat semakin bertambah materi hukumnya, semakin banyak perbedaannya dan semakin sempurna pembahasannya. Berbeda dengan bidang muamalat, hukum Islam dalam bidangibadah mahdah tidak terbuka kemungkinan adanya modernisasi, melainkan materinya harus berorientasi kepada nash Al-Qur'an dan Hadits yang mengatur secara jelas tentang tata cara pelaksanaan ibadah tersebut. Namun demikian, modernisasi dalam bidang sarana dan prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan. REFERENSI - Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fakta Keagungan Syari'at Islam, Tintamas, Jakarta, 1992 - Harun Nasution "Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam", Pustaka Pajimas, Jakarta, 1985. - Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000 - DR. H. Fathurrahman Djamil, MA, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta, 1999 - Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Maqashid Syari'ah, Pustaka Kautsar, Jakarta, 2007 - DR. H. Nasruh Haroen, MA, Fiqh Mua'malah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger