Menurut sebagian besar Ulama’, hukum
asal menikah adalah mubah, yang artinya boleh dikerjakan dan boleh tidak.
Apabila dikerjakan tidak mendapatkan pahala, dan jika tidak dikerjakan tidak
mendapatkan dosa. Namun menurut saya pribadi karena Nabiullah Muhammad SAW
melakukannya, itu dapat diartikan juga bahwa pernikahan itu sunnah berdasarkan
perbuatan yang pernah dilakukan oleh Beliau. Akan tetapi hukum pernikahan dapat
berubah menjadi sunnah, wajib, makruh bahkan haram, tergantung kondisi orang
yang akan menikah tersebut.
- Pernikahan Yang Dihukumi Sunnah
Hukum menikah akan berubah menjadi
sunnah apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut mampu menikah
dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan mampu menahan
perbuatan zina walaupun dia tidak segera menikah. Sebagaimana sabda Rasullullah
SAW :
“Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah memiliki
kemampuan untuk menikah, maka hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu dapat
menjaga pandangan mata dan lebih dapat memelihara kelamin (kehormatan); dan
barang siapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu
menjadi penjaga baginya.” (HR.
Bukhari Muslim)
- Pernikahan Yang Dihukumi Wajib
Hukum menikah akan berubah menjadi
wajib apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut ingin menikah,
mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan ia
khawatir apabila ia tidak segera menikah ia khawatir akan berbuat zina. Maka
wajib baginya untuk segera menikah.
- Pernikahan Yang Dihukumi Makruh
Hukum menikah akan berubah menjadi
makruh apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut belum mampu dalam
salah satu hal jasmani, rohani, mental maupun meteriil dalam menafkahi
keluarganya kelak.
- Pernikahan Yang Dihukumi Haram
Hukum menikah akan berubah menjadi
haram apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut bermaksud untuk
menyakiti salah satu pihak dalam pernikahan tersebut, baik menyakiti jasmani,
rohani maupun menyakiti secara materiil.
- Pembagian Pernikahan Beda Agama Dalam Islam
Didalam kehidupan kita saat ini
pernikahan antara dua orang yang se-agama merupakan hal yang biasa dan memang
itu yang dianjurkan dalam agama kita. Tetapi dengan mengatasnamakan cinta, saat
ini lazim (namun belum tentu diperbolehkan agama) dilakukan pernikahan beda
agama atau nikah campur. Hal ini sebenarnya sudah diatur dengan secara baik di
dalam agama kita, agama Islam.Secara
umum pernikahan lintas agama dalam Islam dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu
1. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita
non-muslim
2.
Pernikahan antara pria non-muslim dengan wanita muslimah.
Namun sebelum kita membahas tentang
pernikahan diatas teraebut,
sebaiknya kita perlu mengetahui tentang pengertian non-muslim di dalam Islam.
Golongan non-muslim sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a.
Golongan Orang Musyrik
Menurut
Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman 282 karya As Syech
Muhammad Ali As Shobuni, orang musyrik ialah orang-orang yang telah berani
menyekutukan ALLAH SWT dengan mahluk-NYA ( menyembah patung, berhala atau
sejenisnya ).
Beberapa
contoh golongan orang musyrik antara lain Majusi yang penyembah api atau
matahari, Shabi’in, Musyrikin, dan beberapa agama di Indonesia dan kepercayaan
yang menyembah patung, berhala atau lainnya.
b.
Golongan Ahli Kitab
Menurut
Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman As Syech Muhammad Ali
As Shobuni, Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang teguh pada Kitab Taurat
yaitu agama Nabi Musa As. atau mereka yanga berpegang teguh pada Kitab Injil
yaitu agama Nabi Isa As. Atau banyak pula yang menyebut sebagai agama samawi
atau agama yang diturunkan langsung dari langit yaitu Yahudi dan Nasrani.
Mengenai
istilah Ahli Kitab ini, terdapat perbedaan pendapat diantara kalangan Ulama’.
Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa mereka semua kaum Nasrani termasuk yang
tinggal di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab. Namun ada juga yang berpendapat
bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang nasabnya (menurut silsilah sejak nenek moyangnya
dahulu) ketika diturunkan sudah memeluk agama Nasrani. Jadi kaum Nasrani di
Indonesia, berdasarkan pendapat sebagian Ulama’ tidak termasuk Ahli Kitab.
- Pernikahan Antara Pria Muslim Dengan Wanita Non-Muslim
Didalam
Islam, pernikahan antara antara pria muslim dengan wanita non-muslim Ahli Kitab
itu, menurut pendapat sebagian Ulama’ diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada
Firman ALLAH SWT dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya
“(Dan dihalalkan menikahi)
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan orang-orang yang
beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan Ahli
Kitab sebelum kamu ”.
Namun ada beberapa syarat yang diajukan apabila akan
melaksanakan hal tersebut, yaitu :
·
Jelas Nasabnya
Menurut
silsilah atau menurut garis keturunannya sejak nenek moyangnya adalah Ahli
Kitab, jadi seperti kesimpulan para Ulama’ di atas, sebagian besar kaum Nasrani
di Indonesia bukan merupakan golongan Ahli Kitab, seperti halnya juga kaum
Tionghoa yang beragama Nasrani di Indonesia.
·
Benar-benar Berpegang Teguh Pada Kitab Taurat dan
Kitab Injil
Apabila
memang apabila mereka berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan atau Injil (yang
benar-benar asli) pasti mereka pada akhirnya akan masuk Islam, karena
sebenarnya pada Kitab Taurat dan Injil yang asli telah disebutkan bahwa akan
datang seorang Nabi setelah Nabi Musa As dan Nabi Isa As, yaitu Nabiullah
Muhammad SAW. Dan apabila mereka mengimani akan adanya Nabiullah Muhammad SAW,
pasti mereka akan masuk Islam.
·
Wanita Ahli Kitab tersebut nantinya mampu menjaga
anak-anaknya kelak dari bahaya fitnah.
Ada
beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Sahabat Thalhah,
Sahabat Hudzaifah, Sahabat Salman, Sahabat Jabir dan beberapa Sahabat lainnya,
semua memperbolehkan pria muslim menikahi wanita Ahli Kitab. Sahabat Umar bin
Khattab pernah berkata
“Pria Muslim diperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab
dan tidak diperbolehkan pria Ahli Kitab menikah dengan wanita muslimah”.
Bahkan Sahabat Hudzaifah dan Sahabat
Thalhah pernah menikah dengan wanita Ahli Kitab tetapi akhirnya wanita tersebut
masuk Islam. Dengan demikian, keputusan untuk memperbolehkan menikah dengan
wanita Ahli Kitab sudah merupakan Ijma’ (artinya kesepakatan yakni kesepakatan
para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an
dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.) para Sahabat. Ulama’ besar Ibnu
Al-Mundzir mengatakan bahwa jika ada Ulama’ Salaf yang mengharamkan pernikahan
tersebut diatas, maka riwayat tersebut dinilai tidak Shahih.
Lebih lanjut MUI mengeluarkan fatwa Majlis
Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 per-tanggal 9-22
Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M tentang haramnya
pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan. Meskipun fatwa itu diusung dengan merujuk pada beberapa dalil
naqli, tetap saja menghapus kebolehan pria muslim menikah dengan wanita Ahli
Kitab sebagaimana disebutkan dalam QS.
Al-Maidah ayat 5 tersebut diatas. Dan rupanya fatwa itu dikeluarkan
karena didorong oleh keinsafan akan adanya persaingan antara agama. Para Ulama’
menganggap bahwa persaingan tersebut telah mencapai titik rawan bagi
kepentingan dan pertumbuhan masyarakat muslim dan merupakan tindakan pencegahan
untuk melindungi muslim dan keturunannya.
Dalam hal ini fakta-fakta sejarah
menunjukkan bahwa tiada sesuatu agama dan sesuatu ideologi di muka bumi ini
yang memberikan kebebasan beragama, dan bersikap toleran terhadap
agama/kepercayaan lain, seperta agama Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 120 :
“Orang Yahudi dan Kristen tidak
akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka”.
Dan Allah berfirman surat An Nisa ayat 141 yang artinya :
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang beriman”.
Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam hendaknya
selalu berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir
termasuk Yahudi dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat
Islam dengan berbagai cara, dan hendaklah umat Islam tidak memberi
jalan/kesempatan pada meraka untuk mencapai maksudnya, misalnya dengan jalan
perkawinan muslimah dengan pria non Muslim.
Namun ada pula Ulama’ yang secara
tegas mengharamkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab. Para
Ulama’ ini mendasarkan pendapatnya pada Firman ALLAH Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 221 yang berarti:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang muslim itu lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman .
sesungguhnya budak mukmin itu lebih baik daripada musyrik, walaupun mereka
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan ALLAH mengajak ke surga
dan ampunan dengan ijinNYA. Dan ALLAH menerangkan ayat-ayatNYA
(perintah-perintahNYA) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”
Dan juga Al-Quran Surat Al-Mumtahanah ayat 10 yang berarti:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. ALLAH mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu mengembalikan
mereka kepada (suami-suami) mereka orang-orang kafir. Mereka tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan
hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayarkan. Demikianlah hukum
ALLAH yang ditetapkanNYA diantara kamu, dan ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”
Disamping itu, mereka juga berpegangan kepada perkataan
Sahabat Abdullah bin Umar yang berarti.
“tiada kemusyrikan yang paling besar daripada wanita yang
meyakini Isa bin Maryam sebagai tuhannya”.
Sedangkan
pernikahan antara pria muslim dengan wanita musyrikah, menurut kesepakatan para
Ulama’ tetap diharamkan, apapun alasannya,
karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.
2.
Pernikahan Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita
Muslimah
Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria
non-muslim, menurut kalangan Ulama’ tetap diharamkan, baik menikah dengan pria
Ahli Kitab maupun dengan seorang pria musyrik.
Hal ini dikhawatirkan wanita yang telah menikah dengan pria non-muslim tidak
dapat menahan godaan yang akan datang kepadanya. Seperti halnya wanita tersebut
tidak dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangang dengan
syariat Islam, atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yang datang dari
lingkungan suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan.
Dalil
naqli pernyataan tentang haramnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan
pria non-muslim adalah Al-Quran Surat Al-Maidah
ayat 5, yang menyatakan bahwa Allah SWT hanya
memperbolehkan pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Ahli Kitab, tidak sebaliknya.
Seandainya pernikahan ini diperbolehkan, maka Allah
SWT pasti akan menegaskannya di dalam Al-Quran. Karenanya , berdasarkan mahfum
al-mukhalafah, secara implisit Allah SWT
melarang pernikahan tersebut. Dalam
Kitab tafsir Al-Tabati karya Imam Ibnu Jarir At-Tabari, menuturkan Hadits
Riwayat Jabir bin Abdillah bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
“Kami (kaum muslim) menikahi wanita
Ahli Kitab, tetapi mereka (pria Ahli Kitab) tidak boleh menikahi wanita kami”
Menurut
Imam Ibnu Jarir At-Tabari, meskipun sanad-sanad Hadits tersebut sedikit
bermasalah, maknanya telah disepakati oleh kaum muslimin, maka ke-hujjah-annya
dapat dipertanggungjawabkan.
B.
Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Indonesia
Akhirnya
keluarlah Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan
Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 menjadi hukum
positif yang bersifat unikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia dan menjadi
pedoman para hakim di lembaga peradilan agama dalam menjalankan tugas mengadili
perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam pasal 40 ayat (c):
“Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria
tidak beragama Islam”.
Larangan perkawinan tersebut oleh
Kompilasi Hukum Islam mempunyai alasan yang cukup kuat, yakni:
Dari
segi hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain, ialah pasal 2
ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan "tidak ada
perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu".
Dari
segi hukum Islam dapat disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut:
a.
سَدُّ الذَّرِيْعَةِ artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah
terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan antara
orang Islam dengan non Islam.
b.
Kaidah Fiqh دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
artinya, mencegah/menghindari mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini
berupa kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan/diutamakan daripada
upaya mencari/menariknya ke dalam Islam (Islamisasi) suami/istri, anak-anak
keturunannya nanti dan keluarga besar dari masing-masing suami istri yang
berbeda agama itu.
c.
Pada prinspnya agama Islam melarang (haram) perkawinan antara seorang beragama
Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam (perhatikan Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 221), sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan seorang
wanita dari Ahlul Kitab (Nashrani/Yahudi) berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah
ayat 5 itu hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam pria
Muslim tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung
resiko yang tinggi (pindah agama atau cerai). Karena itu pemerintah berhak
membuat peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang beragama Islam
(pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam (pria/wanita) apapun
agamanya, sedangkan umat Islam Indonesia berkewajiban mentaati larangan
pemerintah itu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 50 ayat (c) dan pasal 44.
Selanjutnya
Yusuf Qardlawi mengingatkan banyaknya madharat yang mungkin terjadi karena perkawinan
dengan wanita non Muslim :
1.
Akan banyak terjadi perkawinan dengan wanita-wanita non Muslim. Hal ini akan
berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim.
Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan pria Muslim yang belum
kawin.
2.
Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya, demikian pula anak-anaknya. Bila
terjadi, maka “fitnah” benar-benar menjadi kenyataan.
3.
Perkawinan dengan non Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami-istri
dan pendidikan anak-anak. Lebih-lebih jika pria Muslim dan kitabiyah beda tanah
air, bahasa, kebudayaan dan tradisi, misalnya Muslim timur kawin dengan
kitabiyah Eropa atau Amerika.
Dari segi agama, lemahnya posisi
pria Muslim tersebut sangat berbahaya bila kawin dengan kitabiyah. Karena itu
kawin dengan kitabiyah harus dijauhi. Pada masa Umar bin Khattab kaum Muslimin
sangat kuat. Umar melarang kaum Muslimin kawin dengan kitabiyah dan para
sahabat yang beristri kitabiyah ia suruh untuk menceraikannya. Jika dalam posisi
kaum Muslimin kuat saja, dilarang kawin dengan kitabiyah, apalagi sesudah kaum
Muslimin lemah, seperti pada masa kini, misalnya di Indonesia.
Kesimpulan
Sebenarnya pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan
dalam Islam, tetapi karena saat ini sangat sulit sekali ditemui
wanita Ahli Kitab yang benar-benar “Ahli Kitab”, maka saya dapat simpulkan
bahwa pernikahan beda agama yang ada saat ini tidak dapat dikatakan sah karena
hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang benar-benar berpegang teguh kepada
Kitab Taurat dan atau Kitab Injil. Karena kedua Kitab suci tersebut yang ada
saat ini bukan Kitab Taurat dan Injil yang asli. Sedangkan pernikahan wanita muslimah yang menikah
dengan pria non-muslim, baik pria musyrik maupun pria Ahli Kitab tetap dihukumi
haram.
Akan tetapi, pada praktiknya memang
masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum
Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat
cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat
dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1. meminta penetapan pengadilan,
2. perkawinan dilakukan menurut
masing-masing agama,
3. penundukan sementara pada salah satu
hukum agama, dan
4. menikah di luar negeri.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
“Wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya;
karena keturunannya; karena kecantikannya dan karena baik kualitas agamanya.
Maka pilihlah wanita yang baik kualitas agamanya, niscaya kalian akan
beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka bagi kaum muslimin dan
muslimah, alasan pernikahan beda agama dengan alasan cinta, kesamaan hak,
kebersamaan, toleransi atau apapun alasannya tidak dapat
dibenarkan.
Perlu pula ditegaskan bahwa masalah
pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab hanyalah suatu perbuatan yang
dihukumi boleh dilakukan, namun bukan anjuran, apalagi perintah. Karenanya
pernikahan yang paling ideal dan yang bisa membawa kita selamat di dunia maupun
akhirat serta membawa keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan
warohmah adalah pernikahan dengan orang seagama yaitu Islam.
Daftar Pustaka
Al-Jaziry,
Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut, Dar-ihya al-Turats al-‘Araby.
Ridha,Rasyid,
Tafsir Al Manar, Vol. VI, Cairo, Darul Manar, 1367 H.
Sukarjo,
Ahmad, Problematika Hukum Islam Kontemporer.
Vide
Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh, Vol. II, Cairo,
Al-Mathba’ah al-Yusufiah, 1931
Beale,
Courtenay, Marriage Before and After, London, The Wales Publishing Co.
Zuhdi,
Maszfuk, Masail Fiqhiah
http://m-wali.blogspot.com/
Tugas
kelompok mata pelajaran Agama Islam SMA Negeri 8 Malang tahun 2005, anggota
kelompok : Muhamad Yoesuf, Didin Erawati, Nuria Mauludiah, Firmansyah, Wahyu
Tri Admadja
http://myoesuf.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH