Headlines News :

Kamis, 29 April 2010

Ijtihat dan Dasarnya

BAB I PENDAHULUAN Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun cara-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh. BAB I PENDAHULUAN Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun cara-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh. Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil. Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu. Dengan Usul Fiqh :  Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.  Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.  Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.  Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ijtihad Dari segi bahasa, Ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah. Adapun ijtihad secara istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama usul fiqh. Namun secara umum adalah عَمَلِيَّةُ اسْتِنْبَاطِ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ فيِ الشَّرِيْعَةِ Artinya : “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat” Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih. Sedangkan yang dimaksud mujtahid adalah orang yang mengeluarkan hukum berdasarkan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Karena mujtahid ini mengeluarkan hukum, maka ia disebut pula sebagai hakim sebagaimana tercantum dalam hadits dimana sabda Rasul : “Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan ijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Namun bila ia menetapkan hukum dengan jalan ijtihad, kemudian ia keliru, maka ia mendapatkan satu pahala.” Pahala itu berlaku bagi Mujtahid. Namun bagi orang yang bukan mujtahid, jika benar maka tidak mendapat apa-apa, jika salah maka mendapat dosa. Dalam terminologi yurisprudensi (hukum) Islam, kata Ijtihad dan Taqlid adalah dua kata yang tidak asing dan telah menjadi bahan pembahasan para fuqaha dan ushuliyyun sejak generasi terdahulu sampai sekarang. Akhir-akhir ini bahasan tentang keduanya mulai marak kembali, khususnya ketika muncul sebuah gerakan yang menamakan dirinya sebagai pengikut Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Mereka acapkali disebut dengan mujaddidin (kaum pembaharu). Gerakan mujaddidin menolak segala bentuk taqlid, khususnya kepada para mujtahid yang telah wafat seperti Imam Abu Hanifah (80-150H), Imam Malik Bin Anas (93-179 H), Imam Syafi’i (150-198 H) dan Imam Ahmad Bin Hambal (164-241 H). Kehadiran mereka tidak dapat dipungkiri lagi, bahkan mengundang reaksi yang cukup keras dari kaum taqlidiyyin (para pengikut empat imam mujtahid tersebut). Letak perbedaan kedua golongan ini, mujaddidin dan taqlidiyyin, sehubungan dengan masalah hukum Islam, adalah kaum mujaddidin berpendapat bahwa umat Islam hanya harus mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak boleh mengikuti selain keduanya. Dengan demikian setiap muslim harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis secara langsung, tidak diperbolehkan mengikuti (taqlid) kepada pendapat ulama. Sementara kaum taqlidiyyin berpendapat, bahwa sah-sah saja seorang muslim mengikuti pendapat seorang ulama, khususnya para imam mazhab yang empat, karena pendapat mereka tidak lepas dari empat dasar hukum, Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Apalagi mereka lebih dekat kezaman kenabian dari pada umat Islam sekarang ini. Lebih dari itu kaum taqlidiyyin membatasi ijtihad hanya kepada empat imam mazhab tersebut. Dengan pengertian, setelah keempat mujtahid tersebut tidak ada lagi mujtahid yang lain. Walaupun ada, maka itu hanya sebagai mujtahid fatwa bukan mujtahid mutlak, seperti Imam Nawawi diMesir dan Imam Rafi’I diSuria. Jadi satu pihak mewajibkan setiap muslim merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah,walaupun dengan seperangkat ilmu alat seadanya serta dengan latar belakang pendidikan yang berbeda. Dengan kata lain, menurut pihak ini setiap muslim harus berijtihad (definisi ijtihad pada keterangan berikut) dan diharamkan taqlid. Sementara di pihak lain menutup pintu ijtihad rapat-rapat, sehingga tidak diperkenankan seseorang setelah empat imam mujtahid untuk berijtihad. Mereka harus mengikuti salah satu dari empat imam mujtahid tersebut. B.Hukum Melakukan Ijtihad 1. Orang tersebut dihukumi pardlu a’in untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya. 2. juga dihukumi fardlu a’in jika ditanykan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. 3. Dihukumi fardlu kifayah ,jika permasalahan yang dijukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya. 4. Dihukumi Sunnah apabila ber-Ijtihd terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya maupun tidak. 5. Dihukum haram,apabila ber-Ijtihad terhdap permasalhan yang sudah ditetapkan secara qat’I ,sehingga hasil ijtihad itu bertentangan engan dalil syara. C. Dasar Hukum Ijtihad Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hokum Islam.Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali,baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat,diantaranya: Firman Allah SWT :        ••          Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. Surat An-Nisa’: 105) Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu’mah dan ia Menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu’mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu’mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu’mah dan menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu’mah, Nabi sendiri Hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu’mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi Wafat .Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatau masalah baru yang tidak terdapat dalam AL-Qur’an dan Sunnah Rasul. D. Hukum- Hukum Menurut Fuqaha a. Wajib,kerena bila dilihat dari segi waktu,contohnya:waktu pembayarn kafarat sumpah,hukumnya wajib, tetapi tidakdijelaskan waktu pembayarannya. b. Mandub,ialah sesuatu yang dituntut syara’ memperbuatnya kepada orang mukalaf dengan tuntutan yang tidak mesti. c. Haram,adalah sesuatu yang dituntut oleh syara untuk tidak mengerjakan dengan tuntutn yang mesti.Contohnya;jangn dekati jinah,karena jinah adalah sesuatu yang amat keji. d. Makruh, contohnya meninggalkan yang meragukan ,untuk menuju kepada yang tidak diragukan. e. Mubah,Contohnya memberi pilihan mukalaf oleh syara antara ingin berbuat atau meninggalkannya. E. Medan Ijtihad Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum. Lalu, hokum Islam yang mana saja yang mungkin untuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hokum (hukum Islam) secara mutlak? Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan peranannya adalah: 1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas. 2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin. 3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan. 4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid). Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam, disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak. Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak berlaku atau tidak dibenarkan pada: 1) Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau "ma'ulima min al-din bi al-dlarurah." Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas." Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an. 2) Hukum Islam yang telah diijma'i ulama. 3) Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli 'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapatdicerna dan diketahui mujtahid). Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Tidak ada ijtihad dalam melawan nash." F. Syarat-Syarat Berijtihad Atau Mujtahid. Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian persyaratan itu yang terpenting ialah: 1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum. 2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum. 3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'. 4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum. 5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an. 6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum. 7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u 'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u 'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat. 8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening). 9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hokum dan sanggup mempertahankannya 10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya. G. Macam-Macam Tingkatan Mujtahid Mujtahid terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu: 1. Mujtahid Mustaqil (mandiri, independen) adalah ulama yang telah memenuhi semua syarat-syarat di atas. Mereka punya otoritas untuk mengkaji hukum langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, dan menggunakan methode yang dirumuskan sendiri dalam berijtihad tanpa mengekor kepada mujtahid lain. Pendapatnya kemudian disebarluaskan kepada masyarakat. Termasuk dalam tingkatan ini adalah seluruh fuqoha dari kalangan shahabat, fuqoha dari kalangan tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nakha’i, fuqoha mujtahid seperti Ja’far ash-Shadiq dan ayahnya, Muhammad al-Baqir, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad, Sufyan ats-Tsaury, dan Abu Tsaur. Namun yang madzhabnya tetap masyhur hingga kini adalah 4 Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. 2. Mujtahid Muntasib adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil/memilih pendapat-pendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang, meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya. Termasuk dalam tingkatan ini seperti al-Muzani (dari madzhab Syafi’i) dan Abdurrahman ibnu Qosim (dari madzhab Maliki).\ 3. Mujtahid Madzhab yaitu mengikuti imamnya dalam ushul maupun furu’ yang telah jadi. Peranan mereka sebatas melakukan istinbath hukum terhadap masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya. Mujtahid madzhab tidak berhaq berijtihad terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapannya di dalam madzhab yang dipegangnya, kecuali dalam lingkup terbatas. Menurut madzhab Maliki, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid madzhab. 4. Mujtahid Murajjih hanya mentarjih (mengunggulkan dan menguatkan) diantara pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari imamnya dengan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid-mujtahid pada tingkatan-tingkatan di atasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain dalam madzhab yang dipegangnya karena dipandang lebih kuat dalilnya, atau karena sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat pada masa itu, atau karena alasan-alasan lain, namun tidak melakukan kegiatan istinbath baru yang independen. Ini adalah tingkatan paling rendah dalam Ijtihad. H. Perbedaan Yang Ditolerir Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam. Banyak ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menyinggung masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari Hadits Nabi yang artinya, "Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat Bukhari Muslim). Hadits di atas bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad ditolerir. Prinsip ini dipegang teguh oleh para imam mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat populer, "Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar." Hal ini sejalan dengan status fiqih sebagai produk ijtihad yang statusnya dhanny, yang artinya kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tetapi mengandung kemungkinan salah, ia salah tetapi mengandung kemungkinan benar. Hanya saja, menurut mujtahid, porsi kebenarannya lebih dominan/rajih. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam sebagai hasil ijtihad inilah yang ditegaskan Nabi akan membawa rahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahui ditegaskan dalam sebuah hadits, "Perbedaan pendapat di kalangan ulama akan membawa rahmat." (Abu Nashar Al-Muqaddasi). Yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah perbedaan pendapat dalam hukum Islam ijtihady, yakni fiqih. Inilah yang ingin saya tegaskan dalam kesempatan ini mengingat adanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu' untuk membenarkan adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yang akan bermuara pada paham "pluralisme agama" -semua agama sama atau benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabila benar bahwa semua agama itu sama tentu tidak ada kewajiban berda'wah, amar ma'ruf nahi munkar, jihad dan sebagainya. Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan. I. Ijtihad Bagi Nabi dan Sahabat Pada ulama telah sepakat bolehnya ber-ijtihad bagi Nabi-nabi dalam hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan dunia dan soal-soal peperangan. Menurut jumhur, Nabi-nabi boleh ber-ijtihad, kalau seseorang boleh ber-ijtihad sedang ia tidak terhindar dari kemungkinan luput, mengapa Nabi-nabi tidak boleh ber-ijtihad, padahal mereka terjamin dari keluputan. Para ahli ushul berbeda pendapat tentang diperbolehkannya ijtihad bagi sahabat-sahabat di masa Rasul. Pendapat yang kuat membolehkan ijtihad bagi sahabat-sahabat; baik di kala berdekatan dengan Rasulullah ataupun ketika berjauhan. Nabi pernah menyerahkan putusan tentang Yahudi Bani Quraidzah kepada Sa’ad. J. Bertaqlid Taqlid adalah beramal atas dasar fatwa seorang faqih / mujtahid (Lihat kitab Tahrir al-Wasilah, karya Imam Khumainy). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa setiap muslim harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, meskipun tidak semua orang muslim mampu merujuk kepada keduanya secara langsung (berijtihad) karena enam persyaratan tersebut, maka bagi yang tidak mampu diperkenankan bertaqlid. Kata-kata taqlid bagi sementara kaum muslimin adalah kata yang berkonotasi negatif. Bahkan sebagian ada yang mengharamkannya. Padahal masalah taqlid adalah sesuatu yang lumrah, wajar dan logis terjadi ditengah-tengah masyarakat. Kehidupan sosial umat manusia tegak atas dasar taqlid, karena taqlid tidak lain dari perbuatan seseorang yang tidak tahu merujuk kepada yang tahu dalam segala urusan. Misalnya seorang yang sakit merujuk kepada Dokter sebagai ahli kesehatan, seorang ulama meminta bantuan seorang insinyur ketika hendak membangun masjid dan pesantren dan sebagainya. Setiap orang yang tidak tahu dalam satu masalah atau urusan pasti merujuk kepada yang ahli dalam masalah dan urusan tersebut. Itulah yang dinamakan taqlid. Dalam hal ini tidak ada yang menganggap taqlid itu tidak baik. Demikian halnya dalam masalah syariat atau hukum (baca, fiqih), tidak semua orang mampu mengambilnya langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah, karena pengambilan langsung dari keduanya bukan sesuatu yang mudah, akan tetapi perlu ada spesialisasi. Nah, orang yang awam tentang syariat, baik itu pedagang, petani, kaum intelek dan lainnya yang tidak membidangi syariat secara khusus, mau tidak mau mereka harus merujuk kepada orang yang ahli dalam masalah syariat. Alasan ini dalam istilah para ushuliyyun dan fuqaha disebut al-urufal-uqala’i. Disamping itu ada beberapa ayat yang oleh sebagian ulama dijadikan dalil tentang diperbolehkannya taqlid dalam urusan syari’at, antara lain: 1. Surat At-Taubah ayat 122                          "Tidak sepatutnya bagi semua orang mukmin pergi (berjihad). Mengapa tidak pergi dari setiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk tafaqquh (belajar secara mendalam) dalam urusan agama. Dan (setelah itu) mereka hendaknya memberi peringatan kepada kaumnya kalau kembali kepada mereka, agar mereka dapat menjaga diri mereka. ""Ayat ini secara implisit menyatakan, bahwa kewajiban orang yang tidak bertafaqquh untuk mengikuti dan menerima keterangan orang-orang yang bertafaqquh. 2. Surat Al-Anbiya ayat 70 "Maka bertanyalah kepada ahli dzikir,jika kalian tidak mengetahui." Ayat ini mengandung arti yang umum, karena ahli dzikir dapat diartikan sebagai ahli kitab, jika yang menjadi mukhatab (obyek) adalah kaum musyrikin dan juga dapat diartikan sebagai para imam atau ulama (ketika tidak ada imam) kalau yang menjadi mukhatab adalah umat Islam. Berdasarkan pengertian kedua, ketika Allah menyuruh umat Islam bertanya kepada para imam dan ulama, berarti mereka harus menerima jawaban yang diberikan oleh mereka. K. Objek Ijtihad Menurut Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian. 1. Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil qoth’i, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina, mencuri dan lain-lain. 2. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama. BAB III KESIMPULAN 1) Dalam mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, secara garis besar terdapat dua cara, pertama ijtihad dan kedua taqlid. Keduanya dibenarkan dan berlaku untuk seluruh kaum muslimin. 2) Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain. 3) Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau hukum khuluqi, 4) Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni. 5) Pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi yang memenuhi persyaratan. 6) Ijtihad dibenarkan apabila dilakukan di tempat-tempa dimana ijtihad boleh dilakukan. 7) Nabi Muhammad saw bisa melakukan ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapatnya pribadi tanpa wahyu, terutama dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan persoalan hukum. Kesimpulan tersebut, sesuai dengan sabda beliau sendiri : Artinya : "Sungguh saya memberi keputusan diantara kamu tidak lain dengan pendapatku dalam hal tidak diturunkan (wahyu) kepadaku." (HR. Abu Daud dan Ummi Salamah). Daftar Pustaka - A. Hanafie, MA., Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, cet. XII - Dr. H. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999, cet. I. - M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, PT Bulan Bintang, Jakarta,1987 - Prof. Muhammad Abu Zahrah, ushul fiqih, Pustaka Pirdaus, Jakarta 2005 - Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A. Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya 2000 - Prof. Dr. Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Usul Fiqh, Pustaka Amani, Jakarta 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger