ADOPSI
(PENGANGKATAN ANAK)
1.
Bagaimana Pandangan Fiqih tentang Pengadopsian Anak dan
Hukumnya?
a. Pengertian Adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris
“Adoption”, yang artinya pengangangkatan atau pemungutan, sehingga sering
dikatakan “Adoption of a child”: yang artinya pengangkatan atau pemungutan
anak.
Kata adopsi ini, dimaksudkan oleh
ahli bangsa arab, dengan istilah التبني yang dimaksudkan sebagai mengangkat anak, memungut atau
menjadikan anak.
b. Pengertian adopsi menurut istilah, dapat dikemukakan definisi
para ahli’ antara lain:
1) Muderis Zaini, S.H., mengemukakan pendapat Hilman Hadi
Kusuma, S.H., dengan mengatakan:
“Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak
sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan
tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan
rumah tangga.”
Kemudian dikemukakan pendapat
Surojo Wingjodipura, S.H., dengan mengatakan:
“Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan, pengambilan
anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang
yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan
yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dengan anak kandungnya.”
Dua pendapat para pakar yang
dikemukakan oleh Muderis Zaini, S.H., menggambarkan, bahwa hukum adat
membolehkan pengangkatan anak, yang status anak tersebut disamakan dengan anak
kandung sendiri begitu juga status orang tua angkat, sama dengan orang tua
kandung di anak angkat itu. Kedua belah pihak (orang tua angkat dan anak
angkat), mempunyai hak dan kewajiban yang persis sama dengan hak dan kewajiban
orang tua terhadap anak kandungnya, dan atauanak kandung terhadap orang tuanya.
2) Prof. DR. Asy-Syekh Mahmud Syaltut, mengemukakan dua macam
definisi sebagai berikut:
“Adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak, yang
diketahuinya bahwa anak itu termasuk anak orang lain. Yang ia memperlakukan
anak tersebut sama dengan anak kandungnya; baik dari segi kasih sayangnya
maupun nafkahnya (biaya hidupnya), tanpa itu memandang perbedaan. (meskipun demikian) agama tidak
menganggap sebagai anak kandungnya, karena itu tidak dapat disamakan statusnya
dengan anak kandung.”
Definisi
ini memberika gambaran, bahwa anak angkat itu sekedar mendapatkan pemeliharaan
nafkah, kasih sayang dan pendidikan, tidak dapat disamakan dengan status anak
kandung; baik dari segi pewarisan maupun segi perwalian. Hal ini, dapat
disamakan dengan anak asuh menurut istilah sekarang ini.
Selanjut,
Prof. DR. Asy-Syekh Mahmud Syaltut mengemukakan definisinya yang kedua dengan
mengatakan:
”Adopsi adalah
adanya seseorang yang tidak memiliki anak, kemudian menjadikan seorang anak
sebagai anak angkatnya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak
kandungnya, lalu ia menjadikannya sebagai anak yang sah.”
Definisi
ini menggambarkan pengangkatan anak tersebut sama dengan pengangkatan anak di
zaman Jahiliyah, dimana anak angkat itu sama statusnya dengan anak kandung, ia
dapat mewarisi harta benda orang tua angkatnya dan dapat meminta perwalian
kepada orang tua angkatnya bila ia mau dikawini.
2.
Tradisi Pengangkatan Anak (Adopsi) di Masyarakat
Masalah
adopsi, bukan suatu hal baru, tetapi di berbagai negeri sejak zaman dahulu
kala, tradisi tersebut sudah berbaur dengan kehidupan masyarakat. Tradisi
masyarakat jahiliyah secara turun temurun mengangkat anak orang lain sebagai
anaknya. Diterangkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
$¨B
@yèy_
ª!$#
9@ã_tÏ9
`ÏiB
Éú÷üt7ù=s%
Îû
¾ÏmÏùöqy_
4
$tBur
@yèy_
ãNä3y_ºurør&
Ï«¯»©9$#
tbrãÎg»sàè?
£`åk÷]ÏB
ö/ä3ÏG»yg¨Bé&
4
$tBur
@yèy_
öNä.uä!$uÏã÷r&
öNä.uä!$oYö/r&
4
öNä3Ï9ºs
Nä3ä9öqs%
öNä3Ïdºuqøùr'Î/
(
ª!$#ur
ãAqà)t
¨,ysø9$#
uqèdur
Ïôgt
@Î6¡¡9$#
ÇÍÈ
öNèdqãã÷$#
öNÎgͬ!$t/Ky
uqèd
äÝ|¡ø%r&
yZÏã
«!$#
4
bÎ*sù
öN©9
(#þqßJn=÷ès?
öNèduä!$t/#uä
öNà6çRºuq÷zÎ*sù
Îû
ÈûïÏe$!$#
öNä3Ï9ºuqtBur
4
}§øs9ur
öNà6øn=tæ
Óy$uZã_
!$yJÏù
Oè?ù'sÜ÷zr&
¾ÏmÎ/
`Å3»s9ur
$¨B
ôNy£Jyès?
öNä3ç/qè=è%
4
tb%2ur
ª!$#
#Yqàÿxî
$¸JÏm§
ÇÎÈ
. (الأحزاب: 4 – 5)
Artinya:
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai
ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah
mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah melarang
pengangkatan anak (adopsi) yang menisbatkan segala-galanya kepada nama bapak
angkatnya, persamaan hak waris dan hubungan mahram serta perwalian perkawinan.
Anak angkat itu hanya sekedar anak pemeliharaan atau anak asuh yang tidak bisa
disamakan dengan status anak kandung.
Tentang pengangkatan anak (adopsi) di Indonesia
kebanyakan masyarakatnya cenderung mengangkat anak dari keluarga dekatnya;
misalnya ponakannya, ponakan isteri atau suaminya, atau anak dari misanannya
dan sebagainya. Tetapi setelah berdiri beberapa lembaga yang mengurusi anak
yatim dan anak yang terlantar, maka masyarakat sudah mulai menyadari bahwa
upaya pengangkatan anak, tidak harus berasal dari keluarga dekatnya, tetapi
mereka melihatnya sebagai sesama manusia yang harus ditolong penghidupannya
serta pendidikannya. Bahkan sekarang ini, lebih berkembang lagi upaya-upaya
untuk membantu anak-anak yang tidak mampu, dengan istilah program ”Anak Asuh”.
Pengangkatan anak (adopsi) yang menyamakan statusnya dengan
anak kandung, masih berlangsung di masyarakat di beberapa daerah di Indonesia.
Oleh karena itu, sebagai orang Islam, dapat diperhatikan ketentuan agama yang
mengatur tentang pengangkatan anak (adopsi).
Ada beberapa, motivasi yang melandasi pengangkatan anak
di Indonesia, sehingga merupakan suatu kebutuhan hidup masyarakat. Motivasi
tersebut, antara lain:
- Karena tidak mempunyai anak;
- Karena motivasi kasih sayang terhadap anak yang tidak memiliki orang tua, atau anak dari orang tua yang tidak mampu;
- Karena ia hanya mempunya anak perempuan, sehingga mengangkat anak laki-laki, atau dengan sebaliknya.
- Untuk menambah jumlah keluarga, karena mungkin berkaitan dengan keperluan tenaga kerja dan sebagainya.
- Pengangkatan anak dengan motivasi yang berbeda-beda, maka Islam sangat perlu menata kembali tata cara pengangkatan anak, sehingga tetap dapat dibedakan antara anak kandung dengan anak angkat; terutama hak-hak yang berkaitan dengan perwarisan, hubungan mahram, dan status perwalian (dalam masalah perkawinan), karena hal ini terkait dengan masalah ibadah; antara lain misalnya hubungan mahram, dapat membatalkan wudhu’ antara bapak angkat dengan anak angkatnya yang perempuan, padahal kalau anak kandung tidak demikian halnya.
3.
Hukumnya
Islam
menetapkan bahwa antara orang tua angkat dengan anak angkatnya, tidak terdapat
hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawa
sebagai sesama manusia. Karena itu, antara keduanya bisa berhubungan tali
perkawinan; misalnya Nabi Yusuf bisa mengawini ibu angkatnya (Zulaehah), bekas
isteri Raja Abul Aziz (bapak angkat Nabi Yusuf).
Begitu
juga halnya Rasulullah SAW, diperintahkan oleh Allah mengawini bekas isteri
Zaid sebagai anak kandungnya. Berarti antara Rasulullah dengan Zaid, tidak ada
hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang sebagai bapak angkat dengan
anak angkatnya. Ini dapat dilihat keterangan ayat 37 dari surah Al-Ahzab.
Islam
tetap memperbolehkan adopsi (pengangkatan anak), dengan ketentuan:
1.
Nasab anak angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan
orang tua angkatnya;
2.
Anak angkat itu dibolehkan dalam islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh,
tidak boleh disamakan dengan status anak kandung; baik dari segi perwarisan,
hubungan mahram, maupun wali (dalam perkawinan);
3.
Karena anak angkat itu tidak berhak menerima harta warisan dari orang tua
angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa
hibah, yang maksimal seperti dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya,
Dari
segi kasih sayang, persamaan biaya hidup, persamaan biaya pendidikan antara
anak kandung dengan anak angkat (adopsi) dibolehkan dalam Islam. Jadi hampir
sama statusnya dengan anak asuh;
Pengangkatan
Zaid Bin Al-Haritsah sebagai anak angkat oleh Rasulullah SAW, dimansukh
(dibatalkan) oleh ayat 37 dari Surah Al-Ahzab, dengan diperbolehkannya
Rasulullah mengawini bekas isteri Zaid, berarti bapak angkat dengan anak
angkat, tidak terdapat hubungan mahram.
4.
Kesimpulan
-
Jika yang dimaksud dengan adopsi adalah tabanni, yakni mengambil dan
mengangkat/mengasuh anak untuk kemudian nasabnya disambungkan kepada pengasuh
maka hukumnya adalah haram.
-
Jika yang dimaksud dengan adopsi adalah sebatas merawat/mengasuh anak untuk
dididik dan dicukupi kebutuhannya tanpa disambungkan nasabnya kepada pengasuh
maka hukumnya fardlu kifayah bagi Muslimin karena tergolong menyelamatkan
laqith, yakni mengasuh anak terlantar yang tidak diketahui orang tuanya, atau
menjadi kewajiban sosial dalam membantu sesama muslim apabila anak yang
dirawat/diasuh diketahui orang tuanya.
Tentang undang-undang
yang mengatur pengambilan anak terlantar (laqith) sudah diatur secara
terperinci dalam kitab, kitab fiqih, seperti: pengasuh harus Muslim, anak yang
diasuh di bawah usia baligh dan lain-lain.
KITAB-KITAB YANG MENDUKUNG PEMBAHASAN
1.
الباجوري الجزء الثاني ص: 61 – 62 دار الفكر
(وإذا وجد لقيط) بمعنى ملقوط
(بقارعة الطريق فأخذه) منها وتربيته (وكفالته واجبة على الكفاية) فإذا التقطه بعض ممن
هو أهل لحضانة اللقيط سقط الاثم عن الباقي فإن لم يلتقطه أحد أثم الجميع ولو علم به
واحد فقط تعين عليه ويجب في الأصح الإشهاد على التقاطه وقوله وتربيته أي تعهده بما
يصلحه – إلى أن قال – وعلم من ذلك أنه ليس المراد بالكفالة هنا الحضانة وإن كانت تسمى
كفالة.
2.
أسنى المطالب الجزء الثاني، ص: 498
(فصل وأما أحكامه) أي الالتقاط (فعلى الملتقط) منها (حفظ اللقيط ورعايته)
أي تربيته لأن ذلك مقصود الالتقاط (لا نفقته وحضانته) المفصلة في الإجارة لأن فيهما
مشقة ومؤنة كثيرة فالمراد بقولهم هنا "وحضانته على الملتقط" حفظه وتربيته
لا الحضانة المذكورة (فإن عجز) عن حفظه ورعايته لأمر عارض (فالقاضي) أي فيسلمه له
(وله تسليمه إليه) لتبرم أو غيره (ولو قدر) على ذلك أيضا فتقييد الأصل ذلك بالتبرم
جرى على الغالب (ويحرم) عليه (نبذه ورده إلى ما كان) بالاتفاق.
3.
بغية المسترشدين ص: 235 أوسها كلواركا
(مسألة ك) من الحقوق الواجبات
شرعا على كل غني وحده من ملك زيادة على كفاية سنة له ولممونه ستر عورة العاري وما بقي
بدنه من مبيح تيمم وإطعام الجائع وفك أسير مسلم وكذا ذمي بتفصيله وعمارة سور بلد وكفاية
القائمين بحفظها والقيام بشأن نازلة نزلت بالمسلمين وغير ذلك إن لم تندفع بنحو زكاة
ونذر وكفارة ووقف ووصية وسهم المصالح من بيت المال لعدم شيء فيه أو منع متوليه ولو
ظلما فإذا قصر الأغنياء عن تلك الحقوق بهذه القيود جاز للسلطان الأخذ منهم عند وجود
المقتضي وصرفه في مصارفه.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bajuri. Juz 2. Hal. 61-62. Dar Al-Fikr
Asna Al-Matholib. Juz 2. Hal. 498.
Bughyah Al-Mustarsyidin. Hal. 253. Usaha Keluarga. Semarang.
Muderis Zaini. Adopsi. Jakarta: Bina Aksara. 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH