A. Latar belakang
Al Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui perantara
malaikat jibril untuk menjadi petunjuk bagi umat-umat mukmin di seluruh pelosok
bumi ini. Sebelum datangnya Rasulullah SAW manusia sekiranya berada dalam keterpurukan
akhlak dan aqidah. Mereka benyak menyembah berhala dan menjadi manusia yang
serakah akan kehidupan dunia, dimana terdapat berbagai kaum yang berusaha
menghancurkan islam. Terutama penindasan atas kaum muslimin yang tidak
mempunyai apa-apa selain kekuatan iman yang ada pada diri mereka.
Dengan kejadian itu semua maka Allah SWT mengangkat seorang nabi yang selanjutnya Nabi Muhammad akhirnya diangkat menjadi seorang Rasul yang akan mengangkat akhlak dan moral para kaum muslim.
Menjadi pemimpin umat muslim untuk melawan kaum quraisy dari penindasan terhadap mereka. Banyak cobaan yang yang dihadapadi rasulullah dalam membela hak-hak kaum muslim
Dalam hal ini tidak terkecuali keterpurukan dalam mengfungsikan harta mereka. Pada masa sebelum Rasulullah terdapat ketidakadilan dalam zakat dan shadaqah. Konsep itupun muncul setelah Allah SWT mengutus rasulullah untuk membimbing mereka dalam mengfungsikan harta mereka dijalan yang Allah SWT ridhoi.
Dengan kejadian itu semua maka Allah SWT mengangkat seorang nabi yang selanjutnya Nabi Muhammad akhirnya diangkat menjadi seorang Rasul yang akan mengangkat akhlak dan moral para kaum muslim.
Menjadi pemimpin umat muslim untuk melawan kaum quraisy dari penindasan terhadap mereka. Banyak cobaan yang yang dihadapadi rasulullah dalam membela hak-hak kaum muslim
Dalam hal ini tidak terkecuali keterpurukan dalam mengfungsikan harta mereka. Pada masa sebelum Rasulullah terdapat ketidakadilan dalam zakat dan shadaqah. Konsep itupun muncul setelah Allah SWT mengutus rasulullah untuk membimbing mereka dalam mengfungsikan harta mereka dijalan yang Allah SWT ridhoi.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah penafsiran hukum dari surah AL Baqarah 143 sampai 145 dalam hal asbabul nuzul, tafsir mufradat, pendapat para mufassir, hubungan ayat dengan ayat sebelumnya, dll ?
1. Bagaimanakah penafsiran hukum dari surah AL Baqarah 143 sampai 145 dalam hal asbabul nuzul, tafsir mufradat, pendapat para mufassir, hubungan ayat dengan ayat sebelumnya, dll ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Kiblat
Surat Albaqarah (2) ayat 143 -145
143.“dan
demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul
(muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh allah; dan allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
sesungguhnya allah maha pengasih lagi maha penyayang kepada manusia.”
144. Sungguh Kami
(sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat
dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah
benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan
145. Dan
sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani)
yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak
akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan
sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu,
sesungguhnya kamu -kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim.
Asbaabun Nuzuul Surat al-Baqarah (2), ayat: 143
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ
عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى
عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا
كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
(١٤٣)
143.“Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
“Kata Ibnu Ishaq: Isma’il bin Abi
Khalid telah bercerita kepada saya dari Abu Ishaq dari al-Barra’, kata
beliau(al-Barra’): ………………………………………………… Lalu berkatalah sebagian Muslimin:
alangkah senangnya bila kita tahu tentang mereka yang meninggal dunia sebelum
kita berpindah Kiblat. Maka pada waktu itu juga turunlah ayat: 143, Surat
al-Baqarah(2) tersebut
Diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari dalam at-Tafsir(9/237):
حَدَّثَنَا
أَبُوْ نُعَيْمٍ سَمِعَ زُهَيْرًا عَنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ عَنِ اْلبَرَاءِ أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَ مَ صَلَّى إِلىَ بَيْتِ اْلمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا
أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَ كَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُوْنَ قِبْلَتُهُ
قِبَلَ اْلبَيْتِ وَ أَنَّهُ صَلَّى أَوْ صَلاَهَا صَلاَةَ اْلعَصْرِ وَ صَلَّى
مَعَهُ قَوْمٌ فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ صَلّىَ مَعَهُ فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ
الْمَسْجِدِ وَ هُمْ رَاكِعُوْنَ قَالَ أَشْهَدُ بِاللهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ
النَّبِيِّ قِبَلَ مَكَّةَ فَدَارُوْا كَمَا هُمْ قِبَلَ اْلبَيْتِ وَ كَانَ
الَّذِيْ مَاتَ عَلَى اْلقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ قِبَلَ اْلبَيْتِ رِجَالٌ
قُتِلُوْا لَمْ نَدْرِ مَا نَقُوْلُ فِيْهِمْ فَأَنْزَلَ اللهُ : "وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ
عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى
عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا
كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ
رَحِيمٌ"
“ Abu Nu’aim
telah bercerita kepada kami, katanya(Abu Nu’aim): dia mendengar Juhair dari Abu
Ishaq dari al-Barra’ bahwa Nabi SAW shalat menghadap Baitul Maqdis selama
16 atau 17 bulan. Beliau(Nabi Muhammad) sangat ingin seandainya Kiblat
beliau(Nabi Muhammad) adalah Ka’bah. Ketika itu Beliau(Nabi Muhammad) sholat
Ashar dan ikut berjama’ah dengan Beliau(Nabi Muhammad) beberapa orang. Lalu
seseorang yang ikut sholat bersama Beliau(Nabi Muhammad) keluar dan melewati
Jama’ah sebuah Masjid yang sedang ruku’, dia(seseorang yang ikut sholat
berjama’ah dengan Rasulullah) berkata: Saya(seseorang yang ikut sholat
berjama’ah dengan Rasulullah) bersaksi demi Allah, sungguh saya sudah shalat
bersama Nabi SAW menghadap Mekkah(Ka’bah). Lalu Jama’ah itu berputar menghadap Baitullah(Ka’bah)
dalam keadaan ruku’. Adapun yang meninggal dunia di atas Kiblat yang lama(Baitul
Maqdis) sebelum berpindah, ada beberapa orang. Mereka terbunuh, dan kami
tidak tahu apa yang harus kami katakan tentang mereka(beberapa orang yang
meninggal dulu sebelum Kiblat pindah ke Ka’bah), maka turunlah ayat: 143, Surat
al-Baqarah(2):
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan(4/70)nya:
حَدَّثَنَا
هَنَّادٌ وَ أَبُوْ عَمَّارٍ قَالاَ حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ عَنْ إِسْرَائِيْلَ عَنْ
سَمَّاكٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا وُجِّهَ النَّبِيُّ صَ
مَ إِلىَ اْلكَعْبَةِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ بِإِخْوَانِنَا
الَّّذِيْنَ مَاتُوْا وَهُمْ يُصَلُّوْنَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَأَنْزَلَ
اللهُ: "وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ
عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا
الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ
مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى
الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ"
“Hannad dan Abu ‘Amir telah bercerita kepada kami, kata
keduanya(Hannad dan Abu ‘Amir): Waki’ telah mengabarkan kepada kami dari
Isma’il dari Simak dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, di berkata(Ibnu ‘Abbas):
setelah Nabi SAW menghadap arah Ka’bah, mereka(sebagian Sahabat)
berkata: bagaiman dengan saudara-saudara kami yang meninggal, padahal mereka
dahulu shalat menghadap Baitul Maqdis ?. Maka turunlah ayat: 143, Surat
al-Baqarah(2):
TAFSIR AYAT DAN DEFINISI GLOBAL
1. Ayat 142
“As-sufaha “ dalam surat Al-baqarah ayat 142 adalah
orang-orang yang lemah akalnya atau yang melakukan aktivitas tanpa dasar, baik
karena tidak tau, atau tahu tapi melakukan yang sebaliknya.
Ayat ini masi sangat erat kaitannya dengan sikap orang-orang yahudi yang dibicarakan dalam ayat-ayat lalu. Itu agaknya yang menjadi sebab, sehingga ayat ini tidak dimulai dengan huruf ( و ) Wawu, yang antara lain digunakan untuk beralih dari satu uraian ke uraian yang lain. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa yang dimaksud dengan kata as-sufaha adalah orang-orang yahudi. Bahwa ayat ini tidak menyebut secara tegas nama mereka, bertujuan memberi sifat as-sufaha terhadap orang-orang yahudi yang dibicarakan disini. Atau boleh jadi juga untuk memasukan semua orang yang tidak menerima Ka’bah sebagai kiblat, atau yang mencemoohkan Ka’bah dan mencemoohkan umat islam yang mengarah atau thawaf di sana.
“As-sufaha” akan berkata, “apakah yang memalingkan mereka (umat islam) dari ki’blat mereka yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? “
Maksud mereka, tadinya umat islam mengarah ke Mekah, kemudian ke Bait al-Maqdis, atau tadinya mereka mengarah ke Bait al-Maqdis sekarang ke mekah lagi. Kalau mengarah ke Bait al-Maqdis atas perintah Allah, maka mengapa sekarang Allah memerintahkan mereka mengarah ke Ka’bah ? Tentu ada kekeliruan, atau (Nabi) Muhammad dan Kaum Muslimin hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Tentu ibadah mereka dahulu ketika ke Bait al- maqdis atau mekah sana, sudah batal dan tidak ada ganjarannya lagi. Menanggapi ucapan itu Allah memerintahkan Nabi-Nya; jawablah mereka : “milik Allah timur dan barat. Kedua arah itu sama dalam hal kepemilikan, kekuasaan dan pengaturan Allah “. Karena itu, kemanapun seseorang mengarah, maka dia akan “menemukan “ Tuhan di sana.
Menghadap ke kiblat bertujuan mengarahkan kaum muslimin ke satu arah yang sama dan jelas. Namun demikian Dia berwenang menetapkan apa yang dia kehendaki-Nya menjadi arah bagi manusia untuk menghadap kepada-Nya. Dia mengetahui hikmah dan rahasia di balik penetapan itu, lalu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Petunjuk-Nya untuk kaum muslimin adalah mengarah ke Ka’bah.
Allah tidak menjelaskan mengapa Dia mengalihkan arah tersebut sehingga pada akhirnya arah yang harus dituju dalam shalat adalah Ka’bah. Apa yang dikutip di atas dari pendapat at-Thabari belum tentu benar. Boleh jadi pengalihan kiblat pertama kali dari Mekah ke Bait al-maqdis, karena ketika nabi berhijrah, Ka’bah masi di penuhi berhala, dan kaum musyrik Arab mengagungkan Ka’bah bersama berhala-berhala yang mereka tempatkan di sana. Di sisi lain, tidak disebutkannya sebab pengalihan itu dalam jawaban yang diperintahkan Allah ini, untuk memberi isyarat bahwa perimtah-perintah Allah khususnya yang berkaitan dengan ibadahmahdha (murni) tidak harus dikaitkan dengan pengetahuan manusia tentang sebabnya. Ia harus dipercaya dan diamalkan. Walupun pasti ada sebab atau hikmah di balik itu. Setiap mulim diperintah untuk melaksanakannya, namun ia tidak dilarang untuk bertanya atau berpilir guna menemukan jawabannya.
Boleh jadi perintah mengarah ke Ka’bah itu karena Mekah di mana Ka’bah berada, adlah posisi wasath /tengah. Jawaban ini disyratkan oleh ayat selanjutnya.
2. Ayat 143
“Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu wahai umat islam ummatan wasthan” yang dimaksud diatas adalah umat pertengahan moderat dan teladan, sehingag dengan demikian keberadaan kaum dalam posisi pertengahan itu, sesuai dengan posisi Ka’bah yang berada dipertengahan pula.
Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, hal mana megantar manusia berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapapun dalam penjuru yang berbeda, dan ketika itu ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak. Posisi itu juga menjadikannya dapat menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menjadikan umat islam pada posisi pertengahan agar kamu wahai umat islammenjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain. Tetapi ini tadak dapat kalian lakukan kecuali jika kalian menjadikan Rasul saw. Syahid yakni saksi yang menyaksikan kebenaran sikap dan perbuatan kamu dan beliau pun kalian saksikan, yakni kalian jadikan teladan dalam segala tingka laku. Itu lebih kurang yang dimaksud oleh lanjutan ayat dan agar Rasul Muhammad menjadi saksi atas perbuatan kamu.
Ada juga yang memahami ummatan wasathan dalam arti pertengahan dalam pandangan tentang tuhan dan dunia. Tidak mengingkari wujud tuhan, tetapi tidak juga menganut paham polyteisme (banyak tuhan). Pandangan islam adalah Tuhan Maha Wujud dan Dia Yang Maha Esa. Pertengahan juga adalah pandangan umat islam tentang kehidupan dunia ini. Tidak mengingkari dan menilannya maya, tetapi tidak juga berpandang bahwa hidup duniawa adalah segalanya. Pandangan islam tentang hidup adalah di samping ada dunia juga ada akhirat, keberhasilan di akhirat di tentukan oleh iman dan amal shaleh di dunia. Manusia tidak boleh tenggelam dalam materealisme, tidak juga membumbung tinggi dalam spritualisme. Ketika pandangan mengarah ke langit, kaki harus tetap berpijak di bumi. Islam mengajar umatnya agar meraih materi duniawi, tetapi dengan nilai-nilai samawi.
Penggalan ayat di atas yang menyatakan : ”agar kamu wahai umat islam menjadi saksi atas perbuatan manusia” dipahami juga dalam arti bahwa kaum muslimin akan menjadi saksi di masa datang atas baik buruknya pandangan dan kelakuan manusia. Pengertian masa datang itu di pahami dari penggunaan kata kerja masa datang /mudhari/present tense pada kata ( لتكون ) li takunu. Penggalan ayat ini, menurut penganut penafsiran tersebut, mengisyaratkan pergulatan pandangan dan pertarungan aneka “isme”. Tapi pada akhirnya ummatan wasathan inilah yang akan dijadikan rujukan dan saksi tentang kebenaran dan kekeliruan pandangan dan “isme-isme” itu. Masyarakat dunia akan kembali merujuk kepada nilai-nilai yang diajarkan Allah, bukan “isme-isme” yang bermunculan setiap saat. Ketika itu, Rasul yakni ajaran-ajarannya akan menjadi saksi apakah sikap dan gerak umat islam sesuai dengan tuntunan Ilahi atau tidak. Ini juga berarti bahwa umat islam akan dapat menjadi saksi atas ummat yang lain dalam pengertian di atas, apabila gerak langkah mereka sesuai dengan apa yang diajarkan Rasul saw.
Itulah sisi pertama dari jawaban yang diajarkan al-Qur’an, menghadapi ucapan yang akan disampaikan orang-orang yahudi menyangkut pergantian kiblat.
Pergantian kiblat itu, boleh jadi membingungkan juga sebagian ummat islam, dan menimbulkan pula aneka pertanyaan yang dapat digunakan setan dan orang yahudi atau musyrik Mekah untuk menggelincirkan mereka. Karrena itu, lamjutan ayat ini menyatakan : kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kamu sekarang melainkan agar kami mengetahui dalam dunia nyata siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.
Allah sebenarnya mengetahui siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot, tetapi Dia ingin menguju manusia, siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot sehingga pengetahuan-Nya yang telah ada sejak azali terbukti didunia nyata, dan bukan hanya Dia sendiri mengetahuinya, tetapi yang diuji dan orang lain ikut mengetahui. Apa yang dilakukan-Nya tidak ubahnya seperti seorang guru yang telah mengetahui keadaan seorang siswa bahwa dia pasti tidak akan lulus, tetapi untuk membuktikan dalam dunia nyata pengetahuan itu, ia menguji sang siswa sehingga ketidaklulusannya menjadi nyata, bukan hanya bagi sang guru tetapi juga sang murid dan rekan – rekannya.
Sungguh pemindahan kiblat itu terasa amat berat kecuali bagi orang – orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; pemindahan kiblat merupakan ujian, dan ujian itu berrat bagi yang jiwanya tidak siap, serupa dengan beratnya ujian bagi siswa yang tidak siap.
Selanjutnya, untuk menenagkan kaum muslimin menghadapi ucapan orang-orang yahudi bahwa ibadah mereka ketika mengarah ke Bait al-Maqdis tidak diterima oleh Allah swt, dan menenangkan keluarga orang-orang muslim yang telah meninggal dunia sehingga tidak sempat mengarah ke Ka’bah, penutup ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu, yakni tidak akan menyia-nyiakan amal-amal shaleh kamu. Disini kata iman yang digunakan menunjukan amal shaleh, khususnya shalat, karena amal shaleh harus selalu dibarengi oleh iman. Tanpa iman, amal menjadi sia-sia.
Sesunguhnya Allah Maha Pengasi Lagi Maha Penyayang Kepada Manusia. Ayat ini seakan-akan berpesan kepada kaum muslimin : “ingatlah, hai kaum muslimin, bahwa Tuhan yang kamu sembah adalah Tuhan yang kasih sayangnya melimpah sehingga tidak mungkin Dia menyia-nyiakan usaha kamu, lagi Maha Penyayang, dengan demikian Dia tidak menguji kamu melebihi kemampuan kamu”.
Itu jawaban yang diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Dan kaum muslimin, jika pada saatnya nanti ada perintah mengalihkan kiblat dari Bait al-Maqdis ke Ka’bah di Mekah. Jawaban ini sekaligus menyiapkan mental kaum muslimin menghadapi aneka ganguan serta gejolak pikiran menyangkut peralihan kiblat. Dengan demikian, diharapkan jiwa mereka lebih tenang menghadapi hal-hal tersebut.
Kini setelah pikiran telah siap, tangkisan terhadap sikap lawan dan kritik-kritiknya pun telah dipaparkan, tibalah saat untuk menyampaikan perintah dimaksud, dan ini dimulai dengan satu pendahuluan.
3. Ayat 144
Sesunguhnya kami sering melihat wajahmu (penuh harapan) menengadah ke langit. Ada yang memahami kata ( قد ) qad pada ayat di atas dalam arti sedikit, sehingga bila pendapat ini diterima maka terjemahan ayat di atas adalah kami sesekali melihat wajahmu dan seterusnya. Betapa pun, apakah sesekali atau sering, yang jelas, melalui ayat ini Allah menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Bahwa dia mengetahui keinginan, isi hati, atau doa beliau agar kiblat segera dialihkan ke Mekah, baik sebelum adanya informasi dari Allah tentang sikap orang-orang yahudi bila kiblat dialihkan, lebih-lebih sesudah adanya informasi itu, maka guna memenuhi keinginan, serta mengabulkan doamu sungguh kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai, maka kini palingkanlah wajahmu kea rah Masjidi al-Haram. Demikian Allah mengabulkan keinginan Nabi Muhammad saw.
Sementara kaum sufi menggaris bawahi bahwa ayat ini memerintahkan memalingkan wajah, bukan hati dan pikiran, karena hati dan pikiran hendaklah mengarah kepada Allah swt. Hati dan isinya adalah sesuatu yang gaib, maka sesuai dengan sifatnya itu, iapun harus mengarah kepada Yang Maha Gaib, sedang wajah adalah sesuatu yang nyata, maka ia piu diarahkan kepada sesuatu yang sifatnya nyata, yaitu bangunan berbentuk kubus yang berada di Masjid al-Haram.
Selanjutnya, setelah jelas bahwa keinginan Nabi Muhammad saw, telah dikabulkan, maka perintah kali ini tidak lagi hanya ditujukan kepada beliau sendiri sebagaimana bunyi redaksi penggalan ayat yang lalu, tetapi di tujukan kepada semua manusia tanpa kecuali, sebagaimana dipahami dari redaksi berikut yang berbentuk jamak dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajah-wajah kamu ke arahnya.
Ayat ini turun ketika Nabi berada di suatu rumah di Madinah, yang kini dikenal dengan masjid Bani Salamah, sehingga di mana saja kamu berada walau bukan di rumah tempat turunnya ayat ini atau bukan pada waktu itu. Itu minimal yang dapat dipahami dari perintah ini, walau sebenarnya bias lebih luas dari itu.
Bagaimana dengan as-Sufaha’ yang disinggung sebelum ini? Lanjutan ayat menjelaskan bahwa sesungunhnya orang-orang yang diberi al-Kitab yakni Taurat dan Injil mengetahui, bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhan mereka dan juga tuhan kaum muslimin. Mereka mengetahui bahwa itu benar, karena dalam kitab mereka ada keterangan bahwa nabi yang akan diutus akan mengarah ke dua kiblat Bait, al-Maqdis dan Ka’bah; dan
Ayat ini masi sangat erat kaitannya dengan sikap orang-orang yahudi yang dibicarakan dalam ayat-ayat lalu. Itu agaknya yang menjadi sebab, sehingga ayat ini tidak dimulai dengan huruf ( و ) Wawu, yang antara lain digunakan untuk beralih dari satu uraian ke uraian yang lain. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa yang dimaksud dengan kata as-sufaha adalah orang-orang yahudi. Bahwa ayat ini tidak menyebut secara tegas nama mereka, bertujuan memberi sifat as-sufaha terhadap orang-orang yahudi yang dibicarakan disini. Atau boleh jadi juga untuk memasukan semua orang yang tidak menerima Ka’bah sebagai kiblat, atau yang mencemoohkan Ka’bah dan mencemoohkan umat islam yang mengarah atau thawaf di sana.
“As-sufaha” akan berkata, “apakah yang memalingkan mereka (umat islam) dari ki’blat mereka yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? “
Maksud mereka, tadinya umat islam mengarah ke Mekah, kemudian ke Bait al-Maqdis, atau tadinya mereka mengarah ke Bait al-Maqdis sekarang ke mekah lagi. Kalau mengarah ke Bait al-Maqdis atas perintah Allah, maka mengapa sekarang Allah memerintahkan mereka mengarah ke Ka’bah ? Tentu ada kekeliruan, atau (Nabi) Muhammad dan Kaum Muslimin hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Tentu ibadah mereka dahulu ketika ke Bait al- maqdis atau mekah sana, sudah batal dan tidak ada ganjarannya lagi. Menanggapi ucapan itu Allah memerintahkan Nabi-Nya; jawablah mereka : “milik Allah timur dan barat. Kedua arah itu sama dalam hal kepemilikan, kekuasaan dan pengaturan Allah “. Karena itu, kemanapun seseorang mengarah, maka dia akan “menemukan “ Tuhan di sana.
Menghadap ke kiblat bertujuan mengarahkan kaum muslimin ke satu arah yang sama dan jelas. Namun demikian Dia berwenang menetapkan apa yang dia kehendaki-Nya menjadi arah bagi manusia untuk menghadap kepada-Nya. Dia mengetahui hikmah dan rahasia di balik penetapan itu, lalu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Petunjuk-Nya untuk kaum muslimin adalah mengarah ke Ka’bah.
Allah tidak menjelaskan mengapa Dia mengalihkan arah tersebut sehingga pada akhirnya arah yang harus dituju dalam shalat adalah Ka’bah. Apa yang dikutip di atas dari pendapat at-Thabari belum tentu benar. Boleh jadi pengalihan kiblat pertama kali dari Mekah ke Bait al-maqdis, karena ketika nabi berhijrah, Ka’bah masi di penuhi berhala, dan kaum musyrik Arab mengagungkan Ka’bah bersama berhala-berhala yang mereka tempatkan di sana. Di sisi lain, tidak disebutkannya sebab pengalihan itu dalam jawaban yang diperintahkan Allah ini, untuk memberi isyarat bahwa perimtah-perintah Allah khususnya yang berkaitan dengan ibadahmahdha (murni) tidak harus dikaitkan dengan pengetahuan manusia tentang sebabnya. Ia harus dipercaya dan diamalkan. Walupun pasti ada sebab atau hikmah di balik itu. Setiap mulim diperintah untuk melaksanakannya, namun ia tidak dilarang untuk bertanya atau berpilir guna menemukan jawabannya.
Boleh jadi perintah mengarah ke Ka’bah itu karena Mekah di mana Ka’bah berada, adlah posisi wasath /tengah. Jawaban ini disyratkan oleh ayat selanjutnya.
2. Ayat 143
“Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu wahai umat islam ummatan wasthan” yang dimaksud diatas adalah umat pertengahan moderat dan teladan, sehingag dengan demikian keberadaan kaum dalam posisi pertengahan itu, sesuai dengan posisi Ka’bah yang berada dipertengahan pula.
Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, hal mana megantar manusia berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapapun dalam penjuru yang berbeda, dan ketika itu ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak. Posisi itu juga menjadikannya dapat menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menjadikan umat islam pada posisi pertengahan agar kamu wahai umat islammenjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain. Tetapi ini tadak dapat kalian lakukan kecuali jika kalian menjadikan Rasul saw. Syahid yakni saksi yang menyaksikan kebenaran sikap dan perbuatan kamu dan beliau pun kalian saksikan, yakni kalian jadikan teladan dalam segala tingka laku. Itu lebih kurang yang dimaksud oleh lanjutan ayat dan agar Rasul Muhammad menjadi saksi atas perbuatan kamu.
Ada juga yang memahami ummatan wasathan dalam arti pertengahan dalam pandangan tentang tuhan dan dunia. Tidak mengingkari wujud tuhan, tetapi tidak juga menganut paham polyteisme (banyak tuhan). Pandangan islam adalah Tuhan Maha Wujud dan Dia Yang Maha Esa. Pertengahan juga adalah pandangan umat islam tentang kehidupan dunia ini. Tidak mengingkari dan menilannya maya, tetapi tidak juga berpandang bahwa hidup duniawa adalah segalanya. Pandangan islam tentang hidup adalah di samping ada dunia juga ada akhirat, keberhasilan di akhirat di tentukan oleh iman dan amal shaleh di dunia. Manusia tidak boleh tenggelam dalam materealisme, tidak juga membumbung tinggi dalam spritualisme. Ketika pandangan mengarah ke langit, kaki harus tetap berpijak di bumi. Islam mengajar umatnya agar meraih materi duniawi, tetapi dengan nilai-nilai samawi.
Penggalan ayat di atas yang menyatakan : ”agar kamu wahai umat islam menjadi saksi atas perbuatan manusia” dipahami juga dalam arti bahwa kaum muslimin akan menjadi saksi di masa datang atas baik buruknya pandangan dan kelakuan manusia. Pengertian masa datang itu di pahami dari penggunaan kata kerja masa datang /mudhari/present tense pada kata ( لتكون ) li takunu. Penggalan ayat ini, menurut penganut penafsiran tersebut, mengisyaratkan pergulatan pandangan dan pertarungan aneka “isme”. Tapi pada akhirnya ummatan wasathan inilah yang akan dijadikan rujukan dan saksi tentang kebenaran dan kekeliruan pandangan dan “isme-isme” itu. Masyarakat dunia akan kembali merujuk kepada nilai-nilai yang diajarkan Allah, bukan “isme-isme” yang bermunculan setiap saat. Ketika itu, Rasul yakni ajaran-ajarannya akan menjadi saksi apakah sikap dan gerak umat islam sesuai dengan tuntunan Ilahi atau tidak. Ini juga berarti bahwa umat islam akan dapat menjadi saksi atas ummat yang lain dalam pengertian di atas, apabila gerak langkah mereka sesuai dengan apa yang diajarkan Rasul saw.
Itulah sisi pertama dari jawaban yang diajarkan al-Qur’an, menghadapi ucapan yang akan disampaikan orang-orang yahudi menyangkut pergantian kiblat.
Pergantian kiblat itu, boleh jadi membingungkan juga sebagian ummat islam, dan menimbulkan pula aneka pertanyaan yang dapat digunakan setan dan orang yahudi atau musyrik Mekah untuk menggelincirkan mereka. Karrena itu, lamjutan ayat ini menyatakan : kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kamu sekarang melainkan agar kami mengetahui dalam dunia nyata siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.
Allah sebenarnya mengetahui siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot, tetapi Dia ingin menguju manusia, siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot sehingga pengetahuan-Nya yang telah ada sejak azali terbukti didunia nyata, dan bukan hanya Dia sendiri mengetahuinya, tetapi yang diuji dan orang lain ikut mengetahui. Apa yang dilakukan-Nya tidak ubahnya seperti seorang guru yang telah mengetahui keadaan seorang siswa bahwa dia pasti tidak akan lulus, tetapi untuk membuktikan dalam dunia nyata pengetahuan itu, ia menguji sang siswa sehingga ketidaklulusannya menjadi nyata, bukan hanya bagi sang guru tetapi juga sang murid dan rekan – rekannya.
Sungguh pemindahan kiblat itu terasa amat berat kecuali bagi orang – orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; pemindahan kiblat merupakan ujian, dan ujian itu berrat bagi yang jiwanya tidak siap, serupa dengan beratnya ujian bagi siswa yang tidak siap.
Selanjutnya, untuk menenagkan kaum muslimin menghadapi ucapan orang-orang yahudi bahwa ibadah mereka ketika mengarah ke Bait al-Maqdis tidak diterima oleh Allah swt, dan menenangkan keluarga orang-orang muslim yang telah meninggal dunia sehingga tidak sempat mengarah ke Ka’bah, penutup ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu, yakni tidak akan menyia-nyiakan amal-amal shaleh kamu. Disini kata iman yang digunakan menunjukan amal shaleh, khususnya shalat, karena amal shaleh harus selalu dibarengi oleh iman. Tanpa iman, amal menjadi sia-sia.
Sesunguhnya Allah Maha Pengasi Lagi Maha Penyayang Kepada Manusia. Ayat ini seakan-akan berpesan kepada kaum muslimin : “ingatlah, hai kaum muslimin, bahwa Tuhan yang kamu sembah adalah Tuhan yang kasih sayangnya melimpah sehingga tidak mungkin Dia menyia-nyiakan usaha kamu, lagi Maha Penyayang, dengan demikian Dia tidak menguji kamu melebihi kemampuan kamu”.
Itu jawaban yang diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Dan kaum muslimin, jika pada saatnya nanti ada perintah mengalihkan kiblat dari Bait al-Maqdis ke Ka’bah di Mekah. Jawaban ini sekaligus menyiapkan mental kaum muslimin menghadapi aneka ganguan serta gejolak pikiran menyangkut peralihan kiblat. Dengan demikian, diharapkan jiwa mereka lebih tenang menghadapi hal-hal tersebut.
Kini setelah pikiran telah siap, tangkisan terhadap sikap lawan dan kritik-kritiknya pun telah dipaparkan, tibalah saat untuk menyampaikan perintah dimaksud, dan ini dimulai dengan satu pendahuluan.
3. Ayat 144
Sesunguhnya kami sering melihat wajahmu (penuh harapan) menengadah ke langit. Ada yang memahami kata ( قد ) qad pada ayat di atas dalam arti sedikit, sehingga bila pendapat ini diterima maka terjemahan ayat di atas adalah kami sesekali melihat wajahmu dan seterusnya. Betapa pun, apakah sesekali atau sering, yang jelas, melalui ayat ini Allah menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Bahwa dia mengetahui keinginan, isi hati, atau doa beliau agar kiblat segera dialihkan ke Mekah, baik sebelum adanya informasi dari Allah tentang sikap orang-orang yahudi bila kiblat dialihkan, lebih-lebih sesudah adanya informasi itu, maka guna memenuhi keinginan, serta mengabulkan doamu sungguh kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai, maka kini palingkanlah wajahmu kea rah Masjidi al-Haram. Demikian Allah mengabulkan keinginan Nabi Muhammad saw.
Sementara kaum sufi menggaris bawahi bahwa ayat ini memerintahkan memalingkan wajah, bukan hati dan pikiran, karena hati dan pikiran hendaklah mengarah kepada Allah swt. Hati dan isinya adalah sesuatu yang gaib, maka sesuai dengan sifatnya itu, iapun harus mengarah kepada Yang Maha Gaib, sedang wajah adalah sesuatu yang nyata, maka ia piu diarahkan kepada sesuatu yang sifatnya nyata, yaitu bangunan berbentuk kubus yang berada di Masjid al-Haram.
Selanjutnya, setelah jelas bahwa keinginan Nabi Muhammad saw, telah dikabulkan, maka perintah kali ini tidak lagi hanya ditujukan kepada beliau sendiri sebagaimana bunyi redaksi penggalan ayat yang lalu, tetapi di tujukan kepada semua manusia tanpa kecuali, sebagaimana dipahami dari redaksi berikut yang berbentuk jamak dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajah-wajah kamu ke arahnya.
Ayat ini turun ketika Nabi berada di suatu rumah di Madinah, yang kini dikenal dengan masjid Bani Salamah, sehingga di mana saja kamu berada walau bukan di rumah tempat turunnya ayat ini atau bukan pada waktu itu. Itu minimal yang dapat dipahami dari perintah ini, walau sebenarnya bias lebih luas dari itu.
Bagaimana dengan as-Sufaha’ yang disinggung sebelum ini? Lanjutan ayat menjelaskan bahwa sesungunhnya orang-orang yang diberi al-Kitab yakni Taurat dan Injil mengetahui, bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhan mereka dan juga tuhan kaum muslimin. Mereka mengetahui bahwa itu benar, karena dalam kitab mereka ada keterangan bahwa nabi yang akan diutus akan mengarah ke dua kiblat Bait, al-Maqdis dan Ka’bah; dan
Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan
termasuk upaya mereka menyembunyikan kebenaran itu.
MUNASABAH
perintah menghadap kiblat dalam
shalat tidak hanya di jelaskan dalam ayat 144 surat al baqarah diatas,tetapi
juga dijelaskan dalam surat albaqarah ayat 149-150 yang sama yakni
ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ( ¼çm¯RÎ)ur ,ysù=s9 `ÏB y7Îi/¢ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÊÍÒÈ ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNà6ydqã_ãr ¼çntôÜx© xy¥Ï9 tbqä3t Ĩ$¨Y=Ï9 öNä3øn=tæ îp¤fãm wÎ) úïÏ%©!$# (#qßJn=sß öNåk÷]ÏB xsù öNèdöqt±ørB ÎTöqt±÷z$#ur §NÏ?T{ur ÓÉLyJ÷èÏR ö/ä3øn=tæ öNä3¯=yès9ur tbrßtGöhs? ÇÊÎÉÈ
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu
benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu (keluar), maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian)
berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi
manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah
kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan
nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk
Allah
memerintahkan umat islam agar shalat berkiblat di ka’bah dimanapun,mereka
berada.ayat ini menjelaskan kembali bahwa urusan kiblat adalah benar-benar
perintah Allah.dengan kata lain shalat tidak sah jika tidak menghadap ka’bah
Kedua ayat ini memiliki makna yang sama,bahkan ia
diungkapkan dalam redaksi yang hamper bersamaan.artinya terdapat pengulangan
(tikrar) perintah atau hokum yang sama.hal itu bertujuan untuk menguatkan
(taukid) perintah sebelumnya.pengulangan ini bermaksud memberitahu kepada
manusia bahwa menghadap kiblat dalam shalat merupakan sesuatu sangat yang
penting, ia bukan perintah sementara dan dan tidak pula hanya berlaku pada
tempat tertentu, ia berlaku sepanjang waktu dan tempat dan semua generasi.maka
ada diantara para ulama yang menafsirkan bahwa perintah menghadap kiblat pada
ayat 144 ditujukan kepada orang yang berada di masjidil haram,di dekat ka’bah.perintah
yang terkandung dalam ayat 149 ditujukan kepada penduduk kota mekah,di luar
masjidil haram.dan perintah dalam ayat 150 ditujukan kepada orang yang berada
di luar kota mekah.
Perpalingan kiblat dari baitul
makdis ke ka’bah berguna untuk menuntaskan bantahan orang-orang kafir.As-Suddi
seperti yang di kutip seperti yang di
kutip oleh ibnu jarir menjelaskan bahwa”orang –orang musyrik mekah berkata
kepada orang-orang yahudi,Muhammad itu bimbang dalama agamanya,dia menghadap ke
kiblatmu karena dia tahu jalanmu lebih baik,tetapi dia ragu memasuki
agamamu.maka untuk menjawab ocehan mereka ini, Allah memalingkan kiblat umat
islam dari baitul makdis ke ka’bah.
Muprodat (kosa kata)
â ä!$ygxÿ¡9$# : Kata as-syufaha merupakan jamak dari safih yang berarti kurang akal atau bodoh.akan tetapi,yang dimaksud dengan
as-syufaha dalam ayat ini adalah orang-orang yahudi dan musyrik
$VÜyur :
Washathan berarti u’dul (adil) atau khiyar (pilihan) .maka
Zp¨Bé& $VÜyur berarti umat atau bangsa yang adil atau pilihan
møt7É)tã : Kata
aqibayh merupakan mutsanna dari aqiba,yang berarti tumit,maka kalimat Ü
Ïmøt7É)tã 4n?tã Ü=Î=s)Zt secara harfiah berarti kembali pada dua
tumit,artinya kembali ke belakang.maksudnya dalam ayat ini adalah kembali pada kekafiran
ôÜx© : Secara
harfiah ôÜx© berarti
arah dan terkadang ia juga diartikan setengah
seperti yang tergambar dalam hadis
الطهر شطر
الايمان. Akan tetapi,kata ôÜx© dalam ayat ini berarti arah.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Mungkin saja dalam pembuatan makalah kami masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kami meminta kritik dan saran sebagai barang
masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah kami dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’anul Karim
Kitab kuning, Al Qurtubi
Muh. Quraish Shihab, tafsir Al Misbah (volume I), lentera hati; jakarta 2002
H. Salim Bahresy, tafsir ibnu katsir (jilid I), victory agency; kuala lumpur, 1988
Kitab kuning, Al Qurtubi
Muh. Quraish Shihab, tafsir Al Misbah (volume I), lentera hati; jakarta 2002
H. Salim Bahresy, tafsir ibnu katsir (jilid I), victory agency; kuala lumpur, 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH