Headlines News :

Jumat, 11 November 2011

ADOPSI (PENGANGKATAN ANAK)


ADOPSI (PENGANGKATAN ANAK)

1.      Bagaimana Pandangan Fiqih tentang Pengadopsian Anak dan Hukumnya?
a.       Pengertian Adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris “Adoption”, yang artinya pengangangkatan atau pemungutan, sehingga sering dikatakan “Adoption of a child”: yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.
Kata adopsi ini, dimaksudkan oleh ahli bangsa arab, dengan istilah التبني yang dimaksudkan sebagai mengangkat anak, memungut atau menjadikan anak.
b.      Pengertian adopsi menurut istilah, dapat dikemukakan definisi para ahli’ antara lain:
1)      Muderis Zaini, S.H., mengemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, S.H., dengan mengatakan:
“Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.”
Kemudian dikemukakan pendapat Surojo Wingjodipura, S.H., dengan mengatakan:
“Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan, pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dengan anak kandungnya.”
Dua pendapat para pakar yang dikemukakan oleh Muderis Zaini, S.H., menggambarkan, bahwa hukum adat membolehkan pengangkatan anak, yang status anak tersebut disamakan dengan anak kandung sendiri begitu juga status orang tua angkat, sama dengan orang tua kandung di anak angkat itu. Kedua belah pihak (orang tua angkat dan anak angkat), mempunyai hak dan kewajiban yang persis sama dengan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak kandungnya, dan atauanak kandung terhadap orang tuanya.
2)      Prof. DR. Asy-Syekh Mahmud Syaltut, mengemukakan dua macam definisi sebagai berikut:
“Adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak, yang diketahuinya bahwa anak itu termasuk anak orang lain. Yang ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya; baik dari segi kasih sayangnya maupun nafkahnya (biaya hidupnya), tanpa itu memandang perbedaan. (meskipun demikian) agama tidak menganggap sebagai anak kandungnya, karena itu tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung.”
Definisi ini memberika gambaran, bahwa anak angkat itu sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang dan pendidikan, tidak dapat disamakan dengan status anak kandung; baik dari segi pewarisan maupun segi perwalian. Hal ini, dapat disamakan dengan anak asuh menurut istilah sekarang ini.
Selanjut, Prof. DR. Asy-Syekh Mahmud Syaltut mengemukakan definisinya yang kedua dengan mengatakan:
”Adopsi adalah adanya seseorang yang tidak memiliki anak, kemudian menjadikan seorang anak sebagai anak angkatnya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia menjadikannya sebagai anak yang sah.”
Definisi ini menggambarkan pengangkatan anak tersebut sama dengan pengangkatan anak di zaman Jahiliyah, dimana anak angkat itu sama statusnya dengan anak kandung, ia dapat mewarisi harta benda orang tua angkatnya dan dapat meminta perwalian kepada orang tua angkatnya bila ia mau dikawini.

2.      Tradisi Pengangkatan Anak (Adopsi) di Masyarakat
Masalah adopsi, bukan suatu hal baru, tetapi di berbagai negeri sejak zaman dahulu kala, tradisi tersebut sudah berbaur dengan kehidupan masyarakat. Tradisi masyarakat jahiliyah secara turun temurun mengangkat anak orang lain sebagai anaknya. Diterangkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
$¨B Ÿ@yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur Ÿ@yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur Ÿ@yèy_ öNä.uä!$uŠÏã÷Šr& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)tƒ ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgtƒ Ÿ@Î6¡¡9$# ÇÍÈ öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øŠs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JŠÏm§ ÇÎÈ . (الأحزاب: 4 – 5)
Artinya:
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah melarang pengangkatan anak (adopsi) yang menisbatkan segala-galanya kepada nama bapak angkatnya, persamaan hak waris dan hubungan mahram serta perwalian perkawinan. Anak angkat itu hanya sekedar anak pemeliharaan atau anak asuh yang tidak bisa disamakan dengan status anak kandung.
Tentang pengangkatan anak (adopsi) di Indonesia kebanyakan masyarakatnya cenderung mengangkat anak dari keluarga dekatnya; misalnya ponakannya, ponakan isteri atau suaminya, atau anak dari misanannya dan sebagainya. Tetapi setelah berdiri beberapa lembaga yang mengurusi anak yatim dan anak yang terlantar, maka masyarakat sudah mulai menyadari bahwa upaya pengangkatan anak, tidak harus berasal dari keluarga dekatnya, tetapi mereka melihatnya sebagai sesama manusia yang harus ditolong penghidupannya serta pendidikannya. Bahkan sekarang ini, lebih berkembang lagi upaya-upaya untuk membantu anak-anak yang tidak mampu, dengan istilah program ”Anak Asuh”.
Pengangkatan anak (adopsi) yang menyamakan statusnya dengan anak kandung, masih berlangsung di masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Oleh karena itu, sebagai orang Islam, dapat diperhatikan ketentuan agama yang mengatur tentang pengangkatan anak (adopsi).
Ada beberapa, motivasi yang melandasi pengangkatan anak di Indonesia, sehingga merupakan suatu kebutuhan hidup masyarakat. Motivasi tersebut, antara lain:
  1. Karena tidak mempunyai anak;
  2. Karena motivasi kasih sayang terhadap anak yang tidak memiliki orang tua, atau anak dari orang tua yang tidak mampu;
  3. Karena ia hanya mempunya anak perempuan, sehingga mengangkat anak laki-laki, atau dengan sebaliknya.
  4. Untuk menambah jumlah keluarga, karena mungkin berkaitan dengan keperluan tenaga kerja dan sebagainya.
  5. Pengangkatan anak dengan motivasi yang berbeda-beda, maka Islam sangat perlu menata kembali tata cara pengangkatan anak, sehingga tetap dapat dibedakan antara anak kandung dengan anak angkat; terutama hak-hak yang berkaitan dengan perwarisan, hubungan mahram, dan status perwalian (dalam masalah perkawinan), karena hal ini terkait dengan masalah ibadah; antara lain misalnya hubungan mahram, dapat membatalkan wudhu’ antara bapak angkat dengan anak angkatnya yang perempuan, padahal kalau anak kandung tidak demikian halnya.
3.      Hukumnya
Islam menetapkan bahwa antara orang tua angkat dengan anak angkatnya, tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawa sebagai sesama manusia. Karena itu, antara keduanya bisa berhubungan tali perkawinan; misalnya Nabi Yusuf bisa mengawini ibu angkatnya (Zulaehah), bekas isteri Raja Abul Aziz (bapak angkat Nabi Yusuf).
Begitu juga halnya Rasulullah SAW, diperintahkan oleh Allah mengawini bekas isteri Zaid sebagai anak kandungnya. Berarti antara Rasulullah dengan Zaid, tidak ada hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang sebagai bapak angkat dengan anak angkatnya. Ini dapat dilihat keterangan ayat 37 dari surah Al-Ahzab.
Islam tetap memperbolehkan adopsi (pengangkatan anak), dengan ketentuan:
1.      Nasab anak angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan orang tua angkatnya;
2.      Anak angkat itu dibolehkan dalam islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung; baik dari segi perwarisan, hubungan mahram, maupun wali (dalam perkawinan);
3.      Karena anak angkat itu tidak berhak menerima harta warisan dari orang tua angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, yang maksimal seperti dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya,
Dari segi kasih sayang, persamaan biaya hidup, persamaan biaya pendidikan antara anak kandung dengan anak angkat (adopsi) dibolehkan dalam Islam. Jadi hampir sama statusnya dengan anak asuh;
Pengangkatan Zaid Bin Al-Haritsah sebagai anak angkat oleh Rasulullah SAW, dimansukh (dibatalkan) oleh ayat 37 dari Surah Al-Ahzab, dengan diperbolehkannya Rasulullah mengawini bekas isteri Zaid, berarti bapak angkat dengan anak angkat, tidak terdapat hubungan mahram.


4.      Kesimpulan
-          Jika yang dimaksud dengan adopsi adalah tabanni, yakni mengambil dan mengangkat/mengasuh anak untuk kemudian nasabnya disambungkan kepada pengasuh maka hukumnya adalah haram.
-          Jika yang dimaksud dengan adopsi adalah sebatas merawat/mengasuh anak untuk dididik dan dicukupi kebutuhannya tanpa disambungkan nasabnya kepada pengasuh maka hukumnya fardlu kifayah bagi Muslimin karena tergolong menyelamatkan laqith, yakni mengasuh anak terlantar yang tidak diketahui orang tuanya, atau menjadi kewajiban sosial dalam membantu sesama muslim apabila anak yang dirawat/diasuh diketahui orang tuanya.
Tentang undang-undang yang mengatur pengambilan anak terlantar (laqith) sudah diatur secara terperinci dalam kitab, kitab fiqih, seperti: pengasuh harus Muslim, anak yang diasuh di bawah usia baligh dan lain-lain.


KITAB-KITAB YANG MENDUKUNG PEMBAHASAN

1.   الباجوري الجزء الثاني ص: 61 – 62 دار الفكر
(وإذا وجد لقيط) بمعنى ملقوط (بقارعة الطريق فأخذه) منها وتربيته (وكفالته واجبة على الكفاية) فإذا التقطه بعض ممن هو أهل لحضانة اللقيط سقط الاثم عن الباقي فإن لم يلتقطه أحد أثم الجميع ولو علم به واحد فقط تعين عليه ويجب في الأصح الإشهاد على التقاطه وقوله وتربيته أي تعهده بما يصلحه – إلى أن قال – وعلم من ذلك أنه ليس المراد بالكفالة هنا الحضانة وإن كانت تسمى كفالة.
2.   أسنى المطالب الجزء الثاني، ص: 498
(فصل وأما أحكامه) أي الالتقاط (فعلى الملتقط) منها (حفظ اللقيط ورعايته) أي تربيته لأن ذلك مقصود الالتقاط (لا نفقته وحضانته) المفصلة في الإجارة لأن فيهما مشقة ومؤنة كثيرة فالمراد بقولهم هنا "وحضانته على الملتقط" حفظه وتربيته لا الحضانة المذكورة (فإن عجز) عن حفظه ورعايته لأمر عارض (فالقاضي) أي فيسلمه له (وله تسليمه إليه) لتبرم أو غيره (ولو قدر) على ذلك أيضا فتقييد الأصل ذلك بالتبرم جرى على الغالب (ويحرم) عليه (نبذه ورده إلى ما كان) بالاتفاق.
3.   بغية المسترشدين ص: 235 أوسها كلواركا
(مسألة   ك) من الحقوق الواجبات شرعا على كل غني وحده من ملك زيادة على كفاية سنة له ولممونه ستر عورة العاري وما بقي بدنه من مبيح تيمم وإطعام الجائع وفك أسير مسلم وكذا ذمي بتفصيله وعمارة سور بلد وكفاية القائمين بحفظها والقيام بشأن نازلة نزلت بالمسلمين وغير ذلك إن لم تندفع بنحو زكاة ونذر وكفارة ووقف ووصية وسهم المصالح من بيت المال لعدم شيء فيه أو منع متوليه ولو ظلما فإذا قصر الأغنياء عن تلك الحقوق بهذه القيود جاز للسلطان الأخذ منهم عند وجود المقتضي وصرفه في مصارفه.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Bajuri. Juz 2. Hal. 61-62. Dar Al-Fikr
Asna Al-Matholib. Juz 2. Hal. 498.
Bughyah Al-Mustarsyidin. Hal. 253. Usaha Keluarga. Semarang.
Muderis Zaini. Adopsi. Jakarta: Bina Aksara. 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger