Headlines News :

Kamis, 29 April 2010

MUTLAQ DAN MUQAYYAD

MUTLAQ DAN MUQAYYAD A. Pendahuluan Sebagai hukum tasyri’ terkadang datang dengan bentuk Muthlaq yang menunjukkan kepada satu individu (satu benda) yang umum, tanpa dibatasi oleh sifat atau syarat. Dan terkadang pula dibatasi oleh sifat atau syarat namun hakikat individu itu tetap bersifat umum serta meliputi segala jenisnya. Pemakaian lafaz dengan kapasitas Muthlaq atau terbatas (muqayyad) merupakan salah satu keindahan retorika bahasa Arab. Dan dalam Kitabullah yang tidak tertandingi itu, ia dikenal dengan mutaqul-Qur’an wa muqayyaduh atau kemuthlakan Qur’an dan keterbatasannya. B. Pengertian Muthlaq Muthlaq adalah lafaz yang menunjukkan suatu hakikat tanpa sesuatu qayid (pembatas). Pada hakikat (mahiyah) lafaz itu apa adanya tanpa memandang jumlah maupun sifatnya. Misalnya lafaz raqabah dalam firman Allah yang berbunyi;    Artinya: (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. (QS.Al-balad :13) Perbedaan antara Muthlaq dan ‘am bahwa lafaz Muthlaq menunjukkan hakikat suatu lafaz tanpa batasan apapun, baik dari segi sifat atau jumlahnya. Misalnya firman Allah yang berbunyi sebagai berikut:  ...  Artinya: Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak (QS. Al-Mujadalah: 3) Ayat tersebut menuntut dimerdekakannya budak, tanpa memperhatikan jumlah budak, satu atau banyak dan tanpa mengartikan sifat budak, apakah beriman atau tidak. Yang penting adalah memerdekakan budak. Sedang ‘am adalah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz tersebut, dengan memperhatikan jumlahnya. Misalnya firnan Allah dalam surat Muhammad yang berbunyi :    Artinya: Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher mereka. Lafaz ‘am di atas adalah meliputi semua orang-orang kafir yang ikut berperang. Seperti lafaz mishriy (مصرى , seorang Mesir), dan rajulun (رجل seorang laki-laki), dan sebaliknya lafaz Muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan suatu satuan yang secara lafziyah dibatasi dengan suatu ketentuan, misalnya, mishriyun muslimun مصرى) (مسلمون seorang berkebangsaan Mesir yang beragama Islam, dan rajulun rasyidun ( رشيد جلر ) seorang laki-laki nyang cerdas. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an yang bersifat Muthlaq dan ada pula yang bersifat Muqayyad. Kaidah Ushul Fiqh yang berlaku disini adalah bahwa ayat yang bersifat Muthlaq harus dipahami secara Muthlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya, sebaliknya ayat yang bersifat Muqayyad harus dilakukan sesuai dengan batasan (kait)nya. Misalnya, lafaz muthlaq yang terdapat pada ayat 234 Surat Al-Baqarah:            Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa azwajan (istri-istri) yang ditinggal mati suaminya, masa tunggu mereka (iddah) selama empat bulan sepuluh hari. Kata azwajan (istri-istri) tersebut adalah lafal Muthlaq karena tidak membedakan apakah wanita itu sudah pernah digauli oleh suaminya atau belum. Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa masa iddah wanita yang ditinggal mati suami baik yang telah pernah disetubuhi oleh suaminya itu atau belum adalah empat bulan sepuluh hari. C. Pengertian Muqyyad Muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz tersebut dengan dibatasi (diberi qayd) oleh sifat, keadaan, dan syarat tertentu. Dengan kata lain, Muqayyad adalah, lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz itu sendiri, dengan dibatasi oleh batasan-batasan, tanpa memandang pada jumlah. Misalanya firman Allah :     Artinya: (Hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman (QS. An-Nisa 92) Contoh di atas adalah lafaz Muqayyad yang dibatasi denga sifat. Adapun contoh lafaz Muqayyad yang dibatasi dengan syarat, ialah firman Allah yang berkenaan dengan kafarat sumpah dalam surat Al-Maidah yang berbunyi:          Artinya: Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. (QS. Al-Maidah: 89) Kafarat puasa tiga hari tersebut diisyaratkan bila orang yang melanggar sumpah tidak mampu memerdekakan hamba sahaya ataumemiliki makanan atau pakaian : Sedangkan contoh lafaz Muqayyad yang dibatasi dengan batas tertentu ialah firman Allah yang berbunyi :         Artinya: Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS. Al-Maidah:89) Ibadah puasa tersebut dibatasi sampai pada waktu malam. Oleh karena itu puasa sepanjang hari dan malam (wishal) tidak diperbolehkan. D. Menerapkan yang Muqayyad pada yang Muthlaq Demikianlah lafal Muthlaq dan lafal dan lafal Muqayyad dipahami apa adanya apabila masing-masing berdiri sendiri tanpa ada hubungan antara yang satu dengan yang lain. Permasalahan selanjutnya adalah apabila suatu lafal dalam sebuah ayat disebut secara Muthlaq, dan di ayat yang disebut secara Muqayyad. Ulama Ushul fiqh sepakat untuk memberlakukan ketentuan yang terdapat dalam ayat Muqayyad terhadap ayat yang Muhlaq bilamana hukum dan sebabnya adalah sama. Contohnya, ayat 3 Surat Al-Maidah yang menegaskan :        •       •                 .....  Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.(QS. Al-Maidah:3) Kata Ad-Dam (الدام) darah, dalam ayat tersebut disebut secara Muthlaq tanpa membedakan antara darah yang mengalir dan darah yang masih tinggal dalam deging sembelihan. Lafal dam dalam ayat yang lain disebut secara Muqayyad, seperti dalam dalam ayat 145 surat Al-An’am :        •          ••        •     Artinya: Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…(QS. Al-An’am: 145) Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir ) دما مصفوحا (. Hukum yang dijelaskan dua ayat tersebut adalah sama, yaitu haramnya darah, dan sebab diharankannya juga sama, yaitu mendatangkan madarrat. Oleh karena sama dalam berbagai sisi, para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa sifat darah yang disebut secara Muthlaq itu disamakan dengan lafal dam (darah) yang disebut secara Muqayyad. Dengan demikian, darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir dari binatang sembelihan, bukan yang masih tinggal di dalam daging, atau hati. Adapun hati dan limpa tidak diharamkan, karena tidak termasuk dalam kriteria darah yang mengalir. Menurut Abu Hanifah dan pengikutnya, jika lafaz Muthlaq berbeda dengan Muqayyad, dalam segi hukum dan sebabnya, maka pengertian lafaz yang Muthlaq tidak dapat disesuaikan dengan lafaz yang Muqayyad. Contoh perbedaan lafaz Muthlaq dan Muqayyad dari segi sebab tapi hukum keduanya sama, seperti dalam firman Allah yang berkenaan dengan memerdekakan budak yang berbunyi :    •      Artinya: Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. (QS. An-Nisa 92) Dalam surat Al-Mujadalah Allah juga berfirman sebagai berikut:                         Artinya: Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah : 3) Dalam ayat kedua ini, budak (raqabah) disebut secara Muthlaq, sedang pada ayat yang pertama, disebutkan secara Muqayyad, yakni budak yang beriman. Pengertian lafaz yang Muthlaq dalam ayat ini, tidak dapat disesuikan dengan lafaz yang Muqayyad dalam ayat di atas, karena faktor yang menyebabkan wajibnya membayar kafarat berbeda. Dalam ayat kedua faktor yang menyebabkan wajibnya membayar kafarat zihar, sedang dalam ayat pertama adalah pembunuhan, meskipun akibat hukum keduanya adalah sama, yaitu memerdekakan budak. Dengan demikian, kafarat zihar adalah memerdekakan budak secara Muthlaq, sedang kafarat pembunuhan adalah memerdekakan budak dengan qayd yang beriman. E. Macam-macam Muthlaq dan Muqayyad serta Hukumnya Masing-masing Muthlaq dan Muqayyad mempunyai bentuk-bentuk ‘aqliyah, dan sebagai realitas bentuknya, yang akan dikemukakan sebagai berikut ini: 1) Sebab dan hukumnya sama, seperti “Puasa” untuk kifarat sumpah. Lafaz itu dalam qira’ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf diungkapkan secara Muthlaq:                Artinya: Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).(QS.Al-Maidah. 89). Dan ia Muqayyad atau dibatasi dengan “Tatabu” (berturut-turut) dalam qira’ah Ibn Mas’ud: فصيام ثلاثة أياّم متتابعات (Maka kafaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut). Dalam hal seperti ini, pengertian lafaz yang Muthlaq dibawa kepada yang Muqayyad (dengan arti, bahwa yang dimaksud oleh lafaz Muthlaq adalah sama dengan yang dimaksud oleh lafaz Muqayyad ). 2) Sebab sama namun hukum berbeda, seperti kata “tangan” dalam wudhu dan tayamum. Membasuh tangan dalam berwudhu dibatasi sampai dengan siku. Allah berfirman:              Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.(QS.Al-Maidah: 6). Sedang menyapu tangan dalam bertayamum tidak dibatasi, muthlaq, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:          Artinya: Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Dalam hal ini ada yang berpendapat, lafaz yang Muthlaq tidak dibawa kepaeda yang Muqayyad karena berlainan hukumnya. 3) Sebab berbeda tetapi hukumnya sama. Dalam hal ini ada dua bentuk: Pertama, Taqyid atau batasan hanya satu, misalnya pembebasan budak dalam hal kafarat. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak “beriman” dalam kafarat pembunuhan tak sengaja. Allah berfirman:      •      •     Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja)[334], dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Kedua, Taqyidnya berbeda-beda. Misalnya “Puasa kafarat”, ia ditakyidkan dengan berturut-turut dalam kafarat pembunuhan. Firman Allah :             Artinya: Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. (QS. An-Nisa. 92) 4) Sebab berbeda dan hukum pun berlainan, seperti “tangan” dalam berwudhu dan dalam pencurian . Dalam berwudhu, ia dibatasi sampai dengan siku, sedang dalam pencurian dimuthlaqkan, tidak dibatasi. Firman Allah:      Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya...(QS.Al-Maidah.38) Dalam keadaan seperti ini, Muthlaq tidak boleh dibawa kepada Muqayyad karena “sebab” dan “hukum”-nya berlainan. Dan dalam hal ini tidak ada kontradiksi (ta’arud) sedikit pun. F. Kesimpulan Dalam menyesuiakan nash yang Muthlaq dengan nash yang Muqayyad bila hukumnya sama, sedang faktor penyebabnya berbeda ialah; Bahwa Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang diturunkan oleh Allah SWT Dzat Yang Maha Esa, sedang kehebatannya (I’jaznya) terletak pada susunannya yang simple (I’jaz). Jika suatu kalimat dalam Al-Qur’an menjelaskan suatu hukum, maka hukum tersebut berlaku dalam segala tempat yang menyebutkan kalimat yang sama. Misalnya kalimat raqabah yang berarti budak yang diperintahkan untuk dimerdekakan, maka jenis dan sifat budak tersebut harus sama dalam semua nash Al-Qur’an. Jika dalam salah satu ayat Al-Qur’an, budak tersebut disifati (diberi qayd), maka sifat (qayd) tersebut juga berlaku bagi semua budak dalam ayat-ayat yang lain. Karena sama-sama berupa sanksi (hukuman), sama-sama jenis hukumnya, disamping Allah yang menurunkan Al-Qur’an tersebut juga Esa G. Refrensi Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, USHUL FIQH, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2008 Prof. Muhammad Abu Zahrah, USHUL FIQH, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, Cet. 11. Terjemahan Manna Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1992, Cet 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger