BAB I
PENDAHULUAN
lmu ushul fikih menurut istilah syara’ adalah pengetahuan tantang kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hokum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau, kumpulan kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hokum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Berdasarkan penelitian, para ulama telah menetapkan dalil yang dapat diambil sebagai hokum syariat yang sebangsa perbuatan itu ada empat, Al-Qur’an, Al-Sunnah, Al-Ijma,’, dan Al-qiyas. Dan bahwa sumber pokok dalil-dalil tersebut serta sumber huum syariat adalah Al-Qr’an kemudian Al-Snnnah sebagai penjelas atas keglobalan Al-Qur’an, pembatas keumumannya, pengikat kebebasannya dan sebagai penerang serta penyempurna.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN QIYAS
Menurut bahasa, qiyas artinya ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Dengan demikian,qiyas diartikan mengukurkan sesuatu atas yamg lain, agar diketahui persamaan antara keduanya.
Sedangkan secara terminologi adalah, menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab sama dalam illat hukumnya.
B. MACAM-MACAM QIYAS
1. Qiyas Aulia, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakannya (mulhaq bih).
Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ ah “ kepadanya, yang tersebut dalam firman Allah SWT.
• •
23. Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Mengatakan “ ah “ kepada ibu bapak dilarang karena illat-nya ialah menyakitkan hati. Oleh karena itu, memukul kedua ibu bapak tentu lebih dilarang, sebab di samping menyakitkan hati juga menyakitkan jasmaninya. Illat larangan yang terdapat pada mulhaq ( yang disamakan) lebih berat dari pada yang terdapat pada mulhaq bih. Dengan demikian, larangan memukul kedua orang tua lebih keras dari pada larangan mengatakan “ ah “ kepadanya.
2. Qiyas MuSAW.i, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaq-nya sama dengan illat hukum terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama-sama merusak harta. Sedang makan harta anak yatim diharamkan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT.
10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Maka merusak harta anak yatim adalah haram. Keharamannya karena diqiyaskan pada memakan harta anak yatim.
3. Qiyas Dalalah, yaitu suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah. Dalam masalah ini, Abu Hanifah berpendapat lain. Bahwa harta benda anak yang belum dewasa tidak wajib di zakati lantaran diqiyaskan dengan haji. Sebab, menunaikan ibadah haji itu tidak wajib bagi anak yang belum dewasa (mukallaf).
C. ILLAT DAN BENTUK-BENTUKNYA
1. Pengertian Illat
Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan merupakan unsur yang terpenting, karena adanya illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat diterangkan kepada yang lain.
Pada dasarnya, hukum-hukum yang ditetapkan oleh suatu nash mengandung maksud tertentu. Sehinnga bila seseorang melaksanakan hukum tersebut, maka apa yang dituju dengan ketetapan hukum itu akan tercapai. Tujuan hukum itu dapat dicari dan diketahui dari teks atau nash yang menetapkannya, yakni melalui sifat atau hal yang menyertai hukum itu. Dari sifat yang menyertai hukum itu diketahui illat hukumnya.
2. Bentuk-Bentuk Illat
Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum. Ada beberapa bentuk sifat yang mungkin menjadi illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antara bentuk sifat itu adalah :
a. Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada ‘urf (kebiasaan) atau lainnya. Contohnya : sifat memabukkan pada minuman keras.
b. Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera. Contohnya : pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan, pencurian yang menyebabakan hukum potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan, seperti senang atau benci.
c. Sifat ‘urf, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya : buruk dan baik, mulia dan hina.
d. Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam artian bahasa. contohnya : diharamkannya nabiz karena ia bernama khamar.
e. Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum. Contohnya : menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual.
f. Sifat murakkah, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya : sifat pembunuhan secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan alasan berlakunya hukum qishash.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH