- Melatih Disiplin Waktu – Untuk menghasilkan puasa yang tetap fit dan kuat di siang hari, maka tubuh memerlukan istirahat yang cukup, hal ini membuat kita tidur lebih teratur demi lancarnya puasa. Bangun untuk makan sahur dipagi hari juga melatih kebiasaan untuk bangun lebih pagi untuk mendapatkan rejeki (makanan).
- Keseimbangan dalam Hidup – Pada hakikatnya kita adalah hamba Allah yang diperintahkan untuk beribadah. Namun sayang hanya karena hal duniawi seperti pekerjaan, hawa nafsu dan lain-lain kita sering melupakan kewajiban kita. Pada bulan puasa ini kita terlatih untuk kembali mengingat dan melaksanakan seluruh kewajiban tersebut dengan imbalan pahala yang dilipatgandakan.
- Mempererat Silaturahmi – Dalam Islam ada persaudaraan sesama muslim, akan tampak jelas jika berada dibulan Ramadhan, Orang memberikan tajil perbukaan puasa gratis. Sholat bersama di masjid, memberi ilmu islam dan banyak ilmu Islam di setiap ceramah dan diskusi keagamaan yang dilaksanakan di Masjid.
- Lebih Perduli Pada Sesama – Dalam Islam ada persaudaraan sesama muslim, akan tampak jelas jika berada dibulan Ramadhan, Orang memberikan tajil perbukaan puasa gratis. Sholat bersama di masjid, memberi ilmu islam dan banyak ilmu Islam di setiap ceramah dan diskusi keagamaan yang dilaksanakan di Masjid.
- Tahu Bahwa Ibadah Memiliki Tujuan – Tujuan puasa adalah melatih diri kita agar dapat menghindari dosa-dosa di hari yang lain di luar bulan Ramadhan. Kalau tujuan tercapai maka puasa berhasil. Tapi jika tujuannya gagal maka puasa tidak ada arti apa-apa. Jadi kita terbiasa berorientasi kepada tujuan dalam melakukan segala macam amal ibadah.
- Tiap Kegiatan Mulia Merupakan Ibadah – Setiap langkah kaki menuju masjid ibadah, menolong orang ibadah, berbuat adil pada manusia ibadah, tersenyum pada saudara ibadah, membuang duri di jalan ibadah, sampai tidurnya orang puasa ibadah, sehingga segala sesuatu dapat dijadikan ibadah. Sehingga kita terbiasa hidup dalam ibadah. Artinya semua dapat bernilai ibadah.
- Berhati-hati Dalam Berbuat – Puasa Ramadhan akan sempurna dan tidak sia-sia apabila selain menahan lapar dan haus juga kita menghindari keharaman mata, telinga, perkataan dan perbuatan. atihan ini menimbulkan kemajuan positif bagi kita jika diluar bulan Ramadhan kita juga dapat menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa seperti bergunjing, berkata kotor, berbohong, memandang yang dapat menimbulkan dosa, dan lain sebagainya.
- Berlatih Lebih Tabah – Dalam Puasa di bulan Ramadhan kita dibiasakan menahan yang tidak baik dilakukan. Misalnya marah-marah, berburuk sangka, dan dianjurkan sifat Sabar atas segala perbuatan orang lain kepada kita. Misalkan ada orang yang menggunjingkan kita, atau mungkin meruncing pada Fitnah, tetapi kita tetap Sabar karena kita dalam keadaan Puasa.
- Melatih Hidup Sederhana – Ketika waktu berbuka puasa tiba, saat minum dan makan sedikit saja kita telah merasakan nikmatnya makanan yang sedikit tersebut, pikiran kita untuk makan banyak dan bermacam-macam sebetulnya hanya hawa nafsu saja.
- Melatih Untuk Bersyukur – Dengan memakan hanya ada saat berbuka, kita menjadi lebih mensykuri nikmat yang kita miliki saat tidak berpuasa. Sehingga kita dapat menjadi pribadi yang lebih mensyukuri nikmat Allah SWT.
Kamis, 10 Juli 2014
10 Hikmah Melaksanakan Ibadah Puasa Ramadhan
Rabu, 09 April 2014
Idola Gus Dur adalah Para Sufi
GUS DUR Siapakah orang yang
diidolakan oleh Gus Dur? para artis, pemain sepak bola, politisi,
hartawan atau ilmuwan sebagaimana kebanyakan orang? Bukan itu semuanya.
Menurut Kiai Said Aqil, Gus Dur sangat mengidolakan para sufi. Pokoknya idolanya para sufi yang filosof. Beliau senang sekali dengan judul disertasi saya, Hubungan Allah dengan Alam, katanya. Beberapa sufi yang buku dan kisah hidupnya banyak dipelajari oleh Gus Dur adalah Junaidi al Bagdadi, Ibnu Sina, Al Ghozali. Ketika
intelektualitasnya sudah sangat matang, Gus Dur menjadi bosan dengan
pendekatan logis. Setiap orang yang kenal dengan Gus Dur akan kagum
dengan instuisinya. Dijelaskannya, orang
kalau memberikan masukan ke Gus Dur dengan analisis, Gus Dur ngak
ngreken (memperhatikan), tapi kalau ngaku dapat isyarah, ia akan
memperhatikan karena hal ini tidak ada batasnya sementara rasionalitas
ada batasnya.
Ilham, ilmu ladunni, kasyaf, itu ngak ada batasnya, asal jangan ngaku mendapat wahyu atau mengaku nabi, tuturnya.
Ia mencontohkan Ibnu
Arabi mengaku mendapat ilham, tetapi mengatakan lastu nabiyyah
warasullah, saya bukan nabi, padahal isinya luar biasa, sementara itu
pendiri Ahmadiyah mengaku dapat wahyu.
Ini salahnya mengaku mendapat wahyu, bukan menjadi wali, padahal isi bukunya bagus, terangnya.
Jumat, 21 Februari 2014
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)
Bisa difahami bahwa definisi Ahlussunnah wa Al jamaah ada dua bagian yaitu: definisi secara umum dan definisi secara khusus .
* Definisi Aswaja Secara umum adalah : satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih) dan hakikat ( Tasawwuf dan Akhlaq ) .
* Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah : Golongan yang mempunyai I’tikad / keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya’iroh dan Maturidiyah.
Label:
Nahdhotul Ulama (NU)
Rabu, 12 Februari 2014
Hukum berjabat Tangan bukan Muhrim
Saat ini tidak jarang kita lihat ditengah-tengah masyarakat, baik
artis, pejabat maupun sahabat kita, berjabat tangan dan pegangan tangan
dengan yang bukan mahramnya. Ini sudah menjadi hal yang lumrah. Bahkan
ada yang sampai dengan bangga mempertontonkan di Televisi adegan
“cipika-cipiki” (singkatan dari Cium Pipi kanan dan Cium Pipi Kiri)
antara laki-laki dan perempuan yang belum halal baginya.
Sungguh aneh!
sejak kecil, kita sering mendapatkan doktrin, dari guru-guru agama kita (SD, SMP, SMA) bahwa bersentuhan kulit dengan lawan jenis yg bukan mahram akan membatalkan wudhu. Bahkan para ustadz-ustadz dalam ceramahnya sering menjelaskan, bahwa doktrin itu terkait berdasar hukum yg ditetapkan oleh Imam Syafi’i. Dan sebagai penganut Mazhab Imam Syafi’i, sudah barang tentu kita harus mengikuti ketetapannya. Namun dalam hal bersalaman dengan yang bukan mahram, sebagian besar umat Islam di negeri ini justru menutup mata dengan persoalan ini. Seolah-olah ini hanyalah masalah sepele saja. Padahal jika kita mencontoh kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai qudwah kita, tak pernah sedikit pun beliau mencontohkan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Bahkan beliau mengharamkan seorang lelaki menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Beliau pernah bersabda:
sejak kecil, kita sering mendapatkan doktrin, dari guru-guru agama kita (SD, SMP, SMA) bahwa bersentuhan kulit dengan lawan jenis yg bukan mahram akan membatalkan wudhu. Bahkan para ustadz-ustadz dalam ceramahnya sering menjelaskan, bahwa doktrin itu terkait berdasar hukum yg ditetapkan oleh Imam Syafi’i. Dan sebagai penganut Mazhab Imam Syafi’i, sudah barang tentu kita harus mengikuti ketetapannya. Namun dalam hal bersalaman dengan yang bukan mahram, sebagian besar umat Islam di negeri ini justru menutup mata dengan persoalan ini. Seolah-olah ini hanyalah masalah sepele saja. Padahal jika kita mencontoh kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai qudwah kita, tak pernah sedikit pun beliau mencontohkan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Bahkan beliau mengharamkan seorang lelaki menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Beliau pernah bersabda:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik
baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR.
Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 20/210 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu
‘anhu, lihat Ash-Shahihah no. 226)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Dalam hadits ini ada
ancaman yang keras bagi lelaki yang menyentuh wanita yang tidak halal
baginya. Dan juga merupakan dalil haramnya berjabat tangan dengan para
wanita, karena jabat tangan tanpa diragukan masuk dalam pengertian
menyentuh. Sungguh kebanyakan kaum muslimin di zaman ini ditimpa musibah
dengan kebiasaan berjabat tangan dengan wanita (dianggap sesuatu yang
lazim, bukan suatu kemungkaran, -pent.). Di kalangan mereka ada sebagian
ahlul ilmi, seandainya mereka mengingkari hal itu hanya di dalam hati
saja, niscaya sebagian perkaranya akan menjadi ringan, namun ternyata
mereka menganggap halal berjabat tangan tersebut dengan beragam jalan
dan takwil. Telah sampai berita kepada kami ada seorang tokoh besar di
Al-Azhar berjabat tangan dengan para wanita dan disaksikan oleh sebagian
mereka. Hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala kita sampaikan pengaduan
dengan asingnya ajaran Islam ini di tengah pemeluknya sendiri. Bahkan
sebagian organisasi-organisasi Islam berpendapat bolehnya jabat tangan
tersebut. Mereka berargumen dengan apa yang tidak pantas dijadikan
dalil, dengan berpaling dari hadits ini4 dan hadits-hadits lain yang
secara jelas menunjukkan tidak disyariatkan jabat tangan dengan kaum
wanita non-mahram.” (Ash-Shahihah, 1/448-449)
Dalam membaiat para shahabiyyah sekalipun, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menjabat tangan mereka. ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمْتَحِنُ
مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ بِهَذِهِ اْلآيَةِ بِقَوْلِ
اللهِ تَعَالَى {ياَ أيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ
يُبَايِعْنَكَ} إِلَى قَوْلِهِ {غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ} قَالَ عُرْوَةُ:
قَالَتْ عَائِشَةُ: فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا الشَّرْطِ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ،
قَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ
باَيَعْتُكِ؛ كَلاَمًا، وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ
قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ، مَا يبُاَيِعُهُنَّ إِلاَّ بِقَوْلِهِ: قَدْ
باَيَعْتُكِ عَلَى ذَلِكَ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji kaum
mukminat yang berhijrah kepada beliau dengan firman Allah Ta’ala: “Wahai
Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk
membaiatmu….” Sampai pada firman-Nya: “Allah Maha Pengampun lagi
Penyayang.” Urwah berkata, “Aisyah mengatakan: ‘Siapa di antara
wanita-wanita yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan
dalam ayat tersebut’.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
berkata kepadanya, “Sungguh aku telah membaiatmu”, beliau nyatakan
dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” ‘Aisyah berkata, “Tidak, demi
Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang
wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali
hanya dengan ucapan, “Sungguh aku telah membaiatmu atas hal tersebut.”
(HR. Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim no. 4811)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits ini
menunjukkan tidak bolehnya menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (non
mahram) tanpa keperluan darurat, seperti karena pengobatan dan hal
lainnya bila memang tidak didapatkan dokter wanita yang bisa
menanganinya. Karena keadaan darurat, seorang wanita boleh berobat
kepada dokter laki-laki ajnabi (bukan mahram si wanita). (Al-Minhaj,
13/14)
Umaimah bintu Ruqaiqah berkata: “Aku bersama rombongan para wanita
mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membaiat
beliau dalam Islam. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami membaiatmu
bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak akan
mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak melakukan
perbuatan buhtan yang kami ada-adakan di antara tangan dan kaki kami,
serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam perkara kebaikan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesuai yang kalian
mampu dan sanggupi.” Umaimah berkata, “Kami berucap, ‘Allah dan
Rasul-Nya lebih sayang kepada kami daripada sayangnya kami kepada
diri-diri kami. Marilah, kami akan membaiatmu wahai Rasulullah!’.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata:
إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ، إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita.
Hanyalah ucapanku kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang
wanita.” (HR. Malik 2/982/2, An-Nasa`i dalam ‘Isyratun Nisa` dari
As-Sunan Al-Kubra 2/93/2, At-Tirmidzi, dll. Lihat Ash-Shahihah no. 529)
Dari hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, jelaslah larangan
berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Karena seorang lelaki
haram hukumnya menyentuh atau bersentuhan dengan wanita yang tidak halal
baginya. Karena hal tersebut dikategorikan dengan zina tangan.
Sebagaimana Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ {كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا
مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ
وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ
وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ
يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ }
Dari [Abu Hurairah] dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib
perzinaannya yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. zina kedua
mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lidah
adalah berbicara, zina kedua tangan adalah menyentuh, zina kedua kaki
adalah melangkah, dan zina hati adalah berkeinginan dan berangan-angan,
sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan.”
[HR. Shahih Muslim: 4802]
Dan Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.’ [QS: Al Isra: 32]
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.’ [QS: Al Isra: 32]
Al-Imam Asy-Syinqinthi rahimahullahu berkata, “Tidaklah diragukan
bahwa sentuhan tubuh dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat
laki-laki terhadap wanita, dan merupakan pendorong yang paling kuat
kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata.7 Dan setiap orang
yang adil/mau berlaku jujur akan mengetahui kebenaran hal itu.”
(Adhwa`ul Bayan, 6/603)
Sumber : debian2u.wordpress.com/2010/12/07/hukum-berjabat-tangan-dg-yg-bukan-mahram
Hukum Ziarah Kubur
Ziarah kubur dalam Islam
Merupakan sebuah kebiasaan di masyarakat Indonesia saat bulan
Ramadhan ataupun Idul Fithri berbondong-bondong ziarah kubur (nyekar) yang
seolah-olah perbuatan tersebut pada waktu itu lebih utama padahal pada
hakikatnya ziarah kubur bisa dilakukan kapan saja, karena inti dari ziarah
kubur adalah untuk mengingat mati agar setiap manusia mempersiapkan bekal
dengan amal shalih, jadi bukan kapan dan dimana kita akan mati tapi apa yang
sudah kita persiapkan untuk menghadapi kematian. Sebab jika kematian itu telah
datang maka tidak akan ada yang mampu memajukan atau memundurkannya walau
sesaat pun.
Dalam pandangan Islam, ziarah kubur termasuk ibadah yang pada
awalnya diharamkan, yaitu diawal perkembangan Islam. Namun kemudian dianjurkan
dalam agama. Pengharaman ziarah kubur sebelumnya disebabkan para shahabat masih
baru saja meninggalkan pola kepercayaan jahiliyah, yang salah satu bentuknya seringkali
meminta-minta kepada kuburan.
Padahal perbuatan itu termasuk perbuatan syirik yang dosanya tidak
akan diampuni bila terbawa mati dan belum bertaubat. Termasuk kebiasaan mereka
mengkeramatkan kuburan serta melakukan berbagai ritual lainnya yang hukumnya
haram.
Namun ketika para shahabat sudah lebih kuat keimanannya, lebih
dewasa cara berpikirnya serta sudah tidak ingat lagi masa lalunya tentang
ritual aneh-aneh terhadap kuburan, maka Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam pun
membolehkan mereka berziarah kubur.
Berziarah kubur adalah sesuatu hal yang disyariatkan dalam agama
berdasarkan (dengan dalil) hadits-hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam dan
ijma’.
Dalil-dalil dari hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam
tentang disyariatkannya ziarah kubur di antaranya:
Hadits Buraidah bin Al-Hushaib radhiyallâhu ‘anhu dari Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam beliau bersabda,
إِنِّيْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ
فَزُوْرُوْهَا
”Sesungguhnya aku pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur,
maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” Hadits ini
dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/65 dan 6/82) dan Imam Abu Dâud (2/72 dan 131)
dengan tambahan lafazh,
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ
“Sebab ziarah kubur itu akan mengingatkan pada hari akhirat.”
Dan dari jalan Abu Dâud hadits ini juga diriwayatkan maknanya oleh
Imam Al-Baihaqy (4/77), Imam An-Nasâ`i (1/285-286 dan 2/329-330), dan Imam
Ahmad (5/350, 355-356 dan 361).
Anjuran untuk berziarah tersebut tak lepas dari dua tujuan pokok utama dalam berziarah.
Pertama, Sarana untuk mengingat kematian
Anjuran untuk selalu mengingat mati sebenarnya bukan disaat kita sedang berziarah semata, akan tetapi disetiap saat dan disetiap waktu kita dianjurkan untuk senantiasa ingat bahwa kelak cepat atau lambat ajal kita akan datang juga. Akan tetapi dengan berziarah ke makam, tentu hal tersebut seharusnya membuat kita sadar bahwa kita nantinya juga akan dikubur seperti halnya para pendahulu kita yang saat ini sedang dikubur.
Kedua, Untuk mendoakan ahli kubur.
Anjuran untuk berziarah yang kedua ini tentunya kita dibolehkan untuk mendoakan ahli kubur kita. ingat. MEN-doakan. BUKAN MEMINTA doa kepada ahli kubur. barang siapa meminta kepada selain Allah SWT, maka perbuatan tersebut merupakan kesyirikan. Jadi disaat kita berziarah, kita hendaknya mendoakan ahli kubur tersebut kepada Allah SWT.
Demikianlah ulasan singkat tentang dibolehkannya berziarah ke kuburan, artikel ini juga sebagai bantahan bagi sebagian orang yang melarang untuk berziarah, namun juga himbauan bagi mereka yang melampaui batas dalam berziarah, bahwa ziarah itu dibolehkan namun harus sesuai dengan aturan dan tata cara yang diajarkan oleh Rasulullah sallahu'alaihi wasallam.
Artikel: www.solusiislam.com
Anjuran untuk berziarah tersebut tak lepas dari dua tujuan pokok utama dalam berziarah.
Pertama, Sarana untuk mengingat kematian
Anjuran untuk selalu mengingat mati sebenarnya bukan disaat kita sedang berziarah semata, akan tetapi disetiap saat dan disetiap waktu kita dianjurkan untuk senantiasa ingat bahwa kelak cepat atau lambat ajal kita akan datang juga. Akan tetapi dengan berziarah ke makam, tentu hal tersebut seharusnya membuat kita sadar bahwa kita nantinya juga akan dikubur seperti halnya para pendahulu kita yang saat ini sedang dikubur.
Kedua, Untuk mendoakan ahli kubur.
Anjuran untuk berziarah yang kedua ini tentunya kita dibolehkan untuk mendoakan ahli kubur kita. ingat. MEN-doakan. BUKAN MEMINTA doa kepada ahli kubur. barang siapa meminta kepada selain Allah SWT, maka perbuatan tersebut merupakan kesyirikan. Jadi disaat kita berziarah, kita hendaknya mendoakan ahli kubur tersebut kepada Allah SWT.
Demikianlah ulasan singkat tentang dibolehkannya berziarah ke kuburan, artikel ini juga sebagai bantahan bagi sebagian orang yang melarang untuk berziarah, namun juga himbauan bagi mereka yang melampaui batas dalam berziarah, bahwa ziarah itu dibolehkan namun harus sesuai dengan aturan dan tata cara yang diajarkan oleh Rasulullah sallahu'alaihi wasallam.
Artikel: www.solusiislam.com
Dalil Ziarah Kubur
Dalil-dalil Ziarah Kubur
Setelah
kita membaca keterangan mengenai sholat Jenazah yang semuanya berkaitan
dengan orang yang telah wafat, mari kita sekarang meneliti dalil-dalil
ziarah kubur dan pembacaan Al-Qur’an dikuburan. Ziarah kubur itu adalah
sunnah Rasulallah saw., sebagaimana hadits dari Sulaiman bin Buraidah
yang diterima dari bapaknya, bahwa Nabi saw bersada:
كُنْتُ نَهَيْتُكُم عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ, فَزُورُوهَا, وَفِي
رِوَايَةٍ فَإنَّهَا تُذَكِّرُكُم.. بالآخرة
“Dahulu
saya melarang kalian berziarah kubur, namun kini berziarahlah kalian!.
Dalam riwayat lain; ‘(Maka siapa yang ingin berziarah kekubur, hendaknya
berziarah), karena sesungguhnya (ziarah kubur) itu mengingat- kan
kalian kepada akhirat’. (HR.Muslim)
Juga ada hadits yang serupa diatas tapi berbeda sedikit versinya dari Buraidah ra. bahwa Nabi saw. bersabda :
“Dahulu
saya melarang kalian menziarahi kubur, sekarang telah diizinkan dengan
Muhammad untuk berziarah pada kubur ibunya, karena itu berziarah lah ke
perkuburan sebab hal itu dapat mengingatkan pada akhirat”. (HR. Muslim (lht.shohih Muslim jilid 2 halaman 366 Kitab al-Jana’iz), Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i, Ahmad).
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Saya pernah melarang kamu berziarah kubur, maka berziarahlah padanya dan jangan kamu mengatakan ucapan yang mungkar [Hajaran]”.
(Tartib Musnad Imam Syafi’i, pembahasan tentang sholat, bab ke 23
‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits nr. 603 jilid 1 hal. 217)
Dari
hadits-hadits diatas jelaslah bahwa Nabi saw. pernah melarang ziarah
kubur namun lantas membolehkannya setelah turunnya pensyariatan (lega-
litas) ziarah kubur dari Allah swt Dzat Penentu hukum (Syari’ al-Muqaddas).
Larangan
Rasulallah saw. pada permulaan itu, ialah karena masih dekatnya masa
mereka dengan zaman jahiliyah, dan dalam suasana dimana mereka masih
belum dapat menjauhi sepenuhnya ucapan-ucapan kotor dan keji. Tatkala
mereka telah menganut Islam dan merasa tenteram dengannya serta
mengetahui aturan-aturannya, di-izinkanlah mereka oleh syari’at buat
menziarahinya. Dan anjuran sunnah untuk berziarah itu berlaku baik untuklelaki maupun wanita. Karena dalam hadits ini tidak disebutkan kekhususan hanya untuk kaum pria saja.
Dalam kitab Makrifatul as-Sunan wal Atsar jilid 3 halaman 203 bab ziarah kubur disebutkan bahwa Imam Syafi’i telah mengatakan: “Ziarah kubur hukumnya tidak apa-apa (boleh). Namun sewaktu menziarahi kubur hendak- nya tidak mengatakan hal-hal yang menyebabkan murka Allah”.
Al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Ala as-Shahihain jilid 1 halaman 377 menyatakan: “Ziarah kubur merupakan sunnah yang sangat ditekankan”. Hal yang sama juga dapat kita jumpai dalam kitab-kitab para ulama dan tokoh Ahlusunah seperti Ibnu Hazm dalam kitab al-Mahalli jilid
5 halaman 160; Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin
jilid 4 halaman 531; Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fikh alal Madzahibil Arba’ah jilid
1 halaman 540 (dalam penutupan kajian ziarah kubur) dan banyak lagi
ulama Ahlusunah lainnya. Atas dasar itulah Syeikh Manshur Ali Nashif
dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid 1 halaman 381 menyatakan: “Menurut mayoritas Ahlusunah dinyatakan bahwa ziarah kubur adalah sunnah”.
Disamping itu semua, masih ada lagi hadits Nabi saw. yang memerintahkan ziarah kubur tersebut tapi saya hanya ingin menambahkan dua hadits lagi dengan demikian lebih jelas buat pembaca bahwa ziarah kubur dan pemberi- an salam terhadap ahli kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw.
Masih
ada lagi hadits Nabi saw. yang memerintahkan ziarah kubur tersebut tapi
saya hanya ingin menambahkan dua hadits lagi dengan demikian lebih
jelas buat pembaca bahwa ziarah kubur dan pemberian salam terhadap ahli
kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw.
Hadits
dari Ibnu Abbas berkata: Ketika Rasulallah saw. melewati perkuburan di
kota Madinah maka beliau menghadapkan wajahnya pada mereka seraya
mengucapkan: ‘Semoga salam sejahtera senantiasa tercurah atas kalian
wahai penghuni perkuburan ini, semoga Allah berkenan memberi ampun bagi
kami dan bagi kalian. Kalian telah mendahului kami dan kami akan
menyusul kalian’. (HR.Turmudzi)
Hadits dari Aisyah ra.berkata:
كَانَ النَّبِي .صَ. كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتَهَا يَخْرُجُ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ إلَى الْبَقِيْعِ فَيَقُوْلُ:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَ ار قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ, وَاَتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ غَدًا مُؤَجِّلُوْنَ,
وَاِنَّا اِنْشَا ءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَو اللهُمَّ اغْفِرْ ِلاَهْلِ بَقِيْعِ الْفَرْقَدْ (رواه المسلم)
Ziarah kubur bagi wanita
Golongan madzhab Wahabi/Salafi (pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab)dan
pengikutnya melarang wanita ziarah kubur berpegang kepada kalimat
hadits yang diriwayatkan dikitab-kitab as-Sunan –kecuali Bukhori dan
Muslim– yaitu “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi
kubur” (Lihat kitab Mushannaf Abdur Razzaq jilid 3 halaman 569).
Sebenarnya hadits ini telah dihapus (mansukh) dengan riwayat-riwayat tentang ‘Aisyah ra. menziarahi kuburan saudaranya yang diungkapkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra, Abdurrazaq dalam kitab Mushannaf, al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Alas Shahihain dan hadits riwayat Imam Muslim (lihat catatan pada halaman selanjutnya ).
Riwayat-riwayat
itu, nampak sekali pertentangan antara dua bentuk riwayat dimana satu
menyatakan bahwa perempuan akan dilaknat jika melakukan ziarah kubur
namun yang satunya lagi menyatakan bahwa Rasulallah saw. telah
memerintahkan umatnya untuk menziarahi kubur, yang mana perintah ini
mencakup lelaki dan perempuan.
Jika
kita teliti lebih detail lagi, ternyata sanad hadits diatas “Allah
melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” melalui tiga jalur
utama: Hasan bin Tsabit, Ibnu Abbas dan Abu Hurairah [ra].
Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 502 menukil hadits tersebut melalui ketiga jalur diatas.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid
3 menukil hadits tersebut melalui dua jalur saja yaitu Hasan bin Tsabit
(Lihat jilid 3 halaman 442) dan Abu Hurairah (Lihat jilid 3 halaman
337/356).
At-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 2 halaman 370 hanya menukil dari satu jalur yaitu Abu Hurairah saja.
Abu Dawud dalam kitab Sunan Abu Dawud jilid 3 halaman 317 hanya menukil melalui satu jalur yaitu Ibnu Abbas saja.
Sedangkan
Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan hadits itu sama sekali. Begitu
juga tidak ada kesepakatan di antara para penulis kitab as-Sunandalam
menukil hadits tersebut jika dilihat dari sisi jalur sanad haditsnya.
Ibnu Majah, Imam Ahmad bin Hanbal dan Turmudzi sepakat meriwayatkan
melalui jalur Abu Hurairah. Sedang dari jalur Hasan bin Tsabit hanya
dinukil oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad saja dan jalur Ibnu Abbas dinukil
oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Dari
jalur pertama yang berakhir pada Hassan bin Tsabit –yang dinukil oleh
Ibnu Majah dan Imam Ahmad– terdapat pribadi yang bernama Abdullah bin
Utsman bin Khatsim. Semua hadits yang diriwayatkan olehnya dihukumi
tidak kuat. Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Daruqi dari
Ibnu Mu’in. Ibnu Abi Hatim sewaktu berbicara tentang Abdullah bin Utsman
tadi menyatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Utsman
tidak dapat dijadikan dalil. An-Nasa’i dalam menjelaskan kepribadian
Ibnu Usman tadi mengatakan: “Ia sangat mudah meriwayatkan (menganggap
remeh periwayatan .red) hadits” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid
2 halaman 459). Dan melalui jalur tersebut juga terdapat pribadi
seperti Abdurrahman bin Bahman. Tidak ada yang meriwayatkan hadits
darinya selain Ibnu Khatsim. Ibnu al-Madyani mengatakan: “Aku tidak
mengenal pribadinya” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 551).
Dari jalur kedua yang berakhir pada Ibnu Abbas ra terdapat pribadi seperti Abu Shaleh yang aslinya bernama Badzan.
Abu
Hatim berkata tentang dia: “Hadits-hadits dia tidak dapat dipakai
sebagai dalil”. An-Nasa’i menyatakan: “Dia bukanlah orang yang dapat
dipercaya”. Ibnu ‘Adi mengatakan: “Tak seorang pun dari para pendahulu
yang tak kuketahui dimana mereka tidak menunjukkan kerelaannya (ridho) terhadap pribadinya (Badzan)” (Lihat kitab Tahdzib al-Kamal jilid 4 halaman 6).
Dari
jalur ketiga yang berakhir pada Abu Hurairah ra terdapat pribadi
seperti Umar bin Abi Salmah yang an-Nasa’i mengatakan tentang dirinya:
“Dia tidak kuat (dalam periwayatan .red)”. Ibnu Khuzaimah mengatakan:
“Haditsnya tidak dapat dijadikan dalil”. Ibnu Mu’in mengatakan: “Dia
orang yang lemah”. Sedangkan Abu Hatim menyatakan: “Haditsnya tidak
dapat dijadikan dalil” (Lihat kitab Siar A’lam an-Nubala’ jilid 6 halaman 133).
Mungkin
karena sanad haditsnya tidak sehat inilah akhirnya Imam Bukhari dan
Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits tadi. Bukankah dua karya besar itu
memiliki gelar shahih sehingga terhindar dari hadits-hadits yang tidak
jelas sanadnya? Melihat hal-hal tadi maka hadits pelarangan ziarah kubur
buat perempuan di atas tadi tidak dapat dijadikan dalil pengharaman.
Salah
seorang ulama madzhab Wahabi/Salafi yang bernama Nashiruddin al-Albani
ahli hadits Wahabi pernah menyatakan tentang hadits pelaknatan
penziarah wanita tadi dengan ungkapan berikut ini :
“Di
antara sekian banyak hadits tidak kutemui hadits-hadits yang menguat-
kan hadits tadi. Sebagaimana tidak kutemui hadits-hadits lain yang dapat
memberi kesaksian atas hal tersebut. Hadits ini adalah penggalan dari
hadits: “Laknat Allah atas perempuan-perempuan yang menziarahi kubur dan
orang-orang yang menjadikannya (kuburan) sebagai masjid dan tempat yang
terang benderang” yang disifati sebagai hadits lemah (Dza’if). Walau
pun sebagian saudara-saudara dari pengikut Salaf (baca: Wahabi) suka menggunakan hadits ini sebagai dalil. Namun saya nasehatkan kepada mereka agar tidak menyandarkan hadits tersebut kepada Nabi. Karena hadits itu adalah hadits yang lemah” (Lihat kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah wa Atsaruha as-Salbi fil Ummah halaman 260).
Tetapi
sayangnya sampai sekarang bisa kita lihat dan alami kaum wanita
pelaksana haji di Makkah dan Madinah, masih tetap dilarang oleh ulama
Madzhab Wahabi untuk berziarah di kuburan Baqi’ (Madinah) dan di Ma’la
(di Makkah) untuk menziarahi makam para keluarga dan sahabat Rasulallah
saw.. Mereka menvonis saudara-saudara mereka sesama muslim dengan
sebutan penghamba Kubur (Quburiyuun),
bahkan mereka berkepala keras menyatakan bahwa ziarah kubur bagi
perempuan adalah haram menurut ajaran Rasulallah saw dan para Salaf
Sholeh ? (Dikutip dari website Salafy, 13 Feb 2007 ) .
Menurut
ahli fiqh, adanya hadits yang melarang wanita ziarah kubur, ini karena
umumnya sifat wanita itu ialah lemah, sedikitnya kesabaran sehingga
mengakibatkan jeritan tangis yang meraung-raung (An-Niyahah) menampar
pipinya sendiri dan perbuatan-perbuatan jahiliyah dikuburan itu yang
mana ini semua tidak dibenarkan oleh agama Islam. Begitu juga sifat
wanita senang berhias atau mempersolek dirinya sedemikian rupa atau
tidak mengenakan hijab sehingga dikuatirkan –dengan campur baurnya
antara lelaki dan wanita– mereka ini tidak bisa menjaga dirinya
dikuburan itu sehingga menggairahkan para ziarah kaum lelaki.
Hal
tersebut dipertegas dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 2/142.
Begitupun juga Al-Hafidz Ibnu Arabi (435-543H), pensyarah hadits
Turmudzi dalam mengomentari masalah ini berkata :
‘Yang benar adalah bahwa Nabi saw. membolehkan ziarah kubur untuk laki-laki dan wanita. Jika ada sebagian orang menganggapnya makruh bagi
kaum wanita, maka hal itu dikarenakan lemahnya kemampuan wanita itu
untuk bersikap tabah dan sabar sewaktu berada diatas pekuburan atau
dikarenakan penampilannya yang tidak mengenakan hijab (menutup auratnya)
dengan sempurna .’
Kalimat semacam diatas juga dinyatakan dalam kitab at-Taajul Jami’ lil Ushuljilid 2 halaman 381, atau kitab Mirqotul Mafatih karya Mula Ali Qori jilid 4 halaman 248.
Rasulallah
saw. membolehkan dan bahkan menekankan kepada umatnya untuk menziarahi
kubur, hal itu berarti mencakup kaum perempuan juga. Walau dalam hadits
tadi Rasulallah saw. menggunakan kata ganti (Dhamir) lelaki, namun hal itu tidak lain dikarenakan hukum kebanyakan (Taghlib) pelaku ziarah tersebut adalah dari kaum lelaki. Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Mula Ali Qori dalam kitab Mirqotul Mafatih jilid 4 halaman 248 dan at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 3 halaman 372 hadits ke-1056.
Kalaupun kita harus berbicara tentang jumlah obyek yang diajak bicara (mukhatab),
terbukti dalam tata bahasa Arab walau ada seribu perempuan dan lelaki
hanya segelintir saja jumlahnya maka kata ganti yang dipakai untuk
berbicara kepada semua –yang sesuai dengan tata bahasa yang baik dan
benar– yang hadir tadi adalah menggunakan kata ganti lelaki. Dan masih
banyak ulama Ahlusunah lain yang menyatakan pembolehan ziarah kubur oleh
kaum perempuan.
Jadi kesimpulannya ialah ziarah kubur itu tidak dianjurkan
untuk wanita bila para wanita diwaktu berziarah melakukan hal-hal yang
tidak dibenarkan oleh agama atau dimakruhkan seperti yang tersebut
diatas, tapi kalau semuanya ini bisa dijaga dengan baik, maka tidak ada
halangan bagi wanita tersebut untuk berziarah kubur seperti halnya kaum
lelaki. Dengan demikian bukan ziarah kuburnya yang dilarang, tetapi
kelakuan wanita yang berziarah itulah yang harus diperhatikan.
Mari kita lanjutkan dalil-dalil mengenai ziarah kubur bagi wanita:
Imam
Malik, sebagian golongan Hanafi, berita dari Imam Ahmad dan kebanyakan
ulama memberi keringanan bagi wanita untuk ziarah kubur. Mereka
berdasarkan sabda Nabi saw. terhadap Aisyah ra. yang diriyatkan oleh
Imam Muslim. Beliau saw. didatangi malaikat Jibril as. dan disuruh
menyampaikan kepada Aisyah ra.sebagai berikut :
إنَّ رَبَّك بِأمْرِك أنْ تَـأتِيَ أهْلَ البَقِيْع وَتَسْتَغْفِرِلَهُمْ
“Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun bagi mereka”
Kata Aisyah ra; Wahai Rasulallah, Apa yang harus aku ucapkan bila berziarah pada mereka? Sabda beliau saw. :
قُوْلِيْ:
السَّـلاَمُ عَلََى أهْـلِ الدِّيَـارِ مِنَ المُؤْمِنـِيْنَ
وَالمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ الله المُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا
وَالمُسْتَأخِرِيْنَ, وَإنَّا إنْشَاءَ الله بِكُمْ لآحِقُوْنَ
‘Ucapkanlah;
salam atasmu wahai penduduk kampung, dari golongan mukminin dan
muslimin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada kita bersama, baik
yang telah terdahulu maupun yang terbelakang, dan insya Allah kami akan
menyusul kemudian’ “.
Untuk lebih jelasnya hadits yang dimaksud diatas adalah bahwasanya Nabi saw. bersabda pada Aisyah ra :
“Jibril
telah datang padaku seraya berkata: ‘Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu
untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan
ampun bagi mereka.’ Kata Aisyah; ‘Wahai Rasulallah, apa yang harus aku ucapkan bagi mereka? Sabda beliau saw:
‘Ucapkanlah: Semoga salam sejahtera senantiasa tercurah bagi para
penduduk perkuburan ini dari orang-orang beriman dan orang-orang Islam,
semoga Allah merahmati orang-orang kami yang terdahulu maupun yang
terkemudian, insya Allah kamipun akan menyusul kalian’ “. (HR.Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan:
‘Semoga
salam sejahtera senantiasa tercurahkan bagi para penghuni perkuburan
dari orang-orang beriman dan Islam, dan kamipun insya-Allah akan
menyusul kalian, kami berharap semoga Allah berkenan memberi keselamatan
bagi kami dan kalian’.
Juga riwayat dari Abdullah bin Abi Mulaikah, bahwa pada suatu hari Aisyah datang dari pekuburan, maka dia bertanya :
“Ya
Ummul Mukminin, darimana anda? Ujarnya: Dari makam, saudaraku
Abdurrahman. Lalu saya tanyakan pula: Bukankah Nabi saw. telah melarang
ziarah kubur? Benar, ujarnya, mula-mula Nabi melarang ziarah kubur,
kemudian menyuruh menziarahinya”. ( Adz-Dzahabi dalam kitabSunan al-Kubra jilid 4 halaman 131, Abdur Razaq dalam kitab Mushannaf Abdurazaq jilid 3 halaman 572/574 dan dalam kitab Mustadrak alas Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi jilid 1 halaman 532 hadits ke-1392). adz-Dzahabi telah menyatakan kesahihannya sebagaimana yang telah tercantum dalam catatan kaki yang ia tulis dalam kitab Mustadrakkarya al-Hakim an-Naisaburi tersebut. (Lihat: Mustadrak al-Hakim an-Naisaburi Jil:1 Hal: 374)
Dalam
kitab-kitab itu juga diriwayatkan bahwa Siti Fathimah Az-Zahrah ra,
puteri tercinta Rasulullah saw. hampir setiap minggu dua atau tiga kali
menziarahi para syuhada perang Uhud, khususnya paman beliau Sayyidina
Hamzah ra.
Aisyah
ra. melakukan penziarahan tersebut berarti apa yang dilakukan Aisyah
adalah sebaik-baik dalil dalam mengungkap hakekat hukum pen- ziarah
kubur dari kalangan perempuan. Hal itu dikarenakan selain Aisyah sebagai
istri Rasulallah saw. yang bergelar ummul mukminin (ibu kaum mukmin)
sekaligus sebagai Salaf Sholeh. Karena Salaf Sholeh tidak hanya
dikhususkan buat sahabat dari kaum lelaki saja, namun mencakup kaum
perempuan juga (shahabiyah).
Hadits
dari Anas bin Malik berkata: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berjalan
melalui seorang wanita yang sedang menangis diatas kuburan.Maka Nabi saw. bersabda: ‘Bertaqwalah kepada Allah dan sabarlah’.Dijawab
oleh wanita itu: ‘Tinggalkanlah aku dengan musibah yang sedang
menimpaku dan tidak menimpamu !’ Wanita itu tidak tahu kepada siapakah
dia berbicara. Ketika dia diberitahu, bahwa orang yang berkata padanya
itu adalah Nabi saw., maka ia segera datang ke rumah Nabi saw. yang
kebetulan pada waktu itu tidak dijaga oleh seorangpun. Kata wanita itu: ‘Sesungguhnya saya tadi tidak mengetahui bahwa yang berbicara adalah engkau ya Rasulallah. Sabda beliau saw.: “Sesungguhnya kesabaran itu hanyalah pada pukulan yang pertama dari datangnya musibah’. (HR Bukhori dan Muslim)
Lihat
hadits terakhir diatas ini, Rasulallah saw. melihat wanita tersebut
dipekuburan dan tidak melarangnya untuk berziarah, hanya dianjurkan agar
sabar menerima atas kewafatan anaknya (yang diziarahi tersebut).
Muhibbuddin at-Thabari pun dalam kitabnya yang berjudul ar-Riyadh an-Nadhirah jilid
2 halaman 330 menyebutkan bahwa: “ Suatu saat, ketika Umar bin Khatab
(Khalifah kedua ) ra. bersama beberapa sahabatnya pergi untuk
melaksanakan ibadah haji di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang tua
yang meminta tolong kepadanya. Sepulang dari haji kembali ia melewati
tempat dimana orang tua itu tinggal dan menanyakan keadaan orang tua
tadi. Penduduk daerah itu mengatakan: ‘Ia telah meninggal dunia’. Perawi berkata: Kulihat Umar bergegas menuju kuburan orang tua itu dan di sana ia melakukan shalat. Kemudian dipeluknya kuburan itu sambil menangis”.
Nah,
insya Allah keterangan diatas itu jelas bahwa ziarah kubur itu sunnah
dan berlaku bagi lelaki maupun wanita. Yang lebih heran lagi kami pernah
mendengar dari saudara muslim bahwa ada orang yang pergi ke tanah suci
untuk menunaikan Haji atau Umrah tapi tidak mau ziarah pada junjungan
kita Rasulallah saw., karena hal ini dianggap bid’ah.
Mungkin saudara-saudara kita itu mendapat kesalahan informasi tentang
ziarah kubur. Kita telah membaca keterangan diatas banyak hadits shohih
Rasulallah saw. yang menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah, memberi
salam dan berdo’a untuk si mayit pada waktu sholat jenazah dan
berziarah tersebut, dengan tujuan agar kita lebih mengingat pada Allah
swt. dan akhirat.
Dengan adanya hadits-hadits dan wejangan para ulama pakar diatas itu menunjukkan bahwa ziarah kubur adalah sunnah Rasulallah saw.
Kalau kita disunnahkan ziarah kubur pada kaum muslimin, bagaimana kita
bisa melupa kan ziarah kubur makhluk Ilahi yang paling mulya dan taqwa
Rasulallah saw. Tanpa beliau kita tidak mengetahui syariat-syariat
Islam,juga dengan berdiri dimuka makam beliau saw. kita akan lebih
konsentrasi untuk ingat pada Allah dan Rasul-Nya !.
Sumber : salafy-tobat.blogspot.com/2010/08/dalil-dalil-ziarah-kubur.html
Sumber : salafy-tobat.blogspot.com/2010/08/dalil-dalil-ziarah-kubur.html
Dalil Tahlilan
Secara lughah (bahasa) tahlilan
berakar dari kata hallala (هَلَّلَ)
yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلاً ) artinya adalah membaca “La ilaha
illallah.” Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca
kalimat dan doa-doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan
pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia.
Biasanya tahlilan dilakukan selama 7
hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan pada hari ke
1000-nya. Begitu juga tahlilan sering dilakukan secara rutin pada malam jum’at
dan malam-malam tertentu lainnya. Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan
untuk mayit menurut pendapat mayoritas Ulama boleh dan pahalanya bisa sampai
kepada mayit tersebut. Berdasarkan beberapa dalil, diantaranya hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya;
عَنْ
سَيِّدِنَا مَعْقَلْ بِنْ يَسَارْ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : يس قَلْبُ اْلقُرْانْ لاَ يَقرَؤُهَا رَجُلٌ
يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ اْلاَخِرَة اِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ اِقْرَؤُهَا عَلَى
مَوْتَاكُمْ )رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدْ,
اِبْنُ مَاجَهْ, اَلنِّسَائِى, اَحْمَدْ, اَلْحَكِيْم, اَلْبَغَوِىْ, اِبْنُ
اَبِىْ شَيْبَةْ, اَلطَّبْرَانِىْ, اَلْبَيْهَقِىْ, وَابْنُ حِبَانْ(
Dari sahabat Ma’qal bin Yasar ra. bahwa Rasulallah saw.
bersabda : Surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang
yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosa-dosanya. Bacakanlah surat
Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian (HR. Abu Dawud, Ibnu
Majah, Nasa’i, Ahmad dan lain-lain)
Adapun beberapa Ulama juga berpendapat seperti Imam Syafi’i
yang mengatakan bahwa:
وَيُسْتَحَبُّ اَنْ يُقرَاءَ
عِندَهُ شيْئٌ مِنَ اْلقرْأن ,وَاِنْ خَتمُوْا اْلقرْأن عِنْدَهُ كَانَ حَسَنًا
Bahwa disunahkan membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit,
dan jika sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik.
Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya
menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan do’a, tetapi juga disunahkan bagi
orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an lalu setelahnya
diiringi berdo’a untuk mayit.
Begitu juga Imam al-Qurthubi
memberikan penjelasan, bahwa dalil yang dijadikan acuan oleh Ulama kita tentang
sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa Rasulallah saw. pernah membelah
pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari bersabda “Semoga
ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”.
Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat,
jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah
dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan teman-temannya. Tentu
saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lain-lainnya akan lebih bermanfaat bagi si
mayit.
Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan:
وَاِن قرَأَ الرَّجُلُ وَاَهْدَى ثوَابَ قِرَأتِهِ لِلْمَيِّتِ جَازَ ذالِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ اَجْرُهُ
Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan
pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut.
Saifurroyya
Sumber : www.nu.or.id