Minggu, 13 Juni 2010
Pemikiran Toko
PEMIKIRAN PARA TOKOH PENDIDIKAN ISLAM
(Kajian Literatur Pendidikan Islam)
A. Pendahuluan
Sejak Islam masuk ke Indonesia, Pendidikan Islam telah ikut mengalami pertumbuhan dan perkembangan, karena melalui Pendidikan Islam itulah transmisi dan sosialisasi ajaran Islam dapat dilaksanakan dan dicapai hasilnya seperti yang dapat kita saksikan saat ini.
Telah banyak lembaga Pendidikan Islam bermunculan dengan fungsi utamanya memasyarakatkan ajaran Islam tersebut. Di Sumatera Barat kita jumpai Surau, dan Meunasah di Aceh, Langgar di Jakarta, Tajuk di Jawa Barat, Pesantren di Jawa, dan seterusnya. Munculnya lembaga-lembaga pendidikan tradisional ini tidak selamanya diterima baik oleh masyarakat, mengingat jauh sebelum itu telah berkembang pula agama-agama lain seperti Hindu, Budha, dan juga paham agama setempat dan adat istiadat yang tidak selamanya sejalan dengan ajaran Islam.
Menghadapi yang demikian itu, para pendidik dan juru dakwah menggunakan berbagai strategi dan pendekatan, yaitu di samping dengan pendekatan kultural juga dengan pendekatan politis dan perkawinan. Melalui pendekatan yang demikian itu, Islam yang diajarkan tidak selamanya menampilkan corak yang seragam. Kenyataan inilah yang selanjutnya memperlihatkan ala Indonesia sebagai negara yang kaya dengan budaya, agama, adat istiadat, dan lembaga pendidikan.
Dalam proses sosialisasi ajaran Islam tersebut, para pendidik telah memainkan peranan yang amat signifikan dengan cara mendirikan lembaga pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak, hingga perguruan tinggi atau universitas. Di lembaga-lembaga pendidikan tersebut, mereka telah mengembangkan sistem dan pendekatan dalam proses belajar mengajar, visi dan misi yang harus diperjuangkan, kurikulum, bahan ajar berupa buku-buku, majalah dan sebagaianya, gedung-gedung tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan lengkap dengan sarana prasarananya, tradisi dan etos keilmuan yang dikembangkan, sumber dana dan kualitas lulusan yang dihasilkan.
Tradisinya proses kegiatan pendidikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh sebagai aktor utamanya. Mereka telah berhasil mendirikan surau, meunasah, langgar, pesantren, Madrasah, sekolah tinggi, akademi, institut, dan universitas. Gerakan pendidikan Islam tersebut merata di seluruh kepulauan di Indonesia, yaitu mulai dari Aceh, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, hingga ke pulau Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Maluku Melalui lembaga-lembaga yang didirikan pada berbagai wilayah tersebut, tokoh-tokoh dimaksud telah mampu mencetak kader-kader yang selanjutnya memimpin perjalanan kehidupan bangsa.
Upaya gerakan pendidikan ini berlangsung dari sejak zaman pra kemerdekaan hingga zaman kemerdekaan dan zaman modern seperti sekarang ini. Gerakan pendidikan tersebut selain mendapat pengaruh dari dalam, yaitu corak dan model pendidikan Belanda yang berkembang, di Timur Tengah seperti Saudi Arabia (Makkah), Mesir, Turki, India, dan sebagainya. Pengaruh ini terjadi karena adanya hubungan yang kuat antara ulama ada di kepulauan Nusantara dengan ulama-ulama yang ada di Timur Tengah.
Dalam menatap, merancang dan menyiapkan visi, misi dan tragedy pendidikan Islam di era globalisasi yang penuh tantangan ini, umat Islam ditantang untuk berpikir dan bekerja lebih keras lagi. Umat Islam harus mampu merumuskan konsep pendidikan yang sesuai dengan zamannya. Upaya ini menuntut adanya pemikiran, gagasan, dan saran-saran yang konstruktif. Umat Islam perlu melihat dan belajar serta bersikap terbuka terhadap gagasan dan pemikiran yang datang dari manapun.
Dalam kerangka pemikiran yang demikian itu, kita sepakat untuk mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan sekarang adalah merupakan buah dari perbuatan masa depan adalah merupakan buah dari perbuatan yang dilakukan di masa sekarang. Pernyataan ini pada intinya menekankan saling mempengaruhi, ini menarik digunakan strategi untuk melihat masa lalu dalam rangka menatap masa depan.
Seiring dengan itu sudah tiba waktunya bagi kita untuk mengkaji gagasan, pemikiran dan pendapat dari para tokoh-tokoh pendidik, baik masa lalu maupun masa sekarang untuk dijadikan masukan bagi penyusun konsep pendidikan di masa depan, setelah terlebih dahulu melakukan proses analisis, dialektika internal, dan sebagainya.
Ruang lingkup kajian dalam makalah ini difokuskan kepada upaya memahami pemikiran para tokoh pendidikan Islam di Indonesia dari sejak zaman pra kemerdekaan hingga sekarang, dengan catatan sudah pasti tidak mungkin menjangkau seluruhnya, mengingat keterbatasan.
Pemikiran pendidikan dari para tokoh tersebut akan dilihat secara komprehensif, baik dari segi visi, misi, tujuan dan strategi, yang dikembangkannya.
Metode kajian yang dipergunakan dalam makalah in adalah deskriptif analisis, maka upaya yang dilakukan ialah memberikan uraian dan diskripsi yang seluas-luasnya terhadap bidang yang dibahas.
Untuk mendeskripsikan masalah tersebut, maka dipergunakan pendekatan, dengan pendekatan sejarah, dimaksudkan mencoba mengupayakan bahwa pemikiran, gagasan dan konsep pendidikan tersebut benar-benar dapat dibuktikan adanya melalui data-data yang dapat ditambahkan dalam dokumen sejarah.
Beberapa telah yang pemikirannya tentang pendidikan Islam dibahas dalam makalah ini ialah, Syaikh Abdullah Ahmad, Prof. Dr. Zakiah Darajat dan K.H. Imam Zarkasyi.
B. Pembahasan
1. Syaikh Abdullah Ahmad
a. Riwayat Hidup
Abdullah Ahmad. Lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, sebagai anak dari Haji Ahmad yang dikenal sebagai seorang ulama dan juga sebagai pedagang kecil. Pendidikannya dimulai dengan mempelajari agama Islam pada orang tuanya sendiri, serta beberapa orang guru yang ada di daerahnya. Setelah baligh, ia dimasukkan ke sekolah kelas dua (sekolah yang diperuntukan bagi kaum pribumi) di Padang Panjang. Karena ayahnya seorang ulama yang berpikiran modern, Abdullah Ahmad sangat diharapkan agar menjadi orang terpelajar dan memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang agama. Sumber lain menyebutkan bahwa setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah dan pendidikan agamanya di rumah.
Selanjutnya pada usia tujuh belas tahun (1895), ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, sambil menimba ilmu agama Islam pada Syaikh Ahmad Khatib, seorang ulama asal Minangkabau yang bermukim di Makkah, serta kepada beberapa ulama lainnya di Makkah. . Di antara pemikiran yang mendasari dikirimnya Abdullah Ahmad ke Makkah adalah karena pada saat itu Minangkabau belum ada sekolah yang baik, sementara Makkah terkenal sebagai pusat penyebaran agama Islam, dan telah banyak pula orang-orang Minangkabau yang bermukim di sana.
Selama berada di Makkah kira-kira empat tahun, Abdullah Ahmad juga terus mengikuti perkembangan gerakan Wahabiyah yang sedang gencar-gencarnya waktu itu. Gerakan wahabiyah ini muncul sebagai rekasi terhadap praktik bid’ah, khurafat dan takhayul yang itu merajalela di makkah dan disispkan ke dalam ajaran Islam serta banyak diamalkan umat Islam di Makkah pada saat itu. Masalah lain yang mendapatkan perhatian dari gerakan wahabiyah ini adalah soal taqlid, yaitu sikap mengikuti pendapat orang lain secara membabi buta tanpa mengetahui dasar hukumnya dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Karena kerja keras dan ketekunannya dalam mempelajari pengetahuan agama di Makkah, ia pernah diangkat sebagai asisten dari Syaikh Ahmad Khatib. Selanjutnya pada tahun 1899, Abdullah Ahmad kembali ke Minangkabau dan mulai mengajar di Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Di daerahnya ini ia mulai mengajar dengan menggunakan cara tradisional, yaitu dengan sistem halaqah.
Sumber lain menyebutkan bahwa setelah tiba di tanah air, ia segera mulai mengajar di kota Padang Panjang sambil berusaha memberantas bid’ah dan tarekat. Selain itu, ia juga tertarik dengan ide-ide pembaruan melalui publikasi dengan jalan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan.
Sekitar tahun 1906 Abdullah Ahmad ke Padang untuk menggantikan pamannya yang baru meninggal sebagai guru. Di kota ini mengadakan tabligh-tabligh dan pertemuan-pertemuan untuk membahas masalah-masalah agama serta mendirikan perkumpulan jama’ah Adabiyah beberapa tahun kemudian. Perkumpulan ini bermula dari sekelompok murid-muridnya yang berjumlah delapan orang yang secara terus-menerus melakukan pertemuan. Selain itu, ia juga memberikan pelajaran kepada kira-kira 300 orang penduduk tersebut, dan sebagian dari mereka terdiri dari orang-orang dewasa. Pengajian ini diselenggarakan dua kali seminggu secara bergantian dari rumah yang satu ke rumah yang lain.
Pada tahap selanjutnya Abdullah Ahmad mengubah sistem pengajaran tradisionalnya itu dengan sistem sekolah agama (Madrasah) yang diberi nama Adabiyah School. Penamaan ini mungkin sekali dimaksudkan sebagai simbol kebangkitan ilmu pengetahuan dalam posisinya sebagai pilar utama kebangkitan peradaban Islam, dan mungkin pula diilhami oleh hadits Nabi Muhammad Saw. Yang diriwayatkan oleh Al-Asykari, hadits tersebut selengkapnya berbunyi: Adabany rabbiy fa ahsana ta’dibiy (Tuhanku telah mendidikku, maka perbaikilah pendidikanku).
Karena di tempat kelahirannya banyak mendapatkan tantangan dalam menyebarkan paham pembaharuannya, maka ia memutuskan untuk pindah ke Padang pada tahun 1906 dan di sana ia menjadi guru agama di Masjid Raya Ginting, menggantikan pamannya Syaikh Abdul Halim yang meninggal dunia sebagaimana telah disebutkan di atas.
Riwayat hidup Abdullah bin Ahmad selanjutnya dapat ditambahkan dengan berbagai aktivitas yang ada hubungannya dengan peningkatan kualitas intelektualnya. Sejak muda, ia telah melakukan kontak intelektual dengan kaum terpelajar, seperti siswa-siswa sekolah menengah pemerintah di Padang dan sekolah dokter di Jakarta, seraya banyak memberikan bantuan bagi gerakan Jong Sumatranen Bond. Kontak ini dilakukan secara langsung dan melalui surat menyurat, terutama dengan gurunya, Syaikh Ahmad Khatib serta para sahabatnya di Makkah. Di antara sahabatnya itu adalah Syaikh Jalaluddin, pemimpin majalah al-Iqbal dan majalah al-Imam di Singapura, serta melalui perantaraan media cetak lainnya. Kontaknya dengan berbagai pemikiran modern ini cukup berpengaruh terhadap ciri khas pribadinya dan tercermin pula di dalam gerakan dan fokus perhatiannya pada tahap selanjutnya. Melalui berbagai kegiatan dalam bidang pendidikan, sosial dan keagamaan inilah Abdullah Ahmad selanjutnya tampil sebagai ulama dan pendidik yang disegani pada masaknya.
Di tengah-tengah kesibukannya melakukan dakwah dan pendidikan, Abdullah Ahmad juga aktif dalam bidang menulis. Ia banyak menghasilkan karya tulis dalam bidang keagamaan dan pendidikan. Di antara karya tulisnya yang terkenal adalah al-Munir, yaitu majalah yang mengandung misi pembaruan Islam. Majalah ini diterbitkan dua minggu sekali di kota Padang, yaitu sejak Tahun 1911 sampai dengan tahun 1916. jabatan Abdullah Ahmad dalam majalah tersebut adalah sebagai Ketua Desan Redaksi, yang dibantu oleh H. Abdul Karim Amrullah Danau, Muhammad Dahlan Sultan Lebah Tuah, H.M. Thaib Umar, Batu Sangkar, Sutan Muhammad Salim, dan sebagainya. Karya tulis berikutnya adalah Titian ke Syurga yang merupakan kitab yang berisi pokok-pokok agama. Kitab ini diterbitkan oleh Syarikat Ilmu dan dicetak pada percetakan majalah al-Munir di Padang. Di dalam buku ini dibahas tentang arti agama, pokok agama, dan hukum. Karangan Abdullah Ahmad berikutnya adalah Al-Islam, yaitu berupa majalah bulanan yang terbit di Surabaya pada tiap awal dan pertengahan bulan. Tujuan majalah ini adalah untuk mengangkat derajat bangsa. Di antara penulis majalah ini adalah HOS. Cokroaminoto dan H. Abdullah Ahmad sendiri. Di antara artikel pada majalah tersebut banyak berbicara tentang Islam yang sesungguhnya, syari’at Islam, ilmu tarikh dan sebagainya. Selanjutnya Abdullah Ahmad menulis buku Ilmu Sejati, terbit dalam bahasa Arab melayu, terdiri dari 4 jilid dan dicetak pada percetakan al-Munir, Padang, antara tahun 1916 – 1917. Selain itu, ia juga menulis Sya’ir Perukunan yang berisi sya’ir-sya’ir untuk nyanyian murid-murid sekolah, diterbitkan di Padang pada bulan Agustus 1917. selanjutnya ia juga masih memiliki buku yang berjudul Pembuka Pintu Surga, al-Ittifaq wa iftiraq serta Izharu Zaglil Kazibin yang dikarang oleh Abdullah Ahmad Sendiri.
b. Gagasan dan Pemikirannya dalam Pendidikan Islam
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa selain sebagai seorang juru dakwah, Abdullah Ahmad juga seorang pendidik pada zamannya. Dalam kedudukannya sebagai pendidik ini, ia banyak memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikannya yang masih relevan untuk diterapkan di masa sekarang. Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, tentang pemerataan pendidikan. Sebagaimana diketahui bahwa Abdullah Ahmad hidup pada masa pemerintahan Belanda yang menerangkan prinsip memberikan perlakuan yang berbeda (diskriminatif) terhadap rakyat jajahannya, khususnya dalam bidang pendidikan.
Pengajaran pada zaman Belanda juga tidak dapat memberi kepuasan pada rakyat. Pengajaran pemerintah, seolah-olah dijadikan contoh dan umumnya dianggap sebagai usaha untuk menunjang derajat kita, ternyata tidak dapat memberikan penghidupan pada kita, yang sepadan dengan cita-cita sebagai rakyat yang berusaha akan mendapat keselamatan. Hingga kini nasib kita semata-mata hanya memberi manfaat kepada bangsa lain. Pengajaran yang diterima pemerintah itu pertama kali sangat kurang, kedua kalinya sangat mengecewakan sebagai alat pendidikan rakyat. Sebelum ada HIS, kita hanya mengenal sekolah bumiputra yang rendah sekali pelajarannya, hingga kita tak dapat mencari penghidupan yang sederhana sekalipun. Sungguhpun ada sebagian kecil dari bangsa kitam yaitu kaum priyayi yang boleh menuntut pelajaran di sekolah Belanda hingga kemudian dapat meneruskan pelajarannya di sekolah yang lebih tinggi, tetapi untuk rakyat umum tertutup pintu yang dapat menuntut ke arah penghidupan yang pantas. Kemudian kita mendapat sekolah Bumiputra kelas satu yang kelak menjadi HIS. Banyak orang merasa senang karena ada penghargaan bagi anak-anaknya mencapai kepandaian yang bisa dijadikan alat untuk mencapai derajat penghidupan yang sama dengan penghidupan bangsa lain, yang hidup di tanah kita. Akan tetapi, pengharapan itu boleh dikatakan sia-sia belaka. Anak keluaran HIS itu umumnya masih kurang kepandaiannya untuk meneruskan pelajaran pada sekolah yang lebih tinggi. Kebanyakan anak-anak itu tak dapat diterima di MULO, karena kurang kepandaiannya, teristimewa dalam hal bahasa Belanda. Untuk mencari pekerjaan, maka anak-anak keluaran HIS, itu masih sangat “mentah”, kebanyakan merasa itu hanya cakap buat menjabat juru tulis atau juru pembantu dengan gaji yang sama dengan gaji jongos atau koki.
Sikap diskriminatif dalam bidang pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia juga dikemukakan oleh Soegarda Poerbakawatja. Menurutnya bahwa diterimanya anak-anak Indonesia di sekolah Belanda menunjukkan politik yang ragu-ragu, sesudah itu sekolah-sekolah kelas satu diajarkan bahasa Belanda, maka rintangan untuk masuk sekolah Belanda ditimbulkan lagi. Karena sekolah kelas satu terbukti tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan pelajaran, maka oleh perkumpulan Budi Utomo yang didirikan tahun 1908 didesak agar pemerintah mendirikan sekolah corak baru seperti yang telah diadakan untuk anak-anak Cina, yaitu HCS (Hollandsch Chineesche School). Di samping itu, agar kesempatan masuk di sekolah Belanda diperluas.
Kebutuhan terhadap pendidikan yang sistematis, teratur dan bermutu tinggi sebagaimana yang diberikan oleh pemerintah Belanda terhadap orang-orang Belanda, Eropa dan Cina sebagaimana disebut di atas, adalah sama dengan kebutuhan rakyat Indonesia. Dalam kaitan ini Abdullah Ahmad bahwa tidak semua anak-anak dari pedagang di Padang dapat masuk sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Hal ini menyebabkan Abdullah Ahmad membuka sekolah Adabiyah dengan bantuan pedagang-pedagang itu. Ini terjadi pada tahun 1909 setelah Haji Ahmad mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura. Sekolah Adabiyah didirikan pada tahun 1909itu lembaga pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis. Menurut Mahmud Yunus Sekolah Adabiyah inilah Madrasah (Sekolah Agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan di seluruh Indonesia, karena menurut penyelidikannya, tidak ada Madrasah yang lebih dahulu didirikan dari Madrasah Adabiyah itu. Madrasah Adabiyah ini berdiri sebagai Madrasah (sekolah agama) sampai tahun 1914. namun, kemudian diubah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pertama, dengan jelas bahwa Abdullah Ahmad adalah orang pertama yang memelopori berdirinya Madrasah Indonesia. Yaitu model sekolah agama yang menggunakan sistem klasikal lengkap dengan sarana dan prasarananya. Dialah orang yang pertama mengadakan pembaruan pendidikan dalam bidang sistem kelembagaan atau institusi pendidikan.
Kedua, tentang kurikulum. Sebagaimana dicatat dalam sejarah bahwa sekolah Adabiyah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915. menurut Mahmud Yunus, itulah HIS yang pertama di Minangkabau yang memasukkan pelajaran agama dalam rencana pengajarannya. Kecuali diajarkan pelajaran agama dan al-Qur’an sebagai mata pelajaran wajib, di HIS tersebut diajarkan pula pengetahuan umum. Inilah yang membedakan dengan HIS yang diselenggarakan Belanda, dengan HIS yang diselenggarakan oleh Abdullah Ahmad di Sumatra Barat.
Rencana pelajaran tersebut dijadikan sebagai kerangka kerja sistematis dalam suatu kegiatan pengajaran modern. Penerapan konsep tersebut tidak terlepas dari keterlibatan aktif Abdullah Ahmad sebagai tokoh yang berpengaruh pada sekolah.
Gagasan ini memperlihatkan dengan jelas adanya ide integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum pada lembaga-lembaga pendidikan. Gagasan ini dapat menyadarkan umat Islam yang pertama ini hanya mementingkan pelajaran agama dan menyadarkan mereka yang selama ini hanya mengutamakan pendidikan secular (pengetahuan umum), dengan cara mengutamakan kedua-duanya. Caranya adalah orang-orang yang berpengetahuan agama, dan demikian sebaliknya. Gagasan integrasi ilmu agama dan ilmu umum walaupun masih pada dataran kurikulum sudah dapat dinilai suatu kemajuan.
Ketiga, tentang dana pendidikan. Dengan adanya perubahan tersebut diatas, Adabiyah School mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial, yaitu berupa dana dan tenaga guru sebanyak tiga orang Belanda; seorang sebagai kepala sekolah, sedangkan yang dua orang lagi sebagai guru biasa. Hal tersebut di atas memperlihatkan kecerdasan Abdullah Ahmad yang telah berhasil melakukan dua hal. Pertama, ia telah berhasil menghilangkan kecurigaan pemerintah Belanda terhadap umat Islam; sedangkan yang kedua, ia telah berhasil mengupayakan adanya dana alternatif bagi pendidikan Islam, dan dana itu justru datang dari pemerintah Belanda sendiri. Selanjutnya, karena kecakapan pemimpinnya, pemerintah Belanda tetap mempercayai perguruan ini dan mengizinkan orang Belanda menjadi kepala sekolah pada HIS Adabiyah, seperti Ny. Regould, seorang yang dianggap menghayati cita-cita Adabiyah School serta beberapa guru lainnya yang berasal dari kebangsaan Belanda.
Keempat tentang kemodernan. Kemodernan ini antara lain ditandai oleh sikap keterbukaan yang objektif dan krisis. Madrasah Adabiyah membolehkan para siswa yang berasal dari berbagai golongan untuk belajar di lembaga tersebut dengan syarat beragama Islam. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan sekolah Belanda yang sangat diskriminatif sebagaimana telah diuraikan di atas.
Keberadaan Madrasah Adabiyah sebagaimana telah disebutkan di atas telah banyak menarik perhatian para peneliti, baik dari kalangan Islam maupun non-Islam. Lothrop Stoddard misalnya, mengatakan bahwa lembaga pendidikan HIS Adabiyah ini merupakan starting point (babak baru) dalam pembaharuan pendidikan yang mempengaruhi berdirinya lembaga pendidikan Islam modern yang tidak hanya terbatas pada tingkat sekolah dasar, tetapi juga tingkat sekolah menengah pertama dan menengah atas sampai tingkat tinggi.
Ciri kemodernan lainnya dari lembaga pendidikan Adabiyah School adalah karena dipilihnya guru-guru yang berbobot, setara dengan bobot para guru yang mengajar di sekolah Belanda. Dua ketentuan yang ditetapkan pihak lembaga pendidikan ini adalah, agar para guru yang diterima mengajar di sini memiliki kemampuan dalam memberikan ilmu pengetahuan yang kurikulumnya sama dengan kurikulum sekolah HIS Adabiyah sama dengan lulusan HIS yang dilaksanakan pemerintah Belanda. Selain itu, para guru Adabiyah School juga harus seorang idealis, penuh cita-cita untuk kemajuan bangsa yang terjajah.
Kelima, tentang metode pengajaran. Metode debating club adalah termasuk metode yang diterapkan oleh Abdullah Ahmad. Metode yang sekarang dikenal dengan nama metode diskusi merupakan metode yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada murid untuk bertanya dan berdialog secara terbuka tentang berbagai hak yang menyangkut masalah agama yang pada saat itu dianggap sangat tabu dan kurang dianggap beradab apabila dipertanyakan. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengubah cara lama yang menempatkan para siswa secara pasif dan kurang diberikan kebebasan, sementara waktu lebih banyak dipergunakan oleh guru.
Abdullah Ahmad berpendapat bahwa manusia dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya mengalami taraf pemikiran yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Berpikir secara logis tidak dapat dicapai oleh manusia secara alamiah, melainkan harus ditumbuhkan dan dilatih melalui serangkaian latihan yang dilakukan sejak dari kecil secara kontinu. Sejalan dengan itu, maka para pendidik hendaknya memperhatikan taraf pemikiran anak, sehingga bahan pelajaran yang diberikan dapat dicerna dan diterima anak didik dengan baik. Hal inilah yang diterapkan oleh Abdullah Ahmad.
Seterusnya Abdullah Ahmad berpendapat bahwa banyaknya anak didik yang merasa takut mempelajari agama dikarenakan yang mereka dapati dari belajar agama pada waktu itu hanyalah tentang surga dan neraca beserta siksanya yang akan dikenakan kepada mereka yang melanggar syariat agama. Menurut Abdullah Ahmad, hal ini perlu dibarengi dengan pendidikan yang menumbuhkembangkan benih dan bakat kebajikan yang dimiliki oleh anak didik. Hal ini dapat dilakukan melalui perilaku dan suri teladan yang baik dan harus mereka tunjukkan pada setiap kesempatan, sehingga anak didik termotivasi untuk mempelajari agama yang berpijak dari kesadarannya sendiri. Metode suri teladan ini, menurut Abdullah Ahmad, sangat efektif diterapkan dalam menanamkan akhlak yang mulia pada diri anak.
Selanjutnya, Abdullah Ahmad juga mengajukan metode pendidikan melalui pemberian hadiah dan hukum sebagaimana yang berkembang saat ini. Menurutnya, bahwa pujian perlu diberikan oleh guru apabila anak didiknya memiliki akhlak yang mulia, dan jika perlu anak tersebut diberikan hadiah untuk menyenangkan hatinya. Selain itu, hukuman juga perlu diberikan bila anak didik bersikap sebaliknya. Namun demikian, hukuman tersebut jangan diberikan secara kasar, karena hukum semacam itu dapat menghilangkan keberanian yang ada pada diri anak didik.
Metode lainnya yang perlu diterapkan menurut Abdullah Ahmad adalah metode bermain dan rekreasi. Menurutnya, anak-anak perlu diberi waktu untuk bermain dan bersenang-senang serta beristirahat dalam proses belajar mengajar yang sedang berlangsung karena jika tidak ada waktu beristirahat, dapat merusak perilaku anak yang semula baik, karena bosan dengan kegiatan yang banyak mengurus daya pikirnya. Akibat lainnya, hati anak tersebut mati, pemahamannya terhadap pelajaran yang diberikan akan tumpul serta cahaya akalnya akan padam, sehingga anak didik dapat meninggalkan pelajaran agamanya sama sekali.
Pemikiran Abdullah Ahmad dalam bidang metode pengajaran tersebut telah membangkitkan perhatian dari berbagai kalangan. Ada yang menanggapi secara positif dan ada pula yang sebaliknya. Namun yang pasti, adanya persaingan di antara para ilmuwan muslim saat itu akan membuka era baru bagi kemajuan berkompetensi untuk sama-sama memajukan dan meningkatkan kualitas umat Islam.
2. Prof. Dr. Zakiah Darajat
a. Riwayat Hidup
Zakiah Darajat dilahirkan di Kampung Kota Merapak, Kecamatan Ampel Angkek, Kota Madya Bukittinggi pada tanggal 6 November 1929. Ayahnya bernama H. Daradjat Husein memiliki dua istri. Dari istrinya yang pertama, Rafi’ah, ia memiliki enam anak, dan Zakiah adalah anak pertama dari keenam bersaudara. Sedangkan istrinya yang kedua, Hj. Rasunah, ia dikarunia lima orang anak. Dengan demikian dari dua istri tersebut, H. Daradjat memiliki 11 orang putra. Sungguhpun memiliki dua istri, ia kelihatannya cukup berhasil mengelola keluarganya. Hal ini terlihat dari kerukunan yang tampak dari putra-putrinya itu, Zakiah memperoleh perhatian yang besar dari ibu tirinya, sebesar kasih sayang ia terima dari ibu kandungnya.
H. Darajat ayah kandung Zakiah tercatat sebagai aktivis organisasi Muhammadiyah. Sedangkan ibunya aktif di Sarikat Islam. Kedua organisasi yang berdiri pada akhir penjajahan Belanda ini tercatat sebagai organisasi yang cukup disegani masyarakat karena kiprah dan komitmennya pada perjuangan kemerdekaan Indonesia serta berhasil menangani mengelola pendidikan modern serta mengatasi problema sosial agama dan sebagainya.
Sebagai aktivis yang kental sikap keagamaannya, memberikan dorongan kuat untuk memasukkan Zakiah ke sekolah Standars School Muhammadiyah di Bukittinggi. Di lembaga pendidikan inilah buat pertama kali Zakiah mendapatkan pendidikan agama serta ilmu pengetahuan dan pengalaman intelektual. Semenjak belajar di lembaga pendidikan ini, Zakiah telah memperlihatkan minatnya yang cukup besar dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat pada usianya yang baru 12 tahun, Zakiah telah berhasil menyelesaikan pendidikan dasarnya cukup baik, tepatnya pada tahun 1941.
Kecenderungan, bakat dan minat Zakiah untuk menjadi ahli agama Islam terlihat pula dalam mengikuti Kulliyatul Muballighat di Padang Panjang selama hampir enam tahun. Di lembaga pendidikan ini, Zakiah memperoleh pendidikan agama secara lebih mendalam. Namun demikian, perhatiannya terhadap bidang studi umum juga tetap besar. Hal ini terlihat pada aktivitas Zakiah dalam memasuki Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di kota yang sama. Di dua lembaga pendidikan ini, Zakiah berhasil menyelesaikannya dengan tepat waktu.
Setelah selesai menamatkan pendidikan dasar dan sekolah menengah pertama, Zakiah melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Pemuda Bukittinggi. Di lembaga Pendidikan Menengah Atas ini Zakiah memilih program B, yaitu program yang mendalami ilmu alam dan selesai sesuai waktu.
Masuk Zakiah pada Sekolah Menengah Atas (SMU) dengan program B tersebut ternyata bukan merupakan petunjuk bahwa ia akan menjadi ahli umum, melainkan ilmu umum itu hanya sebagai pengetahuan yang suatu saat dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami agama lebih mendalam lagi. Hal ini terlihat ketika Zakiah memasuki perguruan tinggi ternyata yang ia pilih adalah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta. Bakat dan minat serta dasar pengetahuan agama dan umum yang cukup ternyata menjadi dasar bagi Zakiah untuk menyelesaikan studinya dengan baik dan berprestasi di perguruan tinggi tersebut. Prestasi yang demikian itu selanjutnya telah membuka peluang bagi Zakiah untuk mendapat tawaran melanjutkan studi di Kairo. Tawaran tersebut tidak disia-siakan oleh Zakiah. Ia berangkat ke Kairo untuk mendalami bidang yang diminati, yaitu psikologi. Sesampainya di Kairo, Zakiah mendaftarkan diri di Universitas Ain Syam Fakultas Tarbiyah dengan konsentrasi Special Diploma for education, dan Zakiah diterima tanpa tes.
Dengan bekal pengetahuan dasar yang kuat serta didukung oleh ketekunan, semangat dan bakatnya yang besar, menyebabkan ia berhasil menyelesaikan studinya sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Setelah itu Zakiah Daradjat mengikuti program Magister pada Jurusan Spesialisasi Kesehatan Mental pada Fakultas Tarbiyah di Universitas yang sama. Program ini ia selesaikan dalam waktu singkat, yaitu selama dua tahun, dengan tesis yang berjudul Problematika Remaja di Indonesia (Musykilat al-Murahaqah fi Indonesia).
Untuk menuntaskan studi tingkat tinggi Zakiah program doktor (Ph.D) pada universitas yang sama dengan mendalami lagi bidang psikologi, khususnya psikoterapi. Disertasi yang berhasil disusun dan dipertahankannya pada Program Doktoralnya ini adalah “Perawatan Jiwa untuk Anak-anak” (Dirasah Tajribiyah li Taghayyut al-Lati Tathrau ala Syakhshiyat al-Athfal al-Musykil Infi’al fi Khilal Fithrah al-Illaj al-Nafs Ghair al-Muwajjah an thariq al-La’ab) bimbingan Musthafa Fahmi dan Attia Mahmoud Hanna. Dengan demikian Zakiah telah menjadi seorang doktor Muslimah pertama dalam bidang psikologi dengan spesialisasi psikoterapi.
Selanjutnya pada tahun 1984, bersamaan dengan ditetapkannya sebagai Direktur Pascasarjana di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Zakiah dikukuhkan sebagai guru besar (Profesor) dalam bidang ilmu Jiwa Agama di IAIN. Karena itu secara akademis lengkap sudah ia sebagai ilmuwan yang memiliki keahlian yang handal dalam bidangnya. Namun demikian, Zakiah tetap seorang yang rendah hati, sabar, lemah lembuh, dan tidak tinggi hati.
Melihat kemampuan yang dimiliki Zakiah yang demikian itu, maka pada tahun 1967, Zakiah dipercaya oleh Saifuddin Zuhri selaku Menteri Agama Republik Indonesia untuk menduduki jabatan sebagai kepala Dinas Penelitian dan kurikulum perguruan tinggi di Biro Perguruan Tinggi dan Pesantren luhur Departemen Agama. Tuags ini berlangsung hingga jabatan Menteri Agama dipegang oleh A. Mukti Ali, pada masa kepemimpinan Mukti Ali inilah Zakiah Daradjat dipromosikan untuk menduduki jabatan sebagai direktur perguruan tinggi agama Islam (Dinpertais) Departemen Agama. Dengan demikian, ia telah menjadi seorang ilmuwan dan sekaligus sebagai birokrat pendidikan.
Jabatan sebagai Dinpentais ini telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Zakiah Daradjat melalui pengembangan dan pembaruan dalam bidang pendidikan, hal yang demikian sejalan pula dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang berusaha melakukan pembaruan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan.
Salah satu gagasan pembaruan yang monumental hingga kinimasih terasa pengaruhnya adalah keluarnya surat keputusan bersama tiga Menteri, yaitu Menteri Agama Republik Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Pada waktu itu), serta Menteri Dalam Negeri. Lahirnya SKB Tiga Menteri ini tidak bisa dilepaskan dari peran yang dilakukan oleh Zakiah Daradjat.
Dengan SKB Tiga Menteri ini terjadilah perubahan dalam bidang pendidikan Madrasah. Di antara perubahan tersebut adalah bahwa ke dalam Madrasah diberikan pengetahuan umum sebanyak 70% dan pengetahuan agama sebanyak 30%. Dengan demikian kurikulum Madrasah mengalami perubahan yang amat signifikan, dan dengan demikian lulusannya dapat diterima di Perguruan Tinggi Umum sebagaimana telah disebutkan di atas. Lulusan Madrasah Aliyah produk SKB3 Menteri ini terjadi pada tahun 1978, dan di antaranya ada yang diterima kuliah di Institut Pertanian Bogor (ITB).
Upaya lainnya yang dilakukan oleh Zakiah Daradjat adalah peningkatan mutu pengelolaan (Administrasi) dan akademik Madrasah-madrasah yang ada di Indonesia. Untuk di zaman ini telah muncul apa yang disebut sebagai Madrasah model.
Selanjutnya Zakiah Daradjat juga berupaya menyelesaikan kasus ujian guru agama (UGA) yang cukup menggerakkan pada saat ini. Pembaharuan dan Penertiban Perguruan Tinggi Agama Islam seperti halnya Institut Agama Islam Negeri juga menjadi perhatian Zakiah Daradjat. Pada zamannya berhasil disusun rencana induk Pengembangan (RIP) IAIN untuk jangka waktu selama 25 tahun yang berfungsi sebagai landasan bagi pengembangan IAIN dalam jangka panjang.
Pengalaman Zakiah Daradjat sebagai Direktur Perguruan Tinggi Agama serta berbagai konsep serta teorinya dalam bidang pendidikan telah mendorongnya untuk mengaplikasikannya melalui lembaga pendidikan yang didirikan dan dikelolanya. Lembaga Pendidikan yang ia selenggarakan mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Lembaga pendidikan yang berada di Desa Pisangan Kecamatan Ciputat Tangerang Banten itu, bernaung di bawah Yayasan yang bernama Ruhana.
Perjalanan riwayah hidup dan karier Zakiah Daradjat selanjutnya membuka praktik konsultasi kesehatan jiwa yang ditujukan untuk membantu masyarakat yang menghadapi masalah-masalah kejiwaan yang berpengaruh terhadap menurunnya semangat dan gairah kerja bahkan juga pada putus asa dan tindakan-tindakan lainnya yang membahayakan masa depannya. Praktik konsultasi kesehatan jiwa ini ia laksanakan di rumah kediaman Cipete, Jakarta Selatan. Upaya ini adalah dilakukan sejalan dengan usianya yang semakin lanjut yang mengharuskan ia banyak istirahat di rumah.
Bidang konsultasi kesehatan mental ini tampaknya merupakan akumulasi dari seluruh pengetahuan dan pengalaman batin Zakiah Daradjat. Dengan pendekatan agama, telah banyak kejiwaan yang ikut mempengaruhi kondisi fisik seseorang dapat ditelusuri melalui kajian psikologi dan penyembuhannya dilakukan dengan ajaran agama. Ilmu jiwa agama atau psikolog agama menurut Zakiah sangat berfungsi untuk melakukan penelitian terhadap perilaku keagamaan pada seseorang dan selanjutnya dapat digunakan untuk mempelajari seberapa besar pengetahuan keyakinan keagamaan tersebut terhadap tingkah laku dan keadaan hidupnya. Melalui informasi dan data yang dikumpulkan tentang sikap hidup dan tingkah laku sehari-hari serta kehidupan beragama, seseorang pada masa lalu, ditambah dengan informasi terakhir yang menyebabkan seseorang menderita batin, Zakiah mengolahnya untuk kemudian menetapkan metode dan langkah penyembuhannya.
Namun di tengah-tengah kesibukannya itu, Zakiah juga tercatat sebagai ilmuwan yang produktif. Hal ini dapat diperlihatkan dengan adanya sejumlah karya ilmiah yang disusunnya. Karya ilmuan tersebut antara lain:
(1) Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah
(2) Ilmu Pendidikan Islam
(3) Metodologi Pengajaran Agama Islam
(4) Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam
(5) Kesehatan Mental, Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran
(6) Interelasi Ilmu Pendidikan Islam dengan Disiplin Ilmu-Ilmu Lainnya.
Selain itu buku tersebut juga berbicara tentang hubungan antara ilmu pendidikan keislaman dengan ilmu-ilmu lainnya. Menurutnya, hubungan tersebut merupakan suatu keniscayaan, karena relasi antara ilmu pendidikan Islam dengan ilmu jiwa dengan berbagai bagiannya relasi yang sangat erat. Ilmu pendidikan Islam berusaha membina pengembangan manusia, dan agar dapat mengembangkan manusia tersebut diperlukan ilmu jiwa.
Berdasarkan informasi yang terdapat dalam berbagai karya tulisnya itu kita dapat mengetahui, bahwa Zakiah Daradjat pada dasarnya sebagai seorang yang memiliki keahlian dalam ilmu jiwa agama. Keahlian dalam bidang ilmu tersebut telah ia gunakan untuk merumuskan berbagai konsep pendidikan Islam.
Untuk mengetahui lebih lanjut gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan tersebut dapat ditelusuri lebih lanjut dalam uraian berikut ini.
b. Gagasan dan Pemikirannya dalam Pendidikan Islam
Gagasan dan pemikiran Zakiah Daradjat dalam bidang pendidikan Islam meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, tentang Hakikat Pendidikan Islam. Menurut Zakiah Daradjat, hakikat pendidikan mencakup kehidupan manusia seutuhnya. Pendidikan Islam yang sesungguhnya tidak hanya memperhatikan satu segi saja, seperti akidah, ibadah atau akhlaknya saja, melainkan mencakup seluruhnya, bahkan lebih luas dari pada semua itu. Dengan kata lain pendidikan Islam memiliki perhatian yang lebih luas dari ketiga hak tersebut saja. Hal ini menjadi titik tekan Zakiah, karena baik pendidikan nasional maupun pendidikan Islam pada umumnya hanya memfokuskan pada salah satu aspek saja. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pendidikan Islam mencakup semua dimensi manusia sebagaimana ditentukan oleh ajaran Islam. Pendidikan Islam juga menjangkau kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat secara seimbang. Selain itu, pendidikan Islam juga memberikan perhatian pada semua aktivitas manusia, serta mengembangkan hubungan antara dirinya dengan orang lain. Pendidikan Islam juga berlangsung sepanjang hayat, mulai dari manusia sebagai janin dalam kandungan ibunya sampai berakhirnya hidup di dunia ini. Sehubungan dengan itu, kurikulum pendidikan Islam harus ditujukan untuk menghasilkan manusia yang memperoleh haknya di dunia dan di akhirat nanti.
Pemikiran Zakiah tersebut di atas memperlihatkan pandangannya tentang pendidikan yang bersifat integralistik dan komprehensif, yaitu mencakup seluruh dimensi, eksistensi, substansi dan relasi manusia. Menurutnya, konsep pendidikan yang demikian itu akan terwujud bila proses dan pelaksanaan pendidikan berjalan secara terus menerus dengan dasar bahwa pendidikan bukan hanya sekedar proses belajar dan mengajar di sekolah, melainkan berlangsung di berbagai lingkungan secara simultan.
Pandangan Zakiah Daradjat tentang perlunya kesehatan fisik itu sejalan dengan pandangan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-Qur’an adalah ajaran yang mengutamakan keseimbangan antara dunia akhirat, lahir batin, material spiritual, jasmani dan rohani. Al-Qur’an tidak mengenal adanya dikotomi antara keduanya. Kesehatan jasmani menjadi syarat dan diperlukan untuk mendukung kesehatan jasmani. Untuk itu di dalam al-Qur’an setiap ajaran yang mengarahkan pada kesehatan rohani, sekaligus mengandung misi kesehatan jasmani. Pelaksanaan ibadah shalat misalnya, adalah pekerjaan yang bersifat rohani, tapi akan memberi pengaruh terhadap kesehatan jasmani. Orang yang akan mengerjakan shalat disyaratkan harus bersih baik badan, pakaian, maupun tempat. Ini keharusan memiliki kebersihan ini adalah agar tertanam jiwa menyukai kebersihan, dan kebersihan adalah pangkal kesehatan. Demikian pula seseorang yang mengerjakan puasa, ibadah puasa ini selain bertujuan menyehatkan rohani, yaitu agar menjadi orang yang ikhlas, sabar, tawakal, takwa dan dekat dengan Tuhan, juga bertujuan agar tercipta kesehatan fisik. Demikian pentingnya menjaga keseimbangan antara kesehatan jasmani dan rohani, maka Rasulullah Saw. Melarang seseorang beribadah secara berlebih-lebihan yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dan menimbulkan penyakit.
Berdasarkan uraian dan analisis tersebut di atas, dapat diketahui bahwa hakikat pendidikan menurut Zakiah Daradjat adalah pendidikan yang seimbang, yaitu pendidikan yang bertujuan menumbuhkan keadaan manusia yang seimbang antara jasmani dan rohaninya secara seimbang dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ketuhanannya yaitu kebutuhan fisik, akal, akhlak, iman, kejiwaan, estetika dan sosial kemasyarakatan. Pemenuhan kebutuhan hidup secara seimbang ini sejalan dengan tuntutan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kedua, tentang Landasan Pendidikan. Sejalan dengan hakikat pendidikan Islam sebagaimana tersebut di atas, Zakiah berpendapat bahwa landasan pendidikan Islam adalah al-Qur’an; al-Sunnah dan ijtihad.
Menurut Zakiah Daradjat, ajaran-ajaran yang berkaitan dengan keamanan di dalam al-Qur’an tidak sebanyak dengan ajaran yang menekankan amal perbuatan. Hal ini menunjukkan bahwa amal dalam Islam amat dipentingkan untuk dilaksanakan. Amal perbuatan yang berkaitan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, masyarakat dan alam lingkungan adalah termasuk lingkup aktivitas manusia. Istilah-istilah yang membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan biasanya disebut ibadah. Sedangkan ajaran yang menggambarkan hubungan manusia dengan selain Allah disebut Muamalah; dan tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti dalam pergaulan biasanya disebut akhlak.
Dengan melihat kandungan al-Qur’an yang demikian itu, al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam dijadikan landasan dan sumber utama pendidikan Islam. Sebagai landasan dan sumber pendidikan Islam, di dalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bertemakan pendidikan, misalnya ayat yang berbunyi:
Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman: 13).
Selanjutnya al-Sunnah sebagai landasan pendidikan yang kedua berisikan akidah dan syari’ah. Sunnah berisi petunjuk dan pedoman demi kemaslahatan hidupnya dalam segala aspek dengan tujuan untuk membina umat manusia seutuhnya atau seorang muslim yang beriman dan bertakwa.
Landasan pendidikan berikutnya adalah ijtihad. Secara harfiah ijtihad usaha yang sungguh-sungguh dan sekuat tenaga. Sedangkan dalam ilmu fiqih, ijithad diartikan sebagai upaya mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan kemampuan untuk menghasilkan keputusan-keputusan hukum berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam bidang pendidikan, ijtihad ditujukan untuk mengikuti dan mengarahkan perkembangan zaman yang terus menerus berubah. Dengan demikian, praktik ijtihad harus berhubungan dengan hal-hal yang secara langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu. Berbagai teori tentang pendidikan mau tidak mau harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan umat Islam. Dengan adanya ijtihad, maka dinamika pendidikan Islam akan terus berkibar dan sejalan dengan tantangan zaman.
Ketiga, tentang tujuan pendidikan Islam. Menurut Zakiah Daradjat, tujuan dasar Pendidikan Islam adalah membina manusia agar menjadi hamba Allah yang saleh dengan seluruh aspek kehidupannya, perbuatan, pikiran, dan seterusnya.
Tujuan dasar ini lebih lanjut diperinci oleh Zakiah Daradjat sebagai berikut:
a. Mengetahui dan melaksanakan ibadah dengan baik. Ibadah ini harus sesuai dengan yang dinyatakan dalam hadis Rasulullah Saw. Yang antara lain menyebutkan bahwa Islam itu dibangun atas dasar lima pilar, yaitu mengakui dengan setulus hati dan seyakin-yakinnya tanpa keraguan bahwa Tuhan yang wajib dipuja hanya Allah dan Muhammad Saw sebagai Rasul-Nya; mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa selama bulan ramadhan serta menunaikan ibadah haji.
b. Memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, sikap dan perbuatan yang diperlukan untuk mendapatkan rezeki bagi diri dan keluarganya.
c. Mengetahui dan mempunyai keterampilan untuk melaksanakan peranan kemasyarakatannya dengan baik, berakhlak mulia dengan titik tetap pada dua sasaran. Pertama, akhlak mulia yang diperlukan untuk berhubungan dengan orang lain, diri sendiri dan umat. Kedua, akhlak yang terkait dengan kasih sayang kepada orang yang lemah dan kasih sayang kepada hewan, seperti menyingkirkan duri dari jalanan, memberi minum hewan yang keharusan, menyembelih hewan dengan cara yang menyenangkan, yaitu memotong hewan dengan pisau yang tajam.
Dalam rumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan Zakiah Daradjat tersebut di atas terlihat dengan jelas adanya pengaruh ilmu jiwa dan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang menjadi fokus dan keahliannya. Dengan kata lain, rumusan pendidikan Islam Zakiah Daradjat tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangannya sebagai seorang ahli ilmu jiwa agama dan seorang muslimah yang berpegang teguh pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal tersebut terlihat dengan jelas ketika ia m membagi akhlak ke dalam dua bagian, yaitu akhlak yang berhubungan dengan manusia dan akhlak yang berhubungan dengan binatang. Penghayatan Zakiah Daradjat sebagai seorang psikolog yang perlu menjalin hubungan yang baik dengan seluruh ciptaan Tuhan. Selanjutnya ketika ia menjelaskan berbagai macam akhlak yang mulia seperti berbuat baik kepada ibu bapak, membelanjakan harta di jalan Allah, berbuat baik kepada karib kerabat, menjauhi sikap sombong, hingga membuang duri dari jalanan, tampak bahwa seluruh akhlak tersebut merupakan ajaran yang diturunkan dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa Zakiah Daradjat adalah seorang ahli ilmu jiwa agama yang berpegang teguh kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Konsep pendidikan yang dikembangkannya bertolak dari keahlian dan sikap keagamaannya yang demikian itu.
Keempat, tentang Lingkungan dan Tanggung Jawab Pendidikan. Menurut Zakiah Daradjat terdapat tiga lingkungan yang bertanggung jawab dalam mendidik anak. Ketiga lingkungan yang bertanggung jawab tersebut adalah keluarga (kedua orang tua), sekolah (para guru), dan masyarakat (tokoh masyarakat dan pemerintah). Peran dan tanggung jawab dalam bidang pendidikan dari ketiga lingkungan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
Menurut Zakiah Daradjat, keluarga (kedua orang tua, ayah dan ibu) memiliki tanggung jawab utama dan pertama dalam bidang pendidikan. Berbagai aspek yang terkait dan pertama dalam bidang pendidikan. Berbagai aspek yang terkait dengan keluarga selalu mempertimbangkan dengan perannya sebagai pendidik tersebut. Zakiah berpendapat bahwa pembentukan identitas anak menurut Islam dimulai sejak anak dalam kandungan, bahkan sebelum membina rumah tangga harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan dan syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat membantu pribadi anak.
Selanjutnya dengan panjang lebar Zakiah Daradjat berbicara tentang kewajiban suami dan istri menurut ketentuan agama Islam. Suami berkewajiban memberikan nafkah keluarga, perlindungan, kasih sayang dan bertanggung jawab atas keamanan keluarga. Sebaliknya istri bertanggung jawab menjaga dan mengatur rumah tangga dan harta benda milik bersama, menjaga dirinya, merawat dan membimbing putra-putrinya di rumah serta memberikan kasih sayang dan menyusuinya. Pelaksanaan tanggung jawab dan kewajiban suami istri ini, menurut Zakiah Daradjat, sangat berpengaruh besar terhadap pencapaian tujuan pendidikan anak sebagaimana telah disebutkan di atas.
Hal ini perlu dilakukan Ibu, Bapak yang memiliki pengaruh terhadap pendidikan anak adalah dengan melaksanakan petunjuk Allah dan Rasul-Nya dalam mendidik anak. Islam mengajarkan bahwa ketika anak di dalam kandungan, kedua orang tua harus berdo’a agar anaknya menjadi anak saleh dan lahir dengan selamat. Khusus seorang ibu harus menunjukkan akhlak yang mulia dan memelihara kesehatan tubuhnya. Setelah anak lahir, segera diazani di telinga sebelah kanannya dan diqamati telinga sebelah kirinya dengan tujuan agar menjadi orang beriman. Kemudian diberi madu dengan tujuan agar dalam hidupnya senantiasa mengkonsumsi makanan yang halal, bersih dan bergizi. Setelah itu dicukur rambutnya dengan tujuan agar mencintai kebersihan, kerapihan dan keindahan. Selanjutnya diakiqohi dan diberi nama yang baik dengan maksud untuk menunjukkan rasa suka atas kelahiran anak tersebut, dan dengan nama yang baik diharapkan agar cita-cita hidupnya ditujukan untuk mewujudkan kebaikan. Pada tahap berikutnya anak tersebut harus dikhitan dengan tujuan agar mencintai kebersihan dan berani berkorban serta tidak takut menumpahkan darah. Anak tersebut selanjutnya diajari mencintai Allah, Rasul-Nya dan kedua orang tuanya, serta diajari pengetahuan agama, keterampilan, pengalaman, ilmu pengetahuan dan sebagainya sebagai bekal untuk membangun masa depannya.
Peran dan tanggung jawab ibu bapak lebih lanjut adalah (a) memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia; (b) melindungi dan menjamin keamanan, baik jasmani maupun rohani dari berbagai gangguan penyakit dan penyelewengan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan tuntutan agama; (c) memberi pengajaran dalam arti luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya: (d) membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat sesuai dengan tujuan dan pandangan hidup muslim.
Adapun tanggung jawab guru dalam bidang pendidikan pada dasarnya adalah tanggung jawab dari kedua orang tua. Hal ini terjadi karena adanya perkembangan zaman yang mengharuskan seorang anak mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian serta kecakapan yang tidak sepenuhnya dan dapat dilakukan oleh kedua orang tua. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perkembangan masyarakat modern seperti sekarang ini mengaruskan penyelenggaraan pendidikan dilakukan oleh tenaga yang profesional, yaitu tenaga pendidikan yang sengaja disiapkan untuk melaksanakan tugas mendidik. Mereka itu berikan pengetahuan yang akan diajarkannya secara mendalam, kemampuan mengajarkannya secara efektif dan kepribadian yang relevan dengan tugas itu, tugas demikian, sulit dilakukan oleh kedua orang tua yang terbatas pengetahuannya. Selain itu, pemberian tanggung jawab kepada guru juga karena pertimbangan efisien. Sebagai contoh, jika sebuah keluarga memiliki lima anak yang masing-masing memiliki kecenderungan untuk mendapatkan keahlian yang berbeda, maka akan sulit sekali dapat ditangani oleh kedua orang tua yang terbatas pengetahuannya.
Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab tersebut, maka seorang guru menurut Zakiah Daradjat, harus memenuhi empat kepribadian, yaitu beriman dan bertakwa kepada Allah, berilmu atau kompeten, sehat jasmani dan rohani serta kepribadian yang baik.
Selain kedua orang tua di rumah dan guru di sekolah, masyarakat juga memiliki peranan sangat penting dalam kegiatan pendidikan. Seorang anak yang telah menyelesaikan pendidikannya di sekolah atau perguruan tinggi akan kembali ke masyarakat. Proses pendidikan mereka di sekolah atau perguruan tinggi dianggap belum selesai sebelum ia terjun di masyarakat. Masyarakat merupakan lingkungan pendidikan yang paling menentukan. Pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi lebih banyak bersifat teoritis. Sedangkan praktiknya merupakan bagian yang kecil. Berbeda dengan pendidikan dalam masyarakat yang banyak menekankan segi praktik yang menentukan seseorang di masa yang akan datang. Namun demikian, kerjasama antar keluarga, sekolah dan masyarakat adalah proses pendidikan paling ideal demi terwujudnya tujuan pendidikan.
Pandangan Zakiah Daradjat tentang lingkungan pendidikan tersebut di atas tampak amat dipengaruhi oleh keahliannya dalam ilmu jiwa dan pandangan keagamaannya. Pengaruh pandangan keagamaan tersebut terlihat ketika ia menjelaskan peran dan tanggung jawab ibu bapak yang sepenuhnya mengacu kepada ketentuan al-Qur’an dan al-Sunnah. Sedangkan pengaruh keahlian ilmu jiwa terlihat ketika ia menjelaskan kepribadian guru yang baik, yang bertumpu pada keharusan memahami jiwa anak.
3. K.H. Imam Zarkasyi
a. Riwayat Hidup K.H. Imam Zarkasyi
Imam Zarkasyi lahir di Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21 Maret 1910 M, dan meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1985. ia meninggalkan seorang istri dan 2 anak.
Belum genap berusia 16 tahun, Imam Zarkasyi mula-mula menimba ilmu di beberapa pesantren yang ada di daerah kelahirannya. Seperti pesantren Josari, pesantren Josaren dan Tegalsari. Setelah belajar di sekolah Ongkoloro, ia melanjutkan studinya di pondok pesantren Jamsarem, Solo. Pada waktu yang sama ia belajar di sekolah Mambaul Ulum, kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan pendidikannya di sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin Oleh K.H. Al-Hasyimi, sampai tahun 1930 selama belajar di sekolah-sekolah tersebut, terutama sekolah Arabiyah Adabiyah, ia sangat tertarik dan kemudian mendalami pelajaran Bahasa Arab.
Sewaktu belajar di Solo, guru yang paling banyak mengisi dan mengarahkan Imam Zarkasyi adalah Al-Hasyimi, seorang ulama, tokoh politik dan sastrawan dari Tunisia yang diasungkan oleh pemerintah Perancis di wilayah penjajahan Belanda dan akhirnya, menetap di Solo.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Solo, Imam Zarkasyi meneruskan studinya ke Kweekschool di Padang Panjang, Sumatra Barat., sampai tahun 1935. setelah tamat belajar di tempat itu, ia langsung diminta menjadi direktur perguruan tersebut oleh gurunya, Mahmud Yunus. Tetapi Imam Zarkasyi hanya dapat memenuhi permintaan dan kepercayaan tersebut selama satu tahun (Tahun 1936), dengan pertimbangan meskipun jabatan itu cukup tinggi, tetapi ia merasa bahwa jabatan tersebut bukanlah tujuan utamanya setelah menuntut ilmu di tempat itu, Imam Zarkasyi yang dinilai oleh Mahmud Yunus memiliki bakat yang menonjol dalam bidang pendidikan, namun ia melihat bahwa Gontor lebih memerlukan kehadirannya. Di samping itu, kakaknya Ahmad Sahal yang tengah bekerja keras mengembangkan pendidikan di Gontor tidak mengizinkan Imam Zarkasyi berlama-lama berada di luar lingkungan pendidikan Gontor.
Setelah menyerahkan jabatannya sebagai direktur pendidikan Kweekschool kepada Mahmud Yunus, K.H. Imam Zarkasyi kembali ke Gontor. Pada tahun 1936 itu juga, genap sepuluh tahun setelah dinyatakannya Gontor sebagai lembaga pendidikan dengan gaya baru, Imam Zarkasyi segera memperkenalkan program pendidikan baru yang diberi nama Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya.
Selanjutnya pada tahun 1943 ia diminta untuk menjadi kepala Kantor Agama Kepresidenan Madiun. Pada masa pendudukan Jepang, ia pernah aktif membina dan menjadi dosen di barisan Hizbullah di Cibarusa, Jawa Barat. Setelah Indonesia merdeka, Imam Zarkasyi turut aktif membina Departemen Agama RI, khususnya Direktorat Pendidikan Agama yang pada waktu itu Menterinya adalah Prof. Dr. H.M. Rasyidi. Tenaga dan pikirannya juga banyak dibutuhkan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ketika Ki Hajar Dewantoro sebagai Menterinya.
Jabatan-jabatan penting lainnya yang diduduki Imam Zarkasyi di tengah kesibukannya sebagai pendidik di Lembaga Pendidikan Gontor adalah sebagai Kepala Seksi Pendidikan Kementerian Agama dari anggota Komite Penelitian Pendidikan pada Tahun 1946. selanjutnya selama 8 tahun (1948 – 1955) ia dipercaya sebagai Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII).
Selanjutnya Imam Zarkasyi juga pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Dasar Kementrian Agama (1951 – 1953), Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama (1953), Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Departemen Agama, Anggota Badan Perencana Peraturan Pokok Pendidikan Swasta Kementrian Pendidikan (1957). Selain itu pada tahun 1959, Imam Zarkasyi diangkat menjadi Anggota Dewan Perancang Nasional oleh Presiden Soekarno.
Dalam percaturan internasional, Imam Zarkasyi pernah menjadi anggota delegasi Indonesia dalam peninjauan ke negara-negara Uni Soviet, pada tahun 1962. Sepuluh Tahun kemudian, ia juga mewakili Indonesia dalam Mu’tamar Majma’ al-Bubuth al-Islamiayah (Mu’tamar Akademisi Islam se-Dunia), ke 7 yang berlangsung di Kairo. Di samping itu, ia juga menjadi Dewan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat.
Selain sebagai aktivis dalam bidang pendidikan, sosial dan politik kenegaraan, Imam Zarkasyi juga ternyata seorang ulama yang produktif dalam bidang tulis-menulis. Dalam kaitan ini ia banyak sekali meninggalkan karya ilmiah yang hingga saat ini masih dapat dinikmati.
Di antara karya tulis Imam Zarkasyi adalah Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama Islam. Ketiga buku tersebut ditulis bersama K.H. Zainuddin Fannani. Selanjutnya ia menulis Ushuluddin, Pelajaran Fiqih I dan II, Bimbingan Keimanan, Pelajaran Bahasa Arab I dan II berikut kamusnya, dan buku-buku pelajaran lainnya.
b. Gagasan dan Cita-cita Pembaharuan Iman Zarkasyi
Sebelum mendirikan lembaga pendidikan Gontor dengan corak yang modern, Imam Zarkasyi bersama pendiri Pondok Gontor lainnya telah mengkaji lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok pesantren. Dari lembaga-lembaga itu ada empat hal yang menarik perhatian dan minat mereka untuk mewujudkan lembaga pendidikan Gontor dalam corak dan visinya yang baru. Ada empat lembaga pendidikan yang mereka kunjungi dalam rangka studi bidang. Pertama, Universitas Al-Azhar, Mesir, yang terkenal karena wakafnya dan kelanggengannya. Al-Azhar bermula dari sebuah masjid sederhana namun kemudian dapat hidup ratusan tahun dan telah memiliki tanah wakaf yang mampu memberi beasiswa untuk mahasiswa seluruh dunia. Kedua, Pondok Syanggit di Afrika Utara, dekat Libya. Lembaga ini dikenal karena kedermawanannya dan keikhlasan pengasuhnya. Pondok ini dikelola dengan jiwa ikhlas dan pengasuhnya di samping mendidik murid-muridnya, juga menanggung kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Ketiga, Universitas Muslim aligarch yang membekali mahasiswanya dengan pengetahuan umum dan agama sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan menjadi pelapor kebangkitan Islam di India. Keempat, masih juga di India, yaitu perguruan Santiniketan yang didirikan oleh seorang filosofi Hindu, Rabendranath Tagore. Perguruan ini terkenal karena kedamaiannya, dan meskipun terletak jauh dari keramaian, tetapi dapat melaksanakan pendidikan dengan baik dan bahkan dapat mempengaruhi dunia. Kedamaian di perguruan tersebut mengilhami Darussalam (kampung damai) untuk pondok Pesantren Gontor.
Keempat lembaga pendidikan yang dikunjungi itu selanjutnya menjadi idaman Imam Zarkasyi dan lembaga pendidikan yang hendak ia bangun adalah pondok pesantren yang merupakan perpaduan atau sintesa dari keempat unsur di atas. Semua dipadukan dalam pandangan agama yang tergolong mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang mayoritas dianut umat Islam di Indonesia.
Sejalan dengan perkembangan zaman, K.H. Imam Zarkasyi juga mencita-citakan akan menjadikan Pesantren Gontor sebuah lembaga pendidikan yang mampu mencetak kader-kader muslim yang mahir Bahasa Arab dan Inggris sekaligus.
Namun demikian, Imam Zarkasyi memiliki pandangan bahwa hal yang paling penting dalam pesantren bukanlah pelajarannya semata-mata, melainkan juga jiwanya. Jiwa itulah yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya. Pada seminar pondok pesantren se-Indonesia tahun 1965 di Yogyakarta, Imam Zarkasyi merumuskan jiwa pesantren itu ada lima yang disebutnya dengan Panca Jiwa Pondok. Kelima jiwa itu adalah keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong diri sendiri (self help), ukhuwah islamiyah dan jiwa bebas. Yang dimaksud dengan jiwa keikhlasan adalah sepi ing pamrih dan tidak didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu, tetapi semata-mata karena ibadah. Karena Allah. Sedangkan yang dikehendaki dengan jiwa kesederhanaan adalah bahwa dalam kehidupan di pesantren harus diliputi suasana kesederhanaan, tetapi tetap agung. Sederhana bukan berarti pasif atau nrimo (pas arah), dan bukan karena melarat atau miskin, tetapi mengandung kekuatan dan ketabahan dalam diri, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Dengan demikian, di balik kesederhanaan itu terpencar jiwa besar, berani maju dalam menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur. Sementara itu yang dimaksud dengan kesanggupan menolong diri sendiri adalah berdikari, bukan saja dalam arti bahwa santri harus belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi juga pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan tidak menyadarkan kehidupannya kepada bantuan dan belas kasih orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan Ukhuwah Islamiyah adalah bahwa kehidupan di pondok pesantren harus diliputi oleh suasana dan perasaan persaudaraan yang akrab, sehingga segala kesenangan dan kesusahan dapat dirasakan bersama dengan jalinan perasaan keagamaan. Persaudaraan ini bukan saja selama berada dalam pondok pesantren tetapi juga harus mempengaruhi arah persaudaraan dan persatuan umat yang luas selanjutnya yang dimaksud dengan jiwa bebas adalah bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan. Para santri harus bebas menentukan jalan hidupnya di masyarakat kelak, dengan jiwa besar dan optimis dalam menghadapi kesulitan.
Selain prinsip dan jiwa tersebut di atas, Imam Zarkasyi juga memiliki pandangan bahwa pada masa kemerdekaan pondok pesantren sudah seharusnya menatap ke masa depan yang lebih jauh untuk mempertahankan keberadaannya. Untuk itu diperlukan beberapa sikap dasar. Pertama, senantiasa memperhatikan perkembangan zaman, dan untuk ini pelajaran yang diberikan di pondok pesantren harus disesuaikan dengan masa depan kehidupan masyarakat, dengan menggunakan didaktik dan metodik yang menguntungkan pula, tanpa harus mengubah inti ajaran agama. Kedua, jika diperlukan dengan memperhatikan syarat-syarat material. Untuk itu harus ada wakaf yang menjadi andalan bagi kelangsungan hidup pondok pesantren. Dengan cara ini, pesantren akan senantiasa dapat meninggikan mutu pendidikan dan pengajarannya. Ketiga, pondok pesantren jangan melupakan program pembentukan kader untuk kelanjutan regenerasi. Diketahui bahwa hidup matinya pondok pesantren seringkali sangat tergantung kepada hidup matinya kyai pendiri pesantren tersebut. Untuk memelihara kelangsungan hidup pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tiap-tiap pondok pesantren harus menyiapkan kader-kader yang akan menggantikannya. Keempat, perlunya tata cara penyelenggaraan pondok pesantren dengan sebaik-baiknya. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya memperbaharui keadaan penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren yang pada umumnya bersifat tradisional. Dengan demikian, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pondok pesantren dapat diatur dengan sebaik-baiknya dan seefisien mungkin, termasuk di dalamnya batas-batas hak dan kewajiban kyai, para santri dan pondok pesantren itu sendiri.
Langkah-langkah itulah yang dinilai oleh Imam Zarkasyi sebagai dasar yang dapat menjamin kelangsungan dan perkembangan sebuah lembaga pendidikan pesantren di masa mendatang.
c. Konsep Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi
Secara garis besar konsep pembaharuan pemikiran Imam Zarkasyi dapat dibagi ke dalam empat bidang, yaitu pembaharuan dalam bidang metode dan sistem pendidikan, kurikulum pesantren, struktur dan sistem manajemen pesantren serta pola pikir santri dan kebebasan pesantren. Keempat konsep pembaharuan pemikiran Imam Zarkasyi ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut:
1. Pembaharuan Metode dan Sistem Pendidikan
Di antara pembaharuan metode dan sistem pendidikan yang diterapkan di Gontor adalah menganut sistem pendidikan klasikal yang terpimpin secara terorganisir dalam bentuk penjenjangan kelas dan jangka waktu yang diterapkan. Hal ini ditempuh oleh Imam Zarkasyi dalam rangka menerapkan efisiensi dalam pengajaran, dengan harapan bahwa dengan biaya dan waktu yang relatif sedikit dapat menghasilkan produk yang besar dan bermutu. Keinginan untuk memperbaiki prosedur-prosedur pengajaran agar menjadi lebih efektif, tidak dapat tidak menghendaki adanya sejumlah perombakan terhadap sistem pengajaran yang selama ini dianut oleh pesantren tradisional.
Di samping dengan menggunakan sistem klasikal sebagaimana disebutkan di atas, Imam Zarkasyi juga memperkenalkan ekstrakurikuler. Dalam kaitan ini para santri memiliki kegiatan lain di luar jam pelajaran, seperti olahraga, kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga bahasa (Indonesia, Arab dan Inggris), pramuka dan organisasi pelajar. Semuanya ini dijadikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler dalam wadah sistem pesantren yang diselenggarakan oleh santri sendiri. Dalam mengerjakan semua aktivitas itu, santri diharuskan tetap tinggal di pondok pesantren (boarding school).
Sistem asrama (pesantren), tetap dipertahankan oleh Imam Zarkasyi, karena disamping untuk tidak meninggalkan ciri khas pesantren, juga dimaksudkan agar tujuan dan asas pendidikan dapat dibina dan dikembangkan secara lebih efisien dan efektif.
Perpaduan antara day school system sistem asrama yang diterapkan Imam Zarkasyi secara sekilas memang kelihatan menghilangkan satu elemen penting dalam tradisi sistem pendidikan pesantren, yaitu kitab-kitab Islam klasik yang sering disebut kitab kuning. Namun dalam kenyataan kesan dan asumsi ini tidak tepat. Karena yang dilakukan oleh Imam Zarkasyi hanya menyangkut metode pengajaran di kelas-kelas. Sedangkan esensi pelajaran agama yang menjadi inti kitab kuning itu tetap ada dan dikemas sedemikian rupa dalam buku-buku yang lebih praktis dan sistematis serta disesuaikan dengan jenjang pendidikan para santri. Pada saatnya nanti, setelah para santri memasuki jenjang pendidikan terakhir, mereka diberi kesempatan untuk membongkar dan memahami kumpulan kitab-kitab kuning dalam jumlah besar dan berbagai disiplin ilmu agama. Dengan bekal bahasa Arab yang dimiliki sejak kelas satu, para santri diharapkan sudah dapat membaca dan memahami kitab-kitab tebal itu dengan sendirinya, tanpa harus dibantu diterjemahkan oleh kyai sebagaimana yang lazimnya dilakukan pada metode sorogan atau wetonan yang dilakukan pesantren tradisional. Program diterapkan oleh Imam Zarkasyi itu diberi nama program Fathul Kutub.
2. Pembaharuan Kurikulum
Konsep pendidikan Imam Zarkasyi selanjutnya adalah berkenaan dengan pembaharuan kurikulum. Kurikulum yang diterapkan Imam Zarkasyi di Pondok Pesantren Modern Gontor adalah 100% umum dan 100% agama. Di samping pelajaran tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih yang biasa diajarkan di pesantren tradisional, Imam Zarkasyi juga menambahkan ke dalam kurikulum lembaga pendidikan yang diasuhnya itu pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (Berhitung, aljabar, dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya. Selain itu ada pula mata pelajaran yang amat ditekankan dan harus menjadi karakteristik lembaga pendidikannya itu, yaitu pelajaran Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Pelajaran Bahasa Arab lebih ditekankan pada penguasaan kosa kata, sehingga para santri kelas satu sudah diajarkan mengarang dalam bahasa arab dengan perbendaharaan kosa kata yang dimilikinya. Pelajaran ilmu alat, yaitu nahwu dan sharaf diberikan kepada santri saat menginjak kelas II, yaitu ketika mereka sudah agak lancar berbicara dan memahami struktur kalimat. Bahkan pelajaran seperti Balaghah dan Adabullughah baru diajarkan pada saat santri menginjak kelas V. demikian halnya dengan Bahasa Inggris, Grammar baru diajarkan ketika para santri menginjak kelas III, sedangkan materi bahasanya sudah diajarkan dari sejak kelas I.
Khusus pengajaran bahasa Arab ini ditempuh dengan metode langsung (direct method) yang diarahkan kepada penguasaan bahasa secara aktif dengan cara memperbanyak latihan (drill), baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, tekanan lebih banyak diarahkan pada pembinaan kemampuan anak untuk memfungsikan kalimat secara sempurna dan bukan pada alat atau gramatika tanpa mampu berbahasa. Dalam pengajaran bahasa ini, Imam Zarkasyi menerapkan semboyan Al-kalimah al-Wahidah fi alf jumlatin khairun min alfi kalimah fi jumlatin wahidah (Kemampuan memfungsikan satu kata dalam seribu susunan kalimat lebih baik daripada penguasaan seribu kata secara hafalan dalam satu kalimat saja. Namun demikian kemampuan dalam penguasaan Bahasa Arab dan Inggris serta berbagai pengetahuan tersebut tetap harus didasarkan pada asa, jiwa dan kepribadian moral yang tinggi dan baik, seperti ikhlas, mandiri, sederhana dan sebagainya sebagaimana telah disebutkan di atas.
Untuk mendukung tercapainya moralitas dan kepribadian tersebut, kepada para santri diberikan juga pendidikan kemasyarakatan dan sosial yang dapat mereka gunakan untuk melangsungkan kehidupan sosial ekonominya. Untuk ini kepada para siswa diberikan latihan praktis dalam mengamati dan melakukan sesuatu yang ia perkiraan akan dihadapinya dalam hidupnya kelak di masyarakat. Segala sesuatu diorganisasi sedemikian rupa untuk memberikan gambaran realistik kepada siswa tentang kehidupan dalam masyarakat. Para siswa dilatih untuk mengembangkan cinta kasih yang mendahulukan kesejahteraan bersama daripada kesejahteraan pribadi, kesadaran pengorbanan yang di abadikan demi kesejahteraan masyarakat, khususnya umat Islam.
Sejalan dengan itu, maka pondok modern Gontor diajarkan pelajaran ekstra seperti tata krama yang berupa kesopanan lahir dan kesopanan batin. Kesopanan batin menyangkut akhlaq dan jiwa, sedangkan kesopanan lahir termasuk gerak-gerik, tingkah laku, bahkan pakaian. khususnya untuk menopang kelangsungan hidup para santri dalam bidang ekonomi, diberikan pula pelajaran keterampilan seperti menyablon, mengetik, kerajinan tangan (dekorasi, ketter, janur) dan sebagainya.
3. Pembaharuan Struktur Dan Manajemen Pesantren
Demi kepentingan pendidikan dan pengajaran Islam. Imam Zarkasyi dan saudaranya telah mewakafkan pondok pesantren Gontor kepada sebuah lembaga yang disebut badan wakaf pondok modern gontor. Ikrar perwakafan ini telah dinyatakan di muka umum. Dengan ditandatanganinya piagam penyerahan wakaf itu. Maka pondok modern Gontor tidak lagi menjadi milik pribadi atau perorangan sebagaimana yang umumnya dijumpai dalam lembaga pendidikan pesantren tradisional. Dengan cara demikian, secara kelembagaan pondok modern Gontor menjadi milik umat Islam, dan semua umat bertanggung jawab atasnya.
Lembaga badan wakaf ini selanjutnya menjadi badan tertinggi di pondok Gontor. Badan inilah yang bertanggung jawab mengangkat kyai untuk masa jabatan lima tahun. Dengan demikian, kyai bertindak sebagai mandataris dan bertanggung jawab kepada badan wakaf. Untuk ini, badan wakaf memiliki lima program yang berkenaan dengan bidang pendidikan dan pengajaran, bidang peralatan dan pergedungan, bidang perwakafan dan sumber dana, bidang kaderisasi, serta bidang kesejahteraan.
Dengan struktur kepengurusan yang demikian maka kyai dan keluarga tidak mempunyai hak material apapun dari pondok Gontor. Kyai dan guru-guru juga tidak mengurusi uang dari para santri, sehingga mereka tidak pernah membedakan antara santri yang kaya dengan santri yang kurang mampu. Urusan keuangan menjadi tanggung jawab petugas kantor tata usaha yang terdiri dari beberapa orang santri senior dan guru yang secara periodik bisa diganti. Dengan demikian, pengaturan jalannya organisasi pendidikan menjadi dinamis, terbuka dan objektif.
Pembaharuan dalam Pola pikir Santri dan Kebebasan Pesantren.
Sejalan dengan panca jiwa pondok modern Gontor sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa setiap para santri ditanamkan jiwa agar berdikari dan bebas. Sikap ini tidak saja berarti bahwa santri belajar dan berlatih mengurus kepentingannya sendiri serta bebas menentukan jalan hidupnya di masyarakat, tetapi juga bahwa pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan harus tetap independent dan tidak bergantung pada pihak lain. Prinsip kemandirian tersebut bertolak dari upaya menghindari dari kenyataan dimana kebanyakan lembaga pendidikan yang diselenggarakan pada waktu itu didasarkan pada kepentingan golongan dan politik tertentu.
Gagasan independent Imam Zarkasyi itu direalisasikan dengan menciptakan pondok pesantren Gontor benar-benar steril dari kepentingan politik dan golongan apapun. Hal ini diperkuat dengan semboyan Gontor di atas dan untuk semua golongan. Selanjutnya untuk mewujudkan kebebasan dan kemandirian tersebut, di Gontor para santri diberi kebebasan memilih pilihan-pilihan mata pelajaran yang ada.
Hal ini merupakan salah cermin, dimana paham keagamaan para santri berada diatas semua golongan mazhab ahluss sunnal wal jama’ah. Dengan demikian, semua mazhab diajarkan kepada para santri, tinggal terserah mereka memilih mazhab mana yang lebih cocok. Selanjutnya kemandirian pondok pesantren ini terlihat dari adanya kebebasan para santri yang bebas menentukan jalan hidupnya kelak. Imam Zarkasyi sering mengatakan bahwa Gontor tidak mencetak, tetapi mencetak majikan untuk dirinya sendiri. Demikianlah sebagian kecil dari contoh pola dan sikap yang dikembangkan oleh Pondok Pesantren Gontor dalam menghadapi perubahan zaman.
C. Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut:
1. Syeikh Abdullah Ahmad
Bahwa Abdullah Ahmad termasuk ke dalam kelompok pembaharuan pendidikan Islam terbukti ia telah memiliki gagasan atau pemikiran pendidikan, antara lain pembaharuan dalam bidang kelembagaan, kurikulum, integrasi ilmu dan metode pengajaran. Ia merasa sistem pendidikan tradisional sudah relevan dan kurang produktif. Karenanya kemudian ia menggantikannya dengan sistem klasikal, Madrasah. Ia berhasil mendirikan sekolah agama atau Madrasah dengan sebutan Adabiyah School di padang pada tahun 1909. Dalam perjalanan sejarahnya Adabiyah School mengalami beberapa kali perubahan bentuk. Tahun 1915 sekolah tersebut menjadi HIS Adabiyah sampai masa kemerdekaan. Sejak masa kemerdekaan HIS Adabiyah dirubah menjadi SD, SMP, dan SMA Adabiyah.
Selain sebagai teoritisi dan praktisi pendidikan Islam, Abdullah Ahmad juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Abdullah Ahmad merasa cukup jika gagasan-gagasan barunya hanya dituangkan dalam bentuk pendidikan. Karena itulah pada tahun 1911 dia menerbitkan majalah Al-Munir bersama-sama dengan Haji Abdul Karim Amrullah. Walaupun masa terbit al-Munir hanya 5 tahun (1911 – 1916), tapi gagasan-gagasan barunya baik dalam bidang pendidikan maupun pemahaman-pemahaman keagamaan sudah cukup tersebar luas.
Pada tahun 1911, tiga tahun setelah al-Munir berhenti kegiatan terbitnya, bersama dengan beberapa pemuka agama lainnya, Abdullah Ahmad mendirikan organisasi keguruan, persatuan guru Islam (PGAI). Ini menunjukkan betapa kegigihannya dalam memperjuangkan kemajuan intelektual umat.
2. Prof. Dr. Zakiah Daradjat
Pertama, Zakiah Daradjat adalah seorang ahli ilmu jiwa agama yang berpegang teguh pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah serta pemikiran (ijtihad) yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah tersebut.
Kedua, selain sebagai seorang ahli ilmu jiwa agama yang berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah tersebut, al-Qur’an dan al-Sunnah juga sebagai pemikir dalam bidang pendidikan Islam. Hal ini dapat dipahami karena antara ilmu jiwa agama dengan ilmu pendidikan Islam amat erat kaitannya, bahkan tidak dapat dipisahkan.
Ketiga, keahlian Zakiah Daradjat dalam ilmu jiwa agama yang berdasarkan al-Qur’an, al-Sunnah dan ijtihad tersebut telah mempengaruhi konsepsinya dalam bidang pendidikan Islam. Dengan kata lain, konsepsi al-Qur’an dan al-Sunnah dalam bidang pendidikan Islam amat dipengaruhi oleh keahliannya dalam ilmu jiwa agama yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah dan ijtihad.
Keempat, sebagai seorang pemikir pendidikan Islam, Zakiah Daradjat telah merumuskan hakikat dan tujuan pendidikan Islam, dasar pendidikan Islam, dan lingkungan pendidikan Islam. Aspek-aspek pendidikan lainnya seperti metode pembelajaran dan kurikulum terintegrasi dalam pembicaraan tentang hakikat dan tujuan pendidikan Islam serta lainnya itu.
Kelima, ketika membicarakan hakikat pendidikan Islam, Zakiah Daradjat menghubungkannya dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi baik dan buruk. Hal ini sesuai dengan dinyatakan al-Qur’an dan al-Sunnah bahkan para pemikir lainnya. Baginya potensi baik dan buruk tersebut merupakan fitrah manusia. Sedangkan kata fitrah adalah istilah yang terdapat dalam agama Islam. Tugas pendidikan dalam konteks ini menurut Zakiah Daradjat adalah mengembangkan dan meningkatkan semaksimal mungkin potensi yang cenderung positif dan mengeliminasi sedapat mungkin potensi yang cenderung negatif atau buruk.
Keenam, dilihat dari segi peran, fungsi serta corak pemikirannya dalam bidang pendidikan Islam sebagaimana tersebut di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Zakiah Daradjat sebagai seorang pembaru pendidikan Islam pada Zamannya. Hal ini antara lain dapat dilihat dari peranannya dalam melahirkan SKB tiga Menteri yang mengandung misi meningkatkan mutu pendidikan Islam serta menjadi prestasi jalan bagi terjadinya integrasi pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional lahirnya pusat sumber belajar bersama (PSBB) dan Madrasah Tsanawiyyah model yang berperang dalam meningkatkan mutu Madrasah; keterlibatannya dalam menyelesaikan kasus Ujian Guru Agama (UGA) yang mengarah pada peningkatan mutu guru agama, serta penyusunan rencana induk pengembangan IAIN untuk jangka waktu 25 tahun. Upaya-upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh Zakiah Daradjat sebagaimana tersebut di atas; tampak masih cukup relevan untuk diaplikasikan di masa sekarang, terutama dari segi tujuan dan semangatnya untuk meningkatkan mutu pendidikan agama Islam.
3. K.H. Imam Zarkasyi
K.H. Imam Zarkasyi adalah salah seorang tokoh pembaharu pemikiran pendidikan, pembaharuan yang dilakukan antara lain: pertama, metode dan sistem pendidikan yakni sistem pendidikan klasikal yang terpimpin secara terorganisir dalam bentuk perjenjangan kelas dalam waktu yang ditetapkan, juga memperkenalkan ekstrakurikuler. Kedua, pembaharuan kurikulum, kurikulum yang diterapkan K.H. Imam Zarkasyi di pondok pesantren modern Gontor adalah 100% umum dan 100% agama. Ketiga, pembaharuan struktur dan manajemen pesantren K.H. Imam Zarkasyi dan saudaranya telah mewakafkan pondok pesantren Gontor, maka secara kelembagaan pondok Modern Gontor menjadi milik umat Islam dan semua umat Islam bertanggung jawab atasnya. Dengan struktur kepengurusan yang demikian kyai dan keluarga tidak punya hak material dari pondok kyai dan guru-guru tidak mengurusi uang dari para santri, urusan keuangan menjadi tanggung jawab petugas kantor tata usaha yang terdiri dari beberapa orang santri senior dan guru yang secara periodik bisa diganti. Keempat, pembaharuan dalam pola pikir santri dan kebebasan pesantren. Setiap para santri ditanamkan jiwa agar berdikari dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan harus tetap dan tidak bergantung pada pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi dkk, Menteri-Menteri Agama RI, (Biografi Sosial Politik), Jakarta: INIS, 1998.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mahkota, 1989.
Darajat, Zakiah, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: YPI Ruhana, 1996.
Darajat Zakiah, Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rajawali, 1978.
Darajat Zakiah, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Jakarta: Bulan Bintan, 1977.
Darajat, Zakiah, Kepribadian Guru, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Daya, Burhanuddi, Gerakan Pemikiran Islam, (Kasus Sumatra Thawalib), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990, cet 1.
Dewantara, Ki Hajar, Bagian Pertama Indonesia, Yogyakarta: Taman Siswa, 1962.
Djumhur dkk, Sejarah Pendidikan, Bandung: CV. Ilmu, 1976, cet. Ke-9.
Fuar, Yusuf Abdullah, Proses Masuknya Islam ke Indonesia, Jakarta: Mutiara, 1981, Cet. 1, hal. 87.
Maksum, Madrasah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Nasution, Harun dkk, K.H. Imam Zarkasyi dalam Ensiklopedi di Indonesia, Jilid I, Jakarta: Departemen Agama, 1998.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1945, Jakarta: LP3ES, 1980, cet.1.
Saifullah, Ali, Darussalam, Pondok Modern Gontor, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1985, Cet. 1.
Yatim, Badri dkk, Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995, cet. 1.
Ziemeh, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH