Headlines News :

Minggu, 22 Maret 2009

AL-uRF

BAB I
PENDAHULUAN

Para ulama sepakat bahwa tindakan manusia, baik berupa perbuatan maupun ucapan, dalam hal ibadah maupun mu’amalah, berupa tindakan pidana maupun perdata, masalah akad maupun pengelolaan, dalam syariat Islam semuanya masuk dalam wilayah hukum. Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh Al-Qur'an dan al-Sunnah dan sebagian tidak. Tetapi syariat Islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya, sehingga seorang mujtahid dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tidak jelas tersebut.
Berdasarkan penelitian, para ulama telah menetapkan bahwa dalil yang dapat diambil sebagai hukum syariat yang sebangsa perbuatan itu ada empat, yaitu : al-Qur'an, al-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas. Dan bahwa sumber pokok dalil-dalil tersebut serta sumber hukum syariat adalah Al-Qur'an kemudian al-Sunnah, sebagai penjelas atas keglobalan Al-Qur'an.
Demikian demikian di sini akan membahas salah satu dalil hukum yang tidak ada dalam Al-Qur'an dan al-Sunnah, tetapi syariat telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum tersebut. Dan dalil hukum ini masih dipertentangkan oleh para ulama yaitu tentang Urf, yang mana urf itu sudah berjalan dalam kehidupan manusia, sehingga dengan kebiasaan-kebiasaan tersebut para ulama menetapkan suatu hukum, dan urf akan dibahasa berikut ini.

BAB II
AL-‘URF

A. Pengertian Urf
Urf adalah :

Sesuatu yang telah biasa dilakukan oleh masyarakat dan berlaku dalam kebiasaan baik ucapan maupun perbuatan.
B. Macam-macam Urf
Urf mempunyai enam macam, diantaranya :
1. Urf Amaly, ialah segala perbuatan yang dilakukan manusia, seperti jua-beli secara muathoh yakni jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab-qabul, karena harga barang tersebut sudah tercantum.
2. Urf Qouly, ialah segala sesuatu yang dibiasakan manusia dari ucapan-ucapan sehingga ia menghendaki ucapan tersebut, seperti perkataan “walad” (anak) menurut bahasa sehari-hari hanya khusus bagi anak laki-laki saja, sedang anak perempuan tidak termasuk dalam perkataan tersebut.
3. Urf Ammah, ialah urf yang berlaku dalam semua masyarakat/masyarakat umum, seperti talaq (cerai) mempunyai arti hilangnya ikatan antara suami-istri.
4. Urf Khashshah, ialah urf yang berlaku untuk orang tertentu, seperti setiap disiplin ilmu mempunyai istilah sendiri-sendiri, dan tiap-tiap ilmuwan itu ketika mengucapkan suatu ucapan itu tidak menggunakan makna lughowy tetapi menggunakan makna istilahy.
5. Urf Shahih, ialah urf yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib, seperti kebiasaan pelamar (calon suami) memberi-kan sesuatu kepada calon istri pada waktu melamar, baik berupa pakaian maupun perhiasan itu adalah hadiah bukan termasuk mahar.
6. Urf fasid, ialah urf yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan dalil syara’, menghalalkan yang haram, dan membatalkan yang wajib, seperti kebiasaan dalam aqad perjanjian jual-beli yang bersifat riba.

C. Hukum Urf
Bagi para mujtahid wajib memperhatikan dalam pembentukanhk syara’ dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya, karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya. Selama tidak bertentangan dengan syara’, syari’ telah menjaga adat yang benar di antara ada orang Arab dalam pembentukan hukumnya, seperti menetapkan kewajiban denda atas orang perempuan berakal, mensyaratkan adanya kufu (keseimbangan) dalam perkawinan dan memperhitungkan ahli waris yang tidak mendapat bagian pasti dalam perwalian dan pembagian harta waris.
Oleh karena itu para ulama berkata : adat adalah syariat yang dikuatkan sebagai hukum, sedang adat juga dianggap oleh syara’. Imam Malik membentuk banyakhk berdasarkan perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para muridnya berbeda dalam menetapkan hukum, tergantung pada adat mereka. Imam Syafi’i ketika berada di Mesir, mengubah sebagian hukum yang ditetapkan ketika beliau berada di Baghdad karena perbedaan adat. Oleh karena itu ia memiliki dua pendapat, pendapat baru disebut dengan qaul jadid dan pendapat lama yang disebut qaul qadim.
Adapun adat yang rusak itu tidakboleh diperhatikan karena memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan hukum syara’. Bila manusia sudah terbiasa melakukan akad-akad yang rusak, seperti akad pada barang yang riba atau akad yang mengandung unsur penipuan dan bahaya, maka kebiasaan ini tidak berarti punya pengaruh bahwa akad seperti itu diperbolehkan. Oleh karena itu, dalam hukum positif manusia tidak diakui adanya kebiasan yang bertentangan dengan hukum dasar atau aturan umum. Hanya saja, akad seperti itu ditinjau dari sudut pandang yang lain apakah termasuk darurat atau kebutuhan manusia ? Artinya, bila adat itu dilanggar, apakah dapat merusak aturan kehi-dupan mereka atau mereka mendapat kesulitan atau tidak ? Bila hal itu termasuk darurat atau kebutuhan mereka maka diperbolehkan, karena darurat membolehkan sesuatu yang dilarang dan kebutuhan dalam hal ini menempati kedudukan darurat itu. Tetapi jika bukan termasuk darurat dan kebutuhan mereka, maka akad terhadap hukumnya batal, dan kebiasaan itu tidak boleh dijadikan hukum.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam hal perbedaan pendapat ini para ulama fiqh berkata : perbedaan itu adalah pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.
Kebiasaan secara hakiki bukanlah merupakan dalil syara’ yang tersendiri. Pada umumnya ia termasuk memperhatikan kemaslahatan umum. Yakni, sebagaimana adat diperhatikan dalam penetapan hukum syara’ maka diperhatikan juga dalam memberikan penafsirannash, mentakhsis yang umum, dan membatasi yang mutlak. Dan kadang-kadang kias ditinggalkan demi adat. Maka hukumnya sah akad meminta pekerjaan karna berlaku menurut ada, bila menurut kias hukumnya tidak sah karena akad pada sesuatu yang tidak wujud.

BAB III
PENUTUP
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, kami mampu menyelesaikan tugas UAS ini dengan lancar dan tidak ada halangan apapun, demi mengerjakan salah satu kewajiban yang telah dibebankan pada kami. Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen Pembimbing Drs. Mansur Zawawi yang telah membimbing dan menasehati kami. Semoga Allah SWT membalas jasa Bapak selama mengajar kami. Dan kami mohon maaf atas kekhilafan yang telah kami lakukan. Jazakumullah Ahsanal Jaza’, Jazakumullah Khoiron Katsiro.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abd. Wahab Khallaf, Dr., Kaidah-Kaidah Hukum Islam, alih bahasa Dr. H. Moch. Tolchah Mansoer, SH dkk., Risalah, Bandung, 1985.
2. Ilmu Ushul Fiqh, Majlis Dakwah Islam Pusat, Jakarta, 1972.
3. Miftahul Arifin, Drs., H.A. Faisal Haq, Drs., Ushul Fiqh, Kaidah-Kaidah Pene-tapan Hukum Islam, Citra Media, Surabaya, 1997.

DINAMIKA DAN ELASTISITAS HUKUM ISLAM

BAB I
MUQADDIMAH
Dalam keseharian kehidupan manusia kita jumpai banyak perundangan yang mereka buat untuk menjadi rambu-rambu kehidupan supaya terbentuk masyarakat madani, damai dan sejahtera. Namun terkadang dengan adanya perundangan itu menjadikan manusia menjadi tertekan dengan perundangan yang mereka buat.
Islam, sebagai agama samawi yang diridhoi oleh Allah SWT, Sang Pencipta jagat raya beserta isinya, memunyai hukum yang murni dan sangat elastis.
Para ulama sepakat bahwa tindakan manusia, baik berupa perbuatan maupun ucapan, dalam hal ibadah maupun mu’amalah, berupa tindakan pidana maupun perdata, masalah akad maupun pengelolaan, dalam syariat Islam semuanya masuk dalam wilayah hukum. Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh Al-Qur'an dan al-Sunnah dan sebagian tidak. Tetapi syariat Islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya, sehingga seorang mujtahid dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tidak jelas tersebut. Dengan demikian hukum Islam akan tetap elastis dan dapat dipakai dalam segala zaman dan tempat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Islam dapat Memenuhi Kehendak tiap Masa dan Tempat
Tiap hukum harus memiliki sifat-sifat pokok dan alat-alat yang memungkinkan untuk berkembang dan dapat mengikuti perubahan masa dan tempat, artinya hukum itu harus bersifat dinamis dan elastis, jika hukum tadi ingin hidup dan kekal. Jika tidak demikian, hukum tadi akan dianggap tidak berhak untuk hidup.
Hukum Islam memiliki syarat-syarat dimana ia dapat bertahan dan dapat tetap memenuhi kehendak masa dan tempat. Dalam sejarah telah terbukti, bahwa hukum Islam telah berkembang pada masa-masa Khulafaurrasyidin sampai imam-imam mujtahid besar.
Namun sedudah itu, sebagai akibat masa lalu (taqlid) yang lama, umat Islam terpaksa mengambil hukum untuk keperluan dan perundangan dari Eropa/ Barat. Seolah-olah Islam tidak memiliki syarat-syarat kepribadian dan tradisi yang baik. Akan tetapi alhamdulillah kini umat Islam dapat melihat masa depan yang cerah dimana umat Islam dapat berbuat untuk memelihara kemerdekaannya sampai pada bidang perundangan. Demikian itu dapat dicapai dengan mempela-jari dan memperhatikan dasar perundangan Islam itu sendiri, ialah syariah Islamiyah yang dapat memenuhi kehendak tiap masa dan tempat.

B. Faktor-Faktor Perkembangan Hukum Islam
Hukum Islam bersifat dinamis dan elastis. faktor pendukungnya ada pada dasar pembentukan hukum Islam itu sendiri, yaitu syariah Islamiyah. Allah berfirman dalam surat al-Nisa’ ayat 56 :



Serta hadits dari Muadz bin Jabal ketika beliau diutus Rasul ke Yaman menjelaskan bahwa dasar-dasar atau dalil hukum Islam pada prinsipnya ada 3 : Al-Qur'an dan Sunnah, sebagai mashadir al-ashliyah; dan Ijtihad sebagai mashadir al-tabi’iyah.
Al-Ijtihad adalah mencurahkan segala daya kemampuan akal pikiran dalam menetapkan hukum Islam berdasar Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Jadi faktor utama perkembangan hukum Islam adanya ijtihad sebagai salah satu dasar pembentukan Islam. Ijtihad banyak macamnya, diantaranya : ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, dan sebaagainya.
Sebagai contoh untuk memperjelas tentang perkembangan hukum Islam di bawah ini akan dibahas salah satu macam ijtihad, yaitu ‘Urf.
Urf atau adat kebiasaan sebagai salah satu dasar pembentukan hukum Islam, maka para ulama menetapkan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Al-‘Urf harus tidak bertentangan dengan dalil nash atau dengan salah satu pokok dari pokok-pokok syariat Islam.
2. Al-‘Urf harus mempunyai sifat umum hingga batas-batas yang diterima akal, misal adat kebiasaan itu hidup di negeri Islam.
Di Indonesia, adat yang mengatur harta gono-gini disahkan menjadi hukum Islam dan dimasukkan dalam Kompilasi Hukum Islam yang dinyatakan berlaku bagi umat Islam di Indonesia.
Dalam menghadapi berbagai macam problema hukum baru yang disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti masalah rekayasa keturunan dan lain-lain, hukum Islam dapat menjawabnya dengan jalan ijtihad terhadapnya dengan mengunakan salah satu cara dari ijtihad yang benar.

BAB III
PENUTUP
Segala puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan kepada kami untuk mempelajari sebagian kecil dari kitab-kitabNya, yang telah memberi kami petunjuk untuk menyusun ringkasan yang jauh dari kesempurnaan, dalam mengungkap tabir misteri hukum kehidupan manusia tentang “Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam” terhadap kebekuan dan keglobalan hukum-hukumnya yang ternyata selalu sesuai dengan zaman dan keadaan.
Semoga ringkasan ini bermanfaat bagi kita semua. Amien..

Daftar Referensi :
1. Abdul Wahab Khallaf, Dr., Kaidah-Kaidah Hukum Islam, alih bahasa Faiz el-Muttaqin, S.Ag., Pustaka Amani, Jakarta.
2. Al-Qur'an al-Karim
3. Drs. Miftakhul Arifin dan Drs. H.A. Faishal Haq, Ushul Fiqh, CV. Citra Media, Surabaya.
4. Prof. DR.H. Rahmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger