IDDAH DAN TALAK
1. Menjatuhkan Talak Tatkala Istri Sedang Haid (LM 936)
936. حديث ابن عمر رضي الله عنهما، انه طلق إمرأته وهي حائض على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم. فسأل عمر ابن الخطاب رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مره فليراجعها ثم ليمسكها حتى تطهر، ثم تطهر، ثم ان شاء امسك بعد، وان شاء طلق قبل ان يمس: فتلك العدة التى امر الله ان طلق لها النساء
اخرجه البخارى فى : 68- كتاب الطلاق : 1- باب قول الله تعالى :
ياايها النبي اذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن واحصواالعدة
Artinya :
Hadits Ibnu Umar r.a bahwasanya ia menceraikan istrinya yang sedang haid pada masa Rasulullah SAW, kemudian Umar bin Khattab menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Suruhlah dia untuk rujuk kemudian ditahan hingga suci, kemudian haid dan suci lagi, kemudian setelah itu ia boleh menahan dan boleh mentalaknya sebelum menyentuh (bersetubuh). Itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah dalam mentalak istri.
2. Iddah Bagi Wanita Hamil yang ditinggal Mati (LM 948)
948. حديث سبيعة بنت الحارث : انها كانت تحت سعيد بن خولة : وهو من بنى عامر بن لؤي. وكان ممن شهد بدرا، فتوفي عنها فى حجة الوداع، هي حامل، فلم تنشب ان وضعت حمالها بعد وفاته: فلما تعلت من نفاسها تجملت للخطاب، فدخل عليها ابو النسابل ابن بعكاك، رجل من بنى عبد الدار : فقال لها : مالى اراك تجملت للخطاب ترجين النكاح، فإنك والله إما انت بناكح حتى تمر عليك اربعة اشهر وعشر، قالت سعيبة: فلما لى ذلك جمعت علي ثياب حين امسيت واتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألته عن ذلك فاءفتانى باءنى قد حللت حين وضعت حملى. وامرنى بالتزوج ان بدالى .
اخرجه البخارى فى : 24 – كتاب المغازى : 1 – باب حدثنى عبج الله بن محمد الجعفى
Artinya :
Hadits Shubai’ah binti Al-Harits, bahwasanya ia adalah istri Sa’ad bin Khaulah, yang termasuk Bani Amir bin Lu’ay, dan ia ikut dalam perang badar, lalu meninggal dunia ketika haji wada’, sedangkan istrinya hamil yang tidak begitu lama melahirkan kandunganya sesudah suaminya wafat. Ketika nifasnya telah selesai, ia berhias siap-siap jika ada orang yang meminangnya, lalu Abu Sanabil bin Ba’kak dari bani Abdud Dar masuk ke rumahnya, lantas berkata kepadanya : “Saya melihat kamu berhias siap-siap jika ada orang yang meminang, kamu ingin menikah lagi. Akan tetapi demi Allah, kamu belum boleh menikah sehingga melalui masa 4 bulan sepuluh hari. “ Subai’ah berkata : Setelah beliau berkata demikian kepadaku, maka saya segera mengenakan pakaian di waktu sore hari, dan datang kepada Rasulullah SAW, lalu menanyakan hal itu kepada beliau, kemudian beliau memberi fatwa kepadaku bahwasanya saya boleh menikah lagi sesudah melahirkan kandungan dan beliau memerintahkan aku untuk kawin jika saya suka.
A. PEMBAHASAN
Pengertian Iddah
Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan) dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haid atau masa suci.
Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.
Macam-Macam Masa Iddah
Barangsiapa yang ditinggal mati suaminya, maka iddahnya empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri ataupun belum. Hal ini mengacu pada firman Allah SWT, ”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah : 234).
Terkecuali isteri yang sudah dicampuri dan sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan, ”Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq : 4).
Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud mengabarkan bahwa ayahnya menulis surat kepada ‘Umar bin Abdilllah Ibnul Arqam Az-Zuhri memerintahkannya agar bertanya kepada Subai’ah Al-Aslamiyyah tentang haditsnya dan tentang apa yang difatwakan Nabi SAW dalam perkaranya ketika ia minta fatwa. Maka Umar bin Abdillah pun membalas surat Abdullah bin Utbah mengabarkan bahwa Subai’ah berkisah, dulunya ia bersuamikan Sa’d bin Khaulah yang bernisbah kepada Bani Amir bin Lu`ai. Suaminya termasuk shahabat yang ikut dalam perang Badar. Ketika haji wada’, suaminya meninggal dunia dalam keadaan ia sedang mengandung. Tidak berapa lama setelahnya ia melahirkan. Sesucinya dari nifasnya, ia pun berdandan untuk menerima orang-orang yang mau melamarnya.
Ketika itu masuk Abus Sanabil bin Ba’kak, seorang lelaki dari Bani Abd Dar, menemuinya sambil berkata memberi fatwa, “Kenapa aku melihatmu berdandan? Mungkinkah engkau ingin menikah lagi? Padahal demi Allah, engkau tidak boleh menikah hingga berlalu waktu empat bulan sepuluh hari.”
Subai’ah berkata, “Mendengar ucapan demikian darinya, maka pada sore harinya aku menemui Rasulullah SAW untuk bertanya tentang hal tersebut. Ternyata beliau memfatwakan bahwa aku telah halal (selesai dari masa iddah) ketika aku melahirkan kandunganku, dan beliau memerintahkan agar aku menikah jika ada keinginan ke sana.” (HR. Al-Bukhari no. 3991, 5319 dan Muslim no. 3706)
Sepanjang masa iddahnya, si istri harus berihdad hingga selesai melahirkan kandungannya, sama saja baik masanya pendek atau panjang. Bila ia telah melahirkan maka tidak ada ihdad setelahnya.
Wanita yang ditalak sebelum sempat dicampuri, maka tidak ada masa iddah baginya, berdasarkan pada firmannya Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, ’apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta, menyempurnakannya.” (Al-Ahzaab : 49).
Dari az-Zubair bin al-Awwam r.a. bahwa ia mempunyai isteri bernama Ummu Kultsum bin ’Uqbah r.a. Kemudian Ummu Kultsum yang sedang hamil berkata kepadanya, ”Tenanglah jiwaku (dengan dijatuhi talak satu).” Maka az-Zubir pun menjatuhkan padanya talak satu. Lalu dia keluar pergi mengerjakan shalat, sekembalinya (dari shalat) ternyata isterinya sudah melahirkan. Kemudian Az-Zubir berkata: ”Gerangan apakah yang menyebabkan ia menipuku, semoga Allah menipunya (juga).” Kemudian dia datang kepada Nabi SAW lalu beliau bersabda kepadanya, ”Kitabullah sudah menetapkan waktunya; lamarlah (lagi) di kepada dirinya.” (Shahih : Shahih Ibnu Majah no:1546 dan Ibnu Majah I:653 no:2026).
Jika wanita yang dijatuhi talak termasuk perempuan yang masih berhaid secara normal, maka masa iddahnya tiga kali haid berdasarkan Firman Allah SWT, ”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali quru’).”. (Al-Baqarah :228).
Kata quru’ berarti haid. Hal ini mengacu pada hadits Aisyah r.a. bahwa Ummu Habibah r.a. sering mengeluarkan darah istihadhah (darah yang keluar dari wanita karena sakit atau lainnya), lalu dia bertanya kepada Nabi SAW (mengenai hal tersebut). Maka Beliau menyuruh meninggalkan shalat pada hari-hari haidnya. (Shahih Lighairih : Shahih Abu Daud no:252 dan ’Aunul Ma’bud I:463 no:278).
Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah haid atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haid), maka iddahnya adalah tiga bulan lamanya. Allah SWT berfirman, ”Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (manopause) diantara isteri-isteri kalian jika ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haid.” (At-Thalaq:4).
Ihdad bagi wanita
Meninggalnya suami ataupun orang dekat yang dikasihi jelas menggoreskan luka dan duka di dalam hati. Karena suasana hati yang berkabung, tak ada hasrat berhias diri, menyentuh wewangian, ataupun berpakaian indah.
Ihdad maknanya meninggalkan perhiasan dan wangi-wangian di waktu tertentu. Bila dikatakan seorang istri berihdad atas kematian suaminya, maknanya si istri yang sedang menjalani masa ihdad karena meninggalnya suaminya, menahan diri dari mengenakan perhiasan seluruhnya baik berupa make up, wewangian (parfum), dan selainnya serta segala hal yang menjadi pendorong untuk melakukan jima’.
Hukum ihdad
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan sepuluh hari. Demikian pendapat mayoritas ulama bahkan hampir seluruh mereka, kecuali pendapat berbeda yang dinukilkan dari Al-Hasan Al-Bashri dan Asy-Sya’bi. Namun pendapat keduanya ganjil, menyelisihi sunnah hingga tak perlu ditengok. Kata Al-Imam Ahmad rahimahullahu, “Tersembunyi perkara ihdad ini bagi keduanya.”
Adapun selain kematian suami, baik kematian ayah, ibu saudara laki-laki, anak dan sebagainya, maka haram hukumnya bila melebihi tiga hari.
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.”
Lama Ihdad
Lamanya masa ihdad adalah selama masa ‘iddah seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari sebagaimana ditunjukkan dalam hadits di atas.
Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, “Ini merupakan madzhab kami dan madzhab ulama secara keseluruhan. Kecuali pendapat berbeda yang dihikayatkan dari Yahya ibnu Abi Katsir dan Al-Auza’i yang menyatakan lamanya empat bulan sepuluh malam dan si wanita telah halal (tidak lagi berihdad) pada hari yang kesepuluh14. Sementara pendapat kami dan jumhur, si wanita tidak halal hingga ia masuk malam yang kesebelas.”15 (Al-Minhaj, 9/352)
Bila si istri dalam keadaan hamil, maka masa iddah dan ihdadnya berakhir dengan melahirkan kandungannya, walaupun ia melahirkan sesaat sebelum jenazah suaminya dimandikan. Iddahnya saat itu telah berakhir dan halal baginya untuk menikah. Demikian pendapat jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf, dengan dalil ayat berikut ini:
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (Ath-Thalaq: 4)
B. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa mentalak istri dalam keadaan haid itu tidak diperbolehkan, dan jika suami ingin bercerai akan tetapi istri dalam keadaan haid maka haruslah menunggu hingga masa haidnya selesai dan dalam keadaan suci. Sedangkan bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya sementara ia dalam keadaan mengandung maka ia harus melalui masa iddah ya’ni sampai ia melahirkan dan melalui masa ihdad, baru kemudian ia boleh menikah lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Muhamamd Fuad, Al-Lu'lu' wal Marjan. (Koleksi Hasitd-hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim), Semarang : Al-Ridha, 1993
Abu Bakar Al-Husaini, Al-Imam Taqiyyudin, Kifayatul Ahyar, Surabaya : PT. Bina Ilmu. 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH