Headlines News :
Logo Design by FlamingText.com

SA'ATUL AN

TARIKHUL AN

ARCHIVE

Tarjim

POST

Jumat, 25 Desember 2009

istihsan

ISTIHSAN (الاستحسان)


A. ISTIHSAN (الاستحسان)
1. Pengertian
Menurut pengertian bahasa, istihsan berarti "menganggap baik". Sedang menurut istilah Ahli Ushul yang dimaksud dengan istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian).
Menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan Istihsan tetapi haram menurut qiyas.
Qiyas : wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci.
Istihsan : Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama.
Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Menurut dalil kully, syara' melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad.

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
1. Jumhur ulama menolak berhujjah dengan Istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
2. Golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan, mereka berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafi yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan satu quays terhadap qiyas lain.

B. ISTISHAB (الاستصحاب)
1. Pengertian
Istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya, sebelum ada hukum yang mengubahnya, misalnya seseorang ragu-ragu, apakah dia sudah wudhu atau belum? Harusnya berpegang kepada "belum wudhu", karena hukum yang asal adalah belum wudhu.

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
a. Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Qur'an, As-Sunnah maupun Ijma'. Termasuk kelompok Syafi'iyah, Hanabilah, Malikiyah, Dhahiriyah, firman Allah dalam surat Yunus ayat 36 sebagai berikut:
•        •     
Artinya : "Sesungguhnya persangkaan itu sedikitpun tidak berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan."

Ulama ushul menetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai berikut:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
Artinya : "Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya."

الأصل في الأشياء الإباحة
Artinya : "Asal hukum sesuatu adalah boleh"
b. Menolak Istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum. Mereka menyatakan bahwa istishab dengan pengertian seperti di atas adalah tanpa dasar.

C. MASHALIHUL MURSALAH (المصالح المرسلة)

1. Pengertiannya
Mashalih berbentuk jama dari kata mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka.


2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
1. Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan:
a. Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan kemashlahatan umat manusia.
b. Pembinaan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2. Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Menurut Imam syafi'i:
a. Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya.
b. Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'. Misalnya membuat penjara.

3. Syarat-Syarat Berpegang Kepada Mashalihul Mursalah
1. Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
2. Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
3. Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan Nash atau Ijma.

D. AL-'URF (العرف)
1. Pengertiannya
Al-'Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, contoh 'urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dan tidak mengucapkan sighat yang diucapkan. Contoh 'Urf Qauly ialah orang yang telah mengetahui bahwa kata Ar-Rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.



2. Macam-Macam Al-'Urf dan Hukumnya
1. 'Urf Shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Misalnya orang melamar itu menyerahkan emas dan pakaian.
2. 'Urf Fasid, yaitu apa yang dikenal itu bertentangan dengan syara'. 'Urf jenis ini hukumnya haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama. Artinya : "Tidak boleh taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq".

E. SYAR'U MAN QABLANA (شرع من قبلنا)

1. Pengertiannya
Syar'u man qablana ialah syari'at yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya agama Islam. Diantara isi syari'at tersebut ada yang berlaku terus untuk umat selanjutnya dan ada yang tidak.
          •                     
Artinya : "Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang."

2. Pembagian dan Hukumnya
1. Apa yang disyariatkan kepada mereka juga ditetapkan kepada umat Nabi Muhammad.
2. Apa yang disyariatkan kepada mereka tidak disyariatkan kepada kita. Misalnya "Dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain membunuh dirinya sendiri"

SADDUDZ DZARI'AH (سد الذريعة)
1. Pengertiannya
Dzara'i jama dari kata dzari'ah artinya jalan. Menurut istilah ulama Ushul Fiqh bahwa yang disebut dengan dzari'ah ialah :
المسألة التى ظاهرها الإباحة ويتوسل بها إلى فعل المحظور
Artinya : "Masalah yang lahirnya boleh (mubah) tetapi dapat membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang"

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
1. Menurut Imam Malik bahwa saddudz dzari'ah dapat dijadikan sumber hukum, Al-Qurtubi menyatakan: "Sesungguhnya apa-apa yang dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang (maksiat) adakalanya secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan.
Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.
2. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah.
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
Artinya: "Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".
من حام حول الحمى يوشك أن يواقعه
Artinya: "Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama-kelamaan dia akan melanggar larangan tersebut".


F. MADZHAB SHAHABY (مذهب الصحابي)
1. Pengertiannya
Madzhab Shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rasulullah wafat. Fatwa-fatwa ini ada yang berdasarkan ijtihad mereka, yang terbagi menjadi dua yaitu hasil ijtihad yang mereka sepakati (Ijma Shahaby) dan hasil ijtihad yang tidak disepakati.

2. Kedudukan Madzhab Shahaby
Sifat fatwa Sahabat seperti disebutkan di atas, maka kedudukan madzhab shahabat ini juga dapat dipisahkan menjadi:
1. Madzhab sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib ditaati, sebab, hakekatnya ia merupakan sunnah Rasul.\
2. Madzhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad yang mereka sepakati (Ijma Shahaby) dapat dijadikan hujjah dan wajib ditaati, sebab mereka disamping dekat dengan Rasul, mereka mengetahui rahasia-rahasia tasyri'. Contoh madzhab sahabat yang telah mereka sepakati antara lain ialah mengenai bagian harta waris bagi nenek, yaitu seperenam.
3. Madzhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujjah dan tidak wajib diikuti. Imam syafi'i menyatakan: "Tidak melihat seorang pun ada yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah".
Lanjuuut..

Abu Yazid

Kiai Yazid dan Si Anjing Hitam
Cerpen Wawan Susetya

Syahdan, pada zaman dahulu, ada seorang kiai besar yang sangat dihormati. Orang-orang di sekitarnya memanggilnya Kiai Yazid --lengkapnya Kiai Abu Yazid al-Bustami. Santrinya banyak. Mereka belajar di bawah bimbingan Sang Guru. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia; ada yang dari Irak, Iran, Arab, Tanah Gujarat, Negeri Pasai dan sebagainya. Mereka setia dan tunduk patuh atas semua nasihat dan bimbingan Sang Mursyid.
Selain Kiai Yazid punya santri di pesantrennya, banyak pula masyarakat yang menginginkan nasihat dari beliau. Mereka pun datang dari berbagai penjuru dunia. Ada yang menanyakan tentang perjalanan spiritual yang sedang dihayatinya, ada pula yang bertanya cara menghilangkan penyakit-penyakit hati, bahkan tak jarang yang menginginkan usaha mereka lancar serta keperluan-keperluan yang Sifatnya pragmatis dan teknis lainnya. Semuanya dilayani dan diterima dengan baik oleh Sang Kiai.
Meski demikian, kadang-kadang terjadi pula tamu yang datang dengan maksud menguji dan mencoba Sang Kiai: apakah Kiai Yazid itu memang benar-benar waskita (tajam penglihatan mata batinnya)?
Para tamu yang datang, bukan hanya didominasi kalangan lelaki saja, tetapi juga ada perempuan sufi yang belajar kepadanya. Mereka ingin ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana yang dilalui Sang Kiai. Di antara mereka ada yang berhasil, ada pula yang gagal di tengah jalan. Semua itu, kata Kiai Yazid, memang bergantung pada ketekunannya masing-masing. Beliau hanya mengarahkan dan membimbing; semuanya bergantung dari keputusan-Nya jua.
Karena ke-’alim-annya itu, akhirnya masyarakat memang benar-benar menganggap bahwa Kiai Yazid adalah sosok yang patut dijadikan tauladan atau panutan. Bukan hanya itu. Para kalangan sufi pun menghormati kedalaman rasa Sang Kiai. Para sufi pun banyak yang mengajak diskusi, konsultasi, musyawarah dan membahas soal-soal spiritual yang pelik-pelik. Nglangut. Hadir dan menghadirkan. Berpisah dan bersatu.
Kedalaman rasa Sang Kiai, misalnya, ia bisa saja merasa kesepian atau "menyendiri" ketika berkumpul dengan orang banyak. Di tempat lain, Sang Kiai sangat merasakan ramai, padahal ia sendirian. Begitulah, semua rasa itu tertutup oleh penampilan beliau yang memikat, mengayomi, melindungi, mengajar, dan gaul dengan banyak orang.

***

Pada suatu hari, Kiai Yazid sedang menyusuri sebuah jalan. Ia sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Ia mengalir begitu saja. Maka dengan enjoy-nya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.
Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Kiai Yazid merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. E?.ternyata tahu-tahu sudah dekat; di sampingnya. Melihat Kiai Yazid --secara reflek dan spontan-- segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena -barangkali-- merasa khawatir: jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis itu!
Tapi, betapa kagetnya Sang Kiai begitu ia mendengar Si Anjing Hitam yang di dekatnya tadi memprotes: "Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!"
Mendengar suara Si Anjing Hitam seperti itu, Kiai Yazid masih terbengong: benarkah ia bicara padanya?! Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata? Sang Kiai masih terdiam dengan renungan-renungannya.
Belum sempat bicara, Si Anjing Hitam meneruskan celotehnya: "Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!"
Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Si Anjing Hitam di dekatnya, Kiai Yazid baru menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah Si Anjing Hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar; ia telah menghina sesama makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.
"Ya, engkau benar Anjing Hitam," kata Kiai Yazid, "Engkau memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih!"
Ungkapan Kiai Yazid tadi, tentu saja, merupakan ungkapan rayuan agar Si Anjing Hitam mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu.
"Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu, tetapi Siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para mistik. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!" kata Si Anjing Hitam dengan tenang.
Kiai Yazid masih termenung dengan kesalahannya pada Si Anjing Hitam. Setelah dilihatnya, ternyata Si Anjing Hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si Anjing Hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati Sang Kiai.
"Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing milik-Mu! Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersama-Mu Yang Abadi dan Kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk-Mu yang terhina di antara semuanya!" seru Kiai Yazid kepada Tuhannya di tempat yang sepi itu.
Kemudian, Kiai Yazid dengan langkah yang sempoyongan meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang menunggu pengajarannya.

***

Keunikan dan ke-nyleneh-an Kiai Yazid memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi juga diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Sang Kiai; baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan ketuhanan.
Suatu hari, Kiai Yazid sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah Si Anjing Hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia Si Anjing Kuning yang lebih jelek dari Si Anjing Hitam. Begitu melihat Si Anjing Kuning tadi terlihat tergesa-gesa --barangkali karena ada urusan penting-- maka Kiai Yazid segera saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada Si Anjing Kuning itu.
"Hai murid-muridku, semuanya minggirlah, jangan ada yang mengganggu Si Anjing Kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa," k ata Kiai Yazid kepada para muridnya.
Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Sang Kiai. Setelah itu, Si Anjing Kuning melewati di depan Kiai Yazid dan para santrinya dengan tenang, tidak merasa terganggu. Secara sepintas, Si Anjing Kuning memberikan hormatnya kepada Kiai Yazid dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Kiai Yazid ataukah Si Anjing Kuning.
Si Anjing Kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Kiai Yazid yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: "Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Sementara, kiai adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?!"
Kiai Yazid menjawab: "Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: "Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para mistik (kaum sufi)?" Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya."
Mendengar penjelasan Kiai Yazid seperti itu, murid-muridnya manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu. Mereka tidak ada yang membantah lagi. Mereka pun terus meneruskan perjalanannya.

***

(Inspirasi cerita: Kisah Abu Yazid al-Busthomi, tokoh besar dari kalangan kaum sufi)
Tulungagung, 9 Oktober 2003

posted by imponk | 8:11:00 AM
Lanjuuut..

Profil Imam Ghozali

EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI

Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-angannya bahwa seandainya ada seorang nabi setelah Muhammad, maka Al-Ghozali-lah orangnya (R.A Nicholson,1976), pernyataan ini meskipun tak sepenuhnya dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu sifat seorang nabi itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus keilmuan, seperti; ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan untuk menguatkan pernyataan tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang membuat Al-Ghozali tak pernah lepas dari pertimbangan siapapun yang berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam (Nurcholis Madjid, 1996).
Kendati demikian, ibarat kata pepatah tiada gading yang tak retak, kebesaran reputasi Al Ghozali itu bukan tanpa cacat. Justru keterlibatannya dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman tersebut dipandang oleh sebagian pengamat sejarah sebagai salah satu faktor penyebab hilangnya rasionalisme, yang pada gilirannya nanti menjadi faktor penting bagi kemunduran dunia Islam. Misalnya, pertama, usahanya dalam mempertahankan afiliasi kalamnya (Asy’ariah) sebagai ideologi resmi penguasa Abbasyiah, paling tidak semakin menambah kebencian umat Islam terhadap aliran Mu’tazilah, kalau bukan justru menegasikan sama sekali terhadap aliran teologi Islam yang rasionalis tersebut, sehingga semangat rasional yang terdapat didalamnya dengan sendirinya juga ditinggalkan oleh umat Islam. Kedua, magnum opusnya dibidang filsafat, Tahafut al Falasifah, sering dipahami oleh beberapa pengamat sebagai penyebab hilangnya rasionalisme di dunia Islam, sehingga meskipun perlahan tapi pasti, Islam berangsur-angsur mulai mengalami kemunduran. Ketiga, dua penilaian diatas semakin lengkap dengan lahirnya karya sensasional Al-Ghozali dibidang sufisme, Ihya’ Ulum Al-Din, yang pada kenyataannya memang telah menjadi teman akrab umat Islam dalam melaksanakan praktek-praktek romantisme dengan Tuhan melalui pemberdayaan rasa (Dzauq) dan bukan nalar (akal). Dari sudut pandang ini, bila rasio itu memang dapat dipahami sebagai salah satu kunci kejayaan Islam, maka tak mengherankan bila ada beberapa pengamat seringkali melekatkan nama Al-Ghozali dengan kemunduran dunia Islam.
Walaupun begitu, terlepas dari penilaian kontroversial terhadap hujjatul Islam tersebut, yang pasti dia telah ikut aktif dalam mengisi lembaran sejarah umat ini. Karya-karya besar yang diciptakannya dalam berbagai diskursus ke-Islaman merupakan bukti penting bahwa Al-Ghozali, baik dalam kapasitasnya sebagai teolog , filosof, mapun seorang sufi. Sebab jangan-jangan kemunduran dunia Islam itu bukan semata-mata disebabkan olehnya, tetapi justru dikarenakan umat Islam sendiri yang terlalu fanatik terhadap Al-Ghozali, sehingga yang diwarisi bukan bangunan epistemologinya dan semangat pencariannya akan kebenaran yang hakiki, tetapi sekedar produk pemikirannya secara taken for granterd .

Sekilas tentang Epistemologi
Sebagai derivasi dari kata Yunani Episteme: pengetahuan dan logos: ilmu, maka secara sederhana epistemologi dapat dimaknai dengan teori pengetahuan. Epistemologi, sebagai ditegaskan Amin Abdullah, sedikitnya membahas tiga persoalan mendasar; pertama, sumber pengetahuan; dari mana dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar. Kedua, sifat pengetahuan ;apakah segala sesuatu itu bersifat fenomenal (tampak) ataukah essensial (hakiki)?. Ketiga, validitas (kebenaran) suatu pengetahuan; bagaimana pengetahuan yang benar dan yang salah dapat dibedakan.
Sedikitnya ada dua paradigma pemikiran dalam menjawab persoalan epistemlogi tersebut. Pertama, idealisme atau nasionalisme menitikberatkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato ( 427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah (Amin Abdullah;1996). Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai "alam ide", suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan alam inderawi bukanlah alam sesungguhnya.
Paradigma selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan (Harold H. Titus dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia. (Amin Abdullah;1996).
Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang paling absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme (Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas putih). Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan Indrawinya (Louis O. Katsof;1995).

Epistemologi Filsafat Al-Ghazali
Al-Ghazali, seperti telah disinggung sekilas di atas, sering secara tidak adil dituduh sebagai biang keladi kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi dalam ‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan terutama karena serangan terhadap filsafat melalui kitabnya, Tahafut al-Falasifah,serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling absah menuju kebenaran hakiki.
Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang memberikan kesan seperti itu, namun dalam telaah yang lebih luas dan mendalam, Al-Ghazali bukanlah penyebab kemunduran dunia Islam. Orang telah lupa bahwa sesungguhnya Asy’ariah seringkali dinilai sebagai suatu bentuk aliran teologi yang bersifat tradisional, bukan berarti dia menafikan akal atau penalaran dalam berbagai pemahamannya. Sedangkan terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita mengetahui sisi filsafat mana yang diserangnya , maka akan kita dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya bagian metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada kesalahan struktur argumentasi para filosof.
Kecuali itu, apabila kita lihat apa yang mendorong Al-Ghazali mempelajari falsafah dan kemudian menulis bukunya, Maqodis Al Falasifah dan Tahafut Al Falasifah, maka kita dapati bahwa adanya aliran dan madhab dalam Islam serta pengakuannya masing-masing bahwa pendapatnyalah yang paling benar sedangkan pendapat lain yang salah inilah yang memotivasi Al-Ghazali semenjak muda senantiasa mencari kebenaran yang hakiki. (Harun Nasution, 1996).
Yang dimaksud Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya; tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Demikian tegas Al-Ghazali :
Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular dan hal itu memang terjadi, bahwa memang kusaksikan sendiri, maka kejadian itu tidak akan membuatku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal itu sekali-kali tidak akan pernah membuat aku bimbang terhadap pengetahuanku". (Al-Ghazali, 1961).
Itulah bentuk kebenaran hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang meyakinkan, yang oleh Al-Ghazali keyakinan itu disimbolkan sampai ke tingkat yang sangat matematis, sehingga ia tidak akan tergoyahkan lagi oleh bentuk intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja, 1996).
Seseorang, demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.
Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
"Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi". (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah.
Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi." (Al-Ghazali,1961).
Sampai di sini, dikarenakan kebenaran hakiki yang dicari-carinya belum juga ketemu, akhirnya Al-Ghazali dihinggapi oleh sikap skeptis, suatu keadaan dimana hujjatul Islam ini didera oleh keadaan yang luar biasa, sehingga ia tidak mampu lagi untuk mengingat pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperolehnya, bahkan untuk sekedar berbicarapun ia tak mampu. Masa-masa kritis bagi pengembangan pengetahuannya ini berlangsung selama dua bulan hingga ia menemukan kesadarannya kembali. Dengan dipenuhi segala rasa aman dan yakin, Al-Ghazali akhirnya dapat menerima pengertian aksiomatis (awalli) dari akal.
"Mungkin tidak ada yang dapat dipercaya selain pengertian-pengertian aksiomatis (pengetahuan yang bersifat asasi), seperti pengertian bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; atau
bahwa negasi dan afirmasi tidak akan dapat berkumpul dalam satu perkara; tidak ada yang baru dan pada saat yang sama ia juga dahulu; tidak ada sesuatu yang ada dan pada saat itu juga ia tidak ada; atau sesuatu yang bersifat pasti dan ia juga bersifat mustahil pada saat yang sama." (Al-Ghazali, 1961). "……dengan perasaan sama dan yakin ia dapat menerima kembali segala pengertian aksiomatis dari akal. Semua itu tidak terjadi dengan mengatur alasan ataupun menyusun penjelasan, tetapi dengan nur yang dipancarkan Allah kedalam batinku……kita hendaklah mencari sekuat tenaga apa yang harus dicari sampai pada sesuatu yang tidak usah kita cari lagi, karena ia memang sudah ada. Kalau kita mencari terus sesuatu yang telah ada niscaya ia akan menjadi samar dan membingungkan." (Al-Ghazali, 1961).
Dengan berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti kebenaran hakiki yang ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama pengembaraannya didunia ilmu kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada yang didapatnya kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan yang akan mengantarnya kepada kebenaran yang masih menimbulkan keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan baru.
Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan jalan terang menuju pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini, yakni dibukakannya rahasia ke-Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala yang ada, sehingga tampaklah secara langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata ataupun tidak pernah terdengar oleh telinga.
"……Apa yang dikatakan orang tentang suatu jalan yang dimulai dengan membersihkan hati, sebagai syarat pertama, mengosongkan sama sekali dari segala sesuatu selain Allah, dan kunci pintunya laksana takbirotul ihrom dalam sholat ialah tenggelamnya hati dalam dzikir kepada Allah dan akhirnya fana sama sekali dengan-Nya……Diawal perjalan ini dimulailah peristiwa-peristiwa mukasyafah (terbukanya rahasia-rahasia) dan musyahadah (penyaksian langsung)……"(Al-Ghazali, 1961).
Pengetahuan terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan Al-Kasyf, yang merupakan puncak dari bangunan epistomologis. Hanya melalui Al-Kasyf inilah seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan yang kokoh, karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini dilahirkan dari suatu sikap (tingkah laku dan pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya kenabian).


Catatan Akhir
Dari sekilas uraian tentang epistemologis Al-Ghazali diatas, agaknya pengaruh paradigma rasionalisme dan empirisme memiliki ruang yang cukup luas dalam bangunan epistemologis hujjatul Islam tersebut, walaupun akhirnya ia sendiri tetap menempatkan secara hierarkis kedua paradigma pengetahuan Yunani itu, dari yang paling bawah empirisme, menyusul rasionalisme, dan akhirnya kasyf sebagai puncak tangga epistemologinya.
Berbeda halnya dengan Al-Ghazali, Imanuel Kant (1724-1804), meskipun ia juga melakukan beberapa kritik terhadap sikap eksklusif dari kedua arus pemikiran (empirisme dan rasionalisme) yang bersifat antagonis tersebut, Kant mampu memberikan perspektif baru dalam kajian epistemologinya, sehingga melahirkan filsafat ilmu (philosophy of science) yang sangat mempunyai arti penting bagi lahirnya ilmu pengetahuan yang multi dimensional di Barat dewasa ini.
Sementara kajian epistemologi dalam literatur Barat terus berkembang, didunia Islam sendiri, khususnya yang berbasis massa Sunni, kecenderungan arah epistemologinya justeru beringsut lebih tajam kepada batas wilayah idealisme dan kasyf, serta tidak peduli lagi dengan masukan-masukan yang diberikan oleh empirisme, sehingga semangat kritis dan pluralisme yang tersimpan dibalik paradigma empirisme tersebut tidak terwarisi masyarakat muslim. Sebaliknya mereka justru mendapatkan watak idealisme yang monistik. Karena itu, tidak berlebihan kesan yang ditangkap Amin Abdullah dari implikasi paradigma epistemologi yang seperti itu membuat alam pemikiran muslim menjadi terlalu rigid, puritan dan dikotomis dalam memecahkan masalah.
Lanjuuut..

Akidah Islam

BAB I I. Pendahuluan Latar Belakang Dalam pada dasar pembangunan Nasional, tentang program Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bahwa hakekat pendidikan Nasional adalah manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Karena sasaran utama pembangunan adalah terciptanya kwalitas manusia dan kwalitas masyarakat Indonesia yang maju di dalam suasana tentram dan sejahtera lahir dan batin, dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila, di dalam suasana kehidupan bangsa Indonesia yang serba berkeseimbangan dan selaras dalam hubungan sesama manusia. Manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam lingkungannya, manusia dengan Tuhan yang maha esa, Allah SWT. Maka ini berarti bahwa pembangunan fisik haruslah sejalan,
Lanjuuut..

haram nikah sama sesusun

HIKMAH DIHARAMKANNYA MENIKAHI SAUDARA SESUSUANRasulullah bersabda, "Diharamkan dari saudara sesusuan segala sesuatu yang diharamkan dari nasab".HR. Bukhari dan Muslim. Sejumlah penelitian ilmiah baru-baru ini menemukan adanya gen dalam ASI orang yang menyusui, dimana ASI mengakibatkan terbentuknya organ-organ pelindung pada orang yang menyusu. Yang demikian apabila ia menyusu antara 3 sampai 5 susuan. Dan ini adalah susuan yang dibutuhkan untuk bisa membentuk organ-organ yang berfungsi melindungi tubuh manusia.
Maka, apabila ASI disusu maka ia akan menurunkan sifat-sifat khusus sebagaimana pemilik ASI tersebut. Oleh karena itu, ia akan memiliki kesamaan atau kemiripan dengan saudara atau saudari sesusuannya dalam hal sifat yang diturunkan dari ibu pemilik ASI tersebut.
Lanjuuut..

ciri-ciri istri sholihah

Ciri Istri Sholehah Istri yang shalehah adalah yang mampu menghadirkan kebahagiaan di depan mata suaminya, walau hanya sekadar dengan pandangan mata kepadanya. Seorang istri diharapkan bisa menggali apa saja yang bisa menyempurnakan penampilannya, memperindah keadaannya di depan suami tercinta. Dengan demikian, suami akan merasa tenteram bila ada bersamanya. Mendapatkan istri shalehah adalah idaman setiap lelaki. Karena memiliki istri yang shalehah lebih baik dari dunia beserta isinya. ''Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri shalehah.'' (HR Muslim dan Ibnu Majah). Di antara ciri istri shalehah adalah, pertama, melegakan hati suami bila dilihat. Rasulullah bersabda, ''Bagi seorang mukmin laki-laki, sesudah takwa kepada Allah SWT, maka tidak ada sesuatu yang paling berguna bagi dirinya, selain istri yang shalehah. Yaitu, taat bila diperintah, melegakan bila dilihat, ridha bila diberi yang sedikit, dan menjaga kehormatan diri dan suaminya, ketika suaminya pergi.'' (HR Ibnu Majah).
Lanjuuut..

Melatih Kecerdasan

CARA MUDAH MELATIH KECERDASAN OTAK


Hadapilah, saat usia semakin tua ingatan kita cenderung semakin kehilangan ketajamannya. Kita mulai melupakan sesuatu, seperti nama orang, lupa meletakan sesuatu atau pekerjaan yang harus kita lakukan. Tetapi tua bukan berarti otak Anda juga menjadi semakin tumpul. Agar otak selalu bisa terasah dan ingatan pun tetap tajam, berikut beberapa tipsnya:

Langkah I : MELATIH OTAK KIRI
Otak kiri Anda bekerja untuk mengatur kemampuan dalam penalaran, bahasa, tulisan, logika dan berhitung. Daya ingat otak kiri bersifat jangka pendek (short term memory). Bila terjadi kerusakan pada otak kiri maka akan terjadi gangguan dalam hal fungsi berbicara, berbahasa dan matematika. Untuk mempertahankan kapasitas otak kiri Anda, cobalah untuk mempelajari bahasa baru atau melakukan permainan puzzles.

Langkah 2 : MELATIH OTAK KANAN
Fungsi otak kanan adalah untuk menangani proses berpikir kreatif manusia. Otak kanan biasa diidentikkan tentang kreatifitas, khayalan, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna. Daya ingat otak kanan bersifat panjang (long term memory). Cara kerjanya tidak terstruktur dan cenderung tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail. Bila terjadi kerusakan pada otak kanan misalnya pada penyakit stroke atau tumor otak, maka fungsi otak yang terganggu adalah kemampuan visual dan emosi. Untuk menjaga ketajaman otak kanan Anda berlatihlah bermain alat musik, bernyanyi atau membuat kerajinan tangan.

Langkah 3 : MELATIH OTAK KESELURUHAN
Belajar meditasi.
Dengan melakukan meditasi Anda dapat mengurangi stress, mengatasi rasa cemas yang berlebihan, dan mengaktifkan pusat kontrol otak untuk kebahagiaan dan kepuasan.

LATIH KEMAMPUAN MEMORI
Anda tentu masih ingat saat masih kecil, banyak hal yang harus Anda hapal. Ketajaman ingatan Anda akan meningkat jika Anda selalu melatih kemampuan memori.

Bergabunglah dalam kegiatan sosial.
Memiliki jadwal aktivitas sosial yang padat diyakini dapat membuat otak bekerja lebih aktif dan mengurangi kemunduran kerja otak.
Lanjuuut..

Talak yang Sah

TALAK YANG SAH 1. Suami harus dalam keadaan sadar, sehat dan tidak marah Imam Al-Bukhari membuat bab khusus dengan judul “Bab Talak ketika kalut, terpaksa, mabuk, gila, marah, linglung, dan sebagainya.” Kemudian mengutip sabda Nabi SAW: “Amal seseorang tergantung niatnya…” Utsman berkata: “orang gila dan mabuk tidak sah talak.” Rasulullah SAW menyatakan : “Tidak sah talak dalam keadaan kalut.” (HR. Ahmad, Abu Daud & Ibnu Majah dari Aisyah RA). Walaupun dalam keadaan lupa talak tidak sah, namun jika dipermainkan atau pura-pura mentalak istrinya maka talak itu jatuh dan sah. Karena Rasulullah SAW melarang mempermainkan urusan talak, sebagaimana sabdanya: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ

Lanjuuut..
 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger