Senin, 03 Mei 2010
URGENSI PENSYARAHAN TERHADAP HADIS
URGENSI PENSYARAHAN TERHADAP HADIS
Pengantar Wacana
Ibnu al-Atsir (w. 606 H) pada bagian pembukaan bukunya “al-Nihayah fi Gharibi al-Hadis wa al-Atsar” menyinggung bahwa hingga tahun 150 hijriyah pemahaman generasi umat terhadap ungkapan hadis tertunjang oleh kondisi bahasa Arab mereka terawat baik dan jauh (steril) dari penyusupan bahasa etnis lain. Tetapi ketika berlangsung akulturasi budaya dengan etnis Romawi, Persia, Habasyah dan suku bangsa lain di wilayah pendudukan umat Islam, maka unsur bahasa ‘ajam (non Arab) telah menggeser posisi bahasa Arab dalam interaksi sosial.
Pemahaman terhadap ungkapan (nash) hadis menjadi terkendala oleh kemerosotan bahasa fusha (ﻰﺣﺼﻓ) di kalangan generasi penerus Islam. Penguasaan makna kosa kata hadis yang merupakan langkah awal untuk memahami ungkapan lengkap hadis dan menyimpulkan substansi-nya menjadi bergantung pada ketersediaan syarah oleh para ahlinya.
Syarah hadis tak jauh berbeda dengan “tafsir al-hadis” seperti terbaca pada statemen al-Khathib al-Baghdadi :
ﻪـﺗﻳﺍﻮﺭ ﻥﻤ ﺭـﻳـﺨ ﺚﻴﺪﺤﻟﺍﺭﻳـﺴﻔﺗ ﻦﺍ ...
“Bahwa penafsiran terhadap hadis lebih baik dari (sekedar) meriwa-yatkannya”.
Selain faktor bahasa pengantar hadis terdiri atas bahasa Arab klasik, terdapat faktor lain yang terkait dengan proses keterbentukan (formulasi) hadis dari bentuk verbal (bahasa tutur) menjadi bahasa teks yang ditulis dan dibukukan memanfaatkan ilmu hadis riwayah. Faktor dimaksud antara lain pemberdayaan fungsi hadis sebagai bayan Al-Qur'an (QS. al-Nahl: 44), nuansa wahyu ma’nawiy pada substansi matan utamanya hadis qudsiy, serta keinginan memberlakukan doktrin hadis sebagai wujud mengamalkan syari’at pada masa sekarang. Fakta kebutuhan mendasar tersebut menjadikan syarah hadis sebagai solusi pengantar pemahaman yang tidak mungkin ditawar.
Struktur Ungkapan Matan Hadis
Formula hadis menarasikan reportase oleh seorang Perawi selaku pelapor utama. Tentu saja struktur ungkapan cenderung ringkas, tajam dalam mendeskripsikan fakta kehadisan dan lebih banyak hal yang tersirat. Proses formulasi bahasa verbal ke bentuk bahasa teks menempatkan dalalah iltizam menjadi banyak tersirat. Termasuk yang tersiratkan adalah bagian prolog hadis, lokasi keterbentukan hadis, momentum kejadian hadis dan kondisi geografis miliau, serta kondisi psikologis para pihak yang terkait dengan hadis.
Kunci pembuka kejelasan makna ungkapan hadis adalah identifikasi individu Perawi utama, penggalian kisah wurudi al-hadis atau minimal sabab al-wurud. Bila mungkin melacak syahid al-hadis menempuh sarana al-i’tibar, atau varian riwayat hadis yang struktur ungkapan matannya berbeda dengan melibatkan kitab koleksi lain sekalipun nama diri Perawi utama itu sama.
Hadis Terkait Dinamika Dakwah Islamiyah
Akumulasi hadis tak lepas dari dinamika pembinaan keislaman di berbagai sektor keagamaan. Hadis terbawa alur tabligh al-risalah, peragaan keteladanan (uswah), atau tahap pembentukan kepribadian bertekanan sektor aqidah dan moralitas manusia, atau berada pada program perwujudan masyarakat yang Islamiy.
Seirama dengan gradualisasi wahyu Al-Qur'an, proses keterbentukan hadis seharusnya terpilah periodesasinya ke dalam “Makkiy” dan ”Madaniy”. Langkah merencanakan aplikasi ajaran hadis amat berkepentingan pada segi periodesasi wurud al-hadis tersebut. Dari pencermatan masa terbentuk hadis akan dapat diketahui mission hadis berada pada target antara atau sudah pada posisi tujuan yang limitatif.
Standar aplikasi doktrin hadis harus dikonsultasikan dengan atsar shahabiy, atsar tabi’in dan pada jajaran ulama Malikiyah melihat fakta living hadis / living sunnah serta praktek keagamaan penduduk Madinah sepeninggal Nabi Muhammad Saw hingga masa tertentu. Urgensi menterkaitkan proes keterbentukan hadis dengan dinamika dakwah adalah untuk memprakirakan sasaran substansi matan pada subyek terbatas (khash) atau berskala publik (‘amm). Target pembinaan syari’at lewat hadis itu bertaraf sementara (karena mansukh) atau abadi. Untuk selanjutnya diproyeksikan sebagai ajaran universal, parsial atau temporal. Ungkapan hadis efektif bila dipahami secara tekstual atau mesti dilacak qarinah (keterangan ma’nawiy) sebagai prasyarat pemaknaan kontekstual.
Nuansa Wahyu Ma’nawiy
Seperti teramati oleh Imam Syafi’i (w. 284 H) bahwa sunnah (hadis) berulang kali ditempatkan sesudah penyebutan “al-kitab” dengan label “al-hikmah”, antara lain pada QS. al-Baqarah: 129, Ali Imran: 164, al-Nisa’: 113, dan ayat-ayat lain, hikmah itu tak lain adalah sunnah. Perlakuan itu menempatkan hadis dalam substansiya bernuansa “wahyu ilhamiy”, lebih-lebih bagi hadis qudsiy. Muatan wahyu ma’nawiy dalam hadis dibenarkan oleh penegasan Rasulullah Saw :
: ﻞﺎﻗ ﻪﻧﺍ ﻢﻠـﺳﻮ ﻪﻴﻠﻋﻪﻠﻠﺍﻰﻠﺼ ﻪﻟﻟﺍ ﻞﻮـﺳﺮ ﻦـﻋ ﺐﺮـﻛ ﻱﺩـﻌﻣ ﻦﺒﺍ ﻢﺍﺪـﻗﻣﻟﺍﻦـﻋ
.ﻪـﻌﻣ ﻪﻟـﺛﻤﻭ ﺐﺎﺗﻜﻠﺍ ﺖﻳﺗﻭﺍ ﻲﻨﺇ ﻻﺃ
“Ingat sesungguhnya aku dianugerahi al-Kitab dan dianugerahi sepadannya (al-sunnah) bersamanya”.
Sejajar Al-Qur'an sebagai wahyu lafdziy berkepentingan pada media penafsiran, maka untuk ungkapan hadis memerlukan elaborasi terkontrol agar mutu pemahaman tidak bias dan semakin senjang dari kemauan karakteristik wahyu yang tidak selamanya ma’qul al-ma’na (rasionable).
Ragam Maqamat Narasumber Hadis
Otoritas yang memback-up keterbentukan hadis berkelindan antara Muhammad Saw berada pada posisi pemangku predikat nubuwah, risalah, imamah, qaidu al-jaisy, hakim, mufthi, pembina wilayah hingga sebagai manusia biasa beretnis Arab Quraisy. Keragaman maqam tersebut berkorelasi dengan daya keberlakuan ajaran hadis pada kapasitas tasyri’, irsyadi / tawjihi, tasyri’ ‘amm/khash, universal atau parsial dan temporal.
Media untuk mengamati maqam mana yang relevan bisa dengan mencermati nisbah sandaran hadis kepada Nabi saja atau Rasulullah Saw. Selebihnya dengan menelaah indikasi yang menunjuk ke arah tehnik operasional yang melengkapi ungkapan hadis untuk upaya mengimplemen-tasikan ajaran.
Fungsi Hadis sebagai Bayan Al-Qur'an
Penegasan QS. al-Nahl : 44 telah menempatkan hadis sebagai “bayan” terhadap Al-Qur'an. Fungsi dimaksud berkisar sekitar bayan ta’kid/ taqrir (peneguh/penegas), bayan tafshil (memperinci), bayan tafsir (menginterpretasi), bayan takhsis (pembatas keumuman) hingga bayan tabdil (pengganti) serta kemungkinan bayan tasyri’ (mengatur norma hukum) yang belum diperoleh pengaturan sama dalam Al-Qur'an.
Fungsi bayan menempatkan hadis pada posisi pendamping inti maksud yang tersurat di dalam rumusan teks (‘ibarat) ayat bersangkutan. Pemahaman terhadap hadis tersebut tidak boleh menanggalkan sama sekali madlul (hal yang ditunjuk) oleh ayat Al-Qur'an. Pada fungsi tersebut dibangun korelasi ma’nawi antar keduanya, termasuk pemanfaatan qarinah haliyah yang dapat digali dari pemegang peran dalam hadis, kondisi sosial dan kompleksitas persoalan yang terlintas pada jalan cerita hadis.
Kosa kata pada Redaksi Matan
Bahasa pengantar hadis yang tergolong Arab klasik sesuai zaman kejayaan bahasa etnis Arab sehingga kemu’jizatan Al-Qur'an pun mencakup aspek kebahasaannya (i’jaz lughawi), menyadarkan pengamat hadis harus menerima fakta konfigurasi pilihan kosa kata yang terkesan unik (gharib), bersastra tinggi, mengambil bentuk jawami’ al-kalim, mujmal / musytarak / mutasyabih, menerapkan azas tasybih (perumpamaan) tanpa menciderai kadar kafashahan ungkapan. Upaya pensyarahan terhadap matan hadis yang berunsur format kosa kata seperti itu tentu harus merujuk pada kamus kebahasaan klasik, kamus amtsal dan kamus sastra yang sejaman dengan periode keterbentukan hadis. Bukankah pada tataran menggali makna ungkapan klasik, tradisi kebahasaan yang berbeda periode penggunaan tak banyak membantu untuk mengungkap makna leksikal kosa kata jenis tersebut. Kaidah pemanfaatan ‘uruf menegaskan :
ﺉﺭﺎﻃﻠﺍ ﻒﺭـﻌﻠﺎﺑ ﺮـﺑﺗـﻌﻳ ﻻ
“Tidak perlu diperhitungkan (dalam langkah istimbath) ‘uruf kebaha-saan yang datang kemudian”.
Strategi pemaknaan ungkapan klasik tersebut akan efektif mengeliminir bias penyimpangan pemahaman terhadap inti maksud hadis menempuh jalur pemahaman tekstual. Pada kreasi mengembangkan ta’wil ungkapan hadis yang metaforis, alegoris, mutasyabih dan sejenisnya tetap mempertahankan ta’wil berargumen yang selaras dengan proses kesejarahan peradaban umat generasi awal Islam.
Konseptualisasi Doktrin Hadis yang Aplikatif
Tekad mengimplementasikan ajaran hadis selaku bagian integral mengamalkan syari’at agar tetap originil, valid, membawa serta ruh (semangat religious) syari’at tentu bertolak dari pola penyimpulan deduktif menuju perumusan konsep yang generalis. Langkah kerja tersebut memerlukan dukungan data hadis secukup mungkin dengan thema bahasan yang sama. Tehnik analisis menghadapi sekian banyak data informasi hadis berthema sama cenderung induktif dan bila terindikasi adanya kontroversi (ikhtilaf / musykil) harus mengefektifkan solusi penginte-grasian (al-jam’u), penyelarasan (al-tawfiq), menseleksi atas dasar fakta keunggulan (al-tarjih), hingga solusi nasakh–mansukh. Kegagalan penerapan solusi tersebut menandai suasana tawaqquf, berarti potensi pengamalan ajaran hadis itu terpaksa ditangguhkan.
Terkait relasi sosial, kultur dan hal-hal yang terkesan bersifat lokal-konvensional sebagaimana terbaca pada ungkapan hadis dibutuhkan instrumen yang mampu menjembatani upaya mengamalkan ajaran hadis lintas periode dan lintas generasi. Target pemanfaatan instrumen tersebut adalah keterjagaan esensi syari’ah pada hadis kajian realitas teks (zhahiratu al-nash) dicoba mengintegrasikan dengan realitas pengetahuan praktis, termasuk teori keilmuan yang aksiomatik (hadharah al-‘ilmi), praktek pengamalan ajaran hadis sesuai penafsiran doktrinal lintas zaman (syarah hadis oleh ulama lintas generasi), berpadu dengan realitas pemikiran keagamaan yang reliable pada inti ajaran hadis (hadharah al-falsafah), merupakan keniscayaan bagi usaha dinamika pemahaman konseptualisasi hadis bercorak komprehensif.
Formula pensyarahan atas ungkapan hadis berintikan azas pemikiran di atas serasa amat mendesak untuk mendukung upaya memberdayakan potensi hadis sebagai sumber memperoleh inspirasi keagamaan Islam. Tekad mengamalkan Islam secara kaffah berkepen-tingan pada pemahaman terhadap hadis (sunnah) secara benar dan penerapannya mesti proporsional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH