Headlines News :
Logo Design by FlamingText.com

SA'ATUL AN

TARIKHUL AN

ARCHIVE

Tarjim

POST

Jumat, 30 April 2010

manusia menuru Alqur'an

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia telah memikirkan tentang asal usulnya selama beribu-ribu tahun. Tetapi sampai belakangan ini, satu-satunya sumber gagasan-gagasannya adalah pengertian-pengertian yang diperoleh dari ajaran-ajaran keagamaan dan sebagai sistem filsafat. Baru pada zaman modern, bersama dengan mengalirnya berbagai jenis data, ia mampu mendekati masalah asal usulnya dari sudut yang baru. Manusia dalam pandangan Islam, selalu dikaitkan dengan suatu kisah tersendiri. Didalamnya, manusia tidak semata-mata diambarkan sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki, dan pandai berbicara,
Lanjuuut..

Kamis, 29 April 2010

MODEL PENELITIAN POLITIK

MODEL PENELITIAN POLITIK A. pendahuluan Masalah politik termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian masyarakat pada umumnya. Hal antara lain disebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir dan batin, dan seterusnya tidak dapat dilepaskan dari system politik yang diterapkan. Karena demikian pentingnya masalah politik ini, telah banyak studi dan kajian yang dilakukan para ahli terhadapnya. Demikian pula ajaran islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh juga di yakini mengandung kajian mengenai masalah politik dan kenegaraan. Dalam hubungan ini, ibn khaldun berpendapat bahwa agama memperkokoh kekuatan yang telah di pupuh oleh Negara dari solidaritas dan jumlah penduduk. Sebabnya adalah karena semangat agama bisa meredakan pertentangan
Lanjuuut..

KESANGSIAN TERHADAP MAHKAMAH AGUNG

KESANGSIAN TERHADAP MAHKAMAH AGUNG BAB I LATAR BELAKANG Meskipun "Darah Segar" bakal disuntikkan ke tubuh Mahkamah Agung, kesangsian publik terhadap lembaga pengadilan tertinggi ini tak juga menurun. Pekatnya pendekatan politis, kekecewaan terhadap kinerja para hakim, serta kompleksnya permasalahan reformasi hakim agung, membuat upaya perbaikan di tubuh MA(Mahkamah Agung) disikapi dengan gamang. "Putus saja satu generasi!" merupakan jargon yang kerap disuarakan kalangan yang sudah frustrasi dengan perbaikan hukum di lembaga pengadilan negeri ini.
Lanjuuut..

SEJARAH DAN JENIS POLIGAMI

SEJARAH DAN JENIS POLIGAMI A. Seorang Istri Memiliki Banyak Suami Di dalam masyarakat manusia terdapat beberapa bentuk poligami yaitu seorang istri yang memiliki banyak suami (poliandri), dalam sistem perkawinan poliandri banyak laki-laki dibolehkan mengawini seorang istri dan itu merupakan hak mereka yang diakui oleh masyarakat. Poliandri banyak terjadi di daerah selatan dan utara India dan di beberapa wilayah Rusia. Di daerah India kakak ber-adik boleh mengawini bersama seorang wanita. Jika laki-laki tertua menikahi seorang wanita, maka saudara laki-laki yang lain turut memiliki wanita tersebut.
Lanjuuut..

poligami dalam islam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap insan manusia pasti mempunyai keinginan dan harapan untuk selalu hidup bahagia, baik ia sebagai anak, maupun sebagai orang tua. Hidup bahagia yang didambakan bukan hanya di dunia saja tetapi hidup bahagia di akhirat juga didambakan semua orang. Dan untuk mencapai hidup bahagia yang didambakan itu tentulah terdapat aturan-aturan yang harus diketahui, ditaati dan diamalkan. Oleh karena itu, salah satu tahapan dan aturan didalam mencapai hidup bahagia ialah memasuki gerbang perkawinan, yang dilanjuti dengan mengisi kehidupan perkawinan itu sendiri diantaranya ialah : adap atau tata cara (sopan santun) didalam pergaulan antara suami dan istri, seperti juga poligami yang memerlukan aturan dan tataran yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Lanjuuut..

PERMOHONAN POLIGAMI

TERMOHON 1 Menimbang bahwa pemohonan dengan surat permohonannya bertanggal 04 april 2005 yang terdaftar di kepanitiaan pengadilan agama jombang tanggal 04 April 2005, nomor 432/pdt.g/2005/PA. JBG, telah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa, pemohon dan termohon menikah sah pada tanggal 11 Juli 1968 berdasar bukti kutipan akta perkawinan Nomor: 124/WNA/1968 yang dikeluarkan catatan sipil saurabaya tanggal 25 Juli 1970 dan disahkan pengadilan negeri Surabaya tanggal 27 Juli 1970. 2. Bahwa setelah nikah antara pemohon dan termohon telah berhubungan sebagaimana sebagaimana layaknya suami istri dan telah dikaruniai empat orang anak. 3. bahwa, dengan setatus perniakahan pemohon dengan termohon yang dahulu dilaksanakan secara agama yang depeluknya saat itu, maka kemudian pada tanggal 24 februari 2005 masuk islam yang lkalu pemohon menyatakan memeluk agama islam. 4. Bahwa, pemohon bermaksud menikah lagi dengan seorang wanita bernama KHALIMAH binti AHMAD MUNIR, umur 28 tahun,agama islam, pkerjaan dagang, Dusun babut, RT/RW 02/1 ple3mahan Kec sumobito Kab jombang dengan alasan mensejahterakan calon istri pemohon dan keluarganya serta ingin mendapatkan keturunan lagi, mengingat istri pertama pemohon secara medis sudah tidak mungkin dapat memberikan keturunan lagi. 5. Bahwa, atas maksud pemohon tersebut setelah pemohon bermusyawarah dengan termohon, ternyata termohon mengizini. 6. Bahwa calon istri pemohon berstatus perawan dan tidak ada halangan untuk melaksanakan pekawinan, baik hubungan darah maupun hubungan perkawinan, dan calon istri pemohon tidak sedang dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. 7. Bahwa, untuk keperluan perkawinan ini mohon sanggup berlaku adil dan sanggup memenuhi nafkah setiap bulan sebesar 1.500.000,-(satu juta lima ratus ribu rupiah) kepada istri-istri pemohon. 8. Bahwa, pemohon mempunyai penghasilan yang tetap sebesar Rp 3.500.000,-(tiga juta lima ratus ribu rupiah) sebulan sebagai pengusaha rumah makan. 9. Bahwa, disamping penghasilan tertsebut pemohon telah mempunyai kekayaan yang cukup memenuhi sandang, pangan kepada istri-istri pemohon. 10. Bahwa, calon istri pemohon tidak akan menggugat harta benda yang sudah ada selama ini yang dimiliki pemohon dengan termohon; 11. Bahwa, keluarga pemohon, termohon dan calon istri pemohon menyatakan tidak keberatan apabila pemohon nikah lagi dengan calon istri keduanya; 12. Bahwa, pemohon sanggup berlaku adul dan tidak membda-bedakan satu dengan lain karma pemohon yakin hal tersebut merupakan panggilan allah swt; 13. Bahwa, berdasarkan hal-hal tersebut diatas,pemohon mohon kepada bapak ketua pengadilan agama jombang c9. Majelis hakim yang termohon berkenan untuk membuka sidang guna memeriksa dan mengadili serta memutuskan permohonan pemohon, yang amarnya terbukti sebagai berikut: a. Mengabulkan,permohonan pemohon. b. Menetapkan, memberi izin kepada pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan calon istri pemohon. c. Menetapkan biaya perkara sesuai dengan peraturan yang berlaku. Adapun tentang alasanya pertimbangan hukum sebagai berikut: 1. Bahwa ditemukan fakta berdasarkan bukti pengakuan pemohon dan keterangan 2 orang saksi ternyata adalah beragama islam memilih domisilih di desa plemahan kecamatan sumobito kabupaten jombang dengan demikian, pemohon maka pengadilan agama berpendapat bahwa permohonan izin beristri lebih dari satu dari pemohon yang di ajukan kepada pengadilan agama jombang sudah tepat karena sesuai dengan maksud pasal 4 ayat (i) UU No. 1 Tahun 1974; 2. Bahwa telah di temukan fakta berdasarkan surat permohonan pemohon tanggal 04 April 2005, ternyata pemohon untuk kawin lagi dapat di simpulkan bahwa termohon (istri pemohon ) sudah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, karena termohon skit-sakitan dan alsan tersebut harus diterima untuk di pertimbangkan karena alasan tersebut sesuai dengan maksud pasal 4 ayat (1) huruf (a) UU No. 1 Tahun 1974; 3. Bahwa ditemukan fakta berdasar bukti berita acara sidang perkara ini Tanggal 15 Desember 2005 ternyata termohon di depan sidang menyatakan bersedia di madu dengan perempuan bernama KHALIMAH binti AHMAD DUMIR dan menandatangani surat pernyataan tidak keberatan di madu, kemudian pemohon di depan sidang menyatakan bersedia berlaku adil dan menandatangani surat pernyataan perlakuan adil dan pemohon menyerahkan surat keterangan penghasilan yang dibuat oleh kepala desa karanglo, dengan demikian pengadilan agama berpendapat bahwa pemohon telah memenuhi tetentuan pada pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974; 4. Saksi dengan pemohn tidak ada hubungan nasab, ada hubungan Rodh’an dan tidak ada hubungan semenda begitu juga pemohon dengan termohon; 5. Bahwa pemohon dengan calon istri kedua telah ada persetujuan susuan, tidak berhubungan semenda maka atas keterangan kedua sakai tersebut, pengadilan agama berpedapat bahwa pemohon dengan KHALIMAH binti AHMAD MUNIR tidak berhalanngan hukum untuk kawin karena keduanya tidak tergolong yang dilarang kawin seperti yang di kehendaki pasal 8,9,10,11 UU No. 1 Tahun 1974; 6. Menimbang bahwa pemohon dan termohon serta KHALIMAH binti AHMAD MUNIRsemuanya islam dan ternyata pemohon telah mempunyai 4 orang istri maka pemohon erkehendak kawin lagi dengan KHALIMAH binti AHMAD MUNIR tidaklah bertentangan dengan hukum islam 7. Pemohon, termohon serta calon adalah islam, dan calon istri adalah istri yang ke 4 (empat) jadi keinginan pemohon untuk poligami tidak menyalahi hukum islam berdasarkan surat AN-NISA ayat 3 menyatakan: فانكحف ماطب من النساء مثنى وثلا ث ورباع فان خفتم ان لابعدلو فواحد ةوما ماتحت اب مانكم ذلك اذنى الا تعولو Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua,tiga,atau emepat kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil (kawinilah) seorang. Pengadilan jombang memberi keputusan amar putusan sebagai berikut: 1. Bahwa telah di temukan fakta berdasarkan bukti pengakuan pemohon dan keterangan dua orang saksi ternyata pemohon adalah beragama islam memilih domisili di desa plemahan Kec sumobito Kab jombang, dengan demikian, pemohon termasuk bertempat tinggal di wilayah hukum Pengadilan Agama jombang, maka Pengadilan Agama berpendapat bahwa permohonan izin beristri lebih dari satu orang dari pemohon yang diajukan kepada Pengadilan Agama jombang sudah tepat karena sesuai dengan maksud pasal 4 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974; 2. Bahwa telah ditemukan fakta berdasarkan surat permohonan pemohon tanggal 04 April 2005 alasan pemohon untuk kawin lagi dapat di simpulkan bahwa termohon (istri termohon) sudah tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri , karena termohon sakit-sakitan dan alasan tersebut diakui termohon, maka Pengadilan Agama berpendapat bahwa alasan tersebut harudapat di terima untuk di pertimbangkan karena alasan tersebut sesuai dengan pasal 4 ayat (1) huruf (a) UU No. 1 tahun 1974; 3. Bahwa ditemukan fakta berdasarkan bukti berita acara sidang perkara ini tanggal 15 Desember 2005 ternyata termohon di depan sidang menyatakan bersedia di madu dengan perempuan bernama KHOLIMAH binti AHMAD MUNIR, dan menandatangani surat pernyataan tidak keberatan di madu, kemudian pemohon di depan sidang menyatakan bersedia berlaku adil dan menandatangani surat pernyataan berlaku adil dan permohonan menyerahkan surat keterangan penghasilan yang di buat oleh kepala desa karanglo, dengan demikian Pengadilan agama berpendapat bahwa pemohon telah memenuhi ketentuan pada pasal 5 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974. ANALISA Poligami cenderung di artikan sebuah ikatan pekawinan seorang dengan dua orang istri/lebih. Dan islam sendiri membatasinya hanya sampai 4(empat) orang istri tidak boleh lebih. Sebagai mana firman Allah: فانكحواماطا ب من النساءمثن وثلا ث وباع (النساء:3) “Artinya” maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat. (Qs: An-Nisa: 3) Karna berdasarkan ayat ini mayoritas fuqaha berpendapat seorang suami tidak boleh beristri lebih dari 4(empat) perempuan, pendapat ini mereka perkuat dengan argumen bahwa lafaz مثنى وثلا ث ورباع merupakan pindahan dari lafadz: itsnaini tsalasun dan arba’un yang berfaidah takror (pengulangan). Dengan demikian, maksud ayat ini adalah orang-orang yang sudah aqil baliqh boleh beristri dua orang, tiga orang atau empat orang tidak boleh lebih. Ada juga sebagian ulama’ yang menentang pendapat mereka, mamun argument dari sebagian ulama’yang menentang itu tidak di terima dikalangan muslimin. Sebagai mana halnya Al –quran dalam hadispun terdapat narn shorikh yang membatasi poligami 4 (empat) orang istri yaitu sabda beliau: ان اسلم وتحته عثر نسوة فقل له رسول الله عله وسلم اخترمنهنى اربعااثرمنهنى الباقى “Artinya” Bahwa ghoilah astsaqofi masuk islam dan ia memiliki sepuluh istri, maka rasulullah bersapda kepadanya: pilihlah 4(empat) orang dari mereka dan lepaskan yang lainnya. (H.R. Tirmizi). Ketika Al-Qur an turun ada laki-laki yang beristrikan 10(sepuluh) perempuan dan Al-quran tidak melarang mereka berpoligami tetapi tidak pula memberikan kebebasan kepada mereka secara mutlak, sebab bila mereka dilarang untuk pligami maka larangan tersebut berlawanan dengan tuntutan fitrah manusia dan kondisi dimana mereka hidup. Islam adalah aturan hidup yang sesuai dengan tuntutan dan keperluan manusia pada setiap zaman dan tempat. Aturan realistis mengangkat derajat manusia tingkat terhormat dan mulia. Islam mendidik manusia agar tidak tunduk kepada hawa nafsu dan harta, namun tidak pula mengingkari tuntutan nafsu dan fitrahnya. Ketentuan Poligami Dalam Hukum Islam Adalah Sebagai Berikut: Disamping tidak boleh memperistri perempuan lebih dari empat perempuan adalagi 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami yaitu: 1. Berbuat adil diantara para istri sebagai mana firman Allah SWT. فان خفتم الا تعدلوا فوا خدة Artinya: Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja. (Qs. An-nisa: 3) 2. Harus mampu memberi nafkah dan melaksanakan kewajiban dalam keluarga, semisal menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungan, syarat ini dapat dipahami dari akhir ayat ketiga syrat An-nisa yaitu kalimat: ذلك ادنى الاتعولو “ yang demikian itu adalah yang lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” 3. Tidak dalam satu keluarga, artinya poligami tidak di benarkan dengan wanita yang bersaudara demikian pula dengan wanita bersama bibimya, baik bibi dari pihak bapak maupun dari pihak ibu. Sebagai mana wsapda Rasulullah SAW yang artinya: “Dari Al-dahak bin fairus Al-midari ayahnya ia berkata: maka aku datang menghadap rasulallah, maka beliau bersabda: cari salah satu keduanya. MENGATASI PROLEM PLIGAMI Poligami sangat berperan dalam mengatasi problem pribadi yany timbul denga beberapa sebab yaitu: a) Keadaan istri yang memenuhi kebutuhan biologis suami, baik karena penyakit ataupun yang lainnya. b) Istri dalam keadaan mandul, pada kondisi ini maksud dari pernikahan (mendapat keturunan) tidak bisa terwujud. Poligami merupakan perjuangan islam untuk melindugi keselamatan wanita sebagaimana perjuangan lain yang tidak akan mencapai hasil yang diharapkan kecuali dengan mengikuti sunah rasul. Ini adalah dari segi niat, cara dan tanggung jawab dalam segala aspek dalam keluarga, laki-laki menduduki tempat penangung jawab dalam pendidikan dan pembinaan dan rumah tangganya. Semakin banyak anggota keluarganya, semakin banyak pula masalah yang mesti di pertanggung jawabkan di pengadilan yang maha tinggi. Tangung jawab suami terhadap istrinya sangat berat karma melipuyti masalah aqidah, ibadah dan akhlak istri serta anak tanggung jawab. Bertambah maslah yitu: masalah keadilan tidak ada alasan bagi seseorang yang ingin berpoligami untuk tidak berlaku adil dengan alasan apapun. Kehidupan poligami yang di penuhi dengan kejadiaqn yang tidak islami seperti permusuhan antara satu istri denga yang lainya, hal tersebut menukan bahwa piligami tersebut tidak mengiti contoh yang di peraktikan rasulallah SAW nama islam akan di nodai. Hal diatas sesuai dengan duduk nya perkara No 4 bahwa alasan pligami pemohon adlah ingin menyejahterahkan calon istri pemohon dari keluarganya serta ingin mendapatkan keturunan lagi, mengingat istri petama pemohon secara medis sudah tidak mungkin dapat memberikan keturunan lagi. Daftar Pustaka :
Lanjuuut..

POLIGAMI DALAM KEHIDUPAN RUMAH TANGGA

OLIGAMI DALAM KEHIDUPAN RUMAH TANGGA Bila kita menganalisa realitas saat ini, fenomena-fenomena yang lagi akurat.Munculnya poligami dalam kehidupan rumah tangga misalnya dengan pemberitaan KH.Gym Nasetian dalam media TV,merupakan salah satu permasalahan yang mana diperbolehkan atau tidak dalam sebuah rumah tangga. Pada hal poligami merupakan suatu hukum yang masih menimbulkan kontroversi baik itu menurut para ulama klasik atau ulama kontemporer. Memang soal poligami dalam rumah tangga telah lama menjadi agenda pembahasan fiqih. Dalam kitab-kitab fiqih pernikahan semacaman itu juga kontroversial:ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak.
Lanjuuut..

PEMIKIRAN SESEORANG DALAM RUANG LINGKUP PENDIDIKAN DI INDONESIA

PEMIKIRAN SESEORANG DALAM RUANG LINGKUP PENDIDIKAN DI INDONESIA Dalam penulisan tugas ini saya menggunakan beberapa metodologi, diantaranya: wawancara (sebagai landasan penulisan) dan teoritik (sebagai arahan penulisan). Adapun latar belakang nara sumber yang menjadi landasan penulisan ini sebagai berikut: Nama lengkap Andiyansyah, biasa dipanggil Andry adalah salah seorang yang hingga kini masih bergelut dalam dunia pendidikan, berstatus Mahasiswa disebuah Institut Keislaman Hasyim Asy’ari Jombang. Bergelut dalam bidang hukum, ia adalah lulusan dari madrasah Aliyah Negeri Tambak Beras Jombang. Berasal dari sebuah keluarga sederhana di sebuah daerah terpencil di Bali, yaitu Klungkung, hidup dalam lingkungan Hindu, merupakan anak kedua dari tiga
Lanjuuut..

FIQIH UNTUK PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

WACANA BERLABEL FIQIH UNTUK PEMBERDAYAAN PEREMPUAN*) PENGANTAR WACANA Sungguh prestasi yang luar biasa bila perlakuan ketidakadilan terhadap perempuan oleh wacana keagamaan bertendens patriarchi mampu dipresentasikan oleh cendekia muslimah dengan predikat guru besar. Seakan tumbu ketemu tutup (ungkapan Jawa) tercitrakan pada suami yang muslim berpredikat akademis sama. Amat layak dan berkepatutan sosial sekira surprise ilmiah tersebut diapresiasi dengan target minimal bisa memahami akar pemikiran yang tersirat dan maksimal berkontribusi setara dialektika ilmiah sesuai kemampuan. Persepsi keadilan setinggi jangkauan akal manusia tak lepas dari standar kesejahteraan hidup duniawi, cenderung nisbi/relatif dan subyektif. Kriteria keadilan versi Tuhan yang sebagian teramati lewat teks firman-Nya dan terverbalisasi dalam hazanah matan sunnah/hadis nabawi sejauh mengeksplisitkan syari’ah ‘amaliyah yang baku cenderung absolut. Pengaturan ibadah bertaraf ritual, bidang mu’amalah yang tersedia aturan tertulis (nash) secara rinci dan memanfaatkan ungkapan “muhkam” mengimplisitkan hak prerogatif shahibu al-syari’ah untuk merumuskannya. Peluang ijtihad kreatif (insya’i) menjadi tertutup. Pembaharuan tafsir atas nash syari’at (Al-Qur'an dan matan sunnah/hadis) melalui kaidah kritik substansi memang terniscayakan sepanjang dikontrol oleh prasyarat ilmiah yang berlaku bagi kegiatan ijtihad dalam idiom sebenarnya. Upaya memahami nash-nash syar’i (bukan ungkapan produk fuqaha’) memanfaatkan metode pembacaan ilmu-ilmu sosial amat spekulatif hasilnya dengan resiko antara tafsir bi al-ra’yi yang tercela atau inkar al-sunnah, atau meragukan kejujuran Muhamad Saw selaku pengemban risalah. Memadaikah bekal “ilmu” untuk memodifisir, menduga transisi, memaksakan makna ta’wil dengan mengorbankan legalitas teks suci Al-Qur'an dan validitas ungkapan matan sunnah/hadis. Asumsi, membongkar universalitas hukum syari’at ‘amali, mempromosikan kayfiat ibadah model baru, menawar hal-hal yang tersedia dengan nash syar’i, menyamaratakan hak hukum subyek mukallaf dengan mengabaikan jenis kelamin pria–wanita atas pertimbangan lokalitas Arab abad keenam masehi (periode pembentukan hukum Islam paralel misi kerasulan), terlebih ingin menggugat keadilan Allah terkait detail norma syari’at-Nya, merupakan akses “obsesi ilmiah” karena lebih mengedepankan persepsi (hawa) individu. Kebenaran wahyu terjamin oleh kemahatahuan Mutakallim dan keabadian keberlakuan syari’at-Nya merupakan konsekuensi dari risalah Muhamad Saw yang berstatus pamungkas. Upaya mendialektikan pemahaman atas teks syari’at dan bernuansa uji materiil atas doktrin fuqaha’ yang tertuang dalam hazanah klasik hingga kontemporer adalah sah-sah saja sebagai implementasi kebebasan berpikir. Namun dikhawatirkan metode pemahaman itu terjebak tradisi berpikir sekuler, berseberangan dengan mainstream “sabil al-mu’minin” (QS. al-Nisa’ : 115) dan selebihnya berspekulasi lewat kaidah bahasa untuk mengunggulkan pemahaman kontekstual tentatif. Tanggung jawab moral akademis seyogyanya tetap menempati komitmen “tawashaw bi al-haqqi” dan butuh periode pengujian kebenaran berbekal kesabaran, sebab indikasi minus keilmuan berdampak kesesatan dan penyesatan. CARA PANDANG KEILMUAN Sumber inspirasi buku “Fiqih Pemberdayaan Perempuan” yang mereduksi kepustakaan disiplin ilmu fiqih tidak lebih dari 4 (empat) judul dari 108 judul yang terlampirkan, yakni Al-Mughni susunan Ibnu Qudamah berorientasi mazhab Ahmad bin Hanbal, Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd pengikut mazhab Maliki, al-Majmu’ syarah al-Muhadzab karya Imam Nawawi dikenal sebagai muharrir mazhab Syafi’i dan Fiqh al-Sunnah susunan Sayid Sabiq yang berkecenderungan Syi’ah. Keempat kitab fiqih klasik tersebut didukung kitab editing atas koleksi doktrin fuqaha’ klasik sebanyak 3 (tiga) unit kitab, yaitu Fiqih ‘ala Mazahib al-Arba’ah koleksi al-Jaziri, al-Halalu wa al-Haram karya Yusuf al-Qardhawi dan al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh yang disusun oleh Wahbah al-Zuhaili. Rujukan pemikiran tafsir melibatkan 15 unit karangan mufassir klasik dan kontemporer. Sekalipun tercatat 6 kitab koleksi hadis, namun hanya sebuah kitab syarah hadis yang terekspose, yaitu Fathu al-Bari. Justeru untuk perkamusan bahasa atau kamus istilah melibatkan 10 unit dan yang paling dominan adalah referensi bermuatan wacana pemikiran keagamaan sebanyak 34 judul. Dari pendataan sumber kepustakaan dan narasi per thema dalam buku berjudul “Fiqih Pemberdayaan Perempuan” tidak mengembangkan nalar fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu, lebih dominan pada muara pemaknaan/ pemahaman terkait ide dasar simbol-simbol keagamaan. Obyek kajian buku mengarusutamakan isu-isu fiqih terkait perempuan dengan menyertakan statemen yang terkesan memarginalkan perempuan, seperti: dapur–sumur dan kasur, 3 M (macak, manak, masak), swarga nunut neraka katut, dan sejenisnya. Karena berangkat dari isu yang fenomenologik, tak pelak bila narasi yang menindaklanjuti mencerminkan pembelaan atas ketidakadilan perlakuan yang patriarchi. Dalam buku tersebut fiqih dipandang sebagai penafsiran secara kultural terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, merupakan ajaran non dasar sehingga bersifat lokal/elastis/tidak permanen. Dalam format kitab-kitab fiqih teramati sebagai kumpulan fatwa atau catatan pelajaran. Kesan umum statemen buku tersebut menyatakan fiqih bukan elaborasi syari’at dan ungkapan tekstual sumber syari’at yang terdiri atas ayat Al-Qur'an, matan sunnah/hadis, sepenuhnya tidak menjadi acuan primer pemikiran fuqaha dalam kerja istinbath (deduksi) hukum normatif. Pantas bila mekanisme “pemberdayaan” adalah merubah manhaj pemahaman teks-teks syari’at sebagai rasional obyektif dan perspektif positif, bukan berkutat pada manhaj tekstual normatif. Hal itu paradoks dengan pernyataan tertulis (hal. 57) bahwa pemahaman bukan ajaran. Alur pemikiran semacam itu bersambut gayung dengan editor yang memandang fiqih bukan agama, ia dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Agama tak lebih dari sistem ide moral. Fiqih serupa produk kreatifitas manusia, karenanya pembacaan teks wahyu harus mempertimbangkan kepatutan sosial dan kepantasan sosial. Bila thema besar buku tersebut ingin tetap dipertahankan, maka epistimologi fiqih sebagai disiplin ilmu harus dieksplisitkan. Produk luarannya berupa hukum syar’i ‘amali (normatif praktis), sumber teks-teks syar’i diposisikan sebagai postulat berpikir yang mekanisme perumusan deduksinya mematuhi kaidah istinbath dan pengembangan konseptualisasinya mengaplikasikan asas ijtihad-istidlal. Rangkaian berpikir tetap membentuk manhaj yang sistematis, terkontrol bias kesalahan rasional karena pemihakan subyektif yang spekulatif. Sebagai contoh, istilah yang terbakukan dalam teks ayat/matan hadis menghormati hirarchi pemaknaan asli hakiki atau majazi ‘urfi dan seterusnya. APRESIASI SUB THEMA Bahasan bersub thema “hijrah” direfleksikan sebagai pemahaman pola pikir (mind set) yang tidak adil menuju pola relasi laki-laki dan perempuan. Persepsi demikian lebih mengesankan makna ta’wil yang mirip tafsir isyari. Hijrah dalam eksplanasi hadis tetap meniscayakan kegiatan riil, yaitu mobilitas jihad dengan tetap mempertahankan motivasi hijrah. Sub thema “maulid” langsung dikorelasikan dengan misi utama kenabian, bila dirunut sejarah perlembagaan awalnya justeru menyetarakan jatidiri kemanusiaan bayi Muhamad dengan bayi manusia yang lain, termasuk Isa al-Masih yang menyegarkan semangat tempur tentara bersalib. Peristiwa kelahiran bila disikapi dengan fiqih sebagai disiplin ilmu menormatifkan status keyatiman dengan nasab jelas kepada Aminah dan Abdullah bin Abdu al-Muthalib. Ulasan kurban dipersepsikan pribadi perempuan (dalam status isteri) harus dibuat kuat dan tegar seperti Hajar (tanpa Siti). Apresiasi yang loyal pada akar kata qa-ra-ba seharusnya penekanan mendekatkan diri kepada Allah dengan media sedekah makanan bergizi tinggi. Selebihnya adalah pendidikan moral religious kepada anak dan penghormatan atas hak mengeluarkan pendapat. Insiden tuntutan formalisasi syari’at terkesan pemaksaan oleh sekelompok orang Islam dengan model sweeping yang bersasaran perempuan tak berjilbab dan yang berprofesi PSK. Ironisnya gagasan yang ditawarkan berlabel fiqih pemberdayaan tidak menawarkan solusi kultural berupa kepatutan dan kepantasan sosial yang diadopsi dari Nashr Abu Zayd. Fiqh pemberdayaan seyogyanya berbasis pemikiran normatif dengan proyeksi “tathbiq al-syari’ah” (aplikasi norma hukum) yang tahapan budayanya dari content of law, belanjut penciptaan structure of law dan tahap implementasi dengan culture of law. Gagasan kepemimpinan perempuan diwarnai klaim mendasar bahwa agama Islam dikenal sebagai agama penganut patriarchi Arab. Tampilan hadis diambil yang mendasari penggeneralisiran tanggung jawab dan gugatan dominasi laki-laki serta beretnis Quraisy. Bila rancangan gagasan itu melihat fakta hukum waris yang mengakui awlad al-umm (saudara seibu) dengan pewaris dan berlaku rasio pria-wanita adalah satu banding satu, serta pemberian waris pada nenek ibu, tuduhan sistem patriarchi Arab terpatahkan. Sedang paradigma kepemimpinan berpihak laki-laki serta beretnis Quraisy itu sebatas (terlokalisir) pada sistem khilafah yang setara al-imamah al-udzma. Memasuki gagasan hak politik dengan cara menganalogkan tugas berdakwah dan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar, pola berpikir tersebut wajar dan proporsional pada tataran premis yang setingkat. Untuk peran publik yang terbayangi resiko besar, seperti jihad fisik di medan perang menurut fiqih nabawi dinyatakan sebagai hal yang muthawa’ah (karitatif), demikian pula untuk merepresentasikan diri sebagai kuasa pemutus qishash (waliyyu al-damm). Sub thema kesaksian perempuan terlihat dominasi pandangan mufassirin (7 orang) dan berakhir dengan pandangan penulis buku bahwa hukum Islam Indonesia boleh mengabaikan QS. al-Nisa 15, QS. al-Nur 4 dan QS. al-Thalaq 2. Bila gagasan itu mematuhi rumus gramatika kata bilangan dan benda yang dihitung (‘adad-ma’dud), maka tradisi kebahasaan Arab yang dipilih Allah sebagai pengantar kalam Al-Qur'an mengajarkan bahwa jenis kelamin untuk kesaksian atas pelaku tindak pidana zina, pembunuhan, pemberontakan, pencurian, tuduhan zina, amat representatif dibebankan saksi berkelamin pria. Memasuki sub thema “imamatu al-shalah” yang menempuh solusi tarjih dengan mengunggulkan hadis Ummu Waraqah al-Anshariyah, solusi tersebut mengabaikan data sabab al-wurud yang dalam koleksi Abu Dawud (no. indeks 591) terbaca jelas. Karenanya solusi tersebut tidak konteks dengan historisitas kejadian yang amat kasuistik. Mencermati momentum pelarangan wanita menjadi imam shalat fardhu disampaikan oleh Rasulullah Saw sebagai narasumber dan forumnya adalah saat khutbah, maka watak generalis lebih unggul. Menggugat bias keadilan pada pensyari’atan khitan bagi perempuan, landas pemahaman penulis buku hadis koleksi Abdu Dawud (no. indeks 356) adalah dha’if, bukan hasan seperti diasumsikan. Lebih-lebih kisah Israiliyat yang terangkat dengan substansi normatif melubangi (daun) telinga. Hujjatu al-Islam Imam al-Ghazali tegas mengancam orang tua yang melubangi daun telinga puterinya untuk diqisash. Klaim penulis buku bahwa asal khitan itu haram bertentangan diametris dengan informasi hadis-hadis yang mengkategorikan khitan sebagai “sunan al-fithrah” dan diperkuat oleh tradisi agama Ibrahimi. Penolakan suara perempuan sebagai awrat dengan argumentasi “tidak ada teks yang tegas” dipersilahkan merujuk pada koleksi hadis Abu Dawud (no. indeks 939–942), koleksi al-Bukhari dan Imam Muslim. Ungkapan matan ketiga kitab tersebut menegaskan: cara mengingatkan kesalahan imam dalam shalat jama’ah oleh makmum pria dengan membaca tasbih dan bila yang menegur wanita cukup dengan kode pukulan tangan atas tangan. Selebihnya adalah indikasi (dalalah) implisit QS al-Ahzab 33, dengan penalaran isteri Nabi sebagai ummu al-mu’minin adalah representasi keteladanan yang ideal. Usul penulis buku untuk memodifikasi pendapatan jatah waris pria dua kali porsi ahli waris sederajat yang wanita dengan asumsi keberlakuan ayat itu transisional, bisa langsung digulirkan untuk jatah awlad al-umm (QS. al-Nisa’ 12). Adapun modifikasi rasio 2 : 1 untuk yang lain terbentur tidak adanya informasi dari kalangan ahlu al-tanzil bahwa QS. al-Nisa;’ 11 itu mansukh. Gagasan melibatkan perempuan dalam status isteri dalam menjatuhkan thalaq, kalau hanya merujuk kitab Bulugh al-Maram yang sebatas menyajikan teks-teks hadis hukum tanpa komentar terasa janggal sekali. Inisiatif pemisahan/ mengakhiri hubungan nikah bisa diajukan oleh isteri menempuh lembaga hukum: fasakh, khulu’, furqah dan konsekuensi dari ila’ yang lampau waktu. Keterlibatan suami menjalani iddah termaktub dalam doktrin fuqaha’ bila suami menceraikan satu diantara empat orang isteri. Demikian pula bila suami akan mengawini ipar (saudara perempuan isteri yang meninggal dunia). Alasan kasus pertama adalah status wanita thalaq raj’iy setara dengan status masih punya suami. Saudara perempuan isteri terikat mahram muaqqat (sementara). Perihal dekrit Khalifah Umar bin Khathab mengenai thalaq tiga sekaligus tidak ada yang menggolongkan sebagai bagian integral syari’at Islam. Imam Malik dan lain-lain memandang dekrit khalifah bernilai siyasah syar’iyyah yang bertaraf yurisprudensi hukum. Asas ijtihadinya adalah preventif (saddu al-dzari’ah). Sebagaimana dzari’ah yang lain terbuka peluang dibuka kembali bila kondisi dampak negatifnya telah tiada. RANGKUMAN Adalah hak azazi penulis dengan otonomi ilmiah sesuai predikat guru besarnya untuk menuangkan gagasan kritis rasional dalam format ilmiah. Setingkat wacana akdemik buku tersebut layak disosialisasikan agar paradigma dan metode pembacaan teks syari’at dengan pendekatan ilmu sosial bisa diikuti oleh pemerhati fiqih kontemporer. Sebagai wacana amat terbuka untuk disempurnakan, dikritisi dan diapresiasi oleh pihak-pihak yang berkompeten. Senyampang pembanding lebih terikat oleh komitmen al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih, maka respon atas gagasan cerdas fiqih pemberdayaan ini bila belum jelas kadar ashlahnya dari segi argumentasi dan manhaj fikriahnya masih diperlukan waktu serta pertimbangan moral ilmiah sebijak mungkin.
Lanjuuut..

KONSEP PEMBINAAN KESADARAN BERAGAMA PADA ANAK

KONSEP PEMBINAAN KESADARAN BERAGAMA PADA ANAK A. Pembinaan Kesadaran Beragama. 1. Makna Pembinaan Kesadaran Beragama Pembentukan kesadaran anak terhadap agama bisa dilakukan ketika anak masih berusia dini. Pada setiap anak yang lahir telah dianugerahi oleh Allah SWT sebuah fitrah. Islam mengajarkan bahwa fitrah manusia pada dasarnya suci dan tidak jahat. Karenanya, setiap bayi yang baru lahir ke dunia ini tentulah suci, tidak terikat oleh segala sesuatu seperti “dosa asal”, yang tidak dikenal dalam Islam Fitrah keagamaam ini hendaknya bisa direalisasikan sehingga anak bisa mempunyai kesadaran dalam beragama. Pemahaman tentang kesadaran beragama pendekatan yang paling tepat adalah melalui psikologi perkembangan, karena kesadaran beragama itu bersifat dinamis-evolusionistis, yang maksudnya adalah ia berkembang secara
Download Makalah Pendidikan : "Konsep pembinaan kesadaran pada anak" Lengkap
Lanjuuut..

PENGANTAR FILSAFAT

PENGANTAR FILSAFAT A. PENGERTIAN FILSAFAT 1. Filsafat Menurut Etimologi Filsafat berasal dari bahasa Yunani filosofia yang berasal dari kata filosofein yang berarti mencitai kebijaksanaan. Kata filsafat juga berasal dari bahasa Yunani philosophis yang berasal dari kata kerja philien yang berarti mencintai dan sophia yang berarti kearifan. Dari kata ini lahirlah kata yang berasal dari Inggris yaitu philosophy yang artinya “cinta kearifan”. Menurut pengertian yang lazim yang berlaku di Timur (Tiongkok atau India) mengatakan, bahwa seseorang itu disebut filosof bila dia telah mendapatkan kebijaksanaan. Sedangkan menurut pengertian filsafat yang berlaku di Barat mengatakan bahwa kata “mencintai” itu tidak perlu meraih kebijaksanaan
Download Makalah Pendidikan : "Pengantar Filsafat" Lengkap
Lanjuuut..

PRAGMATISME DAN POSITIVISME: SUMBANGSIHNYA TERHADAP KEMAJUAN SAINS

PRAGMATISME DAN POSITIVISME: SUMBANGSIHNYA TERHADAP KEMAJUAN SAINS. Pengantar. Berbicara mengenai filsafat, termasuk berbagai alirannya, tidak akan lepas dari pembicaraan tentang hati dan akal, dengan kata lain berbicara tentang kepercayaan dan rasio. Dalam filsafat, penggunaan rasio secara maksimal, konon, dimulai oleh Thales (624-546 SM) yang ketika itu mempertanyakan apakah sebenarnya bahan alam semesta ini. Dari sini muncul kekacauan besar akibat eksploitasi akal yang mengalahkan segala sendi dan norma. Setelah periode rasio menggila dan terjadi kekacauan muncul sang juru selamat bernama Socrates (470-399 SM) yang dapat mendudukkan akal sebagaimana mestinya.
Download Makalah Pendidikan : "Pragtisme dan positivisme" Lengkap
Lanjuuut..

CIRI-CIRI AJARAN ISLAM

CIRI-CIRI AJARAN ISLAM Kesempurnaan Syari’at Islam Syari’at islam mencakup dan mengikat seluruh umat islam, ia merupakan jantung kehidupan yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat islam diberbagai penjuru dunia, dan sekaligus merupakan hal yang patut dibanggakan. Kelebihan syari’at islam antara lain adalah bahwa ia tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Syari’at islam bersifat Universal, menjelaskan hak-hak masyarakat muslim. Dengan syari’at islam, maka tatanan atau system kehidupan dunia ini akan sempurna. Syariat islam tidak pernah dimiliki oleh umat-umat terdahulu, tidak pernah diturunkan kepada para nabi (selain Nabi Muhammad). A Oleh karenanya, apabila kita mampu untuk memahaminya dengan baik, niscaya kita akan tahu bagaimana cara beribadah yang benar, yang nota bene hal itu merupakan cara berhubungan antara seorang hamba dengan tuhannya. Bentuk-bentuk ibadah itu banyak sekali, antara lain ibadah sholat, puasa, zakat, haji, dan masalah kebersihan seperti mandi, baik mandi janabat (mandi karena keluarnya mani atau bersenggama) haid atau mandi untuk menghadiri sholat jum’at dan sholat hari raya. Termasuk masalah kebersihan adalah wudlu yang dimaksudkan untuk melaksanakan sholat fardhu lima waktu sehari semalam. Lebih lanjut, syari’at islam juga mengajarkan kepada kita agar memakai baju yang baik dan menggunakan wangi-wangian ketika hendak melaksanakan sholat jum’at, idul fitri dan idul adha dan juga mengajarkan etika makan dan minum, makan apa saja yang boleh dimakan dan apa yang harus ditinggalkan. Syari’at islam memerintahkan kita untuk meninggalkan perbuatan dosa, seperti berzina, minum khomer, ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), mengadu domba, menuduh orang berzina, persaksian dusta, menyelewengkan hukum, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, seandainya umat islam mau melaksanakan hukum-hukum syari’at islam sebagaimana para pendahulu mereka, niscaya umat islam akan menjadi umat yang paling luhur dan paling bahagia. Dari segi social, syari’at islam mengajarkan kepada orang-orang kaya untuk memberi sebagian hartanya kepada fakir miskin dengan cara melaksanakan zakat, shadaqoh, membayar kaffarah (denda pelanggaran atau pengganti ibadah tertentu). Ini merupakan prinsip dasar, sehingga umat islam sebenarnya tidak perlu mengambil ideology, sosialisme, yaitu ideology orang-orang Eropa dan Amerika yang menjadi pijakan mereka dalam melakukan perbaikan social, misalnya membangun Universitas yang megah, memberi dana social kemanusiaan dan sebagainya. Syari’at islam merupakan undang-undang dasar bagi Negara islam dan seluruh umat islam dulu, umat-umat lain banyak yang masuk islam secara berbondong-bondong, kemudian melebarkan sayapnya mulai dari sungai Fang, India timur hingga Afrika. Hal itu tidak lain karena mereka merasa dihormati hak-haknya dan umat islam mau mengamalkan kaedah fiqh islam, memperlakukan secara sama kepada seluruh umat manusia, atas dasar prinsip keadilan, prinsip akhlak al-Karimah dan keyakinan-keyakinan yang baik. Tampaknya di barat tidak ada yang mengkritik terhadap kenyataan tersebut, yakni system undang-undang yang diamalkan oleh umat islam waktu itu, bahkan sebaliknya, mereka justru memujinya. Mereka juga mengambil prinsip dasar dari system undang-undang syari’at islam. Akhirnya, mereka berpaling dari system undang-undang lama menuju system “ Syari’at Islam “. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa umat islam tidak dapat hidup tanpa syari’at islam. Sebab tidak ada yang mengumpulkan dan mengikat selain system syari’at islam dan aqidah islam, keduanya tidak menganut system ashabiah (Fanatisme) terhadap bangsa apapun, umat islam akan jaya dengan tegaknya syari’at islam. B. Peran Islam Dalam Pembangunan Bangsa. Islam kendati bermakna penyerahan diri secara total untuk beroleh keselamatan, namun bukanlah sebuah agama yang hanya memuat dogma, kumpulan ritus dan ritual belaka. Dalam maknanya yang utuh, ia adalah sebuah doktrin, sebuah pandangan dunia, sebuah kebudayaan dan sebuah peradaban yang beralasan ketauhidan, dalam perspektif Al-Qur’an, islam diturunkan untuk menyebar rahmat ke semesta alam (Rahmatan lil ‘Alamin). Islam bukan pula agama yang mengajak umatnya yang mengajak berpaling dari dunia hanya untuk konsentrasi beroleh kebahagiaan dihari nanti, tetapi juga mendorong pemeluknya untuk mencapai kebahagiaan di dunia. Dalam pandangan islam, hidup di dunia dan di akhirat adalah sebuah mata rantai yang tak terpisahkan. Islam mengajarkan, fungsi manusia bersisi ganda : “abu dan kholifah, sebagai kholifah, ia adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab, mengajak berbuat yang patut-patut (Ma’ruf) dan mencegah kemungkaran. Ia dilarang pula berbuat kerusakan di bumi. Nabi SAW. Di utus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Selaku emimpin yang bertanggung jawab harus berkualitas, karena itu, setiap muslim laki-laki dan perempuan harus belajar sepanjang hidup dan kalu perlu sampai ke negri cina. Islam memberikan penghargaan yang tinggi bagi ilmuwan mendapat predikat ulul albab, tetesan pena ilmuwan dinilai sama dengan tetesan darah para syuhada, ulama’ adalah pewaris para nabi. Kemiskinan adalah musuh islam, sebab kekufuran berawal dari kelaparan. Hidup kere tidak dianjurkan, sebab tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, “ Seorang muslim yang kuat lebih dinilai oleh Allah dari pada muslim yang lemah”, demikian bunyi dari sebuah hadist. Sebaliknya, bermewah-mewah juga tak pula diperkenankan, demikian juga boros-borosan, “Jangan makan sebelum terasa lapar dan berhentilah makan sebelum terasa kenyang”. Dilarang serakah dan tamak, hidup yang baik itu adalah hidup yang berkacukupan, dan memenuhi kebutuhan rohani dan jasmani serta dapat pula meleksanakan tuntutan ibadah : zakat dan haji. Dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, islam telah memberikan patokan-patokan dasar, patokan-patokan ini selain tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah juga termuat dalam piagam madinah. Piagam ini memuat kehendak bersama antara nabi SAW. Dan masyarakat madinah dan sekitarnya untuk mencapai cita-cita bersama tanpa melihat latar belakang agama yang dianut. William Muir menilai piagam ini adalah sebuah konstitusi awal yang dikenal oleh umat manusia. Pertama : Persatuan, walaupun beragam keyakinan dalam beragama. Kedua : kebebasan memeluk dan beribadat menurut cara agama masing-masing, dalam masalah keyakinan agama ditumbuhkan sikap saling menghormati. “Agamamu bagimu dan agamaku bagiku”. Tidak ada paksaan dalam beragama, dan tidak diperkenankan melecehkan keyakinan orang lain. Ketiga : Kebersamaan, semua orang berkedudukan sama selaku anggota masyarakat, diibaratkan sebagai tubuh yang setiap bagiannya sama-sama merasa senang dalam kenikmatan, dan sama-sama merasa sakit dalam kesusahan. Keempat : Penegakan keadilan, semua orang berkedudukan sama dihadapan hukum, tidak ada seorangpun mendapat hak Previleges dalam hal hukum. Kelima : Perdamaian, perdamaian adalah tujuan utama, perang tidak boleh dilanjutkan jika lawan meminta berdamai, namun dalam mengusahakan perdamaian tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran. Keenam : Musyawarah, segala masalah yang menyangkut kepentingan bersama harus diselesaikan dengan musyawarah yang dilandasi kebebasan berpendapat. Keputusan diambil berdasarkan kebenaran. Referensi : 1. Prof. Dr. Nourouzzaman shiddiqi, MA. Jeram-jeram peradilan muslim, Yogyakarta, Agustus 1995. 2. Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam (Pergumulan Teks dan Realitas), Makkah al-Mukarromah, 17 Rabi’ul Awwal 1408 H.
Lanjuuut..

MUTLAQ DAN MUQAYYAD

MUTLAQ DAN MUQAYYAD A. Pendahuluan Sebagai hukum tasyri’ terkadang datang dengan bentuk Muthlaq yang menunjukkan kepada satu individu (satu benda) yang umum, tanpa dibatasi oleh sifat atau syarat. Dan terkadang pula dibatasi oleh sifat atau syarat namun hakikat individu itu tetap bersifat umum serta meliputi segala jenisnya. Pemakaian lafaz dengan kapasitas Muthlaq atau terbatas (muqayyad) merupakan salah satu keindahan retorika bahasa Arab. Dan dalam Kitabullah yang tidak tertandingi itu, ia dikenal dengan mutaqul-Qur’an wa muqayyaduh atau kemuthlakan Qur’an dan keterbatasannya. B. Pengertian Muthlaq Muthlaq adalah lafaz yang menunjukkan suatu hakikat tanpa sesuatu qayid (pembatas). Pada hakikat (mahiyah) lafaz itu apa adanya tanpa memandang jumlah maupun sifatnya. Misalnya lafaz raqabah dalam firman Allah yang berbunyi;    Artinya: (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. (QS.Al-balad :13) Perbedaan antara Muthlaq dan ‘am bahwa lafaz Muthlaq menunjukkan hakikat suatu lafaz tanpa batasan apapun, baik dari segi sifat atau jumlahnya. Misalnya firman Allah yang berbunyi sebagai berikut:  ...  Artinya: Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak (QS. Al-Mujadalah: 3) Ayat tersebut menuntut dimerdekakannya budak, tanpa memperhatikan jumlah budak, satu atau banyak dan tanpa mengartikan sifat budak, apakah beriman atau tidak. Yang penting adalah memerdekakan budak. Sedang ‘am adalah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz tersebut, dengan memperhatikan jumlahnya. Misalnya firnan Allah dalam surat Muhammad yang berbunyi :    Artinya: Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher mereka. Lafaz ‘am di atas adalah meliputi semua orang-orang kafir yang ikut berperang. Seperti lafaz mishriy (مصرى , seorang Mesir), dan rajulun (رجل seorang laki-laki), dan sebaliknya lafaz Muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan suatu satuan yang secara lafziyah dibatasi dengan suatu ketentuan, misalnya, mishriyun muslimun مصرى) (مسلمون seorang berkebangsaan Mesir yang beragama Islam, dan rajulun rasyidun ( رشيد جلر ) seorang laki-laki nyang cerdas. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an yang bersifat Muthlaq dan ada pula yang bersifat Muqayyad. Kaidah Ushul Fiqh yang berlaku disini adalah bahwa ayat yang bersifat Muthlaq harus dipahami secara Muthlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya, sebaliknya ayat yang bersifat Muqayyad harus dilakukan sesuai dengan batasan (kait)nya. Misalnya, lafaz muthlaq yang terdapat pada ayat 234 Surat Al-Baqarah:            Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa azwajan (istri-istri) yang ditinggal mati suaminya, masa tunggu mereka (iddah) selama empat bulan sepuluh hari. Kata azwajan (istri-istri) tersebut adalah lafal Muthlaq karena tidak membedakan apakah wanita itu sudah pernah digauli oleh suaminya atau belum. Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa masa iddah wanita yang ditinggal mati suami baik yang telah pernah disetubuhi oleh suaminya itu atau belum adalah empat bulan sepuluh hari. C. Pengertian Muqyyad Muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz tersebut dengan dibatasi (diberi qayd) oleh sifat, keadaan, dan syarat tertentu. Dengan kata lain, Muqayyad adalah, lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz itu sendiri, dengan dibatasi oleh batasan-batasan, tanpa memandang pada jumlah. Misalanya firman Allah :     Artinya: (Hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman (QS. An-Nisa 92) Contoh di atas adalah lafaz Muqayyad yang dibatasi denga sifat. Adapun contoh lafaz Muqayyad yang dibatasi dengan syarat, ialah firman Allah yang berkenaan dengan kafarat sumpah dalam surat Al-Maidah yang berbunyi:          Artinya: Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. (QS. Al-Maidah: 89) Kafarat puasa tiga hari tersebut diisyaratkan bila orang yang melanggar sumpah tidak mampu memerdekakan hamba sahaya ataumemiliki makanan atau pakaian : Sedangkan contoh lafaz Muqayyad yang dibatasi dengan batas tertentu ialah firman Allah yang berbunyi :         Artinya: Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS. Al-Maidah:89) Ibadah puasa tersebut dibatasi sampai pada waktu malam. Oleh karena itu puasa sepanjang hari dan malam (wishal) tidak diperbolehkan. D. Menerapkan yang Muqayyad pada yang Muthlaq Demikianlah lafal Muthlaq dan lafal dan lafal Muqayyad dipahami apa adanya apabila masing-masing berdiri sendiri tanpa ada hubungan antara yang satu dengan yang lain. Permasalahan selanjutnya adalah apabila suatu lafal dalam sebuah ayat disebut secara Muthlaq, dan di ayat yang disebut secara Muqayyad. Ulama Ushul fiqh sepakat untuk memberlakukan ketentuan yang terdapat dalam ayat Muqayyad terhadap ayat yang Muhlaq bilamana hukum dan sebabnya adalah sama. Contohnya, ayat 3 Surat Al-Maidah yang menegaskan :        •       •                 .....  Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.(QS. Al-Maidah:3) Kata Ad-Dam (الدام) darah, dalam ayat tersebut disebut secara Muthlaq tanpa membedakan antara darah yang mengalir dan darah yang masih tinggal dalam deging sembelihan. Lafal dam dalam ayat yang lain disebut secara Muqayyad, seperti dalam dalam ayat 145 surat Al-An’am :        •          ••        •     Artinya: Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…(QS. Al-An’am: 145) Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir ) دما مصفوحا (. Hukum yang dijelaskan dua ayat tersebut adalah sama, yaitu haramnya darah, dan sebab diharankannya juga sama, yaitu mendatangkan madarrat. Oleh karena sama dalam berbagai sisi, para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa sifat darah yang disebut secara Muthlaq itu disamakan dengan lafal dam (darah) yang disebut secara Muqayyad. Dengan demikian, darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir dari binatang sembelihan, bukan yang masih tinggal di dalam daging, atau hati. Adapun hati dan limpa tidak diharamkan, karena tidak termasuk dalam kriteria darah yang mengalir. Menurut Abu Hanifah dan pengikutnya, jika lafaz Muthlaq berbeda dengan Muqayyad, dalam segi hukum dan sebabnya, maka pengertian lafaz yang Muthlaq tidak dapat disesuaikan dengan lafaz yang Muqayyad. Contoh perbedaan lafaz Muthlaq dan Muqayyad dari segi sebab tapi hukum keduanya sama, seperti dalam firman Allah yang berkenaan dengan memerdekakan budak yang berbunyi :    •      Artinya: Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. (QS. An-Nisa 92) Dalam surat Al-Mujadalah Allah juga berfirman sebagai berikut:                         Artinya: Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah : 3) Dalam ayat kedua ini, budak (raqabah) disebut secara Muthlaq, sedang pada ayat yang pertama, disebutkan secara Muqayyad, yakni budak yang beriman. Pengertian lafaz yang Muthlaq dalam ayat ini, tidak dapat disesuikan dengan lafaz yang Muqayyad dalam ayat di atas, karena faktor yang menyebabkan wajibnya membayar kafarat berbeda. Dalam ayat kedua faktor yang menyebabkan wajibnya membayar kafarat zihar, sedang dalam ayat pertama adalah pembunuhan, meskipun akibat hukum keduanya adalah sama, yaitu memerdekakan budak. Dengan demikian, kafarat zihar adalah memerdekakan budak secara Muthlaq, sedang kafarat pembunuhan adalah memerdekakan budak dengan qayd yang beriman. E. Macam-macam Muthlaq dan Muqayyad serta Hukumnya Masing-masing Muthlaq dan Muqayyad mempunyai bentuk-bentuk ‘aqliyah, dan sebagai realitas bentuknya, yang akan dikemukakan sebagai berikut ini: 1) Sebab dan hukumnya sama, seperti “Puasa” untuk kifarat sumpah. Lafaz itu dalam qira’ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf diungkapkan secara Muthlaq:                Artinya: Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).(QS.Al-Maidah. 89). Dan ia Muqayyad atau dibatasi dengan “Tatabu” (berturut-turut) dalam qira’ah Ibn Mas’ud: فصيام ثلاثة أياّم متتابعات (Maka kafaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut). Dalam hal seperti ini, pengertian lafaz yang Muthlaq dibawa kepada yang Muqayyad (dengan arti, bahwa yang dimaksud oleh lafaz Muthlaq adalah sama dengan yang dimaksud oleh lafaz Muqayyad ). 2) Sebab sama namun hukum berbeda, seperti kata “tangan” dalam wudhu dan tayamum. Membasuh tangan dalam berwudhu dibatasi sampai dengan siku. Allah berfirman:              Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.(QS.Al-Maidah: 6). Sedang menyapu tangan dalam bertayamum tidak dibatasi, muthlaq, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:          Artinya: Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Dalam hal ini ada yang berpendapat, lafaz yang Muthlaq tidak dibawa kepaeda yang Muqayyad karena berlainan hukumnya. 3) Sebab berbeda tetapi hukumnya sama. Dalam hal ini ada dua bentuk: Pertama, Taqyid atau batasan hanya satu, misalnya pembebasan budak dalam hal kafarat. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak “beriman” dalam kafarat pembunuhan tak sengaja. Allah berfirman:      •      •     Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja)[334], dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Kedua, Taqyidnya berbeda-beda. Misalnya “Puasa kafarat”, ia ditakyidkan dengan berturut-turut dalam kafarat pembunuhan. Firman Allah :             Artinya: Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. (QS. An-Nisa. 92) 4) Sebab berbeda dan hukum pun berlainan, seperti “tangan” dalam berwudhu dan dalam pencurian . Dalam berwudhu, ia dibatasi sampai dengan siku, sedang dalam pencurian dimuthlaqkan, tidak dibatasi. Firman Allah:      Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya...(QS.Al-Maidah.38) Dalam keadaan seperti ini, Muthlaq tidak boleh dibawa kepada Muqayyad karena “sebab” dan “hukum”-nya berlainan. Dan dalam hal ini tidak ada kontradiksi (ta’arud) sedikit pun. F. Kesimpulan Dalam menyesuiakan nash yang Muthlaq dengan nash yang Muqayyad bila hukumnya sama, sedang faktor penyebabnya berbeda ialah; Bahwa Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang diturunkan oleh Allah SWT Dzat Yang Maha Esa, sedang kehebatannya (I’jaznya) terletak pada susunannya yang simple (I’jaz). Jika suatu kalimat dalam Al-Qur’an menjelaskan suatu hukum, maka hukum tersebut berlaku dalam segala tempat yang menyebutkan kalimat yang sama. Misalnya kalimat raqabah yang berarti budak yang diperintahkan untuk dimerdekakan, maka jenis dan sifat budak tersebut harus sama dalam semua nash Al-Qur’an. Jika dalam salah satu ayat Al-Qur’an, budak tersebut disifati (diberi qayd), maka sifat (qayd) tersebut juga berlaku bagi semua budak dalam ayat-ayat yang lain. Karena sama-sama berupa sanksi (hukuman), sama-sama jenis hukumnya, disamping Allah yang menurunkan Al-Qur’an tersebut juga Esa G. Refrensi Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, USHUL FIQH, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2008 Prof. Muhammad Abu Zahrah, USHUL FIQH, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, Cet. 11. Terjemahan Manna Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1992, Cet 1.
Lanjuuut..

KEDUDUKAN USHUL FIQH SYARIAT HUKUM ISLAM

KEDUDUKAN USHUL FIQH DALAM PENGEMBANGAN SYARIAT HUKUM ISLAM Pembukaan Dalam Islam, ide murni itu berbentuk Wahyu yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ide ini tidak bisa diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Berbeda dengan pemikiran agama (Islamologi) yang seluruhnya merupakan produk manusia dan sangat berkaitan dengan masyarakat. 1. Pendekatan Humanistik Permasalahan yang sering muncul adalah bahwa kerja ushul-fiqh itu objektif atau subjektif. Demikian karena banyak sekali materi fiqh yang dikelola melalui ushul-fiqh, beda pendapat antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Cara berfikir Ushuliyyin selalu memakai pendekatan kwalitatif, maka oleh sebagian ilmuan dianggap tidak objektif. Berbeda dengan paradigma ilmu yang memakai pendekatan kwantitatif, yang serba ilmiah dan terkontrol. Hal ini diakui oleh ushuliyyin sendiri, dan tidak akan menolak. Ushul-fiqh selalu muncul dalam kerangka berfikir tertentu dan tidak bisa bebas begitu saja. Tetapi dalam penyajiannya selalu muncul nilai subjektivitas di dalamnya. Karena itu, meskipun mulanya ushul-fiqh itu gagasan al-Syafi’iy untuk membangun madzhabnya, tetapi dalam perkembangannya, muncullah Ushul-fiqh Zaidiyyah, Ushul-fiqh Mu’tazilah, Ushul-fiqh Hanafiyah, Ushul-fiqh Zhahiri dan sebagainya. Lalu apa artinya kebenaran ilmiah? Kebenaran ilmiah yang bersifat relatif, kondisional, dan tergantung consensus atau kesepakatan. Tidak ada kebenaran mutlak dalam ilmu sosial atau budaya termasuk ushul-fiqh. Karena itu, setiap ushuliyyun harus siap menerima kritik atas kekurang tetapan analisinya. Dalam kaitan ini, Abdul Wahhab al-Sya’rani berkata : madzhab kami adalah benar, tetapi mungkin juga salah. Madzhab di luar kami adalah salah tapi mungkin juga benar. Demikian ini juga tertuang dalam kitab klasik berjudul Mizan al-Kubra, maka nilai pluralis ini termasuk ciri postmodernism. Mushawwibah dan Mukhaththiah Di dalam Islam, semua teks (al-Qur’an dan al-Hadits) yang berbentuk zhanni (dugaan) maka makna yang muncul dari teks itu selalu dirumuskan dalam kesimpulan yang berbeda-beda (mukhtalaf fih). Bagi pengikut teori mushawwibah akan mengatakan bahwa semua kesimpulan yang berbeda-beda itu, yang benar tidak satu, bahkan bisa juga semuanya benar. Demikian jika semua mujtahidnya menampilkan kerangka berfikir yang sejalan dengan jalur ushul-fiqh. Sedangkan pengikut mukhath-thiah akan berpendapat bahwa semua kesimpulan yang banyak itu, yang benar Cuma satu saja, apalagi jika beberapa kesimpulan tadi ada yang kontradiktif. Peniaian semacam itu muncul karena ushul-fiqh atau kerangka berfikir fiqh memanfaatkan penalaran subjektif dan paradigma kwalitatif. Penalaran semacam ini kurang memiliki kebenaran pada tingkat tertentu. Kebenaran ushul-fiqh dianggap mengada-ada dan spekulasi yang merancang. Tentu saja asumsi seperti itu tidak selalu benar. Meskipun begitu, pengembangan ushul-fiqh seyogyanya berusaha keras untuk meyakinkan orang lain, bahwa fiqh yang diproduksinya memiliki kadar logika dan kebenaran. Logika dan kebenaran dalam ushul-fiqh tidak berbeda dengan metode penelitian ilmu sosial atau budaya. Logika tetap menjadi wahana untuk mencari kebenaran. Meskipun begitu, banyak sekali macam-macam logika itu antara lain : (a) logika formal. Logika ini berusaha mencari kebenaran dengan mencari relasi antar muqaddimah shugra dan kubra dengan tujuan untuk menggeneralisasikan natijah yang ada pada setiap syakal (qiyas manthiqi). Logika ini tidak bisa diterapkan dalam ushul-fiqh. Karena ushul-fiqh tidak mengejar qiyas-qiyas manthiqi seperti itu, tetapi tranferabilitas. (b) logika matematik. Logika ini pencarian kebenaran dengan mencari relasi proposisi menurut kebenaran materiil seperti tiga kali tiga itu sembilan. Logika ini didukung oleh rerata yang pasti dan terukur. Andalan logika ini adalah adanya dalil, aturan, dan rumus-rumus pasti. Logika semacam ini dimanfaatkan oleh statistika dan bisa berlaku bagi penelitian ilmu sosial, ilmu budaya. Termasuk Ilmu agama yang menganut faham posistivistik. (c) Logika reflektif, yaitu cara berfikir dengan sangat cepat, untuk mengabstraksikan dan penjabaran. Logika ini berlangsung cepat dan bisa memanfaatkan daya intuisi. Dalam ilmu tasawwuf, logika ini disebut pendekatan dzauqi yang bisa berkembang sampai laduni. (d) logika kwalitatif, yakni pencarian kebenaran berdasarkan paparan deskriptif data di lapangan atau di perpustakaan. Kwalitas kebenarannya didasarkan pada realitas yang ada. (e) logika linguistik, yaitu pencarian kebenaran berdasarkan pemakaian bahasa. Logika ini banyak diminati oleh penelitian al-Qur’an dan semacam penelitian yang memerlukan penafsiran. Dalam macam-macam logika di atas, ushul-fiqh cenderung memanfaatkan logika kwalitatif dan logika linguistik. Suatu saat logika reflektif pun dipakai pula, terutama untuk mengembangkan dalil metodologis seperti istihsan dan masalih mursalah. Logika kwalitatif banyak dipergunakan untuk mengembangkan dalil sosiologis seperti ijma’, qaul shahabi, dan lain-lain. Sedangkan logika linguistik dipergunakan untuk mengembangkan dalil normatif, yaitu al-Qur’an dan teks al-Hadits. Perlu dipertimbangkan, baik oleh pengikut mushawwibah dan mukhaththiah bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin) adalah unik, dan inilah yang menjadi objek pembahasan ushul-fiqh. Oleh karena itu, tuntutan kebenaran dan atau objektivitas ushul-fiqh hendaknya dicari bukan seperti fenomena alam. Jika fenomena alam ada hal-hal yang secara fisik teramati, terulang dan teratur, maka perilaku manusia tidak selamanya bergerak seperti itu, bahkan selalu bias. Tingkat bias ini hanya mampu diolah menjadi objektif apabila dilukiskan secara verstehen (mudah terfahami). Jika fiqh yang diproduksi tadi ada kejelasan. Kejelasan inilah yang disebut kebenaran. 2. Pendekatan Emik dan Etik Ada dua cara pandang (pendekatan) yang saling bertolak belakang. Dua pendekatan ini disebut pendekatan emik (fonemik) dan pendekatan etik (fonetik). Awalnya, pendekatan ini muncul dari istilah linguistik, yang dalam ilmu budaya dipopulerkan oleh Kenneth Pike. Dalam kitab klasik, teori ini pernah dikembangkan oleh Ibn Jinni dan al-Jurjani. Pendekatan ushul-fiqh regional adalah (a) Ushuliyyun akan mempelajari perilaku masyarakat (af’al al-mukallafin) yang mengikuti madzhabnya sendiri. (b) Ushuliyyun hanya mempelajari ushul-fiqh dari madzhabnya sendiri, yaitu ushul-fiqh al-Syafi’iy misalnya, yang ditulis oleh beberapa tokoh madzhab itu. (c) Struktur ushul-fiqh ditentukan oleh kondisi dan situasi jama’ah yang mengamalkan fiqhnya. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat relatif dan terbatas. Sedangkan ushul-fiqh universal adalah (a) Ushuliyyun akan mempelajari perilaku manusia (af’al al-mukallafin) dari luar madzhabnya sendiri. (b) Ushuliyyun akan mempelajari ushul-fiqh dari berbagai madzhab dan membandingkannya satu sama lain. (c) Struktur ushul-fiqh ditentukan oleh ushuliyyun itu sendiri dengan membangun konseptual. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat mutlak, ada generalisasi dan berlaku universal. 3. Pendekatan Prositivistis dan Naturalistis Dalam pandangan Dhurkheim, dasar pendekatan positivistic adalah logika matematis yang penuh teori logika deduktif. Kevalidan karya positivisme dengan cara mengandalkan fakta empiri. Generalisasi diperoleh dari rerata di lapangan. Kalau konsep semacam ini diterapkan pada pemikiran Ibn Taymia, maka ada dua dasar, yaitu (a) teks al-Qur’an dan teks al-Hadits dinilai sebagai pusat, dan pemahaman yang diluar teks adalah sebagai dunia yang gelap. Maka untuk mengetahui yang gelap itu, ilmuwan harus masuk pada tingkat hakikat, yaitu makna empirik (tekstualis), bukan ta’-wil atau kinayah dan sebagainya. (b) teks tidak dipandang sebagai pusat, tetapi sebagai satu titik dari deretan titik yang disebut kenyataan. Karena kedudukan seperti ini, maka teks tidak harus mengetahui hukum (yang gelap) yang berlaku pada dunia sekitar, tetapi yang gelap-gelap itulah yang lebih menserasikan diri dengan teks. Ciri-ciri positivistic dapat dilihat dari tiga pilar keilmuan, yaitu (a) aspek ontologis, positivistic menghendaki bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin) dapat dipelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari subjek lain, dan dapat dikontrol. (b) secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap pengamalan fiqh dalam masyarakat. (c) secara aksiologis, menghendaki agar pengembangan ushul-fiqh bebas nilai. Artinya, ushuliyyun dalam menyusun ushul-fiqhnya mengejar objektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat. 4. Pendekatan Fenomenologis Fenomenologi berusaha memahami pengalaman madzhab lewat pandangan dan perilaku pengamal madzhab itu. Menurut faham fenomenologis, ilmu bukanlah bebas nilai dari apapun, tetapi memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma fenomenologis adalah (a) kenyataan ada dalam diri manusia, baik selaku individu atau kelompok, selalu bersifat majmuk atau ganda yang tersusun secara kompleks. Oleh karena itu pengamalan madzhab Syafi’iy atau madzhab Hanafi atau lainnya yang tersebar di beberapa kawasan, hanya bisa dipelajari secara holistic dan tidak terlepas-lepas. (b) hubungan antara ushuliyyun dengan pengikut madzhab di daerah itu saling mempengaruhi, mungkin karena diskusi atau saling memberikan komentar. (c) lebih mengarah kepada kasus-kasus fiqhiyyah bukan untuk menggeneralisasi karangan atau materi untuk ushul-fiqhnya. (d) ushuliyyun akan kesulitan dalam membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara stimulan. (e) inkuiri terkait nilai, bukan bebas nilai, sebagaimana disebutkan di atas. Perkembangan kesadaran yang diketahui oleh ushuliyyun yang menggunakan fenomenologi akan dihadapkan pada sejumlah permasalahan fiqh dan ushul-fiqhnya. Paling tidak ada tiga permasalahan pokok, yaitu (a) Ketidak samaan data yang dihimpun oleh ushuliyyun, karena perbedaan minat di kalangan mereka terhadap perilaku suatu madzhab di daerah yang sama. (b) Masalah sifat data itu sendiri. Artinya seberapa jauh data tersebut dapat diperbandingkan, atau seberapa jauh data tersebut benar-benar dapat melukiskan gejala yang sama dari pengamal madzhab yang berbeda. (c) Menyangkut masalah klasifikasi data yang di antara ushuliyyun masih berbeda kriterianya. PENUTUP A. Kesimpulan Demikian pengembangan ushul-fiqh, sebenarnya masih bisa dicapai lagi dengan pendekatan yang lain, seperti pendekatan praktek, dan pendekatan emansipatoris. Meskipun begitu, pendekatan-pendekatan yang sudah disajikan di atas, sudah mencukupi untuk mengembangkan ushul-fiqh kita. Wallahu a’lam. B. Saran-Saran Karya Ilmiah ini jauh dari kesempurnaan dan dekat dengan kekurangan-kekurangan, maka diharapkan saran, kritik dan masukan dari ahli-ahli ushul fiqih dan semua pembaca, sehingga menjadi karya ilmiah yang sempurna. DAFTAR PUSTAKA - Aziz. A. Qodri, 2003. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, Dipertais, Ditjen Bagais, Depag RI, Jakarta. - Bisri, Cik Hasan, 2003. Model Penelitian Fiqih, Jilid I. Edisi Pertama, Prenada Media, Jakarta. - Dikki al-Bab, Ja’far, 2004. Metode Linguistik Buku Al-Kitab wa Al-Qur’an. Elsaq Press. Yogyakarta. - Muhammad Syahrur, 2004. Al-Kitab wa Al-Qur’an. Elsaq Press. Yogyakarta. - Syalabi. Muhammad Musthofa, 198 M-1401 H. Beirut. Dar al-Nahdhah Al-Arabiyah. - Syarkhasi, Muhammad Ibn Ahmad Bin Abi Sahal, Al-Muharrar fi Ushul al-Fiqh, Beirut.tt. Dar al-Kutub Al-Arabiyah.
Lanjuuut..

Ijtihat dan Dasarnya

BAB I PENDAHULUAN Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun cara-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh. BAB I PENDAHULUAN Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun cara-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh. Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil. Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu. Dengan Usul Fiqh :  Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.  Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.  Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.  Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ijtihad Dari segi bahasa, Ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah. Adapun ijtihad secara istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama usul fiqh. Namun secara umum adalah عَمَلِيَّةُ اسْتِنْبَاطِ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ فيِ الشَّرِيْعَةِ Artinya : “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat” Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih. Sedangkan yang dimaksud mujtahid adalah orang yang mengeluarkan hukum berdasarkan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Karena mujtahid ini mengeluarkan hukum, maka ia disebut pula sebagai hakim sebagaimana tercantum dalam hadits dimana sabda Rasul : “Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan ijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Namun bila ia menetapkan hukum dengan jalan ijtihad, kemudian ia keliru, maka ia mendapatkan satu pahala.” Pahala itu berlaku bagi Mujtahid. Namun bagi orang yang bukan mujtahid, jika benar maka tidak mendapat apa-apa, jika salah maka mendapat dosa. Dalam terminologi yurisprudensi (hukum) Islam, kata Ijtihad dan Taqlid adalah dua kata yang tidak asing dan telah menjadi bahan pembahasan para fuqaha dan ushuliyyun sejak generasi terdahulu sampai sekarang. Akhir-akhir ini bahasan tentang keduanya mulai marak kembali, khususnya ketika muncul sebuah gerakan yang menamakan dirinya sebagai pengikut Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Mereka acapkali disebut dengan mujaddidin (kaum pembaharu). Gerakan mujaddidin menolak segala bentuk taqlid, khususnya kepada para mujtahid yang telah wafat seperti Imam Abu Hanifah (80-150H), Imam Malik Bin Anas (93-179 H), Imam Syafi’i (150-198 H) dan Imam Ahmad Bin Hambal (164-241 H). Kehadiran mereka tidak dapat dipungkiri lagi, bahkan mengundang reaksi yang cukup keras dari kaum taqlidiyyin (para pengikut empat imam mujtahid tersebut). Letak perbedaan kedua golongan ini, mujaddidin dan taqlidiyyin, sehubungan dengan masalah hukum Islam, adalah kaum mujaddidin berpendapat bahwa umat Islam hanya harus mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak boleh mengikuti selain keduanya. Dengan demikian setiap muslim harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis secara langsung, tidak diperbolehkan mengikuti (taqlid) kepada pendapat ulama. Sementara kaum taqlidiyyin berpendapat, bahwa sah-sah saja seorang muslim mengikuti pendapat seorang ulama, khususnya para imam mazhab yang empat, karena pendapat mereka tidak lepas dari empat dasar hukum, Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Apalagi mereka lebih dekat kezaman kenabian dari pada umat Islam sekarang ini. Lebih dari itu kaum taqlidiyyin membatasi ijtihad hanya kepada empat imam mazhab tersebut. Dengan pengertian, setelah keempat mujtahid tersebut tidak ada lagi mujtahid yang lain. Walaupun ada, maka itu hanya sebagai mujtahid fatwa bukan mujtahid mutlak, seperti Imam Nawawi diMesir dan Imam Rafi’I diSuria. Jadi satu pihak mewajibkan setiap muslim merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah,walaupun dengan seperangkat ilmu alat seadanya serta dengan latar belakang pendidikan yang berbeda. Dengan kata lain, menurut pihak ini setiap muslim harus berijtihad (definisi ijtihad pada keterangan berikut) dan diharamkan taqlid. Sementara di pihak lain menutup pintu ijtihad rapat-rapat, sehingga tidak diperkenankan seseorang setelah empat imam mujtahid untuk berijtihad. Mereka harus mengikuti salah satu dari empat imam mujtahid tersebut. B.Hukum Melakukan Ijtihad 1. Orang tersebut dihukumi pardlu a’in untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya. 2. juga dihukumi fardlu a’in jika ditanykan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. 3. Dihukumi fardlu kifayah ,jika permasalahan yang dijukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya. 4. Dihukumi Sunnah apabila ber-Ijtihd terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya maupun tidak. 5. Dihukum haram,apabila ber-Ijtihad terhdap permasalhan yang sudah ditetapkan secara qat’I ,sehingga hasil ijtihad itu bertentangan engan dalil syara. C. Dasar Hukum Ijtihad Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hokum Islam.Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali,baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat,diantaranya: Firman Allah SWT :        ••          Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. Surat An-Nisa’: 105) Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu’mah dan ia Menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu’mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu’mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu’mah dan menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu’mah, Nabi sendiri Hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu’mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi Wafat .Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatau masalah baru yang tidak terdapat dalam AL-Qur’an dan Sunnah Rasul. D. Hukum- Hukum Menurut Fuqaha a. Wajib,kerena bila dilihat dari segi waktu,contohnya:waktu pembayarn kafarat sumpah,hukumnya wajib, tetapi tidakdijelaskan waktu pembayarannya. b. Mandub,ialah sesuatu yang dituntut syara’ memperbuatnya kepada orang mukalaf dengan tuntutan yang tidak mesti. c. Haram,adalah sesuatu yang dituntut oleh syara untuk tidak mengerjakan dengan tuntutn yang mesti.Contohnya;jangn dekati jinah,karena jinah adalah sesuatu yang amat keji. d. Makruh, contohnya meninggalkan yang meragukan ,untuk menuju kepada yang tidak diragukan. e. Mubah,Contohnya memberi pilihan mukalaf oleh syara antara ingin berbuat atau meninggalkannya. E. Medan Ijtihad Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum. Lalu, hokum Islam yang mana saja yang mungkin untuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hokum (hukum Islam) secara mutlak? Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan peranannya adalah: 1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas. 2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin. 3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan. 4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid). Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam, disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak. Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak berlaku atau tidak dibenarkan pada: 1) Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau "ma'ulima min al-din bi al-dlarurah." Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas." Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an. 2) Hukum Islam yang telah diijma'i ulama. 3) Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli 'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapatdicerna dan diketahui mujtahid). Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Tidak ada ijtihad dalam melawan nash." F. Syarat-Syarat Berijtihad Atau Mujtahid. Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian persyaratan itu yang terpenting ialah: 1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum. 2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum. 3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'. 4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum. 5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an. 6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum. 7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u 'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u 'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat. 8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening). 9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hokum dan sanggup mempertahankannya 10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya. G. Macam-Macam Tingkatan Mujtahid Mujtahid terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu: 1. Mujtahid Mustaqil (mandiri, independen) adalah ulama yang telah memenuhi semua syarat-syarat di atas. Mereka punya otoritas untuk mengkaji hukum langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, dan menggunakan methode yang dirumuskan sendiri dalam berijtihad tanpa mengekor kepada mujtahid lain. Pendapatnya kemudian disebarluaskan kepada masyarakat. Termasuk dalam tingkatan ini adalah seluruh fuqoha dari kalangan shahabat, fuqoha dari kalangan tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nakha’i, fuqoha mujtahid seperti Ja’far ash-Shadiq dan ayahnya, Muhammad al-Baqir, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad, Sufyan ats-Tsaury, dan Abu Tsaur. Namun yang madzhabnya tetap masyhur hingga kini adalah 4 Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. 2. Mujtahid Muntasib adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil/memilih pendapat-pendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang, meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya. Termasuk dalam tingkatan ini seperti al-Muzani (dari madzhab Syafi’i) dan Abdurrahman ibnu Qosim (dari madzhab Maliki).\ 3. Mujtahid Madzhab yaitu mengikuti imamnya dalam ushul maupun furu’ yang telah jadi. Peranan mereka sebatas melakukan istinbath hukum terhadap masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya. Mujtahid madzhab tidak berhaq berijtihad terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapannya di dalam madzhab yang dipegangnya, kecuali dalam lingkup terbatas. Menurut madzhab Maliki, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid madzhab. 4. Mujtahid Murajjih hanya mentarjih (mengunggulkan dan menguatkan) diantara pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari imamnya dengan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid-mujtahid pada tingkatan-tingkatan di atasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain dalam madzhab yang dipegangnya karena dipandang lebih kuat dalilnya, atau karena sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat pada masa itu, atau karena alasan-alasan lain, namun tidak melakukan kegiatan istinbath baru yang independen. Ini adalah tingkatan paling rendah dalam Ijtihad. H. Perbedaan Yang Ditolerir Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam. Banyak ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menyinggung masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari Hadits Nabi yang artinya, "Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat Bukhari Muslim). Hadits di atas bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad ditolerir. Prinsip ini dipegang teguh oleh para imam mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat populer, "Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar." Hal ini sejalan dengan status fiqih sebagai produk ijtihad yang statusnya dhanny, yang artinya kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tetapi mengandung kemungkinan salah, ia salah tetapi mengandung kemungkinan benar. Hanya saja, menurut mujtahid, porsi kebenarannya lebih dominan/rajih. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam sebagai hasil ijtihad inilah yang ditegaskan Nabi akan membawa rahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahui ditegaskan dalam sebuah hadits, "Perbedaan pendapat di kalangan ulama akan membawa rahmat." (Abu Nashar Al-Muqaddasi). Yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah perbedaan pendapat dalam hukum Islam ijtihady, yakni fiqih. Inilah yang ingin saya tegaskan dalam kesempatan ini mengingat adanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu' untuk membenarkan adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yang akan bermuara pada paham "pluralisme agama" -semua agama sama atau benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabila benar bahwa semua agama itu sama tentu tidak ada kewajiban berda'wah, amar ma'ruf nahi munkar, jihad dan sebagainya. Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan. I. Ijtihad Bagi Nabi dan Sahabat Pada ulama telah sepakat bolehnya ber-ijtihad bagi Nabi-nabi dalam hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan dunia dan soal-soal peperangan. Menurut jumhur, Nabi-nabi boleh ber-ijtihad, kalau seseorang boleh ber-ijtihad sedang ia tidak terhindar dari kemungkinan luput, mengapa Nabi-nabi tidak boleh ber-ijtihad, padahal mereka terjamin dari keluputan. Para ahli ushul berbeda pendapat tentang diperbolehkannya ijtihad bagi sahabat-sahabat di masa Rasul. Pendapat yang kuat membolehkan ijtihad bagi sahabat-sahabat; baik di kala berdekatan dengan Rasulullah ataupun ketika berjauhan. Nabi pernah menyerahkan putusan tentang Yahudi Bani Quraidzah kepada Sa’ad. J. Bertaqlid Taqlid adalah beramal atas dasar fatwa seorang faqih / mujtahid (Lihat kitab Tahrir al-Wasilah, karya Imam Khumainy). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa setiap muslim harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, meskipun tidak semua orang muslim mampu merujuk kepada keduanya secara langsung (berijtihad) karena enam persyaratan tersebut, maka bagi yang tidak mampu diperkenankan bertaqlid. Kata-kata taqlid bagi sementara kaum muslimin adalah kata yang berkonotasi negatif. Bahkan sebagian ada yang mengharamkannya. Padahal masalah taqlid adalah sesuatu yang lumrah, wajar dan logis terjadi ditengah-tengah masyarakat. Kehidupan sosial umat manusia tegak atas dasar taqlid, karena taqlid tidak lain dari perbuatan seseorang yang tidak tahu merujuk kepada yang tahu dalam segala urusan. Misalnya seorang yang sakit merujuk kepada Dokter sebagai ahli kesehatan, seorang ulama meminta bantuan seorang insinyur ketika hendak membangun masjid dan pesantren dan sebagainya. Setiap orang yang tidak tahu dalam satu masalah atau urusan pasti merujuk kepada yang ahli dalam masalah dan urusan tersebut. Itulah yang dinamakan taqlid. Dalam hal ini tidak ada yang menganggap taqlid itu tidak baik. Demikian halnya dalam masalah syariat atau hukum (baca, fiqih), tidak semua orang mampu mengambilnya langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah, karena pengambilan langsung dari keduanya bukan sesuatu yang mudah, akan tetapi perlu ada spesialisasi. Nah, orang yang awam tentang syariat, baik itu pedagang, petani, kaum intelek dan lainnya yang tidak membidangi syariat secara khusus, mau tidak mau mereka harus merujuk kepada orang yang ahli dalam masalah syariat. Alasan ini dalam istilah para ushuliyyun dan fuqaha disebut al-urufal-uqala’i. Disamping itu ada beberapa ayat yang oleh sebagian ulama dijadikan dalil tentang diperbolehkannya taqlid dalam urusan syari’at, antara lain: 1. Surat At-Taubah ayat 122                          "Tidak sepatutnya bagi semua orang mukmin pergi (berjihad). Mengapa tidak pergi dari setiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk tafaqquh (belajar secara mendalam) dalam urusan agama. Dan (setelah itu) mereka hendaknya memberi peringatan kepada kaumnya kalau kembali kepada mereka, agar mereka dapat menjaga diri mereka. ""Ayat ini secara implisit menyatakan, bahwa kewajiban orang yang tidak bertafaqquh untuk mengikuti dan menerima keterangan orang-orang yang bertafaqquh. 2. Surat Al-Anbiya ayat 70 "Maka bertanyalah kepada ahli dzikir,jika kalian tidak mengetahui." Ayat ini mengandung arti yang umum, karena ahli dzikir dapat diartikan sebagai ahli kitab, jika yang menjadi mukhatab (obyek) adalah kaum musyrikin dan juga dapat diartikan sebagai para imam atau ulama (ketika tidak ada imam) kalau yang menjadi mukhatab adalah umat Islam. Berdasarkan pengertian kedua, ketika Allah menyuruh umat Islam bertanya kepada para imam dan ulama, berarti mereka harus menerima jawaban yang diberikan oleh mereka. K. Objek Ijtihad Menurut Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian. 1. Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil qoth’i, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina, mencuri dan lain-lain. 2. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama. BAB III KESIMPULAN 1) Dalam mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, secara garis besar terdapat dua cara, pertama ijtihad dan kedua taqlid. Keduanya dibenarkan dan berlaku untuk seluruh kaum muslimin. 2) Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain. 3) Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau hukum khuluqi, 4) Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni. 5) Pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi yang memenuhi persyaratan. 6) Ijtihad dibenarkan apabila dilakukan di tempat-tempa dimana ijtihad boleh dilakukan. 7) Nabi Muhammad saw bisa melakukan ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapatnya pribadi tanpa wahyu, terutama dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan persoalan hukum. Kesimpulan tersebut, sesuai dengan sabda beliau sendiri : Artinya : "Sungguh saya memberi keputusan diantara kamu tidak lain dengan pendapatku dalam hal tidak diturunkan (wahyu) kepadaku." (HR. Abu Daud dan Ummi Salamah). Daftar Pustaka - A. Hanafie, MA., Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, cet. XII - Dr. H. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999, cet. I. - M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, PT Bulan Bintang, Jakarta,1987 - Prof. Muhammad Abu Zahrah, ushul fiqih, Pustaka Pirdaus, Jakarta 2005 - Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A. Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya 2000 - Prof. Dr. Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Usul Fiqh, Pustaka Amani, Jakarta 2003
Lanjuuut..

Membongkar budaya Santri

Membongkar Dekadensi Budaya Santri Di samping progresivitas pesantren menawarkan gagasan dan gerakan pembaharuan, religiusitasnya berhasil membangun kharisma dan pengaruh yang begitu besar. Religiusitas pesantren tampak dari budaya agamis "masyarakatnya"— dalam hal ini santri. Ajaran dan nilai keagamaan yang terus menerus ditransformasikan melalui pendidikan membentuk sebuah budaya unik dan genuin. Dalam sejarahnya, budaya pesantren itu mampu mengejawantah dalam realitas masyarakat. Pesantren, setidaknya, berhasil menyumbang tatanan nilai dan moral-etik yang kemudian dipegang masyarakat. Besarnya peran pesantren dalam membentuk tatanan budaya masyarakat memosisikannya sebagai basis segala aktivitas. Segala hal yang berkaitan dengan aspek agama, sosial, pendidikan, bahkan ekonomi dan politik bertumpu pada pesantren. Sumbangan pesantren yang begitu besar membuat masyarakat menyerahkan sebagian besar kepercayaannya pada pesantren. Tokoh pesantren—kiai, ustaz, santri—adalah tumpuan masyarakat atas berbagai masalah keseharian yang dihadapi. Masalahnya, kepercayaan masyarakat pada pesantren kini mulai terkikis. Salah satunya disebabkan pesantren tak lagi berada pada relnya. Beberapa kalangan mencurigai pesantren "lalai" dalam tugasnya sebagai "gawang" Islam Indonesia. Kritik ini, tampaknya, berangkat dari kenyataan; banyak tokoh pesantren yang terlalu asyik di wilayah politik, `bermain mata' dengan kekuasaan, dan dekadensi budaya dan moral santrinya. Kecolongan Yang terakhir disebut, menarik untuk diteropong lebih dalam. Tak dipungkiri, budaya santri kian merosot. Hal itu tampak dari perilaku dan kebiasaan santri yang nyaris tercerabut dari akar keber-Islam-annya. Tampaknya, masalah dekadensi budaya kini menyeruak ke setiap sudut kehidupan. Fenomena semaraknya perilaku yang mengarah pada budaya Barat: amoral, niretik, hedonis, konsumtif, dan bertolak belakang dengan religiusitas, kini mudah ditemukan. Sebagai basis "pertahanan" Islam, masuknya budaya yang dekaden—bisa saja—menunjukkan kekeroposan pesantren. Tampaknya, pesantren kini kesulitan membendung penjajahan budaya. Kesulitan itulah yang acapkali membuat pesantren "kecolongan" . Bolongnya gerbang pesantren mendorong ekspansi besar-besaran budaya luar masuk ke pesantren. Berbagai ideologi terbungkus kemasan modernitas dan teknologi diterima dengan tangan terbuka oleh santri nyaris tanpa filter. Westernitas atau kebarat-baratan berkedok lokalitas kerapkali membuat santri kegandrungan pada konsumerisme budaya yang berlebihan. Budaya dan etika nonreligius ditelan mentah- mentah. Tak sulit menemukan fenomena dekadensi budaya yang demikian itu. Secara kasat mata, kita bisa melihat budaya, semisal, perayaan Hari Valentin, tahun baru, atau ulang tahun dengan cara-cara yang nyaris persis anak-anak kota. Dalam hal berpakaian, tak sedikit santri latah ikut-ikutan gaya yang sedang tren di kalangan selebritas. Dalam hal makanan, menanak (baca: atana') dianggap "nggak gaul" dan merepotkan. Padahal, yang disebut terakhir juga termasuk aktivitas kependidikan dan pembelajaran kemandirian. Santri, secara tidak sadar, kini dihinggapi budaya instan, konsumtif, dan hedonis. Instan lantaran terbiasa dengan "kemudahan", segalanya didapat dengan mudah dan tanpa melalui proses yang teliti. Konsumtif akibat pudarnya daya kritisisme santri sekaligus lantaran dihadapkan pada dagangan produk kapitalis yang menggiurkan. Hedonis lantaran ada kecenderungan perilaku diarahkan untuk melulu menggali sebuah kesenangan semu—kira-kira demikian. Dua hal di atas yang memengaruhi pola pikir, paradigma, kemudian perilaku santri. Pantas, andai moralitas dan budaya santri kian dekaden—seperti yang dituduhkan beberapa kalangan. Membangun "Benteng" Sajian budaya luar tak identik vitamin yang selalu "sehat" bagi santri. Budaya luar yang kian menggerogoti religiusitas santri mesti diantisipasi. Jika dibiarkan, masalah dekadensi budaya akan semakin berlarut-larut. Akibatnya, tidak hanya akan dirasakan oleh santri (baca: pesantren) tetapi juga masyarakat secara umum. Perilaku tercela santri tentunya berangkat dari pola pikir dan paradigma yang keliru pula. Seperti yang disinggung di atas, mudahnya budaya luar masuk pesantren ialah akibat nihilnya daya kritisisme santri. Guna membendung arus budaya, sebuah "benteng" perlu segera dibangun. Benteng yang dengannya, religiusitas budaya terus dipertahankan. Tentunya tak lantas menolak sepenuhnya segala budaya yang masuk selama tidak bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam dan pesantren. Benteng yang dimaksud bukan dalam arti yang literal. Benteng yang dimaksud ialah sebuah pertahanan (budaya) yang terejawantah dalam kebiasaan santri bersikap kritis. Dengan begitu, budaya luar tidak mudah memengaruhi santri. Masivitas masuknya arus budaya luar menuntut kejelian, kekritisan, dan sikap arif dalam menyikapinya. Globalisasi, melalui `tangan' dan `jari-jarinya' , menggiring santri atau pesantren pada posisi dilematis; mempertahankan budaya atau mengikuti arus budaya. Sementara, sikap tengah-tangah acapkali bias, absurd, tampak tanpa identitas. Apa pun yang "menimpa" santri (baca: pesantren) tak mengikis harapan besar masyarakat pada santri sebagai agen perubahan dan pembaharuan. Sampai detik ini, peran santri (juga pesantren) masih besar dan gaungnya terdengar di segala ranah kehidupan masyarakat—dari mulai agama, pendidikan, budaya, bahkan politik. Karena itu, butuh komitmen dan konsistensi santri untuk menjaga pesantren (secara kelembagaan) dan diri santri (secara pribadi) itu sendiri. Tanpa sikap demikian, santri (pesantren) akan tergerus kecenderungan dekadensi budaya global dan menjadi korban peradaban
Lanjuuut..

HIKMAH DAN FILSAFAT DHIHAR, ‘ILA’ DAN LI’AN

HIKMAH DAN FILSAFAT DHIHAR, ‘ILA’ DAN LI’AN Dhihar, menurut bahasa berarti punggung, sedangkan menurut istilah Fiqih adalah ucapan seorang suami terhadap istrinya dengan menyamakan atau menyerupakan istrinya dengan ibunya dengan tujuan untuk mengharamkan baginya menggauli istrinya untuk selamanya sebagaimana ibunya sendiri. Seperti “Anda bagiku seperti (punggung) ibuku” Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW yang kemudian turun wahyu yang menegur hal tersebut dan mewajibkan kafarat (tebusan) bagi pelakunya, yaitu dengan memerdekakan sahaya atau puasa dua bulan berturut-turut atau jika tidak mampu, maka dengan memberi makan 60 fakir miskin per orang satu mud (sekitar 7 ons), sebagaimana ditetapkan Q.S. al-Mujadilah: 2-4;
Download Makalah Pendidikan : "Hikma dan filsafat dhihar" Lengkap
Lanjuuut..
 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger