Headlines News :

Kamis, 29 April 2010

KEDUDUKAN USHUL FIQH SYARIAT HUKUM ISLAM

KEDUDUKAN USHUL FIQH DALAM PENGEMBANGAN SYARIAT HUKUM ISLAM Pembukaan Dalam Islam, ide murni itu berbentuk Wahyu yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ide ini tidak bisa diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Berbeda dengan pemikiran agama (Islamologi) yang seluruhnya merupakan produk manusia dan sangat berkaitan dengan masyarakat. 1. Pendekatan Humanistik Permasalahan yang sering muncul adalah bahwa kerja ushul-fiqh itu objektif atau subjektif. Demikian karena banyak sekali materi fiqh yang dikelola melalui ushul-fiqh, beda pendapat antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Cara berfikir Ushuliyyin selalu memakai pendekatan kwalitatif, maka oleh sebagian ilmuan dianggap tidak objektif. Berbeda dengan paradigma ilmu yang memakai pendekatan kwantitatif, yang serba ilmiah dan terkontrol. Hal ini diakui oleh ushuliyyin sendiri, dan tidak akan menolak. Ushul-fiqh selalu muncul dalam kerangka berfikir tertentu dan tidak bisa bebas begitu saja. Tetapi dalam penyajiannya selalu muncul nilai subjektivitas di dalamnya. Karena itu, meskipun mulanya ushul-fiqh itu gagasan al-Syafi’iy untuk membangun madzhabnya, tetapi dalam perkembangannya, muncullah Ushul-fiqh Zaidiyyah, Ushul-fiqh Mu’tazilah, Ushul-fiqh Hanafiyah, Ushul-fiqh Zhahiri dan sebagainya. Lalu apa artinya kebenaran ilmiah? Kebenaran ilmiah yang bersifat relatif, kondisional, dan tergantung consensus atau kesepakatan. Tidak ada kebenaran mutlak dalam ilmu sosial atau budaya termasuk ushul-fiqh. Karena itu, setiap ushuliyyun harus siap menerima kritik atas kekurang tetapan analisinya. Dalam kaitan ini, Abdul Wahhab al-Sya’rani berkata : madzhab kami adalah benar, tetapi mungkin juga salah. Madzhab di luar kami adalah salah tapi mungkin juga benar. Demikian ini juga tertuang dalam kitab klasik berjudul Mizan al-Kubra, maka nilai pluralis ini termasuk ciri postmodernism. Mushawwibah dan Mukhaththiah Di dalam Islam, semua teks (al-Qur’an dan al-Hadits) yang berbentuk zhanni (dugaan) maka makna yang muncul dari teks itu selalu dirumuskan dalam kesimpulan yang berbeda-beda (mukhtalaf fih). Bagi pengikut teori mushawwibah akan mengatakan bahwa semua kesimpulan yang berbeda-beda itu, yang benar tidak satu, bahkan bisa juga semuanya benar. Demikian jika semua mujtahidnya menampilkan kerangka berfikir yang sejalan dengan jalur ushul-fiqh. Sedangkan pengikut mukhath-thiah akan berpendapat bahwa semua kesimpulan yang banyak itu, yang benar Cuma satu saja, apalagi jika beberapa kesimpulan tadi ada yang kontradiktif. Peniaian semacam itu muncul karena ushul-fiqh atau kerangka berfikir fiqh memanfaatkan penalaran subjektif dan paradigma kwalitatif. Penalaran semacam ini kurang memiliki kebenaran pada tingkat tertentu. Kebenaran ushul-fiqh dianggap mengada-ada dan spekulasi yang merancang. Tentu saja asumsi seperti itu tidak selalu benar. Meskipun begitu, pengembangan ushul-fiqh seyogyanya berusaha keras untuk meyakinkan orang lain, bahwa fiqh yang diproduksinya memiliki kadar logika dan kebenaran. Logika dan kebenaran dalam ushul-fiqh tidak berbeda dengan metode penelitian ilmu sosial atau budaya. Logika tetap menjadi wahana untuk mencari kebenaran. Meskipun begitu, banyak sekali macam-macam logika itu antara lain : (a) logika formal. Logika ini berusaha mencari kebenaran dengan mencari relasi antar muqaddimah shugra dan kubra dengan tujuan untuk menggeneralisasikan natijah yang ada pada setiap syakal (qiyas manthiqi). Logika ini tidak bisa diterapkan dalam ushul-fiqh. Karena ushul-fiqh tidak mengejar qiyas-qiyas manthiqi seperti itu, tetapi tranferabilitas. (b) logika matematik. Logika ini pencarian kebenaran dengan mencari relasi proposisi menurut kebenaran materiil seperti tiga kali tiga itu sembilan. Logika ini didukung oleh rerata yang pasti dan terukur. Andalan logika ini adalah adanya dalil, aturan, dan rumus-rumus pasti. Logika semacam ini dimanfaatkan oleh statistika dan bisa berlaku bagi penelitian ilmu sosial, ilmu budaya. Termasuk Ilmu agama yang menganut faham posistivistik. (c) Logika reflektif, yaitu cara berfikir dengan sangat cepat, untuk mengabstraksikan dan penjabaran. Logika ini berlangsung cepat dan bisa memanfaatkan daya intuisi. Dalam ilmu tasawwuf, logika ini disebut pendekatan dzauqi yang bisa berkembang sampai laduni. (d) logika kwalitatif, yakni pencarian kebenaran berdasarkan paparan deskriptif data di lapangan atau di perpustakaan. Kwalitas kebenarannya didasarkan pada realitas yang ada. (e) logika linguistik, yaitu pencarian kebenaran berdasarkan pemakaian bahasa. Logika ini banyak diminati oleh penelitian al-Qur’an dan semacam penelitian yang memerlukan penafsiran. Dalam macam-macam logika di atas, ushul-fiqh cenderung memanfaatkan logika kwalitatif dan logika linguistik. Suatu saat logika reflektif pun dipakai pula, terutama untuk mengembangkan dalil metodologis seperti istihsan dan masalih mursalah. Logika kwalitatif banyak dipergunakan untuk mengembangkan dalil sosiologis seperti ijma’, qaul shahabi, dan lain-lain. Sedangkan logika linguistik dipergunakan untuk mengembangkan dalil normatif, yaitu al-Qur’an dan teks al-Hadits. Perlu dipertimbangkan, baik oleh pengikut mushawwibah dan mukhaththiah bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin) adalah unik, dan inilah yang menjadi objek pembahasan ushul-fiqh. Oleh karena itu, tuntutan kebenaran dan atau objektivitas ushul-fiqh hendaknya dicari bukan seperti fenomena alam. Jika fenomena alam ada hal-hal yang secara fisik teramati, terulang dan teratur, maka perilaku manusia tidak selamanya bergerak seperti itu, bahkan selalu bias. Tingkat bias ini hanya mampu diolah menjadi objektif apabila dilukiskan secara verstehen (mudah terfahami). Jika fiqh yang diproduksi tadi ada kejelasan. Kejelasan inilah yang disebut kebenaran. 2. Pendekatan Emik dan Etik Ada dua cara pandang (pendekatan) yang saling bertolak belakang. Dua pendekatan ini disebut pendekatan emik (fonemik) dan pendekatan etik (fonetik). Awalnya, pendekatan ini muncul dari istilah linguistik, yang dalam ilmu budaya dipopulerkan oleh Kenneth Pike. Dalam kitab klasik, teori ini pernah dikembangkan oleh Ibn Jinni dan al-Jurjani. Pendekatan ushul-fiqh regional adalah (a) Ushuliyyun akan mempelajari perilaku masyarakat (af’al al-mukallafin) yang mengikuti madzhabnya sendiri. (b) Ushuliyyun hanya mempelajari ushul-fiqh dari madzhabnya sendiri, yaitu ushul-fiqh al-Syafi’iy misalnya, yang ditulis oleh beberapa tokoh madzhab itu. (c) Struktur ushul-fiqh ditentukan oleh kondisi dan situasi jama’ah yang mengamalkan fiqhnya. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat relatif dan terbatas. Sedangkan ushul-fiqh universal adalah (a) Ushuliyyun akan mempelajari perilaku manusia (af’al al-mukallafin) dari luar madzhabnya sendiri. (b) Ushuliyyun akan mempelajari ushul-fiqh dari berbagai madzhab dan membandingkannya satu sama lain. (c) Struktur ushul-fiqh ditentukan oleh ushuliyyun itu sendiri dengan membangun konseptual. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat mutlak, ada generalisasi dan berlaku universal. 3. Pendekatan Prositivistis dan Naturalistis Dalam pandangan Dhurkheim, dasar pendekatan positivistic adalah logika matematis yang penuh teori logika deduktif. Kevalidan karya positivisme dengan cara mengandalkan fakta empiri. Generalisasi diperoleh dari rerata di lapangan. Kalau konsep semacam ini diterapkan pada pemikiran Ibn Taymia, maka ada dua dasar, yaitu (a) teks al-Qur’an dan teks al-Hadits dinilai sebagai pusat, dan pemahaman yang diluar teks adalah sebagai dunia yang gelap. Maka untuk mengetahui yang gelap itu, ilmuwan harus masuk pada tingkat hakikat, yaitu makna empirik (tekstualis), bukan ta’-wil atau kinayah dan sebagainya. (b) teks tidak dipandang sebagai pusat, tetapi sebagai satu titik dari deretan titik yang disebut kenyataan. Karena kedudukan seperti ini, maka teks tidak harus mengetahui hukum (yang gelap) yang berlaku pada dunia sekitar, tetapi yang gelap-gelap itulah yang lebih menserasikan diri dengan teks. Ciri-ciri positivistic dapat dilihat dari tiga pilar keilmuan, yaitu (a) aspek ontologis, positivistic menghendaki bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin) dapat dipelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari subjek lain, dan dapat dikontrol. (b) secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap pengamalan fiqh dalam masyarakat. (c) secara aksiologis, menghendaki agar pengembangan ushul-fiqh bebas nilai. Artinya, ushuliyyun dalam menyusun ushul-fiqhnya mengejar objektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat. 4. Pendekatan Fenomenologis Fenomenologi berusaha memahami pengalaman madzhab lewat pandangan dan perilaku pengamal madzhab itu. Menurut faham fenomenologis, ilmu bukanlah bebas nilai dari apapun, tetapi memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma fenomenologis adalah (a) kenyataan ada dalam diri manusia, baik selaku individu atau kelompok, selalu bersifat majmuk atau ganda yang tersusun secara kompleks. Oleh karena itu pengamalan madzhab Syafi’iy atau madzhab Hanafi atau lainnya yang tersebar di beberapa kawasan, hanya bisa dipelajari secara holistic dan tidak terlepas-lepas. (b) hubungan antara ushuliyyun dengan pengikut madzhab di daerah itu saling mempengaruhi, mungkin karena diskusi atau saling memberikan komentar. (c) lebih mengarah kepada kasus-kasus fiqhiyyah bukan untuk menggeneralisasi karangan atau materi untuk ushul-fiqhnya. (d) ushuliyyun akan kesulitan dalam membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara stimulan. (e) inkuiri terkait nilai, bukan bebas nilai, sebagaimana disebutkan di atas. Perkembangan kesadaran yang diketahui oleh ushuliyyun yang menggunakan fenomenologi akan dihadapkan pada sejumlah permasalahan fiqh dan ushul-fiqhnya. Paling tidak ada tiga permasalahan pokok, yaitu (a) Ketidak samaan data yang dihimpun oleh ushuliyyun, karena perbedaan minat di kalangan mereka terhadap perilaku suatu madzhab di daerah yang sama. (b) Masalah sifat data itu sendiri. Artinya seberapa jauh data tersebut dapat diperbandingkan, atau seberapa jauh data tersebut benar-benar dapat melukiskan gejala yang sama dari pengamal madzhab yang berbeda. (c) Menyangkut masalah klasifikasi data yang di antara ushuliyyun masih berbeda kriterianya. PENUTUP A. Kesimpulan Demikian pengembangan ushul-fiqh, sebenarnya masih bisa dicapai lagi dengan pendekatan yang lain, seperti pendekatan praktek, dan pendekatan emansipatoris. Meskipun begitu, pendekatan-pendekatan yang sudah disajikan di atas, sudah mencukupi untuk mengembangkan ushul-fiqh kita. Wallahu a’lam. B. Saran-Saran Karya Ilmiah ini jauh dari kesempurnaan dan dekat dengan kekurangan-kekurangan, maka diharapkan saran, kritik dan masukan dari ahli-ahli ushul fiqih dan semua pembaca, sehingga menjadi karya ilmiah yang sempurna. DAFTAR PUSTAKA - Aziz. A. Qodri, 2003. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, Dipertais, Ditjen Bagais, Depag RI, Jakarta. - Bisri, Cik Hasan, 2003. Model Penelitian Fiqih, Jilid I. Edisi Pertama, Prenada Media, Jakarta. - Dikki al-Bab, Ja’far, 2004. Metode Linguistik Buku Al-Kitab wa Al-Qur’an. Elsaq Press. Yogyakarta. - Muhammad Syahrur, 2004. Al-Kitab wa Al-Qur’an. Elsaq Press. Yogyakarta. - Syalabi. Muhammad Musthofa, 198 M-1401 H. Beirut. Dar al-Nahdhah Al-Arabiyah. - Syarkhasi, Muhammad Ibn Ahmad Bin Abi Sahal, Al-Muharrar fi Ushul al-Fiqh, Beirut.tt. Dar al-Kutub Al-Arabiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger