1.
Pengertian Ilmu Kalam
Secara normatif Ilmu Kalam merupakan ilmu yang membicarakan tentang wujud
Allah, sifat-sifat yang harus ada pada Allah, juga sifat-sifat yang tidak ada
pada Allah serta sifat-sifat yang mungkin ada pada Allah, tidak hanya itu, Ilmu
Kalam juga merupakan ilmu yang membicarakan tentang Rasul-Rasul Tuhan, sebagai
sarana untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada
pada diri Rasul. Sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada Rasul dan yang mungkin
ada pada Rasul.
Ilmu Kalam dapat disebut dengan Ilmu Aqaid atau Ilmu Ushuluddin
dan Ilmu Tauhid. Ilmu Aqaid
di sini merupakan study yang membahas pokok-pokok agama, sedangkan disebut Ilmu
Tauhid karena ilmu ini membahas tentang keesaan Allah SWT, asma’
(nama-nama) dan af’al (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustahil
maupun jaiz serta yang wajib, mustahil maupun jaiz bagi Rasul-Nya.
Secara objektif Ilmu Kalam, tidak berbeda dengan Ilmu Tauhid, tetapi argumentasi Ilmu Kalam lebih
dikonsentrasikan pada penguasaan logika.
Ada beberapa pendapat para ahli yang mendefinisikan Ilmu Kalam, di
antaranya adalah:
a.
Ibnu Khaldun : Ilmu yang berisi alasan-alasan
mempertahankan kepercayaan. Kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil
pikiran dan berisi bantahan, terhadap orang-orang yang menyeleweng dari
kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah.
b. Mustafa
Abdul Raziq :
الكلام علم يبحث فيه عن ذات الله تعالى وصفاته
وأحوال الممكنات من المبدأ والمعاد على قانون الإسلام والقيد الأخير لأخراج العلم
الإلهي للفلاسفة.
“Ilmu
Kalam adalah disiplin ilmu yang membahas dzat dan sifat Allah, beserta
eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai
dengan masalah, sesudah mati berdasarkan doktrin Islam, dan penekanan akhirnya
adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis.”
Berdasarkan pengertian-pengertian, di
atas dapat disimpulkan bahwa Ilmu Kalam merupakan ilmu yang membahas berbagai
masalah, ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika atau filsafat.
2.
Dasar-Dasar Ilmu Kalam
a.
Al-Qur’an, yakni banyak
menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, di antaranya:
Q.S. Al-Ikhlas: 1 – 4
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#t öNs9ur ôs9qã ÇÌÈ öNs9ur `ä3t ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha
Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara
dengan Dia." (QS.
Al-Ikhlas: 1-4)
QS. Al-Furqon: 59
Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur $yJßguZ÷t/ Îû ÏpGÅ 5Q$r& ¢OèO 3uqtGó$# n?tã ĸöyèø9$# 4 ß`»yJôm§9$# ö@t«ó¡sù ¾ÏmÎ/ #ZÎ6yz ÇÎÒÈ
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada antara keduanya dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas Arsy,
(Dialah) yang Maha pemurah, Maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih
mengetahui (Muhammad) tentang Dia”. (QS. Al-Furqon: 59)
Q.S. Al-Rahman:
27
4s+ö7tur çmô_ur y7În/u rè È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ
“Dan tetap kekal Dzat
Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Al-Rahman: 27)
b.
Al-Hadits
Yakni yang menerangkan bahwasanya kita harus percaya
dengan keesaan Allah, tentang semua sifat wajib Allah,mustahil-Nya maupun
Jaiz-Nya.
3.
Sejarah Timbulnya Ilmu
Kalam
Timbulnya Ilmu Kalam bermula dari perbedaan politik
antara dua khalifah terakhir yakni Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Usman bin Affan merupakan Khalifah, yang berlatar
belakang pedagang Quraisy kaya. Keluarganya terdiri dari aristokrat Mekkah, karena
dalam pengalaman dagang mengetahui pengetahuan administrasi yang baik, ahli
sejarah menggambarkan bahwa Usman, sebagai orang lemah, yang tidak sanggup
menantang keinginan keluarganya yang berpengaruh untuk berkuasa di
pemerintahan, sehingga mengangkat mereka menjadi Gubernur-Gubernur di daerah
kekuasaan Islam dengan mengganti Gubernur-Gubernur yang dulu diangkat oleh Umar
bin Khattab yang dikenal kuat dan tak memikirkan keluarganya.
Tindakan politik Usman memecat Gubernur-Gubernur
angkatan Umar memancing reaksi yang tidak menguntungkan baginya, yang berujung
tewasnya Usman oleh pemuka pemberontak Mesir. Setelah Usman wafat, digantikan
oleh Ali bin Abi Thalib, segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang
ingin menjadi khalifah, yakni Talhah, dan Zubeir dari Makkah, yang mendapat
dukungan Aisyah. Gerakan ini dapat dipatahkan dalam pertempuran di Irak tahun
656 M. Talhah dan Zubeir tewas, maka Aisyah pun dipulangkan ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Muawiyah, maka terjadilah pertempuran antara
pasukan Ali dan Muawiyah di Shiffin, Muawiyah terdesak ‘Amr bin Ash, tangan
kanan Muawiyah mengangkat Al-Quran ke atas sebagai ajakan damai. Sebagian
pasukan mendesak Ali menerima tawaran itu, sebagian pasukan menolak, tetapi Ali
memilih untuk menerima dan terjadilah arbitrase.
Dalam arbitrase itu terjadi kesepakatan, di antara
keduanya untuk menghentikan Ali dan Muawiyah dari khalifah sebagai solusi awal
menghentikan, pertikaian dan selanjutnya memilih khalifah baru.
Keputusan ini ditolak Ali dengan tidak mau meletakkan
jabatannya, hingga ia mati terbunuh di tahun 661 M. terhadap sikap Ali yang mau
mengadakan arbitrase menyebabkan pengikut Ali terbelah, golongan yang mau
menerima dan yang menolak arbitrase, bagi mereka yang menolak, berpendapat
bahwa, hal itu dapat diputus lewat arbitrase manusia. Keputusan hanya datang
dari Allah, dengan kembali kepada hukum-hukum Allah dalam Al-Quran, La Hukma
Illa Lillah, (Tidak ada hukum selain dari hukum Allah), la hakama illa
Allah (tidak ada pengantara selain Allah), dan yang menolak arbitrase
keluar dari barisan Ali yang disebut kaum khawarij. Kaum ini memandang bahwa
pihak yang menerima arbitrase adalah kafir dan murtad, karena tidak berhukum
kepada hukum Allah, dan halal untuk dibunuh, berdasarkan firman Allah SWT Q.S.
Al-Maidah ayat 44:
`tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$#
“Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.” (Q.S.
Al-Maidah: 44)
Kaum Khawarijd menugaskan 4 orang untuk membunuh, 4 orang yang setuju
dengan Arbitrase yakni : Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari,
namun yang terbunuh hanya Ali bin Abi Thalib. Lambat laun kaum khawarij
berasumsi bahwa tidak lagi hanya bagi orang yang tidak berhukum dengan Al-Quran
yang dianggap kafir, tetapi juga orang-orang yang berdosa besar yakni murtakib
al-Kaba’ir. Persoalan baru ini memunculkan aliran teologi baru dalam Islam.
Persolah baru ini memunculkan aliran teologi baru dalam Islam.
Pertama : Menurut Khawarij pendosa besar adalah kafir
(murtad) karena itu wajib dibunuh.
Kedua : Murji’ah yaitu pendosa besar tetap mukmin
dan bukan kafir, tentang dosanya terserah Allah untuk mengampuni atau tidak.
Ketiga : Mu’tazilah, beranggapan bahwa pendosa besar
bukan kafir bukan pula mukmin, mereka menempati posisi di antara mukmin dan
kafir (al-Manzilah Baina al-Manzilatain)
Selain itu timbul pula aliran yang dikenal dengan namaal-Qadariah dan
al-Jabariah, menurut qadariah, manusia mempunyai kemerdekaan, dalam kehendak
dan perbuatannya (free will/free act), sedangkan menurut Jabariah
manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia
dalam segala tingkah lakunya bertindak dengan paksaan Tuhan (predestination/fatalism).
Alitran mu’tazilah yang bersifat rasional mendapat tantangan keras dari kaum
tradisional Islam. Perlawanan ini mengambil bentuk aliran teologi tradisional
yang disusun oleh Abu Al-Hasan al-Asy’ari (935 M) disebut dengan alwan
al-asy’ariah. Dan Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (944 M) dikenal dengan
aliran al-Maturidiah, yang mengambil jalan tengah antara al-Asy’ariah dan
Mu’tazilah. Selain al-Asy’ari dan al-Maturidi adalagi teolog yang menantang
Mu’tazilah yakni al-Tahawi (933 M) asal Mesir.
Saat ini, aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tidak mempunyai wujud
lagi kecuali dalam sejarah, sedangkan Asy-Ariah dan Maturidiyah keduanya
disebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat
Islam bermadzab Hanafi, sedangkan asy-syariyah pada umumnya dipakai oleh mat
Islam sunni lainnya.
Dengan masuknya faham nasionalisme ke dunia Islam melalui kebudayaan
Barat, kata neo-mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.
B.
Tirani Ilmiah dalam Ilmu
Kalam
1.
Ilmu Kalam sebagai Ilmu
Normal
Banyak pakar yang telah mendefinisikan ilmu kalam.
Salah satunya adalah dikemukakan oleh al-Aiji (680 – 756 H). bagi sosok
kelahiran iji wilayah syiraz ini, ilmu kalam adalah ilmu yang dengannya
seseorang mampu menetapkan akidah keagamaan dan menolak segala keraguan
berdasarkan pada adanya berbagai argumentasi.
Muhammad Abduh (1849 – 1905), seorang tokoh pembaru
yang terkenal, menghadirkan definisi yang lebih rinci. Menurutnya, ilmu kalam
adalah suatu ilmu yang membahas tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya,
sifat-sifat yang boleh disifatkan pada-Nya dan tentang sifat-sifat yang sama
sekali wajib dilenyapkan dari-Nya, juga membahas tentang Rasul-Rasul Allah,
meyakinkan kerasulan mereka, meyakinkan apa yang wajib ada pada diri mereka,
apa yang boleh dihubungan kepada diri mereka, apa yang terlarang
menghubungkannya kepada diri mereka.
Ilmu ini dinamakan ilmu kalamkarena tiga hal: (1)
Pembahasan terpenting dari ilmu ini adalah persoalan yang menjadi pembicaraan
abad-abad permulaan Hijriyah, yakni firman Allah (2) Dasar dari ilmu ii adalah
dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil-dalil ini tampak jelas dalam pembicaraan
para ahlinya, (3) Cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai
logika dalam filsafat, maka pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai ilmu
kalam untuk memedakan dengan logika dan filsafat.
2.
Paradigma Ilmu Kalam
Memahami paradigma suatu ilmu dapat ditempuh melalui
penelusuran-penelusuran. Penelusuran itu bisa berupa kebiasaan-kebiasaa nyata,
keputusan-keputusan hukum yang diterima, hasil-hasil nyata perkembangan ilmu
pengetahuan serta hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara
umum.
Dalam ilmu kalam hampir bisa dipastikan bahwa setiap
aliran pasti memiliki penelusuran masing-masing sebagai pedoman dan penyangga
aliran. Sebagian penelusuran disusun oleh pendiri alirannya masing-masing,
sementara sebagian yang lain, disusun oleh para pengikut yang muncul
belakangan. Walaupun disusun bukan oleh pendiri aliran, namun apabila para
pengikutnya menetapkannya sebagai panutan, maka kedudukannya sebagai
penelusuran tetap tak tergoyahkan hingga muncul penelusuran lain yang
disepakati menggantikannya.
3.
Konsensus sebagai Solusi
Problem paradigma ilmu kalam saat ini bukannya tidak
adanya tawaran paradigma baru dari kaum muslimin, namun lebih pada
ketdiakmampuan umat Islam dalam membangun sebuah konsensus atas paradigma ilmu
kalam yang baru. Akibatnya, persaingan paradigma terus berlangsung dan tak
pernah berakhir.
Apabila konsensus tidak segera tercapai, maka proses
persaingan paradigma akan berlangsung terlalu lama. Fakta ilmiah dan problem
yang taka terselesaikan oleh paradigma lama semakin menumpuk. Dalam proses
pencapaian konsensus itu, tentu saja tidak boleh lagi adanya faktor-faktor
eksternal seperti kepentingan politik, mazhab fikih, atau golongan tertentu
yang ikut mengambil peran.hal ini penting karena adanya faktor eksternal hanya
akan mengurangi kualitas konsensus tersebut. Proses konsensus hendaknya murni
ilmiah dan perdebatan-perdebatan yang terjadi juga murni perdebatan ilmiah.
Apabila itu mampu dicapai oleh kalangan mutakallimin, maka pergeseran paradigma
dalam arti yang sesungguhnya pasti akan terjadi, semakin sering terjadi
pergeseran paradigma dalam ilmu kalam, maka semakin maju pula ilmu kalam itu.
Sebaliknya, semakin tidak ada pergeseran ilmu kalam, maka semakin mundur pula
ilmu kalam itu sendiri.
C.
Rasional dan Tradisional
dalam Pemikiran Kalam
Istilah rasional dan
tradisional merupakan istilah yang tidak hanya digunakan dalma ilmu kalam, tapi
juga dalam ilmu lainnya, seperti dalam ilmu fikih, dan sosiologi.
Mazhab Abu Hanifah
dalam bidang ilmu fikihnya dikategorikan sebagai mazhab yang rasional karena
dalam pemikiran hukum yang dikembangkannya banyak memakai penalaran atau
pendapat. Sedangkan mazhab Imam Malik dikenal sebagai mazhab tradisional,
karena dalam menyelesaikan masalah mazhab ini banyak berpegang pada sunnah.
Selanjutnya dalam ilmu
sosiologi istilah tradisional sering dipertentangkan dengan istilah modern, dan
bukan rasional. Mereka yang disebut modern memiliki ciri-ciri antara lain:
menjaga waktu, dinamis, toleran, terbuka, berorientasi ke masa depan, status
sosial karena prestasi, keterikatan yang lebih luas kepada bangsa, pergaulan
internasional, penipisan dan kenetralan terhadap agama dan lugas.
Sedangkan mereka yang
digolongkan sebagai kaum tradisional ditandai oleh ciri-ciri antara lain :
tidak menjaga waktu, statis, fanaik, tertutup, orientasi ke masa lalu, status
sosial secara otomatis dan keterikatan primordial.
Adapun istilah rasional
dan tradisional dalam bidang ilmu kalam lain lagi ciri-cirnya. Dalam ilmu
kalam, kelompok yang termasuk rasional adalah aliran yang menganut paham atau
pemikiran teologi yang banyak mengandalkan kepada kekuatan rasio. Mereka
mengatakan bahwa akal mempunyai daya yang kuat serta memberikan interpretasi
secara liberal terhadap teks ayat-ayat al-Quran dan al-hadits.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu kalam merupakan ilmu yang membahas atau
membicarakan tentang wujud allah, sifat-sifat yang harus ada pada Allah, juga
sifat-sifat yang tidak ada pada Allah serta sifat-sifat yang mungkin tidak ada
pada rasul dan yang mungkin ada pada rasul.
Ilmu ini dinamakan Ilmu Kalam karena meliputi tiga
hal: (1) Pembahasannya mengenai firman Allah, (2) Dalil-dalil pikiran dan
pengaruhnya tampak jelas dalam pembicaraan para ahlinya, (3) Cara pembuktian
kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat.
Dalam ilmu kalam terdapat dua pemikiran yaitu rasional
dan tradisional. Pemikiran rasional merupakan pemikiran yang menggunakan
penalaran atau pendapat. Sedangkan pemikiran tradisional merupakan pemikiran
yang berpegang pada sunnah dalam menyelesaikan masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH