BAB I
PENDAHULUAN
Ajaran Islam telah menetapkan nilai-nilai yang membatasi dan sekaligus sebagai tolak ukur dalam pengembangan perekonomian dan perbankan secara tegas dan jelas, sehingga usaha ekonomi umat selalu selaras dengan nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Menurut pandangan Islam Allah SWT. menciptakan bumi beserta isinya hanya untuk umat manusia. tetapi dalam kesempatan ini saya akan membahas tentang fenomena riba dan bunga Bank, sehingga kita akan tau manakah muamalah (transaksi) yang diperbolehkan dan muamalah (transaksi yang diharamkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut etimologi bahwa yang dimaksud dengan riba memiliki beberapa pengertian yaitu :
1. Bertambah (الزيادة ) karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihitungkan.
2. Berkembang, berbunga (النام) karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lain yang dipinjamkan kepada orang lain.
3. Berlebihan atau menggelembungkan, kata-kata ini berasal dari firman Allah dalam surat Al-Haj : 5
اهتزت وربت
"Bumi jadi subur dan gembur" (al-Haj :5)
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut al-Mali adalah
عقد وافع على عوض غير معلوم التماثل فى معيار الشرع حالة العقد او مع تأخير في البدلين او احدهما
"Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangan menurut ukuran syara', ketika bertekad atau dengan mengakhirkan takaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya"
Seluruh fuqaha' sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram berdasarkan keterangan yang sangat jelas dalam Al-Qur’an dan al-Hadits, pernyataan Al-Qur’an tentang riba terdapat pada surat al-Baqarah ayat 275-279
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 275)
Pernyataan hadits Nabi mengenai keharaman riba
عن جابر رضي الله قال : لعن رسو ل الله ص.م اكل الربا ومو كله وكاتبه وشاهدي. وقال : هو سواء (رواه مسلم)
Artinya :
Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba. Orang yang memberi makan riba, penulis dan saksi riba'
Berdasarkan uraian singkat tentang pernyataan Al-Qur’an tentang riba dalam surat dan Hadits Nabi, tampaklah bahwa keduanya berada dalam konteks seruan shadaqah. Salam pernyataan Al-Qur’an. Kecaman, ancaman keras dan pengharaman riba bagi si pemberi maupun saksi riba, jelaslah bahwa tujuan dari semua itu adalah bahwa Allah bermaksud menghapuskan tradisi Jahiliyah yakni praktek riba, dan menggantikannya dengan tradisi baru, yakni tradisi shadaqah.
B. Macam-Macam Riba
Menurut mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah membagi riba dua macam : riba al-Nasi'ah dan riba al-Fadhl. Sedangkan fuqaha' Syafi'iyah membaginya menjadi tiga macam : riba Nasi'ah, riba al-fadl dan riba al-yad. Dalam pandangan jumhur madzhib riba al-yad ini termasuk dalam kategori riba al-Nasi'ah.
Menurut wahbah al-zuhaily riba al-Nasi'ah adalah penambahan harga atas barang kontan lantaran penundaan waktu pembayaran atau penambahan ain (barang kontan) atas dain (harga utang) terhadap barang berbeda jenis yang di tambah atau di takar atau terhadap sejenis yang di takar ditambah.
Sedangkan menurut Abdur Rahman al-Zajairy riba al-Nasi'ah adalah riba atau tambahan (yang dipungut) sebagai imbangan atas penundaan pembayaran (contoh jika seseorang menjual satu kuintal gandum yang diserahkan pada musim hujan, dimana tambahan harga setengah kuintal tersebut dipungut tanpa imbangan mabi (obyek jual beli) melainkan semata-mata sebagai imbangan dari penundaan waktu pembayaran, maka yang demikian ini adalah praktek riba.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dua macam (kasus) riba nasi'ah pertama, penambahan dari harga pokok sebagai kompensasi penundaan waktu pembayaran. Kedua, penundaan salah satu dari barang yang dipertukarkan dalam jual beli barang ribawi yang sehjenis.
Riba al-fadhal adalah penambahan pada salah satu dari benda yang dipertukarkan dalam jual beli benda ribawi yang sejenis bukan karena faktor penundaan pembayaran.
Para fuqaha' sepakat bahwasanya riba al-fadhl hanya berlaku pada harta ribawi. Mereka juga sepakat terhadap tujuh macam harta benda tersebut antara lain emas, perak, burr, syair, jenis jenis gandum, kurma, zabib (anggur kering) garam. Selain tujuh macam harta benda tersebut fuqaha' berselisih pendapat :
Menurut fuqaha dhahiriyah harta ribawi terbatas pada tuju macam harta benda tersebut di atas.
Mazhab Abu Hanifah dan Hanabilah memperluas konsep harta benda ribawi pada setiap harta-benda yang dapat dihitung melalui satuan tambahan atau takaran.
Mazhab Syafi'iyah memperluas harta ribawi pada setiap jenis mata uang (an-naqd) dan makanan (al-ma'thum) meskipun ta' lazim dihitung melalui satu timbangan atau takaran.
Mazhab Malikiyah memperluas harta-benda ribawi pada setiap jenis mata uang dan sifat al-iqtiyat (jenis makanan yang menguatkan badan) dan al-Iddhihar (jenis makanan yang dapat disimpan lama)
Dari perbedaan pendapat di atas para fuqaha dan imam mazhab mengemukakan perbedaan masing-masing. Jadi letak perbedaan antara fuqaha dan imam mazhab iru dari fuqaha ketujuh keterangan di atas tadi sedangkan imam mazhab itu pada setiap harta benda yang dapat dihitung dan harta benda yang ta' lazim dihitung dari perbedaan di atas itu membuahkan makna tersendiri.
C. Haramnya Bunga Bank
Dari kalangan ulama tidak ada perbedaan pendapat mengenai riba itu haram. Karena hal ini merupakan hal yang sudah pasti dari segi syara' yang menjadi permasalahan atau perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahwa apakah bunga Bank kemorsial atau bunga Bank konvensional yang telah menjadi sistem perekonomian sama dengan riba.
Segelintir ulama di negara-negara muslim (timur tengah) dan beberapa orang pakar ekonomi di negara sekuler (Indonesia) berpendapat bahwa riba tidaklah sama dengan bunga Bank, salah satu pakar ekonomi starifuddin prawiraga berpendapat, jika bunga, walaupun dalam bentuk yang masuk akal atau ringan, tidak boleh bagi pedagang Muslim. Hal ini akan memaksa dia untuk mengikuti cara-cara yang dibuat-buat dalam melakukan transaksi atau memberikan nama lainnya kepada bunga. Seperti ongkos administrasi hanya untuk menghindari kata riba.
Dr. Ibrahim bin Abdullah an-Nashir berpendapat dalam bukunya sikap syari'ah Islam terhadap perbankan. Ibrahim mengatakan "perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa di topang dengan kekuatan perekonomian dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa di topang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba.
Doktor Ibrahim mengatakan "Suatu pertanyaan, bagaimana para fuqaha (ahli fiqih) kaum muslimin berpendapat fenomena perekonomian yang memiliki faidah ? kenapa perkara penting dianggap sebagai perkara yang diharamkan dalam pandangan mereka ? kemudian ia mengatakan "Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang oleh Al-Qur’an. Karena bunga Bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba.
Syekh Yusuf AL-Qaradhawi membantah tegas argumen di atas. Dalam rangka untuk melakukan justifikasi (pembenaran) atas kehalalan sistem bunga Bank konvensional. Sementara orang dan bahkan ulama berdalih bahwa riba yang diharamkan Allah dan Rosul-Nya adalah jenis yang dikenal sebagai bunga konsumtif yaitu bunga yang khsusu dibebankan bagi orang yang berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari seperti makan, minum, pakaian beserta orang yang berada dalam tanggungannya. Namun si pemilik uang menolak untuk meminjamkannya, kecuali dengan riba (bunga), agar jumlah uang yang dikembalikan nanti bertambah, uangkapan seperti ini kata Al-Qaradhawi, tidak pernah keluar dari mulut seorang faqih (ahli syari'ah) pun sepanjang tiga belas abad yang silam. Perbuatan ini sangat dikecam Allah dalam firman Allah dalam Surat An-Najm : 23
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى
Artinya:
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka(QS.An-Najm : 23)
Fakta sejarah membantah penafsiran ngawur seperti ini karena jelas riba yang dominan pada era jahiliyah bukanlah riba konsumtif sebab waktu itu tidak ada orang yang berhutang untuk makan. Walaupun ada kasus meminjam untuk memenuhi kebutuhan itu pun amat langka sehingga tidak dapat di jadikan tola' ukur. Yang biasa terjadi saat itu adalah justru riba komersial sebagai praktik bunga Bank komersial saat ini, yang dilakukan kafilah-kafilah (ekspedisi) dagang yang sangat terkenal dengan jadwal ekspedisinya musim panas dan musim dingin, dengan salah satu dari dua transaksi.
1. Sistem bagi hasil (proft sharing/mudharobah) kedua belah pihak akan berbagi keuntungan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
2. Berbentuk pinjaman (kredit) dengan bunga yang telah ditetapkan sebelumnya. Sistem inilah yang disebut riba. Juga termasuk dalam jenis ini adalah praktik riba yang dilakukan oleh Abbas bin Abdul Muttalib, paman kandung Rasulullah SAW, bahwa riba tersebut dilarang secara resmi. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya riba jahiliyah telah dilarang dan riba yang pertama kali kuhapuskan adalah riba yang dipraktekkan oleh pamanku Abbas.
Sekarang jenis riba yang diharamkan Allah dan Rasol itu hanyalah riba konsumtif (maksudnya, bunga yang dikenakan bagi orang yang berhutang untuk kebutuhan pribadi keluarganya, seperti yang dilontarkan orang sekarang ini) soalnya bagaimana mungkin seseorang di laknat karena berhutang untuk makan padahal Allah dan Rasul sendiri membolehkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Dalam kondisi terpaksa akibat lapar yang sangat. Berdasarkan surat al-Baqaraj ayat 172. akan tetapi Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari jabir r.a. bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba (debitur), pemberi riba (kreditur) pencatat (karyawan) dan notarisnya. Status hukum mereka sama. Ibnu Mas'ud berkata : "Rasulullah SAW melaknat penerima dan pemberinya." Hadits ini diriwayatkan juga oleh sahabat-sahabat lain.
Ingatlah bahwa kamu akan menghadap tuhanmu, dan dia pasti akan menghitung amalmu Allah telah melarang kamu mengambil riba karena itu utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu, kamu akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.
D. Masalah riba yang berlipat ganda
Dalam upaya mencari cela untuk membolehkan bunga Bank. Ada juga sementara orang yang beralasan bahwa riba yang diharamkan Al-Qur’an itu sebetulnya adalah riba yang ad'afam mudha'afadh, berlipat ganda. Sedangkan riba yang kecil seperti 7%, 9% tidak termasuk riba yang dilarang. Ungkapan ini sudah terdengar sejak awal abad ke dua puluh, dengan alasan berpegang kepada konotasi ayat Al-Qur’an surat Ali Imran : 130
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Sayyid Quthb ketika menjelaskan ayat di atas fokuskan pada pengertian "berlipat ganda" sesungguhnya orang-orang pada para imam sekarang ini bersembunyi di belakang nash ini, mereka mengatakan, sesungguhnya yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda, sedangkan yang 4%, 8% bukanlah berlipat ganda dan tidaklah dalam ruang lingkup pengharaman.
Yusuf AL-Qaradhawi mengemukakan contoh "Mari kita perangi narkotika yang telah tersebar luas dan berbahaya dari seluruh jenis bahaya, tidak berarti jenis narkotika yang lain tersebut termasuk daftar yang mesti di perangi, atau tetapi, ungkapan itu tidak lain dari ungkapan kenyataan yang sangat mengkhawatirkan, agar semua orang berusaha untuk mengantisipasinya.
Sepintas surah Ali Imran ayat 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda, namun, dengan pemahaman kembali ayat tersebut secara cermat, maka ketika akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dari jenisnya mutlak diharamkan.
E. Keputusan Lembaga Internasnional, Muktamar, Lembaga Riset Islam Tentang Haram Bank
Teks pertama
Muktamar kedua (II) lembaga riset Islam diselenggarakan di kairo pada Muharram 1385 H/Mei 1965 M. dihadiri oleh wakil dan utusan dari 35 negara Islam. sidang ini adalah akhir dari suatu marhalah baru dalam mengemban risalah (tugas) yang dipikul oleh lembaga dan berupaya mencarikan solusi-solusi dari berbagai problem yang muncul dalam kehidupan kaum muslimin atas dasar prinsip-prinsip Islam dan semisalnya serta di bawah naungan Al-Qur’an dan sunnah, atas dasar spirit (ruh) inilah para ulama dari berbagai penjuru negara Islam bertemu dengan saudara-saudara mereka dari anggota lembaga riset Islam dalam mu'tamar kedua ini.
Berikut ini pernyataan yang dikeluarkan dari hasil keputusan dan kesimpulan muktamar yang disepakati ijma' menyangkut masalah praktik-praktik perbankan :
1. Bunga (interest) dari semua jenis pinjaman, hukumnya riba dan diharamkan. tidak ada perbedaan antara "pinjaman konsumtif, karena nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan tugas dan jelas mengharamkan kedua jenis itu.
2. Riba (bunga) yang banyak dan sedikit sama haramnya.
3. meminjam sesuatu dengan bunga (riba) tidak dibenarkan apapun alasannya. Meskipun alasan darurat, setiap orang tergantung imannya dalam menentukan batas darurat.
4. beberapa praktik Bank, seperti giro, cek yang dilakukan tanpa bunga, semuanya merupakan transaksi Bank yang boleh dan imbalan yang diambil dari pekerjaan ini tidak termasuk riba.
5. semua jenis deposito berjangka, membuka tabungan dengan bunga dan semua jenis kredit memakai bunga (interest) merupakan transaksi ribawi yang diharamkan.
Inilah keputusan lembaga riset Islam pada muktamar II mengenai praktik-praktik perbankan yang dihadiri oleh anggota-anggota majma' dari berbagai negara Islam.
Teks kedua
Pernyataan Tuan Musti Keluar dari Darul Ifta'
Akhir-akhir ini masalah praktik-praktik perbankan banyak di bicarakan. Begitu pula tentang status keuntungan yang diperoleh darinya, apakah halal atau haram :
1. Mu'amalah (transaksi) Bank yang halal
Adapun mu'amalah yang sepakat halalnya dan keuntungannya juga halal yaitu semua mu'amalah yang diperbolehkan oleh syari'ah Islam. seperti jual beli, mudharabah,, musyawarah (ventura) sewa menyewa dan mu'amalah lain yang merupakan pertukaran manfaat antaar seseorang dan orang lain dengan cara yang tidak menyalai syari'at Islam.
2. Mu'amalah (transaksi) yang haram
Adapun mu'amalah yang disepakati halalnya dan keuntungannya haram dan tidak boleh menurut syari'ah Islam ialah setiap mu'amalah yang mengandung unsur tipuan, eksploitasi, pemalsuan, zalim dan semua perbuatan tercela yang bertentangan dengan syariat Islam.
Dari uraian di atas antara mu'amalah yang dalam dan mu'amalah yang haram, itu saya dapat menarik kesimpulan bahwa terletak pada jual beli mudharabah dengan cara yang tidak menyalai syari'at Islam dan yang haram terletak pada jual beli yang mengandung unsur tipuan, eksploitasi, dan semua perbuatan tercela, atau transaksi yang bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas sangat banyak fenomena yang terjadi antara riba dan bunga Bank. Para ulama tidak ada perbedaan pendapat mengenai riba itu haram. Tapi mengenai bunga Bank terjadi perbedaan antara bunga Bank konsumtif dan konvensional, mereka berdalih yang diharamkan Allah dan Rasulullah itu bunga konsumtif berdasarkan pada surah Ali Imran ayat 130. namun, dengan memahami secara cermat terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, mutlak riba dalam segala bentuk dari jenisnya itu diharamkan.
Daftar Pustaka
Ir. Syakir Sula Muhammad, AAij, fls, "Asuransi Syari'ah", Gema Insani, Jakarta, 2004.
Drs. A. Mas'adi Ghufron, M.Ag, "Fiqih Mu'amalah Kontekstual", PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Drs. H. Suhendi Hendi, M.Si, "Fiqih Mu'amalah", PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Prof. DR. Syafe'i Rahmad, MA., "Fiqih Mu'amalah", Pustaka Setia, Bandung, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH