Headlines News :
Logo Design by FlamingText.com

SA'ATUL AN

TARIKHUL AN

ARCHIVE

Tarjim

POST

Jumat, 11 November 2011

Praktek perwakafan tanah


Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan mereka sehari-hari. Terlebih lagi bagi rakyat pedesaan yang pekerjaan pokoknya bertani, berkebun atau berladang, tanah merupakan tempat pergantungan hidup mereka. Menurut Van Dijk, “ Tanahlah yang merupakan modal yang terutama, dan untuk bagian terbesar dari Indonesia, tanahlah yang merupakan modal satu-satunya.[1]
Berbagi jenis hak dapat melekat pada tanah, dengan perbedaan prosedur, syarat dan ketentuan untuk memeproleh hak tersebut. Di dalam Hukum Adat dikenal hak membuka tanah, hak wenang pilih, hak menarik hasil, sampai hak milik. Pada beberapa kelompok masyarakat tertentu, hubungan dengan tanah semikian eratnya, sehingga dianggap mempunyai nilai magis. Pembukaan tanah dengan menebang hutan dianggap dapat mengganggu keseimbangan magis lingkungan itu. Karena itu perlu adanya upacara tertentu untuk memulihkan keseimbangan magis tersebut.
Menyadari betapa pentingnya permasalahan tanah di Indonesia, maka Pemerintah bersama DPR-RI telah menetapkan Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yaitu UU No.5 tahun 1960 disahkan tanggal 24 September 1960. Dalam konsiderannya pada bagian berpendapat, huruf “a” disebutkan : bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan diatas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas Hukum Adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama.[2]
Menarik sekali ujung kalimat dari konsideran tersebut yang menyatakan bahwa Hukum Agraria Nasional yang akan menjamin kepastian hukum, tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama.
Sehubungan dengan adanya hal ini, pasal 14 ayat (1) huruf b UUPA tersebut menentukan bahwa Pemerintah Indonesia dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Dalam peruntukan seperti dimaksud di atas, termasuklah untuk keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.[3]
Didalam Hukum Islam dikenal banyak cara untuk mendapatkan hak atas tanah. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui : jual beli, tukar menukar, hibah, hadiah, infak, sedekah, wakaf, wasiat, ihya-ulmawat (membuka tanah baru).
Diantara banyak titel perolehan atau peralihan hak  yang dikenal dalam Hukum Islam tersebut, maka ternyata wakaaf mendapat tempat pengaturan secara khusus diantara perangkat perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini berbentuk Perauran Pemerintah. Dengan demikian wakaf wakaf merupakan salah satu lembaga Hukum Islam yang mempunyai titik temu secara kongkrit dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Karena itu adalah sangat menarik untuk menelaah masalah ini lebih lanjut dengan mencoba menelusuri kenyataan atau praktek yang terjadi. 


A.     Rumusan Masalah

Dengan memperlihatkan landasan pemikiran yang tersirat dalam latar belakang diatas maka dapatlah dirumuskan pokok masalah yang akan menjadi obyek kajian dalam pembahasan paper ini.
1.      Bagaimana praktek perwakafan tanah diIndosesia serta kosep yang akan di gunakan ?
2.      Bagaimana kepastian hukum perwakafan tanah di Indosesia ?

B.     Tujuan Pembahasan

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah penyususn sebutkan, maka terdapat beberapa tujuan dalam pembahasan paper ini, antara lain :
1.      Untuk menegatahui bagaimana proses praktek perwakafan di Indonesia yang sedang    dilanda arus Urbanisasi yang cukup deras disatu sisi laim dan makin berkembang pesatnya pembangunan berbagai bidang diperkotaan di sisi lain, menyebabkan posisi tanah menjadi semakin penting.
2.      Bagimana proses hukum tentang perwakafan tanah, karena menyadari betapa pentingnya permasalahan tanah di Indosesia.




















BAB II
LANDASAN TEORITIS

A.     Pengertian Wakaf
Wakaf menurut bahasa Arab berarti “al-habsu”, yang berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan, menjauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang menjadi bahas “habbasa” dan berarti mewakfkan harta karena Allah.
Sedangkan wakaf menurut istilah syarak adalah “ menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa mengahabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.[4]
Berbagai rumusan definisi ini dapat kita temukan dalam beberapa literatur lain seperti dikutip oleh Abdurrahman, S.H dari definisi Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Imam Muhammad, Maula Muhammad Ali serta Naziruddin Rachmat.
Sedangkan pengertian wakaf menurut apa yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) PP  No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik adalah : Perbuatan Hukum Seseorang atau Badan Hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya untuk selama-lamanya uuntuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam.[5]
Dari rumusan pengertian diatas terlihat bahwa dalam Fiqih Islam sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat atau hadits yang menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tapi berbagai ulama memahami bahwa notanah pun boleh saja asala bendanya tidak langsung musnah atau habis ketika diambil manfaatnya.
Menurut Fiqih Islam yang berkembang dalam kalangan ahlus sunnah, dikatakan “sah kita mewakafkan binatang”. Demikian jugaa pendapat ahmad dan menurut satu riwayat, juga Imam Malik.[6]

B. Dasar Hukum Wakaf
Menurut Imam Syafi’I, Malik dan Ahmad, wakaf itu adlah suatu ibadah yang disyariatkan.[7] Hal ini disimpulkan baik dari pengertian-pengertian umum ayat al-Quran maupun hadits yang secara khusus menceritakan kasus-kasus wakaf di zaman Rasulullah. Diantara dalil-dalil yang dijadikan sandaran atau dasar hukum wakaf dalam agama Islam ialah :
1.      Al-Quran surat al-Hujjah ayat 77 yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, rukuk dan sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat kebaikan supaya kamu berbahagia”.
2.      Selanjutnya firman Allah dalam surah an-Nahl ayat 97 : “Barang siap yang berbuat kebaikan, laki-laki maupun perempuan dan ia beriman, niscaya akan aku beri pahala yang lebih bagus dari apa yang mereka amalkan”.
3.      Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah yang terjemahannya “Apabila mati anak Adam, maka terputuslah dari pada semua amalnya kecuali tiga hal yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakannya”.
Dasar Hukum seperti tercantum pada angka 1 sampai 3 sebenarnya tidak secar khusus menyebutkan istilah wakaf, tetapi para ulama Islam menjadikannya sebagai sandaran dari perwakafan berdasarkan pemahaman serta adanya isyarat tentang hal tersebut.
Di Indosesia sampai sekarang terdapat berbagai perangkat peraturan yang masih berlaku yang mengatur masalah perwakafan tanah milik. Seperti dimuat dalam buku Himpunan Peraturan Perundangan-undangan Perkawafan Tanah diterbitkan oleh Departemen Agama RI, maka dapat dilakukan inventarisnya berikut :
1.      UU No.5 tahun 1960 tanggal 24 September 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 49 ayat (1) memberi isyarat bahwa “Perwakafan Tanah Miliki dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
2.      Peratyran Pemerintah No.10 tahun 1961 tanggal 23 Maret 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Karena peraturan ini berlaku umum, maka terkena juga didalamnya mengenai pendaftaran tanah wakaf.
3.      Peraturan pemerintah No. 38 tahun 1963 tanggal 19 Juni 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
4.      Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tanggal 17 Mei 1977 tentang perwakaean tanah.
5.      Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 tahun 1977 tanggal 26 November 1977 tentang Tata Tanah mengenai perwakafan Tanah Milik.
6.      Peratuean Menteri Agama No.1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977 tanggal 10 Januari 1978 tentang Perwaakaafan Tanah Milik.
7.      Peraturan Menteri Dalam Negeri No.12 tahun 1978 tanggal 3 Agustus 1978 tentang Penambahan Ketentuan mengenai Biaya Pendaftaran Tanah untuk Badan-badan Hukum tertentu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2 Tahun 1978.
8.      Insturksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1978 tanggal 23 Januari 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
9.      Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/78 tanggal 18 April 1978 tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan Tentang Perwakafan Tanah Milik.
10.  Keputusan Menteri Agama No.73 Tahun 1978 tanggal 9 Agustus 1978 Tentang Pendelegasian Wewenang Kepala-kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provindi atau Setingkat di Seluruh Indonesia untuk Mengangkat tau memberhentikan Setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
11.  Instruksi Menteri agama No.3 tahun 1979 tanggal 19 Juni 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No.73 Tahun 1978.
12.  Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D II/5/Ed/14/1980 tanggal 25 Juni 1980 tentang Pemakaian Bea Cukai dengan Lampiran Surat Dirjen Pajak No. S-629/PJ.331/1980 tanggal 29 Mei 1980 yang menentukan jenis formulir wakaf mana yang bebas materai, dan jenis formulir yang dikenakan bea materrai, dan nerapa besar bea materainya.
13.  Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D II/5/Ed/07/1981 tanggal 17 Februari 1981 kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia, tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik dan permohonan keringanan atau pembebasan biaya.
14.  Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D II/5/Ed/11/1981 tanggal 16 April 1981 tentang Petunjuk Pemberian Nomor pada Formulir Perwakafan Tanah Milik.

C. Unsur dan Syarat Wakaf

Dalam fiqih Islam dikenal ada empat rukun atau unsur wakaf, yaitu :
1.      Orang yang berwakaf (wkif)
2.      Benda yang diwakafkan
3.      Penerima wakaf
4.      Lafad atau pernyataan penyerahan wakaf
Bagi orang yang berwakaf, disyaratkan bahwa ia adalah orang yang ahli berbuat kebaikan dan wakaf dilakukannya secara sukarela, tidak karena dipaksa. Untuk barang yang diwakafkan, ditentukan beberapa syarat sebagai berikut :
a.      Barang atau benda itu tidak rusak atau habis ketika diambil manfaatnya.
b.      Kepunyaan orang yang berwakaf. Benda yang bercampur haknya dengan orang lain boleh diwakafkan seperti halnya boleh dihibahkan atau disewakan.[8]
c.       Bukan barang haran atau najis.[9]
Beberapa persyaratan umum yang harus diperhatikan dalam melaksakan wakaf, diantaranya yaitu :
1.      Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan kepentingan Agama Islam.
2.      Jangan memebrkan batas waktu tertentu dalam perwakafan.
3.      Tidak mewakafkan barang yang semata-mata menjadi larangan Allah yang menmbulkan fitnah.
4.      Kalau wakaf diberikan melalui wasiat, yaitu baru terlaksana setelah si wakif meninggal dunia, maka jumlah atau nilai harta yang diwakafkan tidak boleh lebih dari 1/3 sebagian jumlah maksimal yang boleh diwasiatkan.
Peratuaran Pemerintah No. 28 Tahun 1977 mengatur perwakafan yang sudah lebih khusus, dalam hal ini mengenai tanah milik. Dalam pasal 3 ayat(1) dinyatakan bahwwa yang dapat mewakafkan tanah miliknya ialah :
-         Badan-badan Hukum Indonesia
-         Orang atau orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.       telah dewasa
b.      sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuyatan hukum
c.       atas kehendak sendiri dan atanpa paksaan dari pihak lain. 
Selanjutnya pasal 6 ayat (1) menentukan bahwa nadzir yang terdiri dari perorangan harus memenuhi syarat-syarat :
a.       warga negara Replublik Indosesia
b.      beragama Islam
c.       sudah dewasa
d.      sehat jasmaniah dan rohaniah
e.       tidak berada dibawah pengampuan
f.        bertempat dikecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.



BAB III
ANALISA MASALAH


A.     Cara Memperoleh Tanah Wakaf
Dalam melihat kecenderungan untuk memberlakukan tanah yang diperoleh melalui titel wakaf, hibah maupun pembelian, sebagai harta wakaf. Hal serupa itu tidak ditemukan secara tegas dalam hukum Islam atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Muhammmadiyah tanah wakaf yang diperoleh melalui pembelian, dan uangnya berasala dari sumbangan masyarakat, dianggap semacam kolektif. Kaum muslimin yang menyumbangkan uangnya, baik melalui les derma, amplop atau kartu wakaf, memang dari awal berniat untuk wakaf. Cara seperti ini memberi peluang lebih besar bagi kaum muslimin untuk ikut berwakaf, karena hanya sedikit orang yang mempunyai tanah cukup luas dan mampu berwakaf sendirian.
Secara matriks, cara memperoleh tanah wakaf dapat dilihat sebagai berikut :
1.      Menurut Fiqih Islam
      transaksi melalui
                ---wakaf---------------------------- tanah wakaf

2.      Menurut PP No. 28 tahun 1977
transaksi melalui
           ---wakaf--------------------------- tanah wakaf

3.      Praktek dalam Muhammadiyah
transaksi melalui
    wakaf
    hibah                                                 tanah wakaf
    pembelian



B.     Status Tanah Wakaf
Fiqih Islam tidak membicarakan secara rinci tentang status tanah yang dapat dijadikan tanah wakaf. Tapi dari beberapa hadis tentang wakaf ini dapat disimpulkan bahwa tanah itu adalah hak milik. Peraturan Pemerintah No.28 tahu 1977 secara tegas menyebutkan bahwa tanah yang bisa diwakafkan adalah tanah hak milik. Nama PP No.28 itu sendir adalah Tentang Perwakafan Tanah Milik. Kemudian lihat pula redaksi pasal 1 ayat (1), (2) dan (3). Bahkan pasal 4 menegaskan bahwa bukan sembarang hak milik yang dapat diwakafkan. Yang dapat diwakafkan adalah tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan perkara.
Bahwa tanah wakaf terdiri dari berbagai status hak atas tanah, terlihat pula kecenderungan pengertian yang terkandung dalam surat Gubernur Kdh. Khusus Ibu Kota Jakarta No.2197/IV/81 tanggal 16 April 1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama up. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji di Jakarta.

C. Pendaftaran dan Tanda Bukti Hak Atas Tanah
Dalam Hukum Islam tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pendaftran tanah wakaf atau mencatat transaksi penyerahan tanah wakaf. Tetapi kalau dilhat dalam kegiatan muamalah lainnya, ada petunjuk dari al-Quran untuk menulisnya.
Selanjutnya dalam ayat 282 tersebut Allah menegaskan lagi :
…..dan jangankah kamu jemu menulis utnag itu, baik kecil ,aupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak mneimbulkan keraguanmu…?
Berwakaf adalah satu kegiatan menyerahkan hak yang tidak kalah pentingnya dari sekedar utang-piutang atau sewa-menyewa (dan muanaklah lainnya) seperti dimaksud oleh ayat 282. Mengingat penyerahan wakaf menyangjut status hak atas tanah wakaf tersebut unutk jangka waktu tidak terbatas, selama beberap puluh tahun lemudian. Karena untuk muamalah lainnya Allah memerintahkan untuk menuliskannya, maka secara analogi (kias) untuk wakaf pun seyogyanya harus ditulis juga. Jiwa yang terkandung dalam perintah Allah untuk menuliskan muamalah ini adalah agar dibelakang hari tifak terjadi sengketa atau gugat-menggugat diantara fihak-fihak yang bersangkutan.
Walaupun al-Quran tidak menentukan cara lebih lanjut tat cara, prosedir atau bentuk formulis yang digunakan, namun adanya ketentuan PP No. 28 tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No.1 tahun 1978 yang mengatur secara rinci prosedur dan tata cara penulisan atau pendaftaran tanha wakaf ini, msesuai sekali dengan esensi petunjuk Alla dalam surat al-Baqoroh ayat 282 tersebut.  

C.     Tentang Kepastian Hukum

Dalam Bab IV. C.3 d. telah dikemukakan bahwa ada anggapan, tanpa sertifikat hukum hak ayas tanah wakaf cukur terjamin. Dari lapanganpun diketahui hanya sedikit seklai pernah terjadi adanya sengketa tanah wakaf. Artinya seteelah selama beberapa puluh tahun, jarang terjad gugatan, tuntutan atau sengketa tanah wakaf. Hal ini sedikit banyak, ikut memberi rasa aman bagi pemegang tanah wakaf.
Mengenai hubungan antara pendaftran tanah atau pembuatan sertfikat dengan kepastian hukum atau jaminan yang lebih kuat mengenai hak atas tanah, dapat kita lebih lanjut sebagai berikut.
Masyarakat pedesaan yang tradisional, selama ini sudah terbiasa dan sangat akrab dengan tata cara yang sederhana dalam berbagai hubungan diantara mereka, termasuk hubungan hukum. Tidak banyak dibutuhkan oleh prosedur dan bukti tertulis. Bantuan kepala desa sudah merupakan legalisasi yang kuat. Dengan demikian lembaga pendaftaran tanah atau pembuatan sertifikat merupakan sesuatu yang baru bagi mereka. Mungkin mereka harus berualng-ulang berurusan dengan kepala desa, KUA kecamatan, camat dan Kantor Agraria. Oleh karena itu secara sederhana mereka akan membuat kalkulasi, berhitung-hitung berapa banyak teaga, waktu dan biaya yang harus mereka gunakan untuk menyelesaikan pengurusan pendaftaran tanah ini. Dilain fihak mereka juga akn melihat manfat apa yang diperoleh dengan pendaftaran tersebut.
Dari pengamatan lapangan bahwa pengurusan pendaftaran tanah atau membuat sertifikat tidaklah demikian sederhana. Sering setelah bertahun-tahun belum juga selesai. Sementara masyarakat menemui kenyatan bahwa setelah beberapa puluh tahun bahkan secara turun temurun tanah tertentu mereka miliki, mereka tidak pernah mengalami kesulitan apa-apa. Mereka merasa bahwa pemilik tanah dengan cara seperti itu selama ini cukup aman. Disinalah terletak masalah dalam rangaka ingin menjalankan fungsi hukum “sebagai haruan masyarakat atau sering disebut hukum sebagai alat untuk mengadakan social engineering.

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapatlah kiranya penulis menarik beberapa kesimpulan diantaranya :
1.      Penerapan yang jelas sesuai dengan ketentuan hukum islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kerangka ini masih terlihat adaya beberapa variasi, tetapi segera diketahui acuannya dalam huku islam atau peraturan pemerintah.
2.      Penarapan yang berbeda dari ketentuan hukum islam atau fiqih islam maupun peraturan yang berlaku di Indonesia. Perbedanaan ini hanya mengenai tata car atau prosedurnya, atau juga substansi kegiatannya.



DAFTAR PUSTAKA


Prof. Dr. R. van Dijk, Pengantar Hukum adat Di Indonesia, (diterjemakan oleh Mr. A. Soekardi), Vorkrink-van Hoeve, Bandung’s Gravenhage, cetakan Ketiga, (tanoa Tahun)
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perwakafan Tanah Milik, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Jakarta, Cetakan Keempat, 1984/1985
Muhammad ibn Ismail ash-Shan’any, Subulus Salam, Jus 3, Muhammad Ali Shabih, Mesir, (tanpa yahun)
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perwakafan Tanah Milik, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Jakarta, Cetakan Keempat, 1984/1985
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Badan Bintang, Jakarta, Cetakan Kelima, 1978
H. Abu Bakar, Sejarah Mesjid dan Amal Ibadah Dalamnya. Fa. Toko Buku Adl, Banjarmasin, 1955




[1]  Prof. Dr. R. van Dijk, Pengantar Hukum adat Di Indonesia, (diterjemakan oleh Mr. A. Soekardi), Vorkrink-van Hoeve, Bandung’s Gravenhage, cetakan Ketiga, (tanoa Tahun), hlm.54
[2]  Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perwakafan Tanah Milik, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Jakarta, Cetakan Keempat, 1984/1985, hlm.1.  
[3]  Ibid, hlm.7-8
[4]  Muhammad ibn Ismail ash-Shan’any, Subulus Salam, Jus 3, Muhammad Ali Shabih, Mesir, (tanpa yahun), hlm, 114.
[5]  Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perwakafan Tanah Milik, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Jakarta, Cetakan Keempat, 1984/1985, hlm.91.  

[6]  Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Badan Bintang, Jakarta, Cetakan Kelima, 1978, hlm. 179.
[7]  Ibid
[8]  Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, op.cit, hlm.180.
[9]  H. Abu Bakar, Sejarah Mesjid dan Amal Ibadah Dalamnya. Fa. Toko Buku Adl, Banjarmasin, 1955, hlm, 305
Lanjuuut..

ADOPSI (PENGANGKATAN ANAK)


ADOPSI (PENGANGKATAN ANAK)

1.      Bagaimana Pandangan Fiqih tentang Pengadopsian Anak dan Hukumnya?
a.       Pengertian Adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris “Adoption”, yang artinya pengangangkatan atau pemungutan, sehingga sering dikatakan “Adoption of a child”: yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.
Kata adopsi ini, dimaksudkan oleh ahli bangsa arab, dengan istilah التبني yang dimaksudkan sebagai mengangkat anak, memungut atau menjadikan anak.
b.      Pengertian adopsi menurut istilah, dapat dikemukakan definisi para ahli’ antara lain:
1)      Muderis Zaini, S.H., mengemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, S.H., dengan mengatakan:
“Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.”
Kemudian dikemukakan pendapat Surojo Wingjodipura, S.H., dengan mengatakan:
“Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan, pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dengan anak kandungnya.”
Dua pendapat para pakar yang dikemukakan oleh Muderis Zaini, S.H., menggambarkan, bahwa hukum adat membolehkan pengangkatan anak, yang status anak tersebut disamakan dengan anak kandung sendiri begitu juga status orang tua angkat, sama dengan orang tua kandung di anak angkat itu. Kedua belah pihak (orang tua angkat dan anak angkat), mempunyai hak dan kewajiban yang persis sama dengan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak kandungnya, dan atauanak kandung terhadap orang tuanya.
2)      Prof. DR. Asy-Syekh Mahmud Syaltut, mengemukakan dua macam definisi sebagai berikut:
“Adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak, yang diketahuinya bahwa anak itu termasuk anak orang lain. Yang ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya; baik dari segi kasih sayangnya maupun nafkahnya (biaya hidupnya), tanpa itu memandang perbedaan. (meskipun demikian) agama tidak menganggap sebagai anak kandungnya, karena itu tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung.”
Definisi ini memberika gambaran, bahwa anak angkat itu sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang dan pendidikan, tidak dapat disamakan dengan status anak kandung; baik dari segi pewarisan maupun segi perwalian. Hal ini, dapat disamakan dengan anak asuh menurut istilah sekarang ini.
Selanjut, Prof. DR. Asy-Syekh Mahmud Syaltut mengemukakan definisinya yang kedua dengan mengatakan:
”Adopsi adalah adanya seseorang yang tidak memiliki anak, kemudian menjadikan seorang anak sebagai anak angkatnya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia menjadikannya sebagai anak yang sah.”
Definisi ini menggambarkan pengangkatan anak tersebut sama dengan pengangkatan anak di zaman Jahiliyah, dimana anak angkat itu sama statusnya dengan anak kandung, ia dapat mewarisi harta benda orang tua angkatnya dan dapat meminta perwalian kepada orang tua angkatnya bila ia mau dikawini.

2.      Tradisi Pengangkatan Anak (Adopsi) di Masyarakat
Masalah adopsi, bukan suatu hal baru, tetapi di berbagai negeri sejak zaman dahulu kala, tradisi tersebut sudah berbaur dengan kehidupan masyarakat. Tradisi masyarakat jahiliyah secara turun temurun mengangkat anak orang lain sebagai anaknya. Diterangkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
$¨B Ÿ@yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur Ÿ@yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur Ÿ@yèy_ öNä.uä!$uŠÏã÷Šr& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)tƒ ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgtƒ Ÿ@Î6¡¡9$# ÇÍÈ öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øŠs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JŠÏm§ ÇÎÈ . (الأحزاب: 4 – 5)
Artinya:
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah melarang pengangkatan anak (adopsi) yang menisbatkan segala-galanya kepada nama bapak angkatnya, persamaan hak waris dan hubungan mahram serta perwalian perkawinan. Anak angkat itu hanya sekedar anak pemeliharaan atau anak asuh yang tidak bisa disamakan dengan status anak kandung.
Tentang pengangkatan anak (adopsi) di Indonesia kebanyakan masyarakatnya cenderung mengangkat anak dari keluarga dekatnya; misalnya ponakannya, ponakan isteri atau suaminya, atau anak dari misanannya dan sebagainya. Tetapi setelah berdiri beberapa lembaga yang mengurusi anak yatim dan anak yang terlantar, maka masyarakat sudah mulai menyadari bahwa upaya pengangkatan anak, tidak harus berasal dari keluarga dekatnya, tetapi mereka melihatnya sebagai sesama manusia yang harus ditolong penghidupannya serta pendidikannya. Bahkan sekarang ini, lebih berkembang lagi upaya-upaya untuk membantu anak-anak yang tidak mampu, dengan istilah program ”Anak Asuh”.
Pengangkatan anak (adopsi) yang menyamakan statusnya dengan anak kandung, masih berlangsung di masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Oleh karena itu, sebagai orang Islam, dapat diperhatikan ketentuan agama yang mengatur tentang pengangkatan anak (adopsi).
Ada beberapa, motivasi yang melandasi pengangkatan anak di Indonesia, sehingga merupakan suatu kebutuhan hidup masyarakat. Motivasi tersebut, antara lain:
  1. Karena tidak mempunyai anak;
  2. Karena motivasi kasih sayang terhadap anak yang tidak memiliki orang tua, atau anak dari orang tua yang tidak mampu;
  3. Karena ia hanya mempunya anak perempuan, sehingga mengangkat anak laki-laki, atau dengan sebaliknya.
  4. Untuk menambah jumlah keluarga, karena mungkin berkaitan dengan keperluan tenaga kerja dan sebagainya.
  5. Pengangkatan anak dengan motivasi yang berbeda-beda, maka Islam sangat perlu menata kembali tata cara pengangkatan anak, sehingga tetap dapat dibedakan antara anak kandung dengan anak angkat; terutama hak-hak yang berkaitan dengan perwarisan, hubungan mahram, dan status perwalian (dalam masalah perkawinan), karena hal ini terkait dengan masalah ibadah; antara lain misalnya hubungan mahram, dapat membatalkan wudhu’ antara bapak angkat dengan anak angkatnya yang perempuan, padahal kalau anak kandung tidak demikian halnya.
3.      Hukumnya
Islam menetapkan bahwa antara orang tua angkat dengan anak angkatnya, tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawa sebagai sesama manusia. Karena itu, antara keduanya bisa berhubungan tali perkawinan; misalnya Nabi Yusuf bisa mengawini ibu angkatnya (Zulaehah), bekas isteri Raja Abul Aziz (bapak angkat Nabi Yusuf).
Begitu juga halnya Rasulullah SAW, diperintahkan oleh Allah mengawini bekas isteri Zaid sebagai anak kandungnya. Berarti antara Rasulullah dengan Zaid, tidak ada hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang sebagai bapak angkat dengan anak angkatnya. Ini dapat dilihat keterangan ayat 37 dari surah Al-Ahzab.
Islam tetap memperbolehkan adopsi (pengangkatan anak), dengan ketentuan:
1.      Nasab anak angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan orang tua angkatnya;
2.      Anak angkat itu dibolehkan dalam islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung; baik dari segi perwarisan, hubungan mahram, maupun wali (dalam perkawinan);
3.      Karena anak angkat itu tidak berhak menerima harta warisan dari orang tua angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, yang maksimal seperti dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya,
Dari segi kasih sayang, persamaan biaya hidup, persamaan biaya pendidikan antara anak kandung dengan anak angkat (adopsi) dibolehkan dalam Islam. Jadi hampir sama statusnya dengan anak asuh;
Pengangkatan Zaid Bin Al-Haritsah sebagai anak angkat oleh Rasulullah SAW, dimansukh (dibatalkan) oleh ayat 37 dari Surah Al-Ahzab, dengan diperbolehkannya Rasulullah mengawini bekas isteri Zaid, berarti bapak angkat dengan anak angkat, tidak terdapat hubungan mahram.


4.      Kesimpulan
-          Jika yang dimaksud dengan adopsi adalah tabanni, yakni mengambil dan mengangkat/mengasuh anak untuk kemudian nasabnya disambungkan kepada pengasuh maka hukumnya adalah haram.
-          Jika yang dimaksud dengan adopsi adalah sebatas merawat/mengasuh anak untuk dididik dan dicukupi kebutuhannya tanpa disambungkan nasabnya kepada pengasuh maka hukumnya fardlu kifayah bagi Muslimin karena tergolong menyelamatkan laqith, yakni mengasuh anak terlantar yang tidak diketahui orang tuanya, atau menjadi kewajiban sosial dalam membantu sesama muslim apabila anak yang dirawat/diasuh diketahui orang tuanya.
Tentang undang-undang yang mengatur pengambilan anak terlantar (laqith) sudah diatur secara terperinci dalam kitab, kitab fiqih, seperti: pengasuh harus Muslim, anak yang diasuh di bawah usia baligh dan lain-lain.


KITAB-KITAB YANG MENDUKUNG PEMBAHASAN

1.   الباجوري الجزء الثاني ص: 61 – 62 دار الفكر
(وإذا وجد لقيط) بمعنى ملقوط (بقارعة الطريق فأخذه) منها وتربيته (وكفالته واجبة على الكفاية) فإذا التقطه بعض ممن هو أهل لحضانة اللقيط سقط الاثم عن الباقي فإن لم يلتقطه أحد أثم الجميع ولو علم به واحد فقط تعين عليه ويجب في الأصح الإشهاد على التقاطه وقوله وتربيته أي تعهده بما يصلحه – إلى أن قال – وعلم من ذلك أنه ليس المراد بالكفالة هنا الحضانة وإن كانت تسمى كفالة.
2.   أسنى المطالب الجزء الثاني، ص: 498
(فصل وأما أحكامه) أي الالتقاط (فعلى الملتقط) منها (حفظ اللقيط ورعايته) أي تربيته لأن ذلك مقصود الالتقاط (لا نفقته وحضانته) المفصلة في الإجارة لأن فيهما مشقة ومؤنة كثيرة فالمراد بقولهم هنا "وحضانته على الملتقط" حفظه وتربيته لا الحضانة المذكورة (فإن عجز) عن حفظه ورعايته لأمر عارض (فالقاضي) أي فيسلمه له (وله تسليمه إليه) لتبرم أو غيره (ولو قدر) على ذلك أيضا فتقييد الأصل ذلك بالتبرم جرى على الغالب (ويحرم) عليه (نبذه ورده إلى ما كان) بالاتفاق.
3.   بغية المسترشدين ص: 235 أوسها كلواركا
(مسألة   ك) من الحقوق الواجبات شرعا على كل غني وحده من ملك زيادة على كفاية سنة له ولممونه ستر عورة العاري وما بقي بدنه من مبيح تيمم وإطعام الجائع وفك أسير مسلم وكذا ذمي بتفصيله وعمارة سور بلد وكفاية القائمين بحفظها والقيام بشأن نازلة نزلت بالمسلمين وغير ذلك إن لم تندفع بنحو زكاة ونذر وكفارة ووقف ووصية وسهم المصالح من بيت المال لعدم شيء فيه أو منع متوليه ولو ظلما فإذا قصر الأغنياء عن تلك الحقوق بهذه القيود جاز للسلطان الأخذ منهم عند وجود المقتضي وصرفه في مصارفه.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Bajuri. Juz 2. Hal. 61-62. Dar Al-Fikr
Asna Al-Matholib. Juz 2. Hal. 498.
Bughyah Al-Mustarsyidin. Hal. 253. Usaha Keluarga. Semarang.
Muderis Zaini. Adopsi. Jakarta: Bina Aksara. 2003.
Lanjuuut..
 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger