Headlines News :

Kamis, 12 Maret 2009

Maslahah Mursalah.net

AL MASLAHAH MURSALAH
1. Definisinya
Masalah Mursalah ( Kesejataraan umum ) Yakni yang dimutlakkan, ( Maslahah berfungsi umum ) menurut istilah Ulama Ushul yaitu, maslahah di mana syari’at tidak mensyari’atkan hukum untuk mewujudka maslah itu. Juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuanya atau pembatalanya, maslahah itu disebut mutlak, karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan. Contohnya yaitu, yaitu maslahah yang karena maslahah itu, sahabat mensyari’atkan pengadaan penjara, atau mencetak mata uang, atau menetapkan (hak milik) pertanian sebagai hasil kewenangan warga sahabat itu sendiri dan ditentukan pajak penghasilannya. Atau maslahah- maslahah lain yang harus dituntut dengan keadaan- keadaan darurat kebutuhan dan atau karena kebaikan, dan belum disyari’atkan hukumnya, juga tidak terdapat saksi syara’ yang mengakuinya atau membatalkanya.
Penjelasan definisi ini, yaitu bahwa pembentukan hukum itu tidak dimaksudkan, kecuali merealisir kemaslahatan ummat manusia. Artinya mendatangkan keuntungan bagi mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan daripadanya. Dan bahwasanya kemaslahatan menusia itu tidak terungkap bagian- bagianya, tidak terhingga pula individu- individunya. Maslahah itu jadi baru menurut barunya keadaan ummatmanusia, dan berkembang menurut perkembangan lingkunaganya. Sedangkan pembentukan hukum itu, terkadang mendatangkan keuntungan pada suatu zaman, hukuk itu terkadang mendatangkan ke untungan bagi suatu lingkungan dan bisa mendatangkan madharat bagi lingkungan yang lain.
Jadi maslahah- maslahah, dimana syari’at telah mensyari’atkan hukum untuk merealisir maslahah itu dan atas pengakuan syari’ atas maslahah itu. Dan atas pengakuan syari’ atas maslahah itu, telah ditunjukkan beberapa illat dari ukum yang disyariatkannya, maka maslahah – maslahah itulah yanh didalam istilah ulama Ushul disebut ( masblabab mu’ tabarot. ( maslahah yang diakui ) dari syari’. Seperti pemeliharaan hidup manusia, di mana syari’telah mensyariatkan mengenai keharusan hal itu, qishos bagi penbunuh secara sengaja dan pemelihara harta kekeyaan mereka, hal mana syari’ telah mensyariatkan mengenai hal itu dan derah pencuri, baik laki-laki maupun perempuan. Juga pemiliharaan kehormatan mereka. Yang syari’ telah mensyariakan mengenai hal itu, dera penuduh, dera laki-laki atau perempuan yang berbuat zina, jadi masing masing tersebut, baik penbunuhan secara segaja, pencurian, tuduhan dan zina adalah sifat yang sesuai. Artinya babwa pembentukan hukum yang di dasarkan kepedanya itu adalah berati merealisir masalah, dan itu diakui oleh syari’; karena syari’ telah mendasarkan hukum atas sifat tersebut sifat yang sesuai dan diakui oleh syari’ itu, adakalanya sesuai dan memperngaruhi, dan adakalanya sesuai dan sepadan, menurut macam pengakuan syari’ kepadanya. Dan tida ada perselisihan dalam penbentukan hukum itu atas dasar sifat tersebut. Seperti yang telah kami uraikan di atas.
2. Dalil- Dalil Ulama Yang Menjadikan Hujjah Maslahah Mursalah
Jumhur ulama ummat islam berpendapat, bahwa maslahah mursalah itu adalah hujjah syari’at yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasanya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash dan Ijma’ atau Qiyas Istihsan itu disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki oleh maslahah umum, dan tidaklah berhenti pembentukan hukum atas dasar maslahah ini karena adanya saksi syari’t yang mengakuianya.
Dalil mereka mengenai hal ini ada dua hal:
Pertama, yaitu maslahah umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya. Maka seandainya tidak disyariatkan hukum mengenai kemaslahatan manusia yang baru dan mengenai sesuatu yang di kehendaki oleh pengembangan mereka, seraya pembentukan hukum itu hanya berkisar atas maslahah yang diakui oleh syari saja, maka berarti telah ditinggalkan beberapa kemaslahatan ummat manusia pada berbagai zaman dan tempat. Dan pembentukan hukum itu tidak memperhatikan roda perkembangan ummat manusia dan kemaslahatanya. Hal ini tidak sesuai, karena dalam pembentukan hukum tidak termaksudkan merealisir kemaslahatan ummat manusia.
Kedua: Bahwasanya orang yang meneliti pembetukan hukum para shabat, tabi’in dan para mujtahid, maka jadi jelas, bahwa mereka telah mensyariatkan beberapa hukum
Untuk merealisir maslahah secara umum, bukan karena adanya saksi yang mengakuinya. Maka abu bakar telah menghimpun beberapa lembaran yang bercerai-carai, yang telah di tulisdi dalamnya Al- Quran dan menerangi para penghalang zakat. Kemudian mengangkat khalifah Umar bin Khattab sebagai gantinya. Umar melaksanakan jatuh talak tiga kali dengan kalimat satu, dia juga menghalangi bagian zakat orang-orang yang dijinakkan hatinya,(المؤلفة قلوبهم). Juga menetapkan hasil pajak, pembukuan administrasi pengadaa penjara-penjara, dan memberhentikan pelaksanaan pidana pencurian di tahun kelaparan.Dan Usman menyantukan ummat Islam atas satu mushhaf, dan disebarluaskannya mushhaf itu serta dibakar mushhaf lainya, dan juga menetapakan sebagai ahli waris seorang istri yang dijatuhi telak karena menghindari dari pembagian waris kepandanya. Ali pun membakar para penghianatan dari kalangan Syiah Rafidhah. Ulama’ Hanafiah melarang multi senda-gurau menjadi mufti, dokter yang bodoh yang menjadi dokter, dan orang kaya failid mengurus harta benda. Malikiyah membolehkan menahan orang yang menuduh salah dan mena’zirnyah (menghukumnya dengan hukuman pengajaran) untuk memperbolehkan pengakuanya ulama Syafi’iyah mengharuskan qishos sekelompok manusia ketika membunuh seseorang. Maslahah yang menjadi tujuan dalam mensyariatkan hukum inilah yang disebut maslahah mursalah. Para Ulama’ mensyariatkan hukum atau dasar maslahah, karena itu adalah maslahah, dan kerena tidak ada dalil syari’ yang membatalkannya. Tetapi dalam pembentukan hukum itu mereka tidak hanya memandang maslahah sampai terdapat syara’ yang mengikutinya, karena berkata Imam al-Ghazali: “Bahwasanya sahabat melakukan beberapa tinjauan masalah secara umum bukan kerena adanya saksi yang mengakuianya” dan berkata Ibnu Aqil: “Siasat (Politik ) ialah setiap perbuatan yang dapat mengantar manusia kepada mendekati kebaikan dan menjahui dari kerusakan sekalipun tudak ditetapkan olah Rosul atau tidak turun wahyu mengenai hal itu barang siapa berkata siasat itu hanya apa yang diajarkan oleh tuntunan syara’, maka dia berarti telah salah dan berarti pula menyalahkan syariat para sahabat ‘’.
3. Syarat-Syarat Menjadika Hujjah Maslahah Mursalah
Para Ulama’ menjadikan masalahah mursalah, mereka berhati hati dalam hal itu, sehingga menjadi pintu bagi pembentukan syariat menurut hawa nafsu dan keinginan peroranga karena itu mereka mensyaratkan dalam maslahah musrsalah yang diajadikan dasar pembentukan hukum itu dengan tiga syarat sebagai berikut:
1. Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan.yang dimksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisir pembentukan hukum suatu kejadian itu, dan dapat mendatangkan keuntungan atan menolak madharat. Adapun dugaan semata dahwa pembentukan hukum itu mendatangkan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan di antara maslahah yang dapat didatangkan atas maslahah yang bersifat dungaan, contoh masalah ini ialah maslahah yang didengar dalam hal merampas hak suami untuk menceraikan istrinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hakim (qadhi )saja dalam segala keadaan.
2. Berupa maslahah yang umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan.yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisir bahwa dalam pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan keuntungan kepada kebanyakan ummat manusia atau dapat menolak madharat dari mereka, dan bukan mendatangkan keuntungan kepada seseoramg atau beberapa orang saja di antara meraka. Kalau begitu, maka tidak dapat disyariatkan sebuah hukum, karena ia hanya merealisis maslahah secara khusus kepada Amir, atau kepada kalangan ellit, tanpa memperhatikan mayoritas umat dan kemaslahatannya. Jadi maslahah harus menguntungkan (mafaat) bagi mayoritas umat manusia.
3. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tdak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh Nash atau Ijma’. Jadi tidak sah mengakui maslahah yang menutut adanya kesamaan di antara hak anak laki laki dan pembagian dalam hal pembagian harta pusaka, karena maslahah ini adalah maslahah yang dibatalkan. Oleh karena itu fatwa Yahya ibnu Yahya Al – Laits Al – Maliki, Ulama fikih Andalus (Spanyol), murid Imam Malik bin Anas, adalah keliru, yaitu seorang Raja Andalus berbuka secara sengaja pada siang bulan Ramadhan, kemudian Imam Yahya memberi fatwa bahwa tidak ada benda, tebusan bagi perbuatan berbuka raja itu, kecuali berbuka dua bulan berturut turut. Dia berdasarkan fatwanya, bahwa maslaha menghendaki ini, kerena yang di maksud dengan kafarat ialah melarang orang yang berbuat dosa dan menahannya sehingga tidak kembali kepada perbuatan semisal dosanya, dan tidak bisa menahan kepada Raja ini kecuali ini, adapun keadaan memerdekakan budak, maka hal ini mudah sekali bagi raja, namun tidak bisa menghajar kepadanya. Fatwa ini didasarkan kepada maslahah, namun fatwa ini bertentangan dengan nash, karena dalam nash telah jelas, bahwa kafarat orang yang berbuka pada siang bulan Ramadan secara sengaja adalah memerdekakan budak, maka siapa yang tidak mendapat budak harus berpuasa berturut turut. Sedangka yang tidak mampu mengerjakan puasa dua bulan berturut turut harus memberi makan kepada 60 orang miskin, dengan tanpa membedakan antara raja yang berbuka atau orang fakir yang berbuka. Jadi maslahah yang diakui oleh mufti karena menetakan raja dengan kafarat berpuasa dua bulan secara khusus, adalah bukanlah maslahah yang umum, bahkan maslahah yang dibatalkan.
Dari sini jadi jelas bahwa maslahah atau dengan istilah lain, sifat yang sesuai (al- washhfu al- munasib) ketika terdapat saksi syara’ syara’ yang mengakuinya dengan salah satu macam- macam pengakuan maka sifat tersebut adalah berarti sesuai yang diakui oleh sya ri’. sifat yang sesuai tersebut adakalanya sesuai degan yang mempengaruhi dan adakalanya sesuai sepadan. Dan ketika terdapat saksi mata yang membatalkan pengakuan itu, maka sifat itu sesuai yang dibatalkan. Tetapi bila tidak terdapat saksi syara’ yang mengakui atau membatalkan, maka sifat tersebut sesuai dengan yang umum ( al- munasib al- mursal), dengan istilah lain al- maslahah mursalah.
4. kesamaran paling nyata dari ulama yang tidak menjadikan hujjah maslahah mursalah sebagian ulama ummat Islam berpendapat, bahwa, maslahah yang tidak disaksikan oleh saksi syara’atas pengakuannya dan juga tidak atas pembatalannya maka ia tidak bisa dijadikan dasar pembentukan hukum Dalil mereka dua hal. Yaitu
1syariat harus memelihara setiap maslahah ummat manusia dengan nash-nashnya dan dengan petunjuk Qiyas, karena syari’ tidak meninggalkan ummat manusia dengn sia- sia.jagu tidak dapat membiarkan maslahah apa saja tanpa memberi petunjuk pembentukan hukum baginya jadi tidak ada maslahah kecuali telah terdapat saksi syarat yang mengakuinya maka pada hakikatnya bukanlah maslahah, atau bukan maslahah kecuali hanya bersifat duagaan yang tidak sah dijadikan dasar pembentukan hukum.
2. pembentukan hukum atas dasar mutlaknya maslahah berarti telah membuka pintu hawa nafsu oang diantara para pemimpin, para penguasa dan pera ulama fatwa, maka sebagian mereka terkadang dikalakan oleah hawa nafsu keinginanya, sehingga mereka menghalalkan kerusakan sebagai kemaslahatan, dan maslahah adalah hal-hal yang bersifat kira-kira yang berbeda menurut perbedaan pendapat dan lingkungan. Maka terbukanya pintu pembentukan hukum dengan alasan kemaslahatan yang mutlak telah membuka pintu kejahatan. Ynag jelas bagi kami ialah memenagkan pendasar pembentukan hukum atas maslahah mursalah, karena apabila tidak dibuka pinti ini maka bekulah (jumud) pembentukan hukum islam dan tidak dapat mengikiti roda perputaran zaman dan ligkungan. Barang siapa yang berpendapat bahwasanya setiap bagian diantara . beberapa bagian kemslahatan manusia itu. Pada zeman atau lingkungan apasaja, telah dipelihara oleh syari’ dan dia telah mensyariatkan dengan nash-nash dan pirinsip-perinsipnya yang umum terhadap suatu yang menyaksikannya dan juga mencocokinya, maka pendapat dia bahwa hal itu tidaka dapat diakuatkan oleh kenyataan, adalah termasuk suatu yang tidak bisa diragukan lagi bahwa sebagai kemaslahatan yang baru ada itu, pada hakikatnya tidak ada saksi syara’ yang mengakuinya. Imam Qayyim berkata: diantara umat islam ada yang berlebih -lebihan dalam memelihara masalah umum, maka mereka menjadikan syariat sebagai hal yang terbatas yang tidak bisa berjalan menurut kemaslahatan hamba yang memerlukan kepada lainnya. Mereka telah menghalangi dirinya untuk menempuh jalan bener yang berupa jalan kebenaran dan keadilan. Ada pula diantara mereka yang melampui batas sehingga membolehkan sesuatu yang dapat memudahkan syariat allah dan menimbulkan kejahatan yang kejam serta kerusakan yang dahsyat.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger