BAB I
LATAR BELAKANG
Kata mu’amalah yang kata tunggalnya mu’malah yang berakar pada secara arti kata mengandung arti ”saling berbuat” atau berbuat secara timbal balik. Sederhana lagi berarti” hubungan antara orang dengan orang”. Bila kata ini dihubungkan kepada lafadz fiqih, mengandung arti aturan yang mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia. Ini merupakan imbahan dari fiqih ibadat yang mengatur hubungan lahir antara seseorang dengan Allah pencipta.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Allah SWT. Mengatur hubungan lahir antara manusia dengan Allah dalam rangka menegakkan hablum minnallah dan hubungan antara sesama manusia dalam rangka menegakkan hablum minnannas, yang kedua merupakan misi kehidupan manusia yang diciptakan sebagai khalifah di atas bumi. Hubungan antara manusia itu bernilai ibadah pula bila dilaksnakan sesuai dengan petunjuk Allah yang diuraikan dalam kitab fiqh.
Dalam hal ini penulis mencoba akan membahas tentang prilaku manusia dengan manusia lain dalam transaksi yang berupa pinjem-meminjem(Ariyah) dengan harapan makalah ini akan menjadi wacana khususnya pribadi penulis umumnya untuk orang lain , besar harapan kami kritik dan saran dalam penyusunan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Landasan Ariyah (Pinjem-Meminjam)
Pengertian Ariyah
Menurut Etimologi Ariyah adalah ( العارية ) diambil dari ( عار ) yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagai pendapat ariyah berasaldari kata( العاور ) yang sama artinya dengan ( التناول او التناوب ) (saling menukar dan menganti) yakni tradisi pinjem-meminjem.
Menurut terminologi syara’ ulama fiqih berpendapat dalam mendefisinikannya, antara lain :
a) Menurut syarkhsyi dan ulama malikiyah :
تمليك المنفة بغير عوض
Artinya :
” Pemilikan atas manfaat (Suatu benda) tanpa menganti”
b) Menurut ulama syafi’iyah dan hambaliyah :
اباحه المنفعة بلا عوض
Artinya
” Pembolehan (Untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti.”
Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksud untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.
c) Menurut Ibnu Rif'ah
kebolehan mengambil manfat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.
1. Landasan Syara’
Ariyah dianjurkan (Mandub) dalam islam, yang didasrkan pada Al-Quran dan sunnah
1) Al-Quran
وتعاونوا علي البر والتقوى =( المائدة : )=
Artinya
” Dan tolong-menolong kalian dalam kebajikan dan takwa” (QS. Al-Maidah : 2)
2) As-Sunnah
Dalm hadits bukhari dan muslim dari anas, dinyatakan kemudian bahwa Rasulullah SAW. Telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.
Dalam hadits lain yang meriwayatkan oleh Abu dawud dengan sanad yang jayyid dari Shufyan Ibnu Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam perisai dari Shafyan bin Umayyah pada waktu perang Hunain. Shafwan bertanya, ” Apakah engkau merampasnya. Ya Muhammad ?” Nabi menjawab, ” Cuman meminjam dan aku bertanggung jawab.”
a. Rukun dan Syarat Ariyah
Rukun Ariyah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjam barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah
Menurut ulama shafi’iyah dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shighat akad, yakni ucapan Ijab dan Qabul dari peminjam dan yang meminjam barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang tergantung pada adanya izin.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat(4), yaitu :
1) Mu’ir (Peminjam)
2) Musta’ir (Yang meminjam)
3) Mu’ar (Barang yang dipinjam
4) Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun dengan tindakan.
Syarat Ariyah
Ulama fiqih mensyaratakan dalam akad ariyah sebagai berikut :
Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian orang lain dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Sedangkan ulama hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan yang sedang pailit(bangkrut)
a) Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan , yang di anggap sah memegang barang adalah peminjam ,seperti hal nya dalam hibah.
c) Barang (musta’ar)
Dapat di manfaatkan tanpa merusak dzatnya ,jika musta’ar tidak dapat di manfaatkan, akad tidak sah. Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah di bolehkan terhadap setiap barang yang di ambil manfaat nya dan tanpa merusak zat nya ,seperti meminjam tanah ,pakaian ,binatang dan lain – lain .
Diharamkan meminjam senjata dan kuda kepada musuh ,juga di haramkan meminjam al quran atau yang berkaitan dengan Al-quran kepada orang kafir .Juga di larang meminjam alat berburu kepada orang yang sedang ihram.
Pemanfatan barang itu dibolehkan maka batal ”ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syra” sepirti meminjam benda-benda najis
2. Hukum (Ketetapan) Akad Ariyah
1. Dasar hukum ariyah
Menurut kebiasaan (Urf), Ariyah dapat diartikan dengan dua(2) cara , yaitu secara hakikat dan secara majaz
a) Secara Hakikat
Ariyah adalah meminjam kan barang yang dapat di ambil manfaat nya tanpa merusak zat nya . menurut Malikiyah dan Hanafiyah ,hukunya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun , atau peminjam memiliki sesuatu yang semasa dengan manfaat menurut kebiasaan.
Al – Kurkhi, ulama syafi’iyah , dan hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
Dari perbedaan pandangan di atas , dapat di tetap kan bahwa menurut golongan pertama ,barang yang di pinjam (musta’ar)boleh di pinjam kan kepada orang lain ,bahkan menurut imam malik ,sekalipun tidak di izinkan oleh pemilik nya asalkan digunakan sesuai fungsinya ,Akan tetapi , ulama Malikiyah melarang nya melarang nya jika peminjam tidak mengijinkan nya
Alasan ulama Hanafiyah antara lain bahwa yamg memberi pinjaman (mi’ir) telah memberikan hak pengusaan barang kepada peminjam untuk mengambil manfaat barang .kekuasaan seperti itu berarti kepemilikan .Dengan demikian ,peminjam berkuasa penuh untuk mengambil manfaat barang – barang tersebut ,baik oleh dirinya maupun orang lain.
Golongan pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak mempunyai hak pemilikan sebagaimana pada gadai barang. Menurut golongan kedua, peminjan hanya berhak memanfaatkannya saja dan ia tidak memiliki bendanya. Adapun menurut golongan pertama, gadai adalah akad yan glazim (resmi), sedangkan ariya adalah akad tabarru’(derma) yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, peminjaman tidak memiliki hak kepemilikan, sebagaimana itu, peminjam pun tidak boleh menyewakan
b) secara Majazi
Ariya secara majazi adalah pinjam-meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain, seperti telur, uang, dan segala benda yang bisa diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya. Ariya pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda yang serupa atau senilia. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupan ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat diambil manfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.
2. Hak memanfaatkan barang pinjaman (musta’ar)
Jumhur ulama selain hanafiyah berpendapat bahwa musta’ar dapat mengambil manfaat barang sesuai dengan izin mu’ir (orang yang memberi pinjaman)
Adapun ulama hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar tergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara terikat (Muqayyad) atau mutlak.
a. Ariyah Mutlak
Ariyah mutlak yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara pengunaannya. Contohnya, seorang meminjam binatang namun dalan akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan pengunaan binatang tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Jadi hukumnya sebagaimana pemilik hewan-hewan, yaitu dapat mengambil. Namun demikian, harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat. Tidak dibolehkan mengunakan binatang tersebut siang malam tanpa henti. Sebaliknya jika penggunannya sesuai kebiasaan dan barang pinjaman rusak, peminjam harus bertanggung jawab
b. Ariyah Muqayyad
Ariyah muqayyad adalah peminjaman suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan pemanfaatannya, baik disyaratkan keduanya maupun salah satunya. Hukumnya meminjam harus sepadan mungkin untuk menjaga batasan tersebut. Hal ini karena asal dari batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang.
3. Sifat Ariyah
Ulama hanafiyah, syafi’iyah, dan hanabila berpendapat bahwa hak kepemilikan peminjam atas barang adalah hak tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Pada hibah misalnya bisa saja mu’ir(orang yang meminjamkan) mengambil barang yang dipinjamkannya kapan saja, sebagaimana peinjaman dapat mengembalikan kapan saja, baik pinjam-meminjam itu bersifat mutlak atau dibatasi waktu, kecuali ada batas-batas tertentuyang akan menimbulakn kemudaratan saat mengembalikan barang tersebut, seperti rusak atau seperti orang-orang yang meminjam tanah untuk mengubur mayat yang dihormati, maka mu’ir tidak boleh meminta kembali tanah tersebut dan si peminjam pun tidak boleh mengembalikannya sebelum jenazah berubah menjadi tanah.
C. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki hutang kepada yang berpiutang.setiap hutang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar hutang,bahkan melalaikan pembayaran juga termasuk aniaya.perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa (hadits riwayat Bukhori Muslim)
D. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada oran kain,sekalian pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman .Menurut Mazhab Hanbali,peminjam boleh memanfatkan barang pinjaman atausiapa saja menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung,kecuali barang tersebut disewakan.Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
E. Tanggung Jawab Peminjaman
Bila peminjam telah memengang barang pinjaman,kemudian barang tersebut rusak,ia berkewajiban menjaminnya,baik karena pemakaiannya yang berlebihan maupun karena yang lainnya.Rasulullah bersabda:
”Pemagang berkewajiban menjaga apa yang ia terima,hingga ia mengembalikannya”.
F. Tatakrama Berhutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau hutang-piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait didalamnya,ialah sebagai berikut:
1) Sesuai dengan QS Al Baqarah: 282,hutang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang berhutang dengan disaksikan dua orang saks laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita.Untuk dewasa ini tulisan tersebut di buat atas kertas bersegel atau bermaterai.
2) Pimjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarkan/mengembalikannya.
3) Pihak yang berpihutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berhutang.Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan,maka yang berpihutang hendaknya membebaskannya.
4) Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar pinjaman,hendaknya pembayaran pinjaman berati berbuat zalim.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Bahwa pinjam-meminjam adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.Dan hukumnya 'Ariyah wajib ketika awal islam.Dan sifat 'Ariyah menurut Ulama Hanafiyah ,Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepimilikan peminjam atas barang adalah hak tidak lazim sebab
merupakan kepimilikan yang tidak ada penggantinya.Peminjam menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak baik disengaja maupun tidak dan peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya,kecuali karena tindakannya yang berlebihan.
B.Saran
Demi kelancaran penyusunan makalah ini Penulis mengharapkan saran dan kritiknya atas makalah yang disusun agar kelak penulis bisa memperbaikinya menjadi lebih baik.Dan penulis berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.H.Suhendi Hendi, fiqih mu'amalah, Jakarta
Dr.H.Syafi'i Rahmat, fiqih mu'amalah, Bandung
Masduki Nana, fiqih mu'amalah, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH