Headlines News :
Logo Design by FlamingText.com

SA'ATUL AN

TARIKHUL AN

ARCHIVE

Tarjim

POST

Senin, 22 Februari 2010

puasa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Puasa adalah rukun Islam yang keempat. Yang wajib dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Sebagaimana yang telah diterangkan dalam al-Qu’ran dalam al-Qu’an yang berbunyi:
ياأيها الذين أمنو كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون.

Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”

Makalah ini disusun untuk membahas tentang pengertian puasa syarat-syarat puasa, yang membatalkan puasa, rukun puasa, dan lain-lain. Dengan tujuan untuk mengulas ulang tentang pemahaman puasa yang sebenarnya dan menunjukkan
Lanjuuut..

propesi pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu tugas utama sekolah adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku. Pengelolaan kurikulum harus diarahkan agar proses pembelajaran berjalan dengan baik dan tolak ukur pencapaian tujuan oleh siswa. Jadi bagaimana strateginya agar tujuan pembelajaran dapat tercapai, maka guru perlu didorong untuk terus menyempurnakan strategi tersebut.
Tidak hanya pengelolaan kurikulum yang berperan dalam pendidikan tetapi juga learning I fun – belajar itu menyenangkan. Tapi, siapa yang menjadi stakeholder dalam proses pembelajaran yang menyenangkan itu? Jawabnya adalah siswa. Siswa harus menjadi arsitek dalam proses belajar mereka sendiri. Kita semua setuju bahwa pembelajaran yang menyenangkan merupakan dambaan dari setiap peserta didik. Karena proses belajar yang menyenangkan bisa meningkatkan motivasi belajar yang tinggi bagi siswa guna menghasilkan produk produk belajar yang berkualitas.
Lanjuuut..

hukum pidana pemerkosaan

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia telah dilanda krisis multi dimensi kini semakin di perpara dengan semakin maraknya porno aksi dan porno grafi yang dipertontonkan secara vulgar di tengah-tengah masyarakat, ini mengakibatkan kebrobrokan moral generasi-generasi bangsa Indonesia dan ini pula salah satu sebab mengapa maraknya kasus-kasus kriminal berupa pemerkosaan atau pun pelecehan seksual di negeri tercinta ini.
Akhir-akhir ini sangat marak sekali kasus pemerkosaan baik pada wanita-wanita dewasa maupun anak-anak yang di bawah umur. Dan hal-hal ini tidak hanya dilakukan oleh mereka-mereka yang awam atau tidak berpendidikan, tapi hal ini pula banyak dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan,
Lanjuuut..

hukum pidana adat

HUKUM PIDANA ADAT
DALAM ERA EKONOMI DAERAH

A. Arti penting judul
Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang tersebar di kota-kota dan desa-desa. Keragaman itupun menjadi suatu kekayaan akan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakatnya, masyarakat dan hukum merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan Ubi Societas Ibi Ius, dimana ada masyarakat dan disitu ada hukum oleh karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat demi mencapai ketertiban umum. Aturan hukum tersebut ada yang tertulis maupun tidak tertulis berlaku secara nasional maupun kedaerahan di dalam lapangan hukum public maupun hukum prifat.
Didalam lapangan hukum public, salah satu sumber hukum yang diakui secara nasional dan terkodifikasikan adalah KUHP (kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Lanjuuut..

hukum pidana 2345

BAB I
PENDAHULUAN

Di dalam undang-undang Nomor 15 tahun 2003 mengenai undang-undang tindak pidana pemberantasan terorisme yang telah dilaksanakan sudah sejak lama mengenai tindak pidana terorisme. didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu kepada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan denga terorisme.
Pada hukum inggris dan hukum amerika terdapat perbedaan, yakni, hukum di Amerika hukum tertinggi adalah hukum tertulis, yaitu konstitusi amerika yang berada di atas undang-undang, sedangkan hukum inggris tidak ada hukum tertinggi karena di inggris memakai kekuasaan parlemen yang tidak terbatas dalam pembuatan undang-undang.
Lanjuuut..

hukum perdata 56

BAB PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Manusia diciptakan dari unsur yang sama namun manusia juga diciptakan dalam bentuk, paras dan sifat yang berbeda-beda. Ada manusia yang baik ada pula yang jahat, ada yang hitam dan ada yang putih. Yang putih takkan selamanya putih dan yang hitam takkan selamanya hitam. Artinya, suatu saat yang jahat akan melakukan kebaikan dan yang baik suatu saat akan melakukan kejahatan. Baik kejahatan terhadap dirinya, keluarga ataupun kejahatan terhadap orang lain disekitarnya.
Lanjuuut..

hukum perdata 34

HUKUM PERDATA INDONESIA


A. Pendahuluan
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Lanjuuut..

hukum perdata

WASIAT/ TESTAMENT

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Didalam hukum waris ada istilah yang dikenal dengan naman wasiat. Wasiat yaitu suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal baik itu ucapan maupun tulisan. Untuk mengetahui lebih jauh tentang wasiat pemakalah akan membahas masalah ini di bab berikutnya.

B. Rumusan Masalah
 Apa pengertian wasiat?
 Apa saja syarat-syarat wasiat?
 Hal-hal apa saja yang dapat membatalkan wasiat?

C. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan pemakalah memilih judul ini adalah:
 Mengetahui dan memahami pengertian dari wasiat tersebut.
 Mengetahui dan memahami tujuan dibuatnya wasiat itu.
 Supaya mengetahui syarat-syarat dan tata cara berwasiat.


























BAB II
Pembahasan

A. Pengertian
Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal. Pada asasnya suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Dengan sendirinya, dapat dimengerti bahwa tidak segala yang dikehendaki oleh seseorang, sebagaimana diletakkan dalam wasiat itu, juga diperbolehkan atau dapat dilaksanakan. Pasal 872 B.W. yang menerangkan tentang arti wasiat atau testament, memang sudah mengandung suatu syarat, bahwa isi pernyataan itu tidak boleh bertentangandengan Undang-undang. Pembatasan penting, misalnya terletak pada pasal-pasal tentang “legitieme portie” yaitu bagian warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak para ahli waris pada garis lencangdan tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Yang paling lazim, suatu testament berisi apa yang dinamakan suatu “erfatelling” yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Orang yang ditunjuk itu dinamakan “testamentaire erfgenaam” yaitu ahlli waris menurut wasiat dan sama halnya dengan seorang ahli waris menurut undang-undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal “onder algemene titel.”
Suatu testamant, juga dapat berisikan suatu “legaat” yaitu sutu pemberian kepada seseorang. Adapun yang dapat diberikan dalam suatu legaat dapat berupa:
1) satu atau beberapa benda tertentu.
2) Seluruh benda dari satu macam atau jenis, misalnya seluruh benda yang bergerak.
3) Hak “vruchtgebruik” atas sebagian atau seluruh warisan.
4) Sesuatu haka lain terhadap boedel, miisalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dariboedel.
Orang yang menerima suatu legaat, dinamakan “legataris”, ia bukan ahli waris. Karennya ia tidak menggantikan si meninggal dalam hak-hak dan kewajiban-kewajibannya (yang penting: tidak diwajibkan membayar hutang-hutangnya!). Ia tidak berhak untuk menuntut penyerahan benda atau pelaksanaan hak yang diberikan kepadanya dari sekalian ahli waris. Pendeknya suatu legaat memberikan suatu hak penuntutan terhadap boedel. Adakalanya, seorang legataris yang menerima beberapa benda diwajibkan memberikan salah satu benda itu kepada orang lain yang ditunjuk dalam testament. Pemberian suatu benda yang harus ditagih dari seorang legataris, dinamakan suatu “sublegaat”
Biasanya dalam suatu testament yang menunjukkan beberapa orang menjadi waris, disebutkan untuk berapa bagian masing-masing. Suatu efstelling berbunyi, misalnya:”saya menunjuk X Y dan Z (sebagai ahli waris) masing-masing untuk sepertiga warisan saya. Jika dalam satu testament beberapa orang bersama-sama ditetapkan menjadi waris dengan tidak disebutkan bagian masing-masing dan kemudian salah seorang meninggal, maka bagian orang yang meninggal ini jatuh pada waris-waris lainnya yang bersama-sama ditunjuk itu, sehingga bagian mereka yang masih hidup ini mnejadi bertambah, begitu juga jika dalam satu testament diberikan satu benda yang tak dapat dibagi-bagi, misalnya seekor kuda kepada dua orang bersama-sama dan kemudian salah seorang meninggal, maka benda itu akan jatuh pada temannya untuk seluruhnya.
B. Syarat-syarat Orang yang Berwasiat
Adapun syarat-syarat orang yang berwasit dalam Pasal 194 diantaranya sebagai berikut:
1) orang yang telah berumur sekurang-kurangnya berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3) Pemilikan terhadap harta benda seperti yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksankan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaris. Adapun jumlah wasiat diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. Didalam penerimaannya baik wasiat secara tertulis maupun secara lisan harus disebutkan dengan tegas siapa atau siapa-siapa atau lembagaapa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.
C. Batalnya Suatu Wasiat
1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pesawat.
b) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
c) Dipersalahkan dengan kekerasan atau acaman mencegah pewasist untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
d) Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.

2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a) tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
b) Mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya.
c) Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya wasiat.
3) Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.

D. Pencabutan wasiat dan tata caranya
1) pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.
2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
3) Bila wasiat dibuat berdasrakan akta notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akta notaris.
Sebagaimana yang telah diterangkan, suatu wasiat/ testamet dapat ditarik kembali (herroepen) setiap waktu. Hanya pemberian warisan yang telah diletakkan dalam suatu perjanjian perkawinan tidak boleh ditarik kembali, sebab sifatnya perjanjian perkawinan hanya satu kali dibuat dan tidak dapat diubah atau ditarik kembali seperti halnya dengan pembuatan wasiat/ testamet.







BAB III
Kesimpulan

Sebagaimana penjelasan diatas, wasiat merupakan suatu pernyataan baik lisan maupun tulisan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya pewasiat tersebut meninggal. Pembuatan suatu wasiat/testament terkait oleh bentuk dan cara-cara tertentu yang jika diindahkan dapat menyebabkan batalnya wasiat/ testament itu. Berhubung dengan itu timbullah pertanyaan tentang apa saja yang perlu diletakkan dalam bentuk wasiat/ testament itu? Sebagai pedoman dapat dipakai segala perbuatan yang bersifat hanya keluar dari satu pihak saja yang baru akan berlaku atau mendapat kekuatan bila si pembuat itu telah meninggal harus diletakkan dalam bentuk wasiat/ testament. Sifat yang pertama itulah yang dalam hal ini menentukan, sebab tidak semua perikatan yang digantungkan pada matinya seorang harus diletakkan dalam wasiat/ testament. Misalnya suatu perjanjian bahwa suatu hutang baru akan dapat ditagih apabila siberhutanng meninggal atau suatu perjanjian sewa-menyewa rumah baru akan beakhir apabila si penyewa telah meninggal. Teranglah kiranya perjanjian-perjanjian semacam ini, meskipun digantungkan pada matinya salah satu pihak, merupakan suatu perikatan yang mengikat kedua belah pihak dan perikatan itu tidak dapat ditiadakan oleh salah satu pihak.








DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Abdul Manan, SH, S.Ip, M.Hum, Drs. M. Fauzan, SH POKOK HUKUM PERDATA WEWENANG PERADILAN AGAMA, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002
Prof. Subekti, SH “POKOK-POKOK HUKUM PERDATA” Intermasa, Jakarta. 1993
Lanjuuut..

hukum pidana

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang Masalah
Manusia diciptakan dari unsur yang sama namun manusia juga diciptakan dalam bentuk, paras dan sifat yang berbeda-beda. Ada manusia yang baik ada pula yang jahat, ada yang hitam dan ada yang putih. Yang putih takkan selamanya putih dan yang hitam takkan selamanya hitam. Artinya, suatu saat yang jahat akan melakukan kebaikan dan yang baik suatu saat akan melakukan kejahatan. Baik kejahatan terhadap dirinya, keluarga ataupun kejahatan terhadap orang lain disekitarnya.
Kejahatan terhadap orang dalam KUHP mencakup beberapa hal, yaitu kehormatan, membuka rahasia, kebebasan, nyawa, badan/tubuh, harta benda/kekayaan. Dalam hal ini para pakar biasanya menggabungkan antara tindak pidana terhadap tubuh dan nyawa menjadi satu, yang saling berkaitan. Dalam hal ini kami berusaha menjelaskan pembahasan kejahatan terhadap nyawa, yang dewasa ini hal tersebut sangat sering terjadi dilingkungan kita.
Lanjuuut..

Waris

A. Hukum Islam
1. Hukum waris dalam Al-Qur’an
Dalam menguraikan prinsip-prinsip hukum waris berdasarkan hukum Islam, satu-satunya sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah Al-Qur’an dan sebagai pelengkap yang menjabarkannya adalah Sunnah Rasul beserta hasil-hasil ijtihad atau upaya para ahli hokum Islam terkemuka. Berkaitan dengan hal tersebut, di bawah ini akan diuraikan beberapa ayat suci Al-Qur’an yang merupakan sendi utama pengaturan warisan dalam Islam. Ayat-ayat tersebut secara langsung menegaskan perihal pembagian harta warisan di dalam Al-Qur’an, masing-masing tercantum dalam surat An Nissa (Q.S. IV), surat Al- Baqarah (Q.S. II),
Lanjuuut..

riba

RIBA DAN TINJAUAN FIQH
MU’AMALAH ATAS BUNGA BANK KONVENSIONAL


Dewasa ini perbincangan mengenai riba di kalangan Negeri Islam mencuat kembali. Sehingga upaya-upaya melakukan usaha yang bertujuan menghindari persoalan riba mulai dilaksanakan. Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam.
Makalah ini akan menguraikan topik-topik sebagai berikut :
- Pengertian riba
- Macam-macam riba
- Tinjauan fiqh mu’amalah atas bunga bank konvensional dan hukumnya dalam kacamata Islam.

A. PENGERTIAN RIBA
• Menurut etimologi,
Riba berarti الزيادة ( tambahan ), sedangkan
• Menurut Terminologi
Riba berarti pertambahan sesuatu yang di khususkan atau tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta.
Riba di haramkan berdasarkan Al-Qur’an, sunah dan ijma’
a. Al-Quran
                          •      

“ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rosulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan Riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.
(QS.. Al-Baqarah 278-279)

b. Al-Hadits
روي عن ابن مسعود رضي الله عنه قال : لعن رسول الله ص.م. اكل الربى وموكله وساهده وكاتبه (روه ابو داود وغيره)

“Di riwayatkan oleh Ibnu Mas’ud R.A. Bahwa Rosulullah SAW telah melaknat pemakan riba, yang mewakilinya, saksinya dan penulisnya. “
(H.R. Abu Daud dll)
c. Ijma’
Seluruh Ulama’ sepakat bahwa riba di haramkan dalam Islam.

B. MACAM-MACAM RIBA
Para Ulama’ fiqh membagi riba menjadi 2 (dua) macam
1. Riba Fadhl
Ialah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut
2. Riba Nasi’ah
Ialah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang telah disepakati jatuh tempo.

C. TINJAUAN FIQH MU’AMALAH ATAS BUNGA BANK KONVENSIONAL DAN HUKUMNYA DALAM KACAMATA ISLAM.
I. PERBANDINGAN ANTARA BANK SYARI’AH DAN BANK KONVENSIONAL
BANK ISLAM BANK KONVENSIONAL
1

2

3


4


5


6 Melakukan inventasi-investasi yang halal saja
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa
Profit dan falah oriented (mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat)
Hubungan dnegan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan

Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan dewan pengawas syari’ah
Besar kecilnya bagi hasil yang diperoleh deposan bergantung pada :
- Pendapatan Bank
- Nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank
- Nominal depositi nasabah
- Rata-rata saldo deposito untuk jangka waktu tertentu yang ada pada Bank
- Jangka waktu deposito karena berpengaruh pada lamanya investasi 1

2

3


4


5


6




7 Invesatsi yang halal dan haram

Memakai perangkat bunga

Profit oriented


Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-debitor
Tidak terdapat dewan sejenisnya

Besar kecilnya bunga diperoleh deposan bergantung pada :
- Tingkat bunga yang berlaku
- Nominal deposito
- Jangka waktu deposito
Semua bunga yang diberikan kepada Deposan menjadi beban biaya langsung

II. PERBEDAAN ANTARA BUNGA DAN BAGI HASIL
Islam mendorong prakti bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana. Namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat di jelaskan dalam tabel berikut :
TABEL PERBEDAAN ANTARA BUNGA DAN BAGI HASIL
BUNGA BAGI HASIL
a


b


c



d



e
Penentuan bunga di buat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Pembayaran bunga tetap seperti yang di janjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang di jalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
Eksistensi bunga di ragukan (kalau tidak di kecam) oleh semua agama termasuk Islam. a



b


c




d


e
Penentuan besarnya rasio / nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan di tanggung bersama oleh kedua belah pihak
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.

III. KEHARAMAN BUNGA BANK KONVENSIONAL SEPERTI RIBA DALAM KACAMATA ISLAM
Hampir semua majlis fatwa Ormas Islam berpengaruh di Indonesia seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ telah membahas masalah Riba pembahasan itu sebagai bagian dari kepedulian Ormas-ormas Islam tersebut terhadap berbagai masalah yang berkembang di tengah umatnya. Untuk itu, kedua organisasi tersebut memiliki lembaga Ijtihat yaitu Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama’.
Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan-keputusan penting kedua lembaga Ijtihat tersebut yang berkaitan dengan Riba dan pembungaan uang
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah memutuskan :
a. Riba hukumnya haram dan Nash Sharih Al-Qur’an dan As-Sunnah
b. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan Bank tanpa riba hukumnya halal
c. Bunga yang diberikan oleh Bank-bank Milik Negara kepada nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara Mutasyabihat
d. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian. Khususnya lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam
2. Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama’
Mengenai Bank dan pembungaan uang, lajnah memutuskan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Terdapat tiga pendapat Ulama’ sehubungan dengan masalah ini
a. Haram, sesab termasuk utang yang di pungut Rente
b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat ynag berlaku tidak dapat begitu saja di jadikan syarat
c. Syubyat (tidak tentu halal haramnya) sebab parta ahli hukum berselisih pendapat tentangnya
Meskipun ada perbedaan pandangan, lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga Bank adalah haram.
Para Musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga Bank Konvensional , antara lain :
1. Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram
2. Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut sementara sistem perbankan yang Islami atau tanpa bunga belum beroperasi
3. Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi, boleh di pungut sebab ada kebutuhan yang kuat (Hajah Rajihah).
3. Sidang Organisasi Konferensi Islam ( OKI )
Dalam sidang tersebut telah disepakati dua hal utama, yaitu sebagai berikut :
a. Praktik Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syari’ah Islam
b. Perlu segera didirikan Bank-bank alternatif yang menjalankan operasiya sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah
4. Mufti Negara Mesir
Keputusan kantor mutfi negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten memutuskan bahwa bunga Bank termasuk salah satu bentuk riba yang di haramkan
5. Konsul Kajian Islam Dunia ( )
Ulama’-ulama besardunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKDI) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga Bank. Dalam konferensi II KKID yang di selenggarakan di Universitas Al-Azharm Kairo, pada bulan Muharram 1385 H/Mei 1965 Mm di tetapkan bahwa tidak ada sedikitpun keraguan atas keharaman praktik pembungaan uang seperti yang di lakukan Bank-bank Konvensional.

6. Fatwa-fatwa Lembaga Lain
Senada dengan ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga Islam dunia diatas, diambil pada saat Bank Islam dan lembaga keuangan Syari’ah belum berkembang seperti saat ini. Dengan kata lain, para Ulama’ Dunia tersebut sudah berani menetapkan hukum dengan tegas sekalipun pilihan-pilihan alternatif belum tersedia.
Beberapa lembaga diatas telah menyatakan bahwa bunga Bank adalah salah satu bentuk Riba yang di haramkan. Namun pada fatwanya bunga Bank Konvensional seperti : BRI, BCA, BNI, dll. Walaupun telah dibahas secara explisit mengenai keharaman bunga Bank Konvensional, masyarakat Indonesia masih banyak yang memanfaatkan Bunga Bank Konvensional, umumnya masyarakat Indonesia yang muslim tanpa harus memperhatikan keharaman dari bunga bank tersebut.
Bank Islam dapat di sebut sebagai alternatif terhadap Bank Konvensional. Apabila Bank Konvensional beroperasi sistem bunga (interest). Bank Islam bekerja berdasarkan prinsip dasar rela sama rela ( عن تراض منكم ) dan tidak boleh ada pihak yang menzalimi dan dizalimi.
Disisi lain, kita diharapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek Riba yang merambah ke berbagai Negara ini sulit di berantas meskipun MUI telah mengeluarkan fatwa haram terhadap Bunga Bank Konvensional. Namun belum 100% masyarakat Indonesia yang menggunakan jasa Bank Syari’ah sehingga MUI dan lembaga-lembaga Islam di Dunia perlu mempertegas lagi keharaman Bunga Bank Konvensional agar tidak ada lagi orang-orang muslim yang menggunakan jasa Bank Konvensioanl yang di haramkan oleh Islam karena sama halnya dengan riba dan agar supaya orang-orang muslim tidak terjerat oleh Buga Bank Konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhammad “ Kontroversi tentang bunga bank dan riba, Ekonisiam jakarta,2004
2. Muhammad Syafi’i Antonio, “ Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek”, Gema Insani, Jakarta, 2001
3. Prof. Dr. Musa Asy’arie, “Filsafal Islam”. Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta, 2001
4. DR. Rachmat Syafe’i M.A, “Fiqh Mu’amalah”, Pustaka Setia, Bandung, 2009
5. Ir. Adimarwan Karim, SE, M.B.A, M.A.E.P.” Bank Islam ( Analisis Fiqh dan keuangan)”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Lanjuuut..

pinjam meminjam

PINJEM-MEMINJEM ( ARIYAH )
BAB I
LATAR BELAKANG
Kata mu’amalah yang kata tunggalnya mu’malah yang berakar pada secara arti kata mengandung arti ”saling berbuat” atau berbuat secara timbal balik. Sederhana lagi berarti” hubungan antara orang dengan orang”. Bila kata ini dihubungkan kepada lafadz fiqih, mengandung arti aturan yang mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia. Ini merupakan imbahan dari fiqih ibadat yang mengatur hubungan lahir antara seseorang dengan Allah pencipta.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Allah SWT. Mengatur hubungan lahir antara manusia dengan Allah dalam rangka menegakkan hablum minnallah dan hubungan antara sesama manusia dalam rangka menegakkan hablum minnannas, yang kedua merupakan misi kehidupan manusia yang diciptakan sebagai khalifah di atas bumi. Hubungan antara manusia itu bernilai ibadah pula bila dilaksnakan sesuai dengan petunjuk Allah yang diuraikan dalam kitab fiqh.
Dalam hal ini penulis mencoba akan membahas tentang prilaku manusia dengan manusia lain dalam transaksi yang berupa pinjem-meminjem(Ariyah) dengan harapan makalah ini akan menjadi wacana khususnya pribadi penulis umumnya untuk orang lain , besar harapan kami kritik dan saran dalam penyusunan makalah ini.










BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Landasan Ariyah (Pinjem-Meminjam)
Pengertian Ariyah
Menurut Etimologi Ariyah adalah ( العارية ) diambil dari ( عار ) yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagai pendapat ariyah berasaldari kata( العاور ) yang sama artinya dengan ( التناول او التناوب ) (saling menukar dan menganti) yakni tradisi pinjem-meminjem.
Menurut terminologi syara’ ulama fiqih berpendapat dalam mendefisinikannya, antara lain :
a) Menurut syarkhsyi dan ulama malikiyah :
تمليك المنفة بغير عوض
Artinya :
” Pemilikan atas manfaat (Suatu benda) tanpa menganti”
b) Menurut ulama syafi’iyah dan hambaliyah :
اباحه المنفعة بلا عوض
Artinya
” Pembolehan (Untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti.”
Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksud untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.
c) Menurut Ibnu Rif'ah
kebolehan mengambil manfat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.
1. Landasan Syara’
Ariyah dianjurkan (Mandub) dalam islam, yang didasrkan pada Al-Quran dan sunnah
1) Al-Quran
وتعاونوا علي البر والتقوى =( المائدة : )=
Artinya
” Dan tolong-menolong kalian dalam kebajikan dan takwa” (QS. Al-Maidah : 2)
2) As-Sunnah
Dalm hadits bukhari dan muslim dari anas, dinyatakan kemudian bahwa Rasulullah SAW. Telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.
Dalam hadits lain yang meriwayatkan oleh Abu dawud dengan sanad yang jayyid dari Shufyan Ibnu Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam perisai dari Shafyan bin Umayyah pada waktu perang Hunain. Shafwan bertanya, ” Apakah engkau merampasnya. Ya Muhammad ?” Nabi menjawab, ” Cuman meminjam dan aku bertanggung jawab.”
a. Rukun dan Syarat Ariyah
 Rukun Ariyah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjam barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah
Menurut ulama shafi’iyah dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shighat akad, yakni ucapan Ijab dan Qabul dari peminjam dan yang meminjam barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang tergantung pada adanya izin.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat(4), yaitu :
1) Mu’ir (Peminjam)
2) Musta’ir (Yang meminjam)
3) Mu’ar (Barang yang dipinjam
4) Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun dengan tindakan.
 Syarat Ariyah
Ulama fiqih mensyaratakan dalam akad ariyah sebagai berikut :
Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian orang lain dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Sedangkan ulama hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan yang sedang pailit(bangkrut)
a) Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan , yang di anggap sah memegang barang adalah peminjam ,seperti hal nya dalam hibah.
c) Barang (musta’ar)
Dapat di manfaatkan tanpa merusak dzatnya ,jika musta’ar tidak dapat di manfaatkan, akad tidak sah. Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah di bolehkan terhadap setiap barang yang di ambil manfaat nya dan tanpa merusak zat nya ,seperti meminjam tanah ,pakaian ,binatang dan lain – lain .
Diharamkan meminjam senjata dan kuda kepada musuh ,juga di haramkan meminjam al quran atau yang berkaitan dengan Al-quran kepada orang kafir .Juga di larang meminjam alat berburu kepada orang yang sedang ihram.
Pemanfatan barang itu dibolehkan maka batal ”ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syra” sepirti meminjam benda-benda najis
2. Hukum (Ketetapan) Akad Ariyah
1. Dasar hukum ariyah
Menurut kebiasaan (Urf), Ariyah dapat diartikan dengan dua(2) cara , yaitu secara hakikat dan secara majaz
a) Secara Hakikat
Ariyah adalah meminjam kan barang yang dapat di ambil manfaat nya tanpa merusak zat nya . menurut Malikiyah dan Hanafiyah ,hukunya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun , atau peminjam memiliki sesuatu yang semasa dengan manfaat menurut kebiasaan.
Al – Kurkhi, ulama syafi’iyah , dan hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
Dari perbedaan pandangan di atas , dapat di tetap kan bahwa menurut golongan pertama ,barang yang di pinjam (musta’ar)boleh di pinjam kan kepada orang lain ,bahkan menurut imam malik ,sekalipun tidak di izinkan oleh pemilik nya asalkan digunakan sesuai fungsinya ,Akan tetapi , ulama Malikiyah melarang nya melarang nya jika peminjam tidak mengijinkan nya
Alasan ulama Hanafiyah antara lain bahwa yamg memberi pinjaman (mi’ir) telah memberikan hak pengusaan barang kepada peminjam untuk mengambil manfaat barang .kekuasaan seperti itu berarti kepemilikan .Dengan demikian ,peminjam berkuasa penuh untuk mengambil manfaat barang – barang tersebut ,baik oleh dirinya maupun orang lain.
Golongan pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak mempunyai hak pemilikan sebagaimana pada gadai barang. Menurut golongan kedua, peminjan hanya berhak memanfaatkannya saja dan ia tidak memiliki bendanya. Adapun menurut golongan pertama, gadai adalah akad yan glazim (resmi), sedangkan ariya adalah akad tabarru’(derma) yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, peminjaman tidak memiliki hak kepemilikan, sebagaimana itu, peminjam pun tidak boleh menyewakan
b) secara Majazi
Ariya secara majazi adalah pinjam-meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain, seperti telur, uang, dan segala benda yang bisa diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya. Ariya pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda yang serupa atau senilia. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupan ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat diambil manfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.
2. Hak memanfaatkan barang pinjaman (musta’ar)
Jumhur ulama selain hanafiyah berpendapat bahwa musta’ar dapat mengambil manfaat barang sesuai dengan izin mu’ir (orang yang memberi pinjaman)
Adapun ulama hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar tergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara terikat (Muqayyad) atau mutlak.
a. Ariyah Mutlak
Ariyah mutlak yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara pengunaannya. Contohnya, seorang meminjam binatang namun dalan akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan pengunaan binatang tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Jadi hukumnya sebagaimana pemilik hewan-hewan, yaitu dapat mengambil. Namun demikian, harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat. Tidak dibolehkan mengunakan binatang tersebut siang malam tanpa henti. Sebaliknya jika penggunannya sesuai kebiasaan dan barang pinjaman rusak, peminjam harus bertanggung jawab
b. Ariyah Muqayyad
Ariyah muqayyad adalah peminjaman suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan pemanfaatannya, baik disyaratkan keduanya maupun salah satunya. Hukumnya meminjam harus sepadan mungkin untuk menjaga batasan tersebut. Hal ini karena asal dari batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang.
3. Sifat Ariyah
Ulama hanafiyah, syafi’iyah, dan hanabila berpendapat bahwa hak kepemilikan peminjam atas barang adalah hak tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Pada hibah misalnya bisa saja mu’ir(orang yang meminjamkan) mengambil barang yang dipinjamkannya kapan saja, sebagaimana peinjaman dapat mengembalikan kapan saja, baik pinjam-meminjam itu bersifat mutlak atau dibatasi waktu, kecuali ada batas-batas tertentuyang akan menimbulakn kemudaratan saat mengembalikan barang tersebut, seperti rusak atau seperti orang-orang yang meminjam tanah untuk mengubur mayat yang dihormati, maka mu’ir tidak boleh meminta kembali tanah tersebut dan si peminjam pun tidak boleh mengembalikannya sebelum jenazah berubah menjadi tanah.
C. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki hutang kepada yang berpiutang.setiap hutang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar hutang,bahkan melalaikan pembayaran juga termasuk aniaya.perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa (hadits riwayat Bukhori Muslim)
D. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada oran kain,sekalian pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman .Menurut Mazhab Hanbali,peminjam boleh memanfatkan barang pinjaman atausiapa saja menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung,kecuali barang tersebut disewakan.Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
E. Tanggung Jawab Peminjaman
Bila peminjam telah memengang barang pinjaman,kemudian barang tersebut rusak,ia berkewajiban menjaminnya,baik karena pemakaiannya yang berlebihan maupun karena yang lainnya.Rasulullah bersabda:
”Pemagang berkewajiban menjaga apa yang ia terima,hingga ia mengembalikannya”.
F. Tatakrama Berhutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau hutang-piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait didalamnya,ialah sebagai berikut:
1) Sesuai dengan QS Al Baqarah: 282,hutang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang berhutang dengan disaksikan dua orang saks laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita.Untuk dewasa ini tulisan tersebut di buat atas kertas bersegel atau bermaterai.
2) Pimjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarkan/mengembalikannya.
3) Pihak yang berpihutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berhutang.Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan,maka yang berpihutang hendaknya membebaskannya.
4) Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar pinjaman,hendaknya pembayaran pinjaman berati berbuat zalim.











BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Bahwa pinjam-meminjam adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.Dan hukumnya 'Ariyah wajib ketika awal islam.Dan sifat 'Ariyah menurut Ulama Hanafiyah ,Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepimilikan peminjam atas barang adalah hak tidak lazim sebab
merupakan kepimilikan yang tidak ada penggantinya.Peminjam menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak baik disengaja maupun tidak dan peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya,kecuali karena tindakannya yang berlebihan.

B.Saran
Demi kelancaran penyusunan makalah ini Penulis mengharapkan saran dan kritiknya atas makalah yang disusun agar kelak penulis bisa memperbaikinya menjadi lebih baik.Dan penulis berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.












DAFTAR PUSTAKA
Dr.H.Suhendi Hendi, fiqih mu'amalah, Jakarta
Dr.H.Syafi'i Rahmat, fiqih mu'amalah, Bandung
Masduki Nana, fiqih mu'amalah, Bandung
Lanjuuut..

alquran

A. Pendahuluan
Alqur’an memberikan kekhususan dan keistimewaan kepada nabi Muhammad SAW, hal ini dikarenakan tantangan dan cobaan yang dihadapinya lebih berat, namun keberhasilan yang dicapainya melampaui keberhasilan yang dicapai para nabi sebelumnya. Dalam beberapa komentar disebutkan oleh Annie Besant, dalam bukunya The Life and Teaching Of Muhammad sebagaimana dikutip H.M Quraish Shihab sampai pada kesimpulan : Mustahil bagi siapapun yang mempelajari kehidupan dan karakter Muhammad SAW, hanya mempunyai perasaan hormat saja terhadap nabi mulia itu. Ia akan melampauinya sehingga meyakini bahwa beliau adalah seorang nabi terbesar dari sang pencipta.
Tentu saja informasi yang disampaikan al-Qur’an dan penjelasan yang diberikan para ahli sejarah mengenai kisah para rasul berikut permasalahan yang dihadapinya bukan hanya sebagai pengetahuan atau wacana, melainkan untuk digali pesan ajaran moral yang terkandung didalamnya, serta dijadikan bahan renungan untuk kemungkinan diterapkan pada masa selanjutnya. Dengan demikian keimanan yang demikian itu diharapkan dapat menimbulkan dampak psikologis edukatif bagi umat manusia.
Seiring dengan uraian tersebut, pada makalah ini penulis mencoba membahas lebih lanjut mengenai makna kerasulan dan dampaknya bagi pembinaan dan pendidikan ummat manusia, dengan focus kajian surat An-Nisa’ ayat 115 yang kemudian dihubungkan dengan surat Ali Imron ayat 106-108.

B. Surat An-Nisa’ Ayat 115-117 dan Ali-‘Imron Ayat 106-108
1) Surat An-Nisa’ ayat 115 selengkapnya berbunyi :
      •           •   • 

Artinya : dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia ke dalam neraka jahannam, dan neraka Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

2) Surat An-Nisa’ ayat 116 selengkapnya berbunyi :
•                  •   
Artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”

3) Surat An-Nisa’ ayat 117 selengkapnya berbunyi :
          • 
Artinya :
Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka,

Dikalangan para ulama rafsir jarang sekali dijumpai keterangan yang menjelaskan tentang sebab-sebab turunnya ayat 115 tersebut. Dari 176 ayat yang terkandung dalam surat An-Nisa’ ini diketahui tidaklah turun sekaligus, melainkan secara bertahap sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Namun tidak seluruh ayat tersebut ada penjelasannya. Namun demikian kandungan ayat 115-117 yang antara lain berisi kecaman terhadap orang yang menentang Rasul dengan akan dimasukkannya kedalam neraka Jahanam, dapat diketahui bahwa ayat ini turun dalam situasi dimana masyarakat Arab Jahiliyah pada saat itu banyak yang menentang Rasulullah. Penentangan ini dapat difahami karena sesuai dengan penjelasan, bahwa secara umum keadaaan masyarakat pada saat datangnya para Rasul berada dalam keadaan chaos, jauh dari kebenaran dan cenderung menentang kepada siapa saja yang mengingatkan dan meluruskan mereka.
Dengan keadaan demikian, maka wajar jika banyak orang yang masih belum mau mengikuti Rasulullah. Walau demikian karena Rasulullah SAW membawa agama yang diturunkan oleh Allah, maka dengan sendirinya Allah melindunginya dan sekaligus mengecam orang-orang yang menentangnya.
Kecaman Allah pada ayat tersebut juga sebagai akibat dari pelanggaran yang mereka lakukan terhadap perintah Allah sebagaimana ayat 59 surat An-Nisa’, yaitu perintah agar mentaati Allah dan mentaati Rasulullah, ayat tersebut selengkapnya berbunyi :
          

Artinya : ”Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.”

Karena orang-orang tersebut jelas mengabaikan perintah Allah SWT tersebut maka wajar jika Allah mengecam mereka dengan neraka jahanam. Sebagai calon penghuni neraka jahanam, mereka memiliki ciri-ciri khusus di hari kiamat, sebagaimana dijelaskan surat Ali-Imron ayat 106-108 sebagai berikut :

      •  •           •                       

“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu". Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, Maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya. Itulah ayat-ayat Allah. kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya.”


Adapun orang-orang yang menjadi putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya.
Itulah ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya.
Dalam berbagai kitab tafsir tidak dijumpai pendapat yang menjelaskan tentang hubungan secara langsung antara surat An-Nisa’ ayat 115 dengan syarat yang terdapat dalam surat Al-Imron tersebut diatas. Namun dapat dilihat dari segi isinya tampak antara ayat-ayat tersebut saling menafsirkan, ayat 115-117 surat An-Nisa’ yang menjelaskan kecaman Allah terhadap orang-orang yang mengingkari Rasulullah SAW berupa siksaan api neraka Jahanam, sedangkan ayat 106-108 surat Al-Imron menjelaskan ayat-ayat tersebut.

C. Kandungan Surat An-Nisa’ Ayat 115-118 (Tafsir)
Maksud dari ayat 115 sebagaimana dijelaskan oleh al-Maraghi adalah sebagai berikut: Barang siapa yang menentang Rasul dengan cara murtad dari Islam dan menunjukan dengan jelas permusuhan kepadanya, setelah tampak dengan jelas hidayah (petunjuk) pada ucapanya, dan ditegakan argumentasi yang kuat, serta mereka mengikuti jalan yang tidak sesuai petunjuk, maka kami (Rasul) akan membiarkan mereka itu berada dalam kesesatan.
Lebih lanjut al-Maraghi menjelaskan bahwa ayat tersebut menerangkan sunatullah yang berlaku terhadap amal perbuatan manusia, serta penjelasan terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya, berupa kehendak, kebebasan dan berbuat berdasarkan pilihanya sendiri. Sesuatu dari aspek perbuatan yang dipilihnya untuk dilakukan, itulah pula (balasan) yang akan diberikan Allah kepadanya. Amal perbuatannya itulah yang menjadi pemandu dan petunjuk terhadap jalan yang ditempuhnya. Dalam kaitan ini tidak akan dijumpai kekuasaan Allah yang dipaksakan kepada manusia agar ia mengerjakan atau meninggalkan perintah-Nya, hingga ia dimasukan kedalam neraka Jahanam karena perbuatan mereka sendiri.
Dengan demikian pada manusia terdapat kebebasan untuk memilih perbuatan yang akan dilakukanya dengan segala konsekwensi atau akibatnya. Orang-orang yang menentang rasul adalah karena pilihanya sendiri dan dimasukkannya mereka kedalam neraka jahanam juga karena pilihanya juga.
Kerasnya kecaman Allah kepada orang-orang yang menentang Rasulullah SAW tersebut tentu saja memiliki maksud yang amat dalam. Allah menginginkan agar ummat manusia mengikuti ajaran Rasulullah SAW dengan tujuan agar mereka tidak tersesat dan tidak pula celaka. Rasulullah SAW sendiri dalam salah satu hadistnya mengingatkan: aku tinggalkan dua perkara untukmu yang dijamin tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu kitabullah (alqur’an) dan sunnah Rasul (Hadistnya). (H.R.Imam malik). Contoh-contoh dalam sejarah telah memperlihatkan bahwa orang yang durhaka kepada para Rasul berahir dengan kehidupan yang tragis, kehidupan mereka terhina, celaka dan buruk yang penyebab utamanya adalah diri mereka sendiri.
Selain dari pada itu, makna kerasnya kecaman Allah SWT kepada orang yang menentang Rasul itu dapat dipahami secara terbalik, yaitu bahwa Allah akan memberikan pujian bagi orang-orang yang mengikuti ajaran yang dibawa para Rasul tersebut, sebagaimana Allah SWT sendiri memuji Rasulullah SAW karena keagungan akhlaknya.
Akhlak Rasulullah SAW yang agung itu diceritakan dalam al-Qur’an dan juga dalam riwayat hidupnya dengan tujuan agar manusia meneladaninya. Dalam kaitan ini al-Qur’an menegaskan: Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasulullah itu keteladanan yang baik bagi yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian. (Q.S. al-Ahzab, 33 ayat 21). Namun tentu saja mengikuti Akhlak Rasulullah SAW disesuaikan dengan kadar kesanggupan yang dimiliki manusia.

D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, terlihat dengan jelas bahwa uraian tentang makna kerasulan banyak terkait dengan kualitas, peran, fungsi dan hak-hak yang harus dimiliki oleh guru. Sikap dan kemampuan yang dimiliki Rasulullah SAW tersebut menggambarkan sikap sebagai seorang guru yang professional. Seorang yang guru yang professional selain harus menguasai materi pelajaran yang akan diajarkanya, juga harus memiliki kemampuan menyampaikan materi tersebut secara efisien dan efektif serta berakhlak mulia, selanjutnya menjaga dirinya dari perbuatan tercela dan berusaha menjadi teladan bagi murid-muridnya. Selanjutnya peran Rasulullah SAW sebagai pengajar, mubaligh, aksi, reformer, interpreter, contoh teladan yang baik dan hakim adalah juga termasuk peran-peran yang harus dimiliki oleh guru. Jika hal ini dapat terealisasi maka guru akan mendapat penghormatan selama guru tersebut dengan sungguh-sungguh melaksanakan peran dan fungsinya tersebut.
Lanjuuut..

Hadis palsu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai sumber hukum Islam kedua, Sunnah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Bahkan karena demikian pentingnya, di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mengharuskan kita untuk konsisten terhadap Rasululloh SAW, baik berupa perintah-perintahnya maupun larangan-larangannya. Diantaranya ayat-ayat tersebut adalah (QS. 59).
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka berimanlah kalian. Dan apa yang dilaragnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.”.

Oleh karena itulah, tidak heran jika komitmen kaum Muslimin terhadap sunnah demikian tingginya, setinggi komitmen mereka terhadap Al-Qur’an. Karena mereka begitu meyakini dalam Aqidah mereka bahwa sunnah merupakan Wahyu yang Allah wahyukan kepada Rasulullah SAW, sebagaimana al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan bhawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.

Namun manakala Islam telah menyebar sedemikian luas ke berbagai penjuru dunia dengan demikian pesatnya. Ternyata terdapat beberapa kelompok dari kaum Muslimin sendiri yang mengikuti hawa nafsu mereka dengan membuat Hadits-Hadits palsu yang disandarkan kepada Rasululloh SAW yang sama sekali tidak pernah diucapkan oleh Rasululloh SAW. Sejarah mencatat bahwa Hadits-Hadits palsu banyak berkaitan dengan munculnya golongan-golongan seperti Syi’ah dan Mu’awiyah yang pada umumnya mereka ingin “sesuatu” yang dapat mengutamakan kelompok mereka sendiri hingga akhirnya mereka membuat Hadits-Hadits palsu tersebut. Selain sebab itu, tidak dapat dipungkiri juga ada sebab-sebab lain dalam pemalsuan-pemalsuan Hadits, seperti “mencari rizki”, menodai Islam. Dari permasalahan di atas maka kami akan membahas tentang Hadits palsu.

B. Rumusan Masalah
a. Pengertian Hadits Maudhu’
b. Permulaan munculnya Hadits palsu dan penyebab munculnya Hadits palsu.
c. Usaha-usaha memberantas Hadits palsu.
d. Ciri-ciri Hadits palsu dan cara mendeteksi Hadits palsu
e. Pengaruh dan dampak tersebarnya Hadits palsu.

C. Tujuan Pembahasan
- Siswa memahami pengertian Hadits palsu
- Siswa mengerti kapan munculnya Hadits palsu dan penyebab munculnya Hadits palsu.
- Siswa mengetahui usaha-usaha ulama dalam memberantas Hadits palsu.
- Siswa mengerti ciri-ciri Hadits palsu dan cara mendeteksi Hadits palsu
- Mahasiswa mengerti dampak Hadits palsu pada masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian
Hadits Maudhu’ secara etimologis merupakan bentuk isim Maf’ul dari يضع – وضع. Kata وضع memiliki beberapa makna. Antara lain (menggugurkan), (meninggalkan), mengada-ngada, dan membuat-buat. Sedangkan menurut istilah Hadits maudhu’ adalah sesuatu yang distandarkan atau dinisbatkan kepada Rasululloh SAW secara mengada-ngada dan dusta. Yang sama sekali tidak pernah diucapkan, dikerjakan atau ditetapkan oleh beliau.

2. Permulaan Munculnya Hadits Palsu
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Hadits-Hadits palsu muncul sejak terbunuhnya Kholifah Utsman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Tholib serta Mu’awiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan Kholifah. Maka umat Islam terpecah belah menjadi 3 golongan, yaitu Syi’ah, Mu’awiyah, dan Khawarij.

3. Sebab-sebab Munculnya Hadits Palsu
a. Motif Politik
- Kelompok Syi’ah
Syi’ah merupakan kelompok yang paling besar dan paling banyak membuat Hadits-Hadits palsu. Bahkan dikemukakan oleh Ibnu Abi al-Hadid, “Asal mula munculnya Hadits-Hadits palsu dari golongan Syi’ah mereka pada mulanya hanya membuat Hadits-Hadits palsu mengenai keutamaan mereka, kemudian mereka membuat Hadits-Hadits palsu untuk menantang musuh-musuh mereka.
Diantara Hadits-Hadits palsu yang mereka buat adalah:
“Wahai Ali, sesungguhnya Allah telah mengampuni, kedua orang tuamu, keluargamu, pendukungmu dan orang-orang yang mencintaimu”.


b. Pendukung Mu’awiyah
Sementara itu kelompok yang mendukung Mu’awiyah juga tidak mau kalah ketika mereka merasa diserang dengan Hadits-Hadits palsu, mereka pun ada yang akhirnya membuat Hadits palsu untuk menandingi lawannya, diantaranya Hadits palsu tersebut adalah:
“Orang-orang yang terpercaya di sisi Allah ada tiga: Aku, Jibril dan Mu’awiyah”.

c. Khawarij
1. Muhammad Ajjaj Al-Khatib mengemukakan:
“Tidak ada riwayat yang tegas bahwa kaum Khawarij membuat Hadits palsu. Bahkan menurut pendapat yang kuat, bahwa latar belakang ketiadaan mereka membuat Hadits palsu adalah keyakinan mereka bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan berdusta termasuk dosa besar. Bahkan banyak kabar yang mengukuhkan bahwa mereka merupakan kelompok yang paling jujur dalam meriwayatkan Hadits. Dalam hal ini Abu Daud mengatakan, “diantara para pengikut hawa nafsu, tidak ada aliran lebih yang lebih shahih Haditsnya dibandingkan dengan Khawarij”.
2. Upaya-upaya Musuh Islam
Ketika wilayah Islam semakin luas dan pengikut Islam semakin banyak, ternyata tidak sedikit diantara mereka orang-orang yang sebenarnya sangat memusuhi Islam namun tidak kuasa untuk konfrontatif dengan Islam menggunakan senjata, karena begitu kuatnya pemerintahan Islam. Hal ini membuat mereka untuk berupaya menghancurkan Islam dari dalam. Diantara mereka adalah Muhammad bin Sa’id al-Syami yang merupakan kelompok zindiq, dia membuat Hadits-Hadits palsu. Diantara Hadits-Hadits palsu adalah:
“Aku adalah penutup para Nabi. Dan tidak ada Nabi sesudahku, kecuali apabila dikehendaki oleh Allah”.

Ada juga pemalsu Hadits yang bernama Abdul Karim bin Abi al-Auja’ yang memberikan pengakuan sebelum lehernya dipenggal karena memalsukan hadtis bahwa ia telah membuat hadtis palsu sebanyak empat ribu Hadits.
3. Perbedaan ras fanatisme, kesukuan, daerah dan imam
Terkadang fanatisme pada ras, suku, daerah atau imam dapat menjadikan pendorong dalam pemalsuan Hadits. Sebagai contoh pada fanatisme ras adalah Hadits palsu berikut:
a. Sebagai contoh pada fanatisme ras dan kesukuan adalah Hadits palsu berikut:
“Sesungguhnya bahasa orang-orang yang ada di Arsy adalah Bahasa Parsi”.

Kemudian ras lain yang berlawanan dengan kelompok Persia membuat Hadits palsu tandingannya:
Bahasa yang paling dibenci Allah adalah Bahasa Persia dan bahasa penduduk surga adalah Bahasa Arab.
b. Contoh Hadits palsu pada fanatisme imam adalah
“Akan tiba pada umatku seseorang yang bernama Muhammad bin Idris, dia lebih berbahaya bagi umatku dari pada Idris.”

4. (الخلافات المذهبية و الكلامية) perbedaan Mazhab dan Faham
Perbedaan madzhab dalam ibadah sampai derajat fanatic juga merupakan penyebab munculnya Hadits palsu. Masing-masing ingin mendapatkan legitimasi penguat untuk madzhab yang dianutnya. Diantaranya adalah Hadits palsu berikut:
من رفع يده في الركوع فلا صلاة له
“Barang siapa yang mengangkat tangannya ketika ruku’, maka tiadalah sholat baginya”

5. (القصاصون) pembuat cerita
Sebagian tukang cerita memiliki keinginan agar ceritanya didengar oleh orang banyak yang kemudian memotivasi mereka. Dan melambungkan angan-angan mereka. Dan melambungkan angan-angan mereka. Terkadang mereka melakukan itu demi untuk mendapatkan pemberian-pemberian dari para audiensnya. Salah satu contohnya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ja’far Muhammad Atthayalisi (Al-Khatib, 1989: 424-425).
”Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in sholat di masjid Ar-Rashafah. Kemudian ada seorang tukang cerita di hadapan jamaah berkata: “telah meriwayatkan pada kami Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in, keduanya berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Aburrazaq dari Ma’mar dari Qatadah dari Anas, katanya : Rasululloh SAW, bersabda:
من قال لاإله إلا الله خلق الله من كل كلمة طهر امنقاره من ذهب و ريشه م مرجان.

“Barang siapa mengucapkan La ilaaha illallah, maka Allah akan menciptakan satu burung setiap katanya, yang paruhnya dari emas dan bulunya dari marjan”.

Mendengar kisah ini Ahmad bin Hambal menoleh ke Yahya bin Ma’in dan Yahya bin Ma’in juga menoleh ke Ahmad bin Hambal, lalu bertanya, engkau meriwayatkan Hadits itu? Lalu ia menjawab, demi Allah baru kali ini aku mendengarnya”. Kemudian seusai orang tersebut bercerita dan mengambil pemberian-pemberian, tukang cerita itu duduk untuk menunggu yang lainnya. Lalu Yahya memanggilnya, kemarilah! Lalu orang itu mendatangi Yahya bin Ma’in mengira akan diberikan sesuatu. Lalu Yahya bertanya: siapa yang meriwayatkan Hadits ini kepadamu? Ia menjawab, Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in. Lalu Yahya berkata, aku Yahya bin Ma’in dan ini temanku Ahmad bin Hambal. Dan kami tidak pernah mendengar Hadits ini dari Rasululloh SAW. Lalu ia berkata: aku sering mendengar bahwa Yahya bin Ma’in adalah orang yang dungu, dan baru saat ini aku membuktikannya. Apakah tidak ada Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hambal selain kalian berdua? Aku telah menulis tujuh belas Ahmad bin Hambal dan yang Yahya bin Ma’in. lalu Ahmad bin Hambal menutupkan kerah bajunya kemurkaan seraya berkata, “Biarkan ia pergi”, lalu ia pergi seperti sedang meremehkan keduanya”.
6. (الرغبة في القهر مع الجهل بالدين)
Terlalu semangat dalam kebaikan tanpa ilmu yang cukup terkadang orang-orang shaleh dan zuhud ingin memotivasi orang-orang yang sibuk dengan ke duniawi yaitu merek dengan Hadits-Hadits palsu, dengan harapan agar orang-orang tersebut terdorong untuk beribadah atau meninggalkan perbuatan yang tidak benar, serta mendapatkan pahala dari Allah SWT. Diantara Hadits-Hadits palsu yang mereka buat adalah:
من قرأ ليس في ليلة أصبح مغفورا له و من قرأ الدخان في ليلة أصبح مغفورا له.
“Barang siapa membaca surat Yasin pada malam hari maka pada pagi harinya dia telah diampuni dari segala dosanya, dan barang siapa membaca surat ad-Dukhon pada malam hari, pada subuh harinya dan telah diampuni dosa-dosanya”.

Diantara mereka adalah Maisaroh bin Abdi Rabbih, ketika Ibnu Mahdi bertanya kepadanya mengapa ia membuat Hadits-Hadits palsu seperti itu? Ia menjawab, aku memalsukannya untuk memotivasi manusia agar membacanya. (Al-Thahan, 1996:91).
Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan tersebut sangat berbahaya dan jelas-jelas dilarang. Dan bila mereka diingatkan dengan Hadits ”Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaknya ia mempersiapkan tempatnya di Neraka”. Mereka menjawab, ”Kami tidak berdusta atas Rasululloh SAW, namun kami berdusta demi Rasululloh SAW”.
7. (التقرب من الحكام) ingin dekat dengan penguasa
Diantara pemalsuan Hadits yang terjadi adalah dikarenakan faktor ingin “Mencari muka” kepada para penguasa, agar mereka mendapatkan “sesuatu”. Diantaranya adalah seperti yang dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim yang berdusta untuk kepentingan Khalifah al-Mahdi yang ketika itu Al-Mahdi sedang bermain burung. Ghiyats mengatakan:
لا سبق إلا فس فضل أو خف أو حافر أو جناح
“Tidak ada perlombaan kecuali dalam memanah, balapan unta, pacuan kuda, dan burung merpati”

Ghiyats menambah Janah (burung merpati) pada Hadits tersebut. Kemudian al-Mahdi memberikan sepuluh ribu dirham kepada Ghiyats kemudian memotong burung tersebut”. Setelah Ghiyats pulang, Al-Mahdi mengatakan, aku bersumpah bahwa tengkukmu adalah tengkuk tukang dusta kepada Rasulullloh SAW.

Hukum Meriwayatkan Hadits Palsu
Para ulama’ sepakat bahwa penyebaran Hadits palsu hukumnya “Haram” ini berdasarkan sebuah Hadits shahih dimana Nabi SAW. Bersabda: “Barang siapa dengan sengaja mendustakan aku, maka siap-siaplah dia masuk neraca. Sementara dari Golongan al-Karamiyah, yaitu pengikut Nabi Muhammad bin Karram (W. 255H) yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki jasad seperti manusia. Ia berpendapat membuat Hadits palsu itu boleh-boleh saja asalkan untuk kepentingan Islam. Dan pendapat ini dibabat habis oleh para ulama’. Bahkan imam al-Juwaini menganggap pemalsu Hadits sudah keluar dari Islam.

Usaha Ulama’ Memberantas Hadits Palsu
Melihat munculnya Hadits-Hadits palsu, para ulama’ tidak tinggal diam. Mereka melakukan segala usaha dan upaya untuk memberantas Hadits palsu. Diantara usaha yang dilakukan para ulama’ adalah;
1. Berpegang pada Sanad
Karena berpegang pada sanad, seorang perawi dapat mengetahui atau mengecek kembali apakah perawi sebelumya itu termasuk yang tsiqah atau tidak. Jika perawinya adalah termasuk ahlul bathil dan ahlul bid’ah atau yang dikenal sebagai orang yang tidak dapat dipercaya. Maka riwayatannya akan ditinggalkan. Sebaliknya perawi Hadits hanya akan menerima Hadits-Hadits yang perawinya tsiqah dan terpercaya. Dalam hal ini Abdullah bin Sirrin mengatakan:
”Mulanya mereka tidak bertanya mengenai sanad, namun manakala terjadi fitnah mereka selalu menanyakan: sebutkan oleh kalian perawi-perawi kalia. Jika perawinya termasuk ahlus sunnah diterimanya Hadits. Dan jika ia temasuk ahlul bid’ah Haditsnya tidak diterima.”
2. Ketelitian dalam Meriwayatkan Hadits
Disamping sanad, para ulama mulai zaman tabi’in hingga zaman setelah mereka sangat teliti dan hati-hati dalam meriwayatkan Hadits. Hingga dari ketelitian tersebut dapat diketahui suatu Hadits maqbul atau mardud. Kemudian juga dipilah-pilah antara metode yang satu dan yang lainnya. Sehingga keotentikan Hadits tetap terpelihara hingga kini”.
3. Memerangi Para Pendusta dan Tukang Cerita
Para ulama Hadits juga memerangi para Pendusta Hadits dan juga para tukang cerita yang dikenal gemar memasulkan Hadits dengan cara menjelaskan dan mewanti-wanti mereka agar jangan mendekati dan mendengarkan mereka. Ulama Hadits juga menerangkan Hadits-Hadits maudhu’ tersebut kepada para murid-muridnya dan mengingatkan mereka untuk tidak meriwayatkan Hadits-Hadits palsu tersebut. Diantara para ulama yang dikenal sangat ”keras” terhadap Pemalsu Hadits adalah imam Syu’bah bin Al-Hajjaj (W. 160 H), Amir al-Sya’bi (W. 103. H), Sufyan al-Tsauri (W. 161 H), Abdurrahman bin Mahdi (W. 198H)
4. Menjelaskan ”status” perawi Hadits
Terkadang perawi Hadits harus menjelaskan mengenai keadaan perawi Hadits yang diriwayatkannya. Sejarah hidupnya, guru-gurunya, murid-muridnya, perjalanannya dalam menuntut Hadits dan lain sebagainya. Sehingga dari sini setiap perawi Hadits dapat diketahui ”statusnya”, apakah ia yang diterima sebagai perawi ini akhirnya memunculkan ilmu baru dalam Hadits, yaitu ilmu jarh wa ta’dil dan ilmu ruwatul Hadits. Dari ilmu in seseorang yang belajar Hadits akan dapat menjumpai mana Hadits yang shahih, hasan atau dhaif. Yang dhaif pun dapat diklasifikasikan apakah karena keterputusan sanad atau karena sebab lainnya. Sehingga Hadits tetap terjaga hingga sekarang ini.

5. Membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui Hadits palsu
Disamping semua usaha yang telah dilakukan oleh para ulama sebagaimana di atas, ulama Hadits juga meneliti matan yang terdapat pada Hadits-Hadits palsu tersebut. Tujuan dari penelitian itu adalah agar dibuat kaidah-kaidah atau ciri-ciri khusus yang terdapat pada Hadits-Hadits palsu, agar setiap orang dapat membedakan antara Hadits dengan Hadits palsu.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang untuk memalsukan Hadits-Hadits Rasululloh SAW, namun Allah SWT tetap menunjukkan kepada kaum Muslimin betapa usaha mereka mendapatkan perlawanan yang hebat dari kaum Muslimin itu sendiri. Sehingga sunnah senantiasa tetap terjaga keotentikannya hingga hari ini dan Insya Allah hingga akhir zaman nanti. Barangkali inilah yang telah Allah janjikan dalam kitabnya. 61:8.
”Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya_Nya meskipun orang-orang kafir benci”.

Namun sebagai hamba-hamba Allah dan juga sebagai pengikut setia Rasululloh SAW, seharusnya generasi-generasi sekarang ini juga memahami dan tetap mewaspadai akan munculnya Hadits-Hadits palsu, yang tidak mustahil juga akan bermunculan pada era-era ini. Atau paling tidak dapat menjelaskan ke masyarakat mengenai Hadits-Hadits palsu yang beredar di masyarakat dengan sangat Masyhur, sementara mereka sendiri tidak mengetahui kepalsuan Hadits tersebut. Semoga Allah melimpahkan pahalanya kepada para ulama’ yang telah mengerahkan segala tenaga dan fikirnannya untuk ”menyelamatkan” sunnah dari tangan-tangan jahil yang akan merusaknya. Dan semoga kita dapat mengikuti langkah kaki mereka menuju keridhoan Allah SAW.

Ciri-ciri Hadits Palsu
a. Susunan Hadits itu baik lafadz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW. Seperti Hadits :
لا تسبوا الديك فإنه صديقي
Artinya:
“Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku”
b. Isi / maksud Hadits tersebut bertentangan dengan akal. Seperti Hadits:
الباذنجان شفاء من كل داء
Artinya:
“Buah terong itu menyebahkan segala macam penyakit”
c. Isi / maksud itu bertentangan dengan nash al-Qur’an dan atau Hadits mutawatir, seperti Hadits:
لا يدخل ولد الزنا الجنة
Artinya:
“Anak zina itu tak akan masuk surga”

Hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT:
ولاتزر وازرة وزر أخرى (فاطر: 18)
Artinya:
“Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”

Cara Mendeteksi Hadits
Ada beberapa cara untuk mengetahui Hadits palsu antara lain:
a. Pengamalannya ditolak
b. Bertentangan dengan al-Qur’an
c. Pengakuan Pemalsu
Para Pemalsu Hadits terkadang mengakui sendiri bahwa mereka membuat Hadits palsu seperti pengakuan Abu Ishmah Muh Bin Abu Maryam al-Wamawazi, ia mengakui membuat Hadits ”palsu yang berkaitan dengna fadhilah (keutamaan) membaca surat-surat al-Qur’an”.
d. Semi pengakuan
Pemalsu haditas terkadang tidak mengakui bahwa ia memalsukan Hadits. Namun ketika ditanya kapan ia lahir dan kapan gurunya wafat. Ia memberikan jawaban yang tidak tepat.
e. Rawinya Pendusta
Apabila dalam sanad Hadits terdapat rawi yang pendusta, maka para ahli Hadits itu palsu.

Pengaruh Dan Dampak Buruk Tersebarnya Hadits Palsu
Hadits “Palsu” yang banyak beredar di tengah masyarakat kita memberi dampak dan sangat buruk pada masyarakat Islam di antaranya:
1. Munculnya keyakinan-keyakinan yang sesat
2. Munculnya ibadah-ibadah yang bid’ah
3. Matinya sunnah.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1. Hadits palsu adalah sesuatu yang disandarkan atau dinisbatkan kepada Rasululloh SAW secara mengada-ngada dan dusta, yang sama sekali tidak pernah diucapkan, dikerjakan atau ditetapkan oleh beliau.
2. Sebab-sebab munculnya Hadits palsu antara lain:
a. Motif Politik
- Kelompok Syi’ah
- Kelompok Mu’awiyah dan
- Kelompok Khawarij
b. Upaya-Upaya Musuh Islam

DAFTAR PUSTAKA

• Yaqub, Musthofa Ali, 2000. Kritik Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.
• Ahmad, Muhammad. 2000. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia
• Azami. M.M. 2003. memahami Ilmu Hadits. Jakarta: Lentera
• Al-Khatib. Ajaj Muhammad. 2003. Usuhul al-Hadits. Jakarta: Gata Media Pratawa
Lanjuuut..
 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger