Headlines News :
Logo Design by FlamingText.com

SA'ATUL AN

TARIKHUL AN

ARCHIVE

Tarjim

POST

Jumat, 13 Maret 2009

Filsafat 222

FILSAFAT IBNU SINA
Dokrin Akal, Metafisika,Psykologi Kejiwaan Dan Kenabian
Apakah manusia itu dan apakah kebaikan tertinggi bagi manusia?(Socrates))

A.Pendahuluan
Ditinjau dari segi defenisi, filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan dimana filsafat merupakan suatu analisa yang hati–hati terhadap penalaran – penalaran mengenai suatu masalah, dan penyusunan secara sengaja serta sistematis atas sudut pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan. Dan hendaklah diingat bahwa kegiatan yang dinamakan filsafat itu sesungguhnya merupakan perenungan atas pemikiran.
Selanjutnya mengenai Filsafat Islam, menurut Musa Asy'ari, bahwa Filsafat Islam itu pada dasarnya merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekaran Histories terhadap Filsafat Islam yang tidak
Download Makalah Pendidikan : "Filsafat Ibnu Sina" Lengkap
Lanjuuut..

Teori Maslahah

TEORI MASHLAHAH MURSALAH
IMAM AHMAD IBN HAMBAL

Pendahuluan
Pembentukan hukum tidaklah dimaksudkan kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan orang banyak. Artinya mendatangkan keuntungan bagi mereka atau menolak madharat atau menghilangkan keberatan dari mereka, padahal sesungguhnya kemaslahatan manusia tidaklah terbatas bagian-bagiannya, tidak terhingga individu-individunya dan sesungguhnya kemaslahatan itu terus menerus muncul yang baru bersama terjadinya pembaharuan dalam situasi dan kondisi manusia dan berkembang akibat perbedaan lingkungan.

1. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah yaitu yang mutlak, menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah : suatu kemaslahatan dimana syari’ tidak mensyari’atkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau pembatalannya. Maslahat ini disebut mutlak karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakuinya atau dalil yang membatalkannya. Misalnya ialah kemaslahatan yang karenanya para sahabat mensyari’atkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang.
Di dalam teori maslahah mursalah Mazdhab Hanbali menempuh apa yang telah ditempuh oleh Madzhab Maliki dalam memandang maslahah sebagai sumber yang dapat dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum.
Akan tetapi Madzhab Hanbali sebenarnya tidak mengakui maslahah mursalah sebagai sumber mandiri yang berdiri sendiri, sebagaimana pendapat Madzhab Malikiyah. Bahkan Madzhab Hanabilah menganggap maslahah sebagai bagian dari qiyas yang mengikutinya.
Oleh karena itu seolah-olah qiyas menurut madzhab hanabilah terbagi dua, yaitu qiyas khas dan qiyas ‘am. Qiyas khas yaitu qiyas yang mempunyai ‘illat sama yang berkumpul dalam dua perkara yang sama, sedangkan qiyas ‘am yaitu qiyas yang masuk di dalamnya masalah-masalah yang mempinyai illat ‘am, yaitu hikmah dan maslahat.

2. Stratifikasi Mashlahah
Dari sisi prioritas pemenuhannya, maslahah terbagi dalam tiga strata :
pertama, al-dlaruriyyat (primer), yakni hal-hal yang menjadi faktor penting dalam kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat.jika hal-hal ini tidak terwujud, maka tata kehidupan di dunia akan timpang, kebahagiaan akhirat tidak tercapai, bahkan siksalah yang bakal mengancam. Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan, yaitu memelihara tegaknya agama (hifzh al-din), perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), perlindunagn terhadap akal (hifzh al-aql_, pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan perlindungan atas harta kekayaan (hifzh al-mal).
Kedua, al-hajiyyat (sekunder), yakni hal-hal yang menjadi kebutuhan manusia untuk sekedar menghindarkan kesempitan dan kesulitan. Jika hal ini tidak terwujud maka manusia akan mengalami kesulitan dan kesempitan tanpa sampai mengakibatka kebinasaan.
Ketiga, al-tahsiniyyat, yakni kemaslahatan yang bertujuan mengakomodasikan kebiasaan dan perilaku baik serta budi pekerti luhur. Seperti pensyari’atan thaharah (bersuci) sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih, pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya.
Ketiga strata kemaslahatan ini merupakan pijakan wacana pemberlakuan mashlahah mursalah. Karena dari hasil penelusuran hukum-hukum tersebut syari’ mengakomodasikan berbagai sisi kemaslahatan manusia sebagai bentuk anugerah dan kebaikan-Nya, bukan atas dasar kewajiban yang harus dipenuhi syari’.

3. Syarat-Syarat Penerapan Maslahah Mursalah
Para Ulama Madzhab Maliki dan Hanbali menetapkan beberapa persyaratan dalam menerapkan mashlahah mursalah :
pertama, bentuk maslahah itu haruslah selaras dengan tujuan-tujuan syari’at, yakni bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dngan prinsip-prinsip dasarnya dan juga tidak menabrak garis ketentuan nash atau dalil-dalil lain yang qath’i.
Kedua, kemaslahatan tesebut adalah kemaslahatan yang rasional, maksudnya secara rasio terdapat peruntutan wujud kemaslahatan terhadap penetapam hukum. Misalnya, pencatatan administrastif dalam berbagai transaksi akan meminimalisir persengketaan atau persaksian palsu.
Ketiga, maslahah yang menjadi acuan penetapan hukum haruslah bersekup universal, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Karena hukum-hukum syari’at diberlakukan untuk semua manusia. Karenanya, penetapan huku tidak selayaknya mengacu secara khusus pada kepentingan-kepentingan pejabat, penguasa, atau bermotif nepotisme misalnya.

4. Argumentasi Pengguna Maslahah Mursalah
pertama, survei membuktikan bahwa dalam hukum-hukun syari’at terdapat unsur kemaslahatan bagi manusia. Asumsi semacam ini akan menimbulkan dugaan kuat akan legalitas mashlahah sebagai salah satu variabel penetapan hukum.sedangkan mengikuti dugaan kuat adalah suatu keharusan. Pemikiran semacam ini berlandaskan beberapa argumentasi nash. Allah berfirman :
وما أرسلناك إلا رحمة للعا لمين (الأنبياء 107)
Artinya : tidaklah kami mengutusmu wahai muhammad kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta. (Q.S: al-anbiya 107).

Al-Adludl, sebagaimana dikutip Wahbah, menguraikan sisi argumentatif ayat diatas. Menurutnya, dari ayat diatas yang secara zhahir menunjukan keumuman, dipahami bahwa dalam pensyariatan berbagai hukum, Alloh mengakomodasikan kemaslahatan bagi manusia. Sebab bila Alloh mengutus Rosul-Nya untuk memberlakukan syariat tanpa adanya kemaslahatan, maka sama halnya dengan pengutusan tanpa rahmat, karena hal tersebut adalah taklif (pembebanan) tanpa faedah. Dengan demikian, hal ini akan menyalahi keumuman ayat. Argumentasi yang menjadi dalih utama penggunaan mashlahah mursalah ini, oleh para penolaknya disangkal dengan sebuah antitesis. Bahwa meski mashlahah merupakan karakter syari’at islam sebagaimana dibuktikan oleh hasil survei namun kesimpulan ini tidak dapat digeneralisir bahwa setiap mashlahah adalah bagian dari syar’at islam.
Kedua, bahwa zaman berkembang kian pesat, seiring dengan itu paradigma pemenuhan kebutuhan hidup mengalami pergeseran. Berbagai metode pencapaian kesejahteraan pun beragam. Dalam kaitannya denga kehidupan keberagaman, berbagai permasalahan kontemporer yang timbul menyertainya harus segera disikapi secara hukum. Di sisi lain, secara tekstual, nash-nash tidak menyikapi semua permasalahan yang timbul tersebut berikut detil-detilnya secara spesifik. Bila maslahah mursalah tidak dipertimbangkan sebagai salah satu metode ijtihad, betapa banyak kemaslahatan manusia terabaikan. Penalaran hukum syara akan mengalami stagnasi, jumud, bahkan malah memunculkan kesan bahwa syari’at islam tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Kiranya perlu dirumuskan metode penalaran baru yang mengakomodasi kemaslahatan manusia, karena islam datang sebagai rahmat bagi lam semesta.
Argumen semacam ini menurut para penolak legalitas mashlahah mursalah sebagai dalil syara tidak diterima. Karena agama islam telah disempurnakan oleh Alloh menjelang kemangkatan Rosul-Nya. Alloh berfirman :
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الأسلام دينا (الماءدة 4)
Artinya : pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan padamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhoi islam itu jadi agama bagimu.(Q.S Al-Maidah 4)

Islam telah sempurna, tentunya segala macam persoalan sejak Rosulullah wafat hingga hari kiamat pun akan mampu terselesaikan dengan dalil-dalil syara, Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijma, Qiyas. Bisa jadi, secara tekstual nash tidak menyikapi persoalan-persoalan kontemporer scara eksplisit dan spesifik. Namun dengan keumuman redaksional nash ataupun dengan metode qiyas, bebagai macam problematika tersebut akan mampu terselesakan.
Ketiga, dengan menilik perilaku ijtihad para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya, dketahui bahwa pada beberapa kasus, mereka bertindak dan berfatwa berdasarkan prinsip maslahah, tanpa mengikatkan pada normatif qiyas, yakni tanpa didukung pengukuhan nash secara eksplisit dan spesifik. Hal ini berjalan tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya. Ini menimbulkan asumsi terbentuknya ijma’ atas keabsahan metode penggalian hukum berdasarkan maslahah mursalah.akan tetapi pihak yang menolak mengatkan bahwasannya paparan tadi belumlah cukum dijadikan sebagai argumen legalitas mashlahah mursalah. Anggapan bahwa sahabat dngan segala derajat kesalehannya mengadopsi maslahah mursalah, adalah anggapan yang keliru, bahkan hal ini merupakan su’u al-zhann ( buruk sangka) terhadap para sahabat.

Kesimpulan
Ulama Madzhab Hanbali di dalam menggunakan teori maslahah mursalah ini tidak jauh berbeda dengan apa yang digunakan oleh Madzhab Maliki. Ada sedikit perbedaan yakni Madzhab Maliki, beliau mengakui bahwasannya maslahah mursalah itu merupakan sebagai sumber hukum mandiri yang berdiri sendiri dan Madzhab Hanbali, beliau mengemukakan bahwasannya teori maslahah mursalah ini bukanlah sumber hukum yang mandiri sejajar dengan dalil-dalil yang lainnya. Bahkan Madzhab Hanabilah menganggap maslahah sebagai bagian dari qiyas yang mengikutinya. Maslahah mursalah berada pada martabat qiyas.
Lanjuuut..

Maqosyid

SEKILAS TENTANG MAQASHID AL-SYARI’AH
MENURUTIMAM SYATHIBI

Imam Syathibi membahas tentang Maqashid al-Syari’ah ini dalam kitabnya al-Muwafaqat juz II sebanyak 313 halaman (menurut buku cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah). Persoalan yang dikemukakan di dalamnya sebanyak 62 masalah.
Dalam pembahasannya, Imam Syathibi membagi al-Maqashid ini kepada dua bagian penting yakni Maksud Syari’ (qashdu al-syari’) dan Maksud Mukallaf (qashdu al-mukallaf). Maksud Syari’ kemudian dibagi lagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Qashdu Al-Syari’ Fi Wadh’i Al-Syari’ah (Maksud Syari Dalam Menetapakan Syariat).
Dalam bagian ini ada 13 permasalahan yang dikemukakan. Namun semuanya mengacu kepada suatu pertanyaan: “Apakah sesungguhnya maksud syari dengan menetapkan syari’atnya itu?”
Menurut Imam Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain selain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Syathibi kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian penting yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (skunder) dan tahsinat (tersier,lux).
Maqashid atau Maslahat Dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti adanya demi terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan[39] seperti makan, minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya. Yang termasuk maslahat atau maqashid dharuriyyat ini ada lima yaitu: agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan aqal (al-aql).[40] Adapun cara untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:
1. Dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan cara manjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya
2. Dari segi tidak ada (min nahiyyati al- ‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini:
a) Menjaga agama dari segi al-wujud misalnya shalat dan zakat
b) Menjaga agama dari segi al-‘adam misalnya jihad dan hukuman bagi orang murtad
c) Menjaga jiwa dari segi al-wujud misalnya makan dan minum
d) Menjaga jiwa dari segi al-‘adam misalnya hukuman qishash dan diyat
e) Menjaga aqal dari segi al-wujud misalnya makan dan mencari ilmu
f) Menjaga aqal dari segi al-‘adam misalnya had bagi peminum khamr
g) Menjaga an-nasl dari segi al-wujud misalnya nikah
h) Menjaga an-nasl dari segi al-‘adam misalnya had bagi pezina dan muqdzif
i) Menjaga al-mal dari segi al-wujud misalnya jual beli dan mencari rizki
j) Menjaga al-mal dari segi al-‘adam misalnya riba, memotong tangan pencuri.
Sebelum memaparkan lebih jauh cara kerja dan aflikasi dari al-dharuriyyat al-khams ini, perlu penulis sampaikan terlebih dahulu urutan kelima dharuriyyat ini baik menurut Imam Syathibi maupun ulama ushul lainnya. Hal ini sangat penting karena berpengaruh pada kesimpulan hukum yang akan dihasilkan.
Urutan kelima dharuriyyat ini bersifat ijtihady bukan naqly, artinya ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqra. Dalam merangkai kelima dharuriyyat ini (ada juga yang menyebutnya dengan al-kulliyyat al-khamsah), Imam Syathibi terkadang lebih mendahulukan aql dari pada nasl, terkadang nasl terlebih dahulu kemudian aql dan terkadang nasl lalu mal dan terakhir aql. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam susunan yang manapun Imam Syathibi tetap selalu mengawalinya dengan din dan nafs terlebih dahulu.
Dalam al-Muwafaqat I/38, II/10, III/10 dan IV/27 urutannya adalah sebagai berikut: ad-din (agama), an-nafs (jiwa), an-nasl (keturunan), al-mal (harta) dan al-aql (akal). Sedangkan dalam al-Muwafaqat III/47: ad-din, an-nafs, al-aql, an-nasl dan al-mal. Dan dalam al-I’tisham II/179 dan al-Muwafaqat II/299: ad-din, an-nafs, an-nasl, al-aql dan al-mal.
Perbedaan urutan di atas, menunjukkan bahwa semuanya sah-sah saja karena sifatnya ijtihadi. Para ulama ushul lainnya pun tidak pernah ada kata sepakat tentang hal ini. Bagi al-Zarkasyi misalnya, urutan itu adalah:[41] an-nafs, al-mal, an-nasab, ad-din dan al-‘aql. Sedangkan menurut al-Amidi:[42] ad-din, an-nafs, an-nasl, al-aql dan al-mal.
Bagi al-Qarafi:[43] an-nufus, al-adyan, al-ansab, al-‘uqul, al-amwal atau al-a’radh. Sementara menurut al-Ghazali:[44] ad-din, an-nafs, al-‘aql, an-nasl dan al-mal. Namun urutan yang dikemukakan al-Ghazali ini adalah urutan yang paling banyak dipegang para ulama Fiqh dan Ushul Fiqh berikutnya. Bahkan, Abdullah Darraz, pentahkik al-Muwafaqat sendiri, memandang urutan versi al-Ghazali ini adalah yang lebih mendekati kebenaran.[45]
Cara kerja dari kelima dharuriyyat di atas adalah masing-masing harus berjalan sesuai dengan urutannya. Menjaga al-din harus lebih didahulukan daripada menjaga yang lainnya; menjaga al-nafs harus lebih didahulukan dari pada al-aql dan nasl begitu seterusnya. Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan adalah membunuh diri atau menceburkan diri dalam kebinasaan adalah sesuatu yang dilarang sebagaimana bunyi teks dalam surat al-Baqarah. Akan tetapi kalau untuk kepentingan berjihad dan kepentingan agama Allah, menjadi boleh karena sebagaimana telah disinggung diatas bahwa menjaga agama harus didahulukan dari pada menjaga jiwa. Oleh kerena itu, sebagian besar para ulama membolehkan istisyhad para pejuang Palestina dengan pertimbangan hukum di atas.
Akan tetapi bagaimana dengan kasus orang sakit yang kerena suatu kebutuhan pengobatan boleh dilihat auratnya atau musafir yang boleh mengqashar shalat, bukankah itu berarti an-nafs lebih didahulukan dari pada ad-din?
Persoalan ini sesungguhnya bukanlah persoalan baru. Al-Amidy dalam al-Ahkam-nya, misalnya, telah mengulas secara panjang lebar yang tidak mungkin penulis kutipkan di sini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat langsung dalam al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam (sebagian membacanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, akan tetapi penulis lebih condong membacanya al-Ahkam) juz IV halaman 243-245. Dalam kesempatan ini penulis hanya akan mengutip pendapat Abdullah Darraz karena lebih ringkas. Menurutnya bahwa dalam tataran umum agama harus lebih didahulukan daripada yang lainnya karena ini menyangkut ushul al-din, sedangakan dalam hal tertentu jiwa dan harta terkadang lebih didahulukan dari pada agama (mustatsnayyat). Disinilah dibutuhkan kejelian seorang mujtahid.[46]
Maqashid atau Maslahah Hajiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan mengakibatkan masyaqah dan kesempitan.[47] Misalnya, dalam masalah ibadah adalah adanya rukhsah; shalat jama dan qashar bagi musafir.
Maqashid atau Maslahah Tahsinat adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu juga tidak akan menimbulkan masyaqah dalam melaksanakannya, hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak manurut ukuran tatakrama dan kesopanan. Di antara contohnya adalah thaharah, menutup aurat dan hilangnya najis.[48]
Ada beberapa qaidah penting yang dikemukakan Imam Syathibi dalam menerangkan keterkaitan atau cara kerja ketiga maslahah di atas yang tidak mungkin penulis kemukakan di sini mengingat panjangnya pembahasan dimaksud. Namun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam masalah ke-4 halaman 13 buku al-Muwafaqat.
2. Qashdu Al-Syari’ Fi Wadh’i Al-Syari’ah Lil Ifham (Maksud Syari’ Dalam Menetapkan Syari’ahnya Ini Adalah Agar Dapat Dipahami).
Bagian ini merupakan pembahasan yang peling singkat karena hanya mencakup 5 masalah. Dalam menetapkan syari’atnya, Syari’ bertujuan agar mukallaf dapat memahaminya, itulah maksud dari bagian kedua.
Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini. Pertama, syari’ah ini diturunkan dalam Bahasa Arab sebagaimana firmanNya dalam surat Yusuf ayat 2; as-Syu’ara:195. Oleh kerena itu, untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu memahami seluk beluk dan uslub bahasa Arab. Dalam hal ini Imam Syathibi berkata: “Siapa orang yang hendak memahaminya, maka dia seharusnya memahami dari sisi lidah Arab terlebih dahulu Karena tanpa ini tidak mungkin dapat memahaminya secara mantap. Inilah yang menjadi pokok dari pembahasan masalah ini”.[49] Dengan bahasa lebih mudah, di samping mengetahui bahasa Arab, untuk memahami syari’at ini juga dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang erat kaitannya dengan lisan Arab seperti Ushul Fiqh, Mantiq, Ilmu Ma’ani dan yang lainnya. Karenanya, tidaklah heran apabila bahasa Arab, Ushul Fiqh termasuk salah satu persyaratan pokok yang harus dimiliki seorang mujtahid.
Kedua, bahwa syari’at ini ummiyyah, maksudnya untuk dapat memahaminya tidak membutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam seperti ilmu hisab, kimia, fisika dan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar syari’ah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia. Apabila untuk memahami syari’at ini memerlukan bantuan ilmu lain seperti ilmu alam, paling tidak ada dua kendala besar yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam hal pemahaman dan dalam pelaksanaan.[50] Syari’ah mudah dipahami oleh siapa saja dan dari bidang ilmu apa saja karena ia berpangkal kepada konsep maslahah (fahuwa ajraa ‘ala i’tibari al-maslahah).[51]
Di antara landasan bahwa syari’at ini ummiyyah adalah karena pembawa syari’at itu sendiri (Rasulullah Saw) adalah seorang yang ummi sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya surat al-Jum’ah ayat 2, al-Araf ayat 158, al-Ankabut 48 dan keterangan-keterangan lainnya. Ada kecenderungan berlebihan dari sebagian ulama yang tidak sesuai dengan sifat syari’ah ummiyyah ini, lanjut Syathibi, yaitu bahwa al-Qur’an mencakup semua bidang keilmuan, baik keilmuan lama ataupun modern. Betul, lanjut Syathibi, al-Qur’an menyinggung dan sesuai dengan berbagai disiplin ilmu, namun tidak berarti al-Qur’an mencakup semuanya, itu semua hanyalah isyarat saja dan bukan sebagai legitimasi semua disiplin ilmu.
Ayat yang sering dijadikan dalil adalah surat an-Nahl 89 yang berbunyi: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu”, dn surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi: “Tidaklah Kami lewatkan sesuatupun dari al-Qur’an”. Menurut Syathibi, kedua ayat di atas mempunyai makna tertentu. Ayat pertama dimaksudkan mengenai masalah taklif dan ibadah sedangkan maksud al-kitab dalam ayat kedua adalah allauh al-mahfudz.[52]
3. Qashdu Al-Syari’ Fi Wadh’i Al-Syari’ah Li Al-Taklif Bi Muqtadhaha
Bagian ini dimaksudkan bahwa maksud Syari’ dalam menentukan syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntutNya. Masalah yang dibahas dalam bagian ini ada 12 masalah, namun semuanya mengacu kepada dua masalah pokok yaitu:
Pertama, taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif bima laa yuthaq).Pembahasan ini tidak akan dibahas lebih jauh karena sebagaimana telah diketahui bersama bahwa tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas kemampuan manusia.[53] Dalam hal ini Imam Syathibi mengatakan: “Setiap taklif yang di luar batas kemampuan manusia, maka secara Syar’i taklif itu tidak sah meskipun akal membolehkannya”. 54] Apabila dakan teks Syari’ ada redaksi yang mengisyaratkan perbuatan di luar kemampuan manusia, maka harus dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi sebelumnya. Misalnya, furman Allah: “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”. Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena mencegah kematian adalah di luar batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini adalah larangan untuk memisahkan antara keislalman dengan kehidupan di dunia ini karena datangnya kematian tidak akan ada yang mengetahui seorangpun. Begitu juga dengan sabda Nabi: “Janganlah kamu marah” tidak berarti melarang marah, karena marah adalah tabiat manusia yang tidak mungkin dapat dihindari. Akan tetapi maksudnya adalah agar sedapat mungkin menahan diri ketika marah atau menghindari hal-hal yang mengakibatkan marah.
Kedua, taklif yang di dalamnya terdapat masyaqah, kesulitan (al-taklif bima fiihi masyaqqah). Persoalan inilah yang kemudian dibahas panjang lebar oleh Imam Syathibi. Menurut Imam Syathibi, dengan adanya taklif, Syari’ tidak bermaksud menimbulkan masyaqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukalla.[55] Bila dianalogkan kepada kehidupan sehari-hari, obat pahit yang diberikan seorang dokter kepada pasien, bukan berarti memberikan kesulitan baru bagi sang pasien akan tetapi di balik itu demi kesehatan si pasien itu sendiri pada masa berikutnya
Dalam masalah agama misalnya, ketika ada kewajiban jihad, maka sesungguhnya tidak dimaksudkan dengannya untuk menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri yaitu sebagai wasilah amar makruf nahyil munkar. Demikian pula dengan hukum potong tangan bagi pencuri, tidak dimaksudkan untuk merusak anggota badan akan tetapi demi terpeliharanya harta orang lain.
Apabila dalam taklif ini ada masyaqah, maka sesungguhnya ia bukanlah masyaqah tapi kulfah, sesuatu yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan manusia sebagaimana dalam kacamata adat, orang yang memikul barang atau bekerja siang malam untuk mencari kehidupan tidak dipandang sebagai masyaqah, tetapi sebagai salah satu keharusan dan kelaziman untuk mencari nafkah. Demikian juga halnya dengan masalah ibadah. Masyaqah seperti ini menurut Imam Syathibi disebut Masyaqah Mu’tadah karena dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota badan dan karenanya dalam syara’ tidak dipandang sebagai masyaqah.[56]
Yang dipandang sebagai masyaqah adalah apa yang disebutnya dengan Masyaqah Ghair Mu’tadah atau Ghair ‘Adiyyah yaitu masaqah yang tidak lazim dan tidak dapat dilaksanakan atau apabila dilaksanakan akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Misalnya, keharusan berpuasa bagi orang sakit dan orang jompo. Semua ini adalah masyaqah ghair mu’tadah yang dikecam oleh Islam. Untuk mengatasi masyaqah ini, Islam memberikan jalan keluar melalui rukhshah atau keringanan.
4. Qashdu Al-Syari’ Fi Dukhul Al-Mukallaf Tahta Ahkam Al-Syari’ah
Pembahasan bagian terakhir ini merupakan pembahasan paling panjang mencakup 20 masalah. Namun semuanya mengacu kepada pertanyaan: “Mengapa mukallaf melaksanakan hukum Syari’ah?” Jawabannya adalah untuk mengeluarkan mukallaf dari tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba yang dalam istilah Imam Syathibi disebut: hamba Allah yang ikhtiyaran dan bukan yang idthiraran.[57] Atau dalam istilah Dr. Ahmad Zaid: Ikhrajul ‘abd min da’iyatil hawa ila dairatil ‘ubudiyyah.[58]
Untuk itu, setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, maka ia batal dan tidak ada manfa’atnya. Sebaliknya, setiap perbuatan harus senantiasa mengikuti petunjuk Syari’ dan bukan mengikuti hawa nafsu.
Ada beberapa kaidah penting yang perlu dipahami dalam bagian ini dan penulis tidak dapat menjelaskannya dalam bahasa Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam al-Muwafaqat Juz II hal. 128-150.
Demikian sekilas tentang Maqashid al-Syari’ah menurut Imam Syathibi. Gambaran di atas tentunya tidak memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang Maqashid Syari’ah itu sendiri, namun paling tidak tergambar bahwa rumusan Imam Syathibi ini lebih sistematis dan lengkap dibandingkan rumusan-rumusan para ulama Ushul sebelumnya.

Apa yang tertulis dalam al-Muwafaqat khususnya dan karya-karta Imam Syathibi lainnya betul-betul telah mempengaruhi pemikiran para ulama berikutnya semisal Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Abdullah Darraj, Muhammad Thahir bin Asyur dan ‘Allal Fasy.

Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mengumumkan pentingnya ulama-ulama dan para mahasiswa Timur Tengah untuk mempelajari karya-karya Imam Syathibi terutama al-Muwafaqat.[59] Sama halnya dengan muridnya, Rasyid Ridha. Bahkan bukan saja terpengaruh dengan ide maqashidnya Imam Syathibi, ia juga sangat terpengaruh dengan al-I’tishamnya demi menghidupkan kembali harakah salafiyyah yang sejak lama diusungnya.

Demikian juga dengan Thahir bin Asyur. Ulama asal Tunis ini telah mengarang sebuah buku berjudul Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah yang sempat menggegerkan ulama Ushul Timur Tengah karena idenya yang mencoba mengenyampingkan Ushul Fiqh dan menggantinya dengan Maqashid al-Syari’ah. Baginya, Maqashid al-Syari’ah merupakan ilmu yang berdiri sendiri (‘ilm mustaqil) dan terlepas dari Ilmu Ushul bahkan Ilmu Ushul dipandangnya sebagai ilmu yang telah usang dan produk fiqhnya cenderung kurang manusiawi. Namun demikian, idenya lahir karena pengaruh dari Imam Syathibi, bahkan Abdul Majid Turki memandang buku Thahir bin Asyur ini sebagai mustalhaman min kitab al-Muwafaqat (jiplakan dari kitab al-Muwafaqat).[60]

Allal Fasy, ulama asal Maroko, juga termasuk meraka yang terpengaruh oleh ide Syathibi. Bukunya Difa’ ‘an al-Syari’ah dan Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Makarimuha merupakan perluasan dan terkadang pengulangan dari apa yang tertulis dalam al-Muwafaqat. Karena besarnya pengaruh Syathibi dengan al-Muwafaqatnya inilah, ulama-ulama Ushul kemudian sepakat menjadikan Imam Syathibi sebagai Bapak Maqashid al-Syari’ah pertama yang telah menyusun teori-teorinya secara lengkap, sistematis dan jelas.



(Imam Syathibi, al-Muwafaqat…, Op.Cit., Juz II, hal. 7).

[40]Ibid., hal 8.

[41]Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, Kuwait: Wizarat al-Auqaf wa al-syu’un al-Islamiyyah, 1993, Jilid VI, hal. 612.

[42]Al-Amidi, al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Muassasah al-Halaby, 1991, Juz IV, hal. 252.

[43]Al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fushul, Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah, t.th., hal. 391.

[44]Al-Ghazali, al-Mustashfa, Beirut: dar al-Fikr, 1997, Juz I, hal. 258.

[45]Komentar Abdullah Darraz dalam al-Muwafaqat, Juz II, hal. 153.

[46]Ibid., hal. 154.

[47]Imam Syathibi, Op.Cit., hal. 9

[48]Ibid.

[49]Ibid., hal 50

[50]Ibid., hal 53.

[51]Ibid.

[52]Ibid., hal 61.

[53]Akan tetapi dalam salah satu pendapatnya, Abu Hasan al-Asy’ari membolehkan taklif yang di luar kemampuan manusia, baik yang sifatnya menolak atau menetapkan dan ini tentunya menyalahi Jumhur Ulama Ushul, lihat al-Ghazali, al-Mustasyfa, Juz I, hal. 81.

[54]Imam Syathibi, Op.Cit., hal. 82.

[55]Ibid., hal. 93.

[56]Ibid., hal 94.

[57]Ibid., hal. 128.

[58]Ahmad Zaid, dalam muhadharah Fiqh Maqashid yang diselenggarakan Syathibi Center, Wisma Nusantara, 13 Agustus 2002.

[59]Abdul Majid Turki, Munadharat fi Ushul al-Syari’ah al-Islamiyyah Baina Ibn Hazm wa al-Baji, Beirut: Dar al-Garb al-Islamy, 1986, hal. 513.

[60]Ibid., hal. 477.
Catatan dari Seminar Rumentangsiang, BandungTanggal dimuat: 2/2/2003
Lanjuuut..

qiyas 22

PENDAPAT PARA ULAMA
TENTANG QIYAS SEBAGAI DALIL HUKUM SYARA’

1. Pendahuluan
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali syara’ dalam hal-hal yang nash Al-Qur’an dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secaara jelas. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu, yaitu: penggunaan ra’yu yang masih merujuk kepada nash dan penggunaan ra’yu secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas, meskipun qiyas tidak menggunakan nash secara langsung, tetapi karena merujuk kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas juga sebenarnya menggunakan nash, namun tidak secara nash.
Dasar pemikiran qiyas itu ialah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir dalam setiap hukum di luar bidang ibadat, dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum ituoleh Allah. Alasan hukum yang rasional itu oleh Ulama’ disebut. Disamping itu dikenal pula konsep mumatsalah, yaitu kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang diciptakan Allah. Bila dua hal itu sama dalam sifatnya, tentu sama pula dalam hukum yang menjadi akibat dari sifat tersebut. meskipun Allah SWT hanya menetapkan hukum terhadapp satu dari dua hal yang bersamaan itu, tentu hukum yang sama erlaku pula pada hal yang satu lagi, meskipun Allah dalam hal itu tidak menyebutkan hukumnya.

2. Arti qiyas.
Secara etimologis, kata qiyas berarti qadar, artinya mengukur, membanding sesuatu denga yang semisalnya. Menurut terminologi (istilah hukum), terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi itu adalah:
1. Al-Ghazali dalm al-Mustashfa memberi definisi qiyas:
“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkann hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduannya disebabkan ada hal yang sama antar keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.

2. Ibnu Subki dalam bukunya Jam’u al Jawami’ memberikan definisi sebagai berikut:
“ Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam Illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (Mujtahid)”

3. Abu Hasan al-Nashri memberikan definisi:
“ Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada furu’ karena keduanya sama dalam Illat hukum menurut Mujtahid”.

4. definisi qiyas menurut al-Amidi:
“ Ibarat dari kesamaan antara furu’ dengan ashal dalam illat yang di-istinbath-kan dari hukum ashal”

5. Abu Zahrah memberikan definisi qiyas sebagai berikut:
“ Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam illat hukumnya”.

6. Ibnu Qudamah mendefinisikan qiyas sebagai berikut:

“ Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduannya”.

Demikianlah diantara beberapa definisi tentang qiyas yang dikemukakan para ahli ushul fiqih. Definisi-definisi tersebut berbeda rumusannya, namun berdekatan maksudnya. Ada yang merumuskannya secara sederhana namun padat isinya seperti yang dikemukakan Ibnu Qudamah. Ada juga yang merumuskannya secara panjang dan agak rumit seperti yang dikemukkakan al-Ghazaali. Masing-masing definisi itu mempunyai titik lemah sehingga menjadi sasaran kritik dari pihak lain.
Dari uraian beberapa definisi qiyas tersebut dapat diketahui hakikat qiyas itu, yaitu:
1. Ada dua kasus yang mempunyai illat yangsama.
2. Satu di antara dua kasus yang bersamaan illatnya itu sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdasar nash, sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
3. Berdasarkan illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang belaku pada kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdaasarkan nash.
Dari uaraian mengenai hakikat qiyas tersebut, terdapat empat unsur (rukun) pad setiap qiyas, yaitu:
1. Suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri huhkumnya oleh pembuat hukum. Ini disebut “maqis alaih” atau “ashal” atau “musyabbah bihi”.
2. Suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash syara’. Ini disebut “maqis” atau “furu” atau “musyabbah”.
3. Hukum yang disebutkan sendiri oelh pembuat hukum (syar’I) paada ashal. Berdasarkan kesamaan ashal itu dengan furu’ dalam illatnya, para mujtahid dapat menetapkan hukum pada furu’. Ini disebut “hukum ashal”.
4. Illat hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada Furu’.

3. Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara’.
Dalam hal penerimaan qiyas sebagai dalil hukum syara’. Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. kelompok Jumhur Ulama’ yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah dan dalam Ijma’ ulama’. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
2. Kelompok ulama’ Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahiriyah juga menolak penemuan illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu megetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’.
3. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat di antara keduanya; kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas dapat membatasi keumuman sebagian ayat al-Qur’an atau Sunnah.
Argumentasi ketiga kelompok ulama’ tentang penggunaan qiyas tersebut, dapat dikelompokkan lagi kedalam dua kelompok, yaitu: yang menerima (Jumhur Ulama’) dan yang menolak (Zhahiriyah) penggunanaan qiyas. Dan masing-masing kelompok mempunyai dalil baik al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ maupun dalil Aqli.

1. Dalil Al-Qur’an, dalam surat yasin (36) ayat 78-79:
قال من يحيى العظام وهي رميم قل يحييها الذى أنشأها اول مرة (يس 78-79)
Ia berkata,; “Siapakah yang akan menghidupkan tulang belulang sesudah ia berserakan?” katakanlah, “Yang akan menghidupkan nya adalah yang mengadakan pertama kali.”

 Jumhur Ulama’:
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang tang berserakan di kemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada penciptaan pertama kali.
 Zhahiriyah
Allah tidak pernah menyatakan bahwa Ia mengembalikan tulang belulang oleh karena Ia yang menciptakan pertama kali. Allah juga tidak mengabarkan bahwa penciptaan-Nya pertama kali mewajibkan untuk mengembalikannya ke bentuk pertama lagi. Seandainya penciptaan tulang pertama kali oleh Allah mewajibkan untuk menghidupkannya kembali, maka wajib pula Allah melenyapkannya sesudah diciptakannya pertama kali, dan berarti Allah akan melenyapkan tulang itu untuk kedua kali sesudah diciptakann yang kedua kalinya. Mengenai hal ini tidak seorangpun yang berpandangan demikian. Kalaupun begitu, tentu Allah akan mengembalikan tulang belulang itu ke dunia untuk kedua kalinya sebagaimana Allah menciptakan manusia pertama kali. Pendapat seperti ini adalah kafir dan tidak ada yang berpendapat demikian kecuali dalam sejarah reinkarnasi. Karena itu
menurut Zhahiriyah maksud ayat tersebut hanyalah sebagaimana arti Dhahirnya, yaitu: Yang sanggup menciptakan sesuatu pertama kali, sanggup pula menghidupkan orang mati.

2. Dalil Hadits:
Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz ibn Jabal, saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa di sana (hadits ini sangat masyhur)
 Jumhur Ulama’
Hadits tersebut merupakan dalil Sunnah yang kuat (menurut jumhur ulama’) tentang kekuatan qiyas sebagai dalil syara’
 Zhahiriyah
Mereka menolak hadits di atas, baik daari segi matan (teks) maupun dari segi sanad (periwayatan).
Menurut Zhahiri, dari segi sanad hadits itu dianggap gugur, karena tidak seorangpun yang meriwayatkan hadits ini di luar jalur periwayatan ini. Indikasi gugurnya ialah: pertama, hadits ini diriwayatkan dari suatu kaum yang namanya tidak diketahui, karenanya tidak menjadi hujjah atas orang-orang yang tidak mengetahui siapa perawinya. Kedua, dalam urutan perawinya terdapat Harits ibn ‘Amru yang tidak pernah mengemukakan hadits selain jalur ini.
Kelompok ulama’ Zhahiri juga menilai bahwa hadits tersebut adalah maudhuh’ (dibuat-buat) dan jelas kebohongannya, karena mustahil ada hukum yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, padahal Allah telah menegaskan dalam al-Qur’an surat al-An’am (6) ayat 38: ما فرطنا في الكتاب من شيئ
“Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab (al-Qur’an)”.

Dari segi artinya, menurut Zhahiri, hadits Muaz irtu tidak sedikitpun menyebut tentang qiyas dengan cara apapun. Dalam hadits itu hanya disebutkan penggunaan ra’yu, pengguna ra’yu tidaklah berarti qiyas. Ra’yu hanyalah menetapkan hukum dengan cara yang terbaik, lebih hati-hati dan selamat akibatnya. Sedangkan qiyas menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya seperti hukum sesuatu yang ada nashnya, pakah itu terbaik, secara hati-hati dan berakibat baik atau tidak.

Kelompok ulama’ yang menoalk penggunaan qiyas dalam menetapkan hukum syara’ adalah:
1. Syi’ah Imamiyah, yang membatalkan beramal dengan qiyas.
Mereka tidak membolehkan sama sekali penggunaan qiyas. Dalil yang populer dikalangan mereka adalah: “Agama Allah tidak dapat dicapai melalui akal” dan “ Sunnah itu bila diqiyaskan, akan merusak agama.”
2. Al-Nazham (Ibrahim ibn Siyar ibn Hani’ Al-Bishri) yang mengambil ilmu kalam dari Abu Huzail al-Allaf al-Mu’tazili. Al-Nazham mengatakan bahwa illat yang tersebut dalam nash mewajibkan adanya usaha “menghubungkan hukum” melalui “lafadz” yang umum, tidak memalui qiyas.
Menurutnya, tidak ada bedanya penggunaan bahasa antara, umpamanya, “diharamkan khomr karena daya rangsangnya” yang mencakup khomr dan minuman lain selain yang bernama khomr.
3. Ahlu Zhahir yang populer dengan sebutan Zhahiriyah yang memimpinnya adalah Daud ibn Khollaf. Pandangan mereka tentang qiyas sebenarnya kelihatan dari tanggapan mereka atas argumentasi yang dikemukakan jumhur ulama’. Meskipun mereka tidak menggunakan qiyas, tetapi tidaklah berarti mereka tidak mempunyai metode penggalian hukum atas suatu kasus yang oleh ulama’ jumhur ditetapkan melalui qiyas. Sebagai pengganti qiyas, Zhahiriyah menggunakan kaidah “Umum lafadz nash”.
Selain itu , Zhahiriyah juga mengemukakan beberapa dalil tentang tidak bolehnya menetapkan hukum berdasarkan qiyas:
a. Penggunaan dalil qiyas disamping al-Qur’an dan Sunnah mengandung pengertian atau anggapan bahwa al-Qur’an itu belum lengkap dan ada yang masih belum terjangkau oleh dalil al-Qur’an, padahal Allah SWT menegaskan dalam surat al-An`am ( 6) ayat 38, Allah juga menegaskan :
ما فرطنا في الكتاب من شيء
“Tiadalah kami alpakan sesuatupun didalam al-kitab ( al-Qur`an ).”

b. Tidak dibenarkan seseorang untuk mengikuti tasyabbuh dalam al-Qur’an dan tiak boleh mencari makna ayat yang mutasyabih. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat Ali Imron (3) ayat 7:
فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله
“ Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan (suka kepada yang bathil), maka mereka mengikuti ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya”.

c. Terdapat beberapa nash al-Qur’an yang dengan jelas menolak penggunaan akal dalam menetapkan hukum, diantaranya:
ولا تقف ما ليس لك به علم (الاسراء : 36)
“ Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”

Dalil-dalil ayat diatas dipahami oleh kelompok penolak qiyas untuk menyatakan tidak bolehnya menetapkan hukum melalui qiyas. Namun jumhur ulama’ yang menggunakan qiyas memahaminya dalam arti lain yaitu dalam hal penggunaan akal secaara mutlak dan penggunaan akal dalam menetapkan aqidah dan pokok-pokok ibadah. Jumhur ulama’pun menolak penggunaan akal tanpa menyandarkan diri kepada nash atau dalam hal-hal yang berkaitan dengan pokok aqidah dan ibadah.








D. Eksistensi qiyas pada zaman sekarang
Setelah mengamati pendapat para ulama’ diatas, baik yang menerima maupun yang menolak qiyas, pada akhirnya akan menemui masalah yang sama, yaitu mereka dituntut untuk menemukan sebuah hukum dari peristiwa yang mereka temui dengan cara menggali hukum yang terdapat dalam nash-nash. Jika kita melihat pada keadaan sekarang, dimana semua berjalan dengan begitu cepat seiring dengan kemajuan zaman, peristiwa yang menuntut segera ditemukan hukumnya juga semakin banyak dan komplek, sehingga peran para ulama’ (mujtahid masa kini) sangatlah diharapkan untuk segera menjawab tantangan yang ada di hadapannya.
Oleh karena semuanya harus berjalan dengan cepat dan tepat (termasuk dalam lingkup hukum islam), maka saya setuju dengan pendapat jumhur ulama’ yang menggunakan qiyas dan menjadikannya sebagai dalil hukum syara’, dengan alasan:
1. Pada hakikatnya, ulama’ yang menggunakan qiyas tidaklah bisa dikatakan hanya menggunakan ra’yunya saja, karena mereka memakai hukum asalnya adalah juga dari dalil syara’ yang disepakati (al-Qur’an dan Sunnah). Penggunaan ra’yu atau akalnya adalah merupakan satu-satunya cara, sebagaimana kita juga harus menggunakan akal kita didalam menangkap dalil-dalil syar’i. misalnya penguasaan terhadap Bahasa Arab yang baik dan benar, ilmu Mustholah Hadits dan lain-lain. Semuanya itu tidak mungkin bisa kita lakukan tanpa menggunakan akal kita.
2. Perkembangan zaman yang begitu pesat menuntut para ahli Hukum Fiqh didalam mencaari istimbat hukum juga ahrus cepat. Karena jika terlambat, maka yang sengsara adalah orang-orang (umat Islam) yang menjadi tanggung jawabnya). Jika umat islam itu dalam keadaan terombang-ambing didalam menetapkan hukum, secara otomatis kehidupan mereka juga akan kacau, sedangkan membiarkan diri kedalam kerusakan adalah dilarang dalam Islam.
3. Jika pada akhirnya antara ulama’ yang menentang dan menerima qiyas itu sama didalam keputusan hukumnya (hanya caranya yang berbeda), kenapa harus saling mengkritik didalam menggunakan qiyas, apalagi sampai menyalahkan. Bukankah Nabi menyuruh kepada umatnya untuk mencari kemudahan dan dilarang untuk mencari kesulitan.
4. Jumhur ulama’ didalam menggunakan qiyas juga tidak menggunakan akalnya secara mutlak dan tanpa menyandarkan diri kepada nash, tetapi didalam menggunakan qiyas ada syarat-syarat tertentu, yaitu rukun-rukunnya harus terpenuhi, dan dengan metode yang sangat hati-hati, sehingga hasil dari metode qiyas didalam menetapkan hukum adalah bisa dibuat sebagai dalil hukum syara’

Wallahu A’lam bis Showab

Daftar Pustaka

Depag R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya : Surya Cipta Aksara, 1993 )
Abdul Wahab Khalaf, Prof.Dr. Ilmu Ushul Fiqh (Alih Bahasa: Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy), Bandung: Gema Risalah Press, 1997.
Amir Syarifuddin, Prof.DR.H., Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.
Fathurrahman Djamil, MA.DR.H., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.
Lanjuuut..

Filsafat doang

FILSAFAT
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.[1] ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity 'ketertarikan'. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

Tema
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.
Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya.
Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan (sains) yang dikenal sekarang.
Aksiologi membahas masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.
Etika (tidak sama dengan etiket!) membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang baik. Di dalamnya dibahas aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan sebagainya.
Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.

Klasifikasi filsafat
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama , menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan “Filsafat Kristen”.

Filsafat Barat
‘‘‘Filsafat Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.

Filsafat Timur
‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.

Filsafat Timur Tengah
‘‘‘Filsafat Timur Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang Yahudi!), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa fiosof Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh disebut begitu)dan Averroes.

Filsafat Islam
‘‘‘Filsafat Islam’’’ bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan.'

Filsafat Kristen
‘‘‘Filsafat Kristen’’’ mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dsb.

Munculnya Filsafat
Filsafat, terutama Filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.

Sejarah Filsafat Barat
Sejarah Filsafat Barat bisa dibagi menurut pembagian berikut: Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer.

Klasik
"Pra Sokrates": Thales - Anaximander - Anaximenes - Pythagoras - Xenophanes - Parmenides - Zeno - Herakleitos - Empedocles - Democritus - Anaxagoras

"Zaman Keemasan": Sokrates - Plato - Aristoteles

Abad Pertengahan
"Skolastik": Thomas Aquino

Modern
Machiavelli - Giordano Bruno - Francis Bacon - Rene Descartes - Baruch de Spinoza- Blaise Pascal - Leibniz - Thomas Hobbes - John Locke - George Berkeley - David Hume - William Wollaston - Anthony Collins - John Toland - Pierre Bayle - Denis Diderot - Jean le Rond d'Alembert - De la Mettrie - Condillac - Helvetius - Holbach - Voltaire - Montesquieu - De Nemours - Quesnay - Turgot - Rousseau - Thomasius - Ch Wolff - Reimarus - Mendelssohn - Lessing - Georg Hegel - Immanuel Kant - Fichte - Schelling - Schopenhauer - De Maistre - De Bonald - Chateaubriand - De Lamennais - Destutt de Tracy - De Volney - Cabanis - De Biran - Fourier - Saint Simon - Proudhon - A. Comte - JS Mill - Spencer - Feuerbach - Karl Marx - Soren Kierkegaard - Friedrich Nietzsche - Edmund Husserl

Kontemporer
Jean Baudrillard - Michel Foucault - Martin Heidegger - Karl Popper - Bertrand Russell - Jean-Paul Sartre - Albert Camus - Jurgen Habermas - Richard Rotry - Feyerabend- Jacques Derrida - Mahzab Frankfurt

Catatan kaki
^ Irmayanti Meliono, dkk. 2007. MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI. hal. 1
Lanjuuut..

Filsafat H. Islam

MAKALAH HUKUM ISLAM I ( TEORI RECEPTIO IN COMPLEXU )

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini memiliki empat aspek, yaitu (a) kebebasan nurani (freedom of conscience), (b) kebebasan mengekspresikan keyakinan agama (freedom of religious expression), (c) kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (freedom of religious association), dan (d) Kebebasan melembagakan keyakinan keagamaan (freedom of religious institution)1. Di antara keempat aspek tersebut, aspek pertama yakni kebebasan nurani (freedom of conscience), merupakan hak yang paling asli dan absolut serta meliputi kebebasan untuk memilih dan tidak memilih agama tertentu. Menurut konsep kebebasan di atas, maka kebenaran pribadi harus dianggap sebagai nilai yang yang paling luhur (supreme value). Ia menghendaki komitmen serta pertanggungjawaban pribadi yang mendalam. Komitmen serta pertanggungjawaban pribadi ini harus berada di atas komitmen terhadap agen-agen otoritatif lainnya seperti negara, pemerintah, dan masyarakat.
Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras. Letak geografis Indonesia yang berada di tengah-tengah dua benua, menjadikan negara ini terdiri dari berbagai ras, suku bangsa, dan agama.
Kemajemukan agama di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan sejarah bagaimana bangsa Indonesia itu muncul. Hal tersebut ditandai dengan munculnya banyaknya kerajaan di Indonesia yang menganut bermacam agama. Tidak diragukan lagi, perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia itu mengakibatkan adanya beberapa agama yang dianut oleh bangsa Indonesia pada masa-masa selanjutnya. Agama bagi bangsa Indonesia merupakan potensi yang besar.
Sebagai potensi, pada satu sisi agama dapat menjadi pendorong dan pendukung arah pembangunan Indonesia. Pada sisi yang lain, isu tentang agama dapat menjadi pemicu konflik antarumat beragama. Oleh sebab itu, hubungan baik antarumat beragama yang terwujud dalam tiga kerukunan hidup beragama Indonesia diharapkan selalu terwujud dalam perjalanan hidup bangsa. Setiap agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Setiap penganut terpanggil untuk menanamkan dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak pada pihaknya serta kesesatan dan kecelakaan fatal pada pihak yang lain. Interpretasi yang berbeda dan pemikiran teologis yang berlain mengenai konsep ini merupakan sumber perselisihan antarumat beragama.
Sejak negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum islam memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di Indonesia selain hukum Belanda yang berlaku saat ini. Setelah Indonesia berusia 60 tahun dan telah mengalami 6 kali pergantian presiden, hukum islam tetap dipakai dibeberapa bidang hukum disam ping hukum Belanda tentunya. Seperti yang kita ketahui, gelombang reformasi yang menyapu seluruh kawasan Indonesia sejak kejatuhan Suharto banyak memunculkan kembali lembaran sejarah masa lalu Indonesia.Salah satunya yang hingga kini banyak menjadi sorotan adalah tuntutan untuk kembali kepada syariat Islam, atau hukum Islam yang kemudian mengundang beragam kontroversi di Indonesia. Kalau kita lihat lembaran sejarah Indonesia, salah satu faktor pemicunya adalah tuntutan untuk mengembalikan tujuh kata bersejarah yang tadinya terdapat dalam pembukaan atau mukadimmah konstitusi Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia. Tujuh kata itu adalah “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.
Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat Muslim secara umum.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membuat paper dengan mengambil judul ”Kajian Kritik Terhadap Teori Receptio In Complelxu”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah perhatian Islam terhadap masyarakat?
2) Apa yang melatarbelakangi munculnya teori receptio in complexu?
3) Bagaimana menerapkan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari paper ini adalah :
1) Untuk mengetahui sejauhmana perhatian orang Islam terhadap masyarakat
2) Untuk mengetahui latar belakang munculnya teori receptio in complexu
3) Untuk mengetahui hubungan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan hukum islam di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan Paper ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi rekan-rekan mahasiswa, khususnya penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perhatian Islam terhadap masyarakat, latar belakang munculnya teori receptie, dan hubungan teori receptio in complex terhadap pemberlakuan hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Masyarakat Islam dan Non Islam
Kebebasan dan toleransi merupakan dua hal yang sering kali dipertentangkan dalam kehidupan manusia, secara khusus dalam komunitas yang beragam. Persoalan tersebut menjadi lebih pelik ketika dibicarakan dalam wilayah agama.
Kebebasan beragama dianggap sebagai sesuatu yang menghambat kerukunan (tidak adanya toleransi), karena dalam pelaksanaan kebebasan, mustahil seseorang tidak menyentuh kenyamanan orang lain. Akibatnya, pelaksanaan kebebasan menghambat jalannya kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga sebaliknya upaya untuk merukunkan umat beragam agama dengan menekankan toleransi sering kali dicurigai sebagai usaha untuk membatasi hak kebebasan orang lain. Toleransi dianggap sebagai alat pasung kebebasan beragama.
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antarumat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga sebaliknya, toleransi antarumat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Keduanya tidak dapat diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya, yaitu penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi, dan usaha untuk merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan. Untuk dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan bergama dan toleransi antarumat beragama merupakan sesuatu yang penting.
Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak yang melekat pada manusia karena ia adalah manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Negara pun tidak berhak merampas hak tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan beragama yang melekat dalam setiap individu tersebut dinyatakan dengan gamblang dalam deklarasi universal HAM Pasal 1 dan 18.
Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Selanjutnya, kata “toleransi” juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan (Kamus Umum Bahasa Indonesia).
Jadi, dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaannya atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain, tetapi mengizinkan perbedaan itu tetap ada.
Toleransi menjadi jalan terciptanya kebebasan beragama, apabila kata tersebut diterapkan pada orang pertama kepada orang kedua, ketiga dan seterusnya. Artinya, pada waktu seseorang ingin menggunakan hak kebebasannya, ia harus terlebih dulu bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya telah melaksanakan kewajiban untuk menghormati kebebasan orang lain?” Dengan demikian, setiap orang akan melaksanakan kebebasannya dengan bertanggung jawab. Agama-agama akan semakin moderat jika mampu mempersandingkan kebebasan dan toleransi. Kebebasan merupakan hak setiap individu dan kelompok yang harus dijaga dan dihormati, sedang toleransi adalah kewajiban agama-agama dalam hidup bersama.
Sikap agama yang lebih moderat, tidak hanya dituntut ada dalam agama Islam, tetapi pada semua agama yang ada di Indonesia. Agama-agama harus menyadari bahwa dunia semakin heterogen. Jadi tidak mungkin lagi untuk memimpikan kehidupan beragama yang homogen. Diskriminasi yang dialami oleh agama-agama tidak perlu menimbulkan semangat balas dendam, karena biasanya diskriminasi agama tidak berasal dari agama itu sendiri, melainkan dipengaruhi faktor lain.
Agama dalam pelaksanaan misinya tidak boleh lagi bersikap tidak peduli dengan agama-agama lain. Kemajauan suatu agama tidak boleh membunuh kehidupan agama-agama yang ada di Indonesi
Toleransi dan kerukunan hidup umat beragam antara Islam dan non Islam, telah diperaktekan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, pada waktu itu rasulullah memimpin negara Madinah, beliau sebagai kepala negara dari komunitas negaranya, terdiri atas penganut Islam, Yahudi dan Nasroni beliau memimpin masyarkat majemuk.
Dengan shahifah (piagam madinah) sebagai konstitusinya yang oleh sementara pengamat disebut sebagai the first written constitution in the world. Piagam madinah memuat pokok-pokok kesepakatan.
(1) Semua umat Islam, walaupun berasal dari banyak suku merupakan satu komunitas
(2) Hubungan antara komunitas Islam dengan non Islam didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga baik. Saling membantu dan saling menghadapi musuh bersama. Membela mereka yang teraniyaya saling menasehati, menghormati, kebebasan beragama, kedua ke Abbesinin (Ethiopia) ketiga perlakuan adil terhadap non nISlam di pengadilan pada waktu dia berhadapn dengan Ali bin Abi Tholib (kepala negara waktu itu) dan Ali bin Abi Thalib di kalahkan. Keempat kerukunan hidup umat beragama pernah di peraktekan oleh ISLam, Yahudi dan Nasrani di Spanyol, sebagaimana di ungkapkan oleh Nurcholis Majid (1994:36) mengutip ungkapan Max Dimont bahwa selama 500 tahun dibawah pemerintahan Islam membuat Spanyol untuk tiga agama dan satu tempat tidur Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun bersama-sama menyertai perbedaan yang genting.
B. Latar Belakang Munculnya Teori receptio In Complexu
Berbicara tentang masalah hukum yang berlaku terhadap golongan Bumi Putera, yaitu hukum adat bangsa Indonesia. Timbulah beberapa teori yaitu: Teori pertama diketemukan oleh beberapa sarjana Belanda seperti Carel Frederik Hunter (1799-1859) Salomo Kayzor (1823-1868) dan Odeniya William Christian Van Berg (1845-1925)
Teori ini menyatukan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing jadi menurut teori ini bahwa hukum tentang berlaku bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragam khatolik, demikian juga bagi penganut agama lain, teori ini yang dikenal dengan teori receptio in complex (RIC).
Materi teori ini kemudian dimuat dalam pasal 75 RR (Regering Reglement) tahun 1855. pasal 75 ayat 3 RR berbunyi “oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama (Jadsdiensnge Wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu” pada masa teori ini berlaku, kemudian antara lain Sibi 882 No. 152 tentang pembentukan pengadilan agama (Priensterand) di samping pengadilan negeri (landrand). Berdasarkan pasal 75 dengan mengacu kepada teori RIC hukum waris yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum waris Islam dan menjadi kompetensi (wewenang) peradilan agama
Pada mulanya, politik kolonial Belanda sebenarnya cukup menguntungkan posisi hukum Islam, setidaknya sampai akhir abad ke 19 M dikeluarkannya Staatsblad No. 152 Tahun 1882 yang mengatur sekaligus mengakui adanya lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura, merupakan indikasi kuat diterimanya hukum Islam oleh pemerintah kolonial Belanda. Dari sinilah muncul teori Receptio in Complexu yang dikembangkan oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845 – 1927). Menurut ahli hukum Belanda ini hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, maka hukun Islam-lah yang berlaku baginya. Dengan adanya teori receptio in Complexu maka hukum Islam sejajar dengan dengan sistem hukum lainnya.
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven (1874 – 1933) dan C.S. Hurgronje (1857 – 1936) yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie, menurut teori ini hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adat yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Klaim provokatif dan distorsif ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi hukum Islam ketika itu, oleh karenanya Hazairin menyebutnya sebagai teori “Iblis’.
Dengan adanya teori Receptie ini, Belanda cukup punya alasan untuk membentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Dengan bekal sebuah rekomendasi (usulan) dari komisi ini, lahirlah Staatsblad No. 116 Tahun 1937 yang berisi pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk menangani masalah waris dan lainnya. Perkara-perkara ini kemudian dilimpahkan kewenangannya kepada Landraad (Pengadilan Negeri).

C. Hubungan Teori Receptio In Complexu Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih -yang dianggap representatif- telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Khusus untuk yang terakhir, ia merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya). Sehingga pada tahun 1991 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terlepas dari pro dan kontra keberadaan KHI nantinya diproyeksikan sebagai Undang-Undang resmi negara (hukum materiil) yang digunakan di lingkungan Pengadilan Agama sebagai hukum terapan. Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan reformasi di bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dengan diamandemennya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan Undang-Undang diatas secara otomatis membawa efek berantai pada Peradilan Agama, sehingga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga mengikuti jejak, yakni diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Seiring dengan momentum amandemen Undang-Undang tentang Peradilan Agama, maka muncul perubahan paradigma baru yakni Peradilan Agama dari peradilan keluarga menuju peradilan modern. Semula Peradilan Agama hanya menangani perkara-perkara sumir -sebagian besar masalah perceraian- kini dihadapkan pada perkara-perkara ekonomi syari’ah yang relatif baru dalam dunia ekonomi Indonesia, namun dalam perkembangannya cukup mempengaruhi konfigurasi ekonomi Indonesia. Oleh karena itu hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah tidak cukup hanya berbekal pada doktrin hukum “fikih madzhab” yang merupakan produk nalar para imam madzhab sekitar tiga belas abad yang lalu, tetapi harus dibekali dengan undang-undang, mengapa? Kalau penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah hanya didasarkan pada madzhab fikih yang dianut oleh masing-masing hakim, itu sangat berbahaya karena akan menjurus pada suatu putusan yang berdisparitas tinggi dan tidak adanya kepastian hukum, karena masing-masing hakim akan berbeda madzhab, sehingga yang terjadi adalah pertarungan madzhab. Hal ini akan sangat merugikan para pihak pencari keadilan yang kebetulan madzhabnya juga berbeda. Putusan yang demikian bertentangan dengan azas legalitas (principle of legality). Oleh karena itu adanya undang-undang yang mengatur tentang ekonomi syari’ah menurut teori kontrak sosial adalah merupakan bagian dari upaya negara untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara pencari keadilan. Pada dasarnya pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam disamping kearifan lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Syari’at Islam meskipun dalam realitanya telah membumi dan menjiwai setiap aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), dan banyak dijadikan acuan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara, namun belum merupakan undang-undang negara. Oleh karena itu pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kegiatan di bidang ekonomi syari’ah merupakan suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam, khususnya dan bagi para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah pada umumnya. Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.
Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum adanya hukum subtansial dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama untuk lingkungan tertentu dan subyek hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan jika terhadap subyek hukum Islam-yang melakukan kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya wajar pula dalam hubungan keluarga terkadang hukum adat setempat lebih dominan. Prinsip unifikasi hukum memang harus jadi pedoman, namun sejauh unifikasi tidak mungkin, maka pluralitas hukum haruslah secara realitas diterima. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima sebagai bagian dari tatanan hukum nasional. 14 Untuk memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang yang tidak dapat diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan kewenangan yang ada padanya dapat mengakui atau mempertahankan Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 107. hukum yang hidup dalam masyarakat, sekalipun itu bukan produk hukum negara, seperti hukum adat yang merupakan warisan nenek moyang, hukum Islam yang bersumber dari ajaran agama dan hukum Barat yang merupakan peninggalan kolonialis.
Prinsip negara hukum sebagaimana pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh warga negara diberikan pelayanan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Namun, bukan berarti pelembagaan hukum Islam bertentangan dengan prinsip di atas sebab bunyi Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yakni: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan aktifitas keperdataan sesuai dengan konsep syari’at Islam sebagai keyakinan yang dianutnya.
Hadirnya hukum ekonomi syari’ah dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development (hukum sebagai sarana pembangunan), agent of modernization (hukum sebagai sarana modernisasi) dan hukum sebagai a tool of social engineering (sarana rekayasa sosial)22. Namun dengan bertambahnya kewenangan tersebut belum diimbangi dengan kesiapan sarana hukum sebagai rujukan hakim dalam memutus perkara. Oleh karena itu adanya produk legislasi yang mengatur tentang ekonomi syari’ah sudah sangat mendesak dan urgen yang pasti akan dirasakan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama.
Keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi syari’ah yang akan datang adalah untuk mengisi kekosongan hukum subtansial yang dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, mengingat masih tersebarnya hukum materiil Islam khususnya yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah di berbagai kitab fikih muamalah,25 sehingga gagasan legislasi fikih muamalah dapat dipandang sebagai upaya unifikasi madzab dalam hukum Islam.
Dengan demikian, kehadiran undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah akan datang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena kehadirannya di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, di sisi lain secara subtansial akan dijadikan sebagai landasan bagi hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya diperlukan intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan dengan ketertiban umum dalam pelaksanaannya.


BAB III
KESIMPULAN

Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan tersebut.
Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak yang melekat pada manusia karena ia adalah manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Negara pun tidak berhak merampas hak tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan beragama yang melekat dalam setiap individu tersebut dinyatakan dengan gamblang dalam deklarasi universal HAM Pasal 1 dan 18.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. TT. Tafsir al-Maraghi, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
Daud Ali Mohammad. 1999. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Fatah, Syekh Abdul. 1990. Tarikh al-Tasyri al-Islam. Kairo: Dar al-Ittihad al’Arabi.
Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Mansyur. 1991. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhara.
Ridla, Muhammad Rasyid. TT. Tafsir al-Manar, Juz I. Bairut: Dar al-Fikr.
Suepomo. 1977. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Yamanni, Ahmad Zaki. 1388 H. Islamic Law and Contemporary Issues. Jedd
Lanjuuut..

Filsafat

FLEKSIBELITAS HUKUM ISLAM

A.fleksibelitas hukum islam
Syariat islam mempuyai karakterristik yang tidak akan pernah berubah. Sebagai syari’at (al-din )yang datang dari allah a.w.t, maka syari’atnya memiliki karakter sebagai berikut:
a. Rabbaniyah, yakni sebagai ajaran rabbu Al-Alamin
b. Insaniyah yakni untuk kepentinga seluruh ummat manusia serta menjungjung tinggi derajat dan mertabat mereka karena Allah adalah rabbal Al- Nas.
c. Alamiyah, yakni suatu syari’at yang berlaku secara universal untuk segenap manusia dan selaras dengan hukum hukum Allah (Sunnatullah) pada Al-kaun (universum).

Download Makalah Pendidikan : "Fleksibilitas Filsafat Islam" Lengkap
Lanjuuut..
Lanjuuut..

Kamis, 12 Maret 2009

Amar

BAB I
PENDAHULUAN

Menurut mayoritas ahli ushul fiqh, amr adalah suatu tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya
Definisi di atas hanya ditujukan pada lafadz yang memakai sighat amr, tetapi ditujukan pula pada semua kalimat yang mengandung perintah, karena kalimat perintah tersebut terkadang menggunakan kalimat majazi (samar), namun yang paling penting dalam amr adalah bahwa kalimat tersebut mengandung unsur tuntutan untuk mengerjakan sesuatu.
Pada dasarnya perintah itu untuk menunjukkan wajib, artinya jika perintah itu tidak disertai sesuatu qorinah yang menyimpangkan kepada tujuan selain wujud maka ternyata pengertian hukum yang keluar dari amar itu wajib. Untuk lebih jelasnya akan dibahas pada bab berikutnya.

BAB II
PEMBAHASAN
AMR (PERINTAH)

A. Bentuk AMR (perintah)
Bentuk amr ada beberapa macam, yaitu sebagai berikut :
1. Dengan menggunakan fiil amar, misalnya :
"Dirikanlah olehmu shalat (al-Baqarah : 43)
2. Dengan Fiil mudharik yang diberi lam amar, misalnya
"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling ka'bah itu (al-hajj : 29)
3. Menggunakan lafadz kutiba (diwajibkan) seperi firman Allah dalam surat al-Baqara ayat 183
4. Perintah dengan memakai redaksi pemberitahuan (jumlah khobariyah) tetapi yang dimaksud adalah perintah, seperti firman Allah surat Al-Baqarah ayat 228.
5. Perintah dengan menggunakan kata wajaba dan faradha, seperti firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 50
6. perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu baik seperti firman Allah :
7. perintah disertai janji kebaikan yang banyak bagi pelakunya, seperti firman Allah surat Al-Baqarah ayat 245.
8. melalui lafadz amara dan seakar dengannya yang mengandung perintah (suruhan) seperti firman Allah.

B. Kandungan Penunjukan Amr
1. Berarti menunjukkan hukum wajib seperti dalam surat al-Baqarah ayat 110 "Dirikanlah olehmu "shalat dan tunaikanlah zakat.
2. Menjelaskan bahwa sesuatu itu mubah hukumnya seperti surat al-Mukminun ayat 51. "Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik"
3. Untuk menunjukkan anjuran, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 282 "Hai orang-orang yang beriman, apabila kami bermuamalat secara tidak tunai untuk waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya".
4. Untuk melemahkan seperti dalam surat al-Baqarah ayat 23 "Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami Muhammad, buatlah suatu surat saja semisal Al-Qur’an.
5. Sebagai ejekan dan penghinaan, seperti dalam surat al-Dukhan ayat 49 "Rasakanlah, sesungguhnya orang-orang perkasa lagi mulia"
6. Untuk menakut-nakuti (tahdid) seperti "Berbuatlah apa yang kamu inginkan

C. Penerapan AMR
1. Kesegeraan dalam amar
Perintah adakalanya ditentukan waktunya dan adakalanya tidak, jika suatu perintah disertai waktu tertentu, seperti shalat lima waktu, perintah semacam itu mesti dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan, tetapi jika tidak dihubungkan dengan waktu tertentu, perintah (amr) itu berjalan sesuai dengan dasar pokoknya yaitu :

"Pada dasarnya perintah (amr) itu tidak dilaksanakan dengan segera.
2. Amr tidak menuntut dilaksanakan terus menerus
Bahwa sighat amr menunjukkan adanya tuntutan mengerjakan sesuatu pada masa yang akan datang. Apakah amr berdasarkan konteks bahwasanya membutuhkan kesinambungan atau tidak, dalam hal ini terbagi dalam dua pendapat.
a. Menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dan berulang-ulang selama masih hidup.
b. Hal itu tidak menunjukkan kepada mutlak, tetapi menunjukkan sekali saja, karena hakikat dari perintah itu adalah pemenuhan tuntutan.
Perli diingat bahwa apabila perintah tersebut tidak mungkin dilaksanakan, kecuali satu kali, maka yang sekali itu merupakan hal pokok dalam melaksanakan hakikat perintah. Namun, yang sekali bukan berarti petunjuk sighat amar, melainkan untuk melaksanakan hakikat dari amar tersebut. Jadi jumhur ushul fiqih menetapkan suatu perintah tidak wajib dilakukan berulangkali kecuali pada dalil untuk itu.
3. Perintah berarti larangan melakukan sebaliknya.
"Memerintahkan sesuatu berarti melarang sebaliknya"
Artinya melarang melakukan yang berlawanan dengan yang diperintah beriman, berarti melarang syirik atau kufur, lawan itu adakalanya beberapa macam, misalnya perintah berdiri berarti jangan duduk, berbaring, berjongkok dan seterusnya. Perintah itu pada dasarnya menunjukkan wajib dan kelaziman wajib ialah meninggalkan semua yang berlawanan, maka setiap perintah berarti menunjukkan kelaziman meninggalkan semua yang berlawanan.
4. Selesainya perintah
"Apabila yang diperintahkan sudah selesai mengerjakan sesuatu dengan peraturan-peraturannya berarti yang diperintah bebas dari perintah itu". suatu perintah yang disertai petunjuk-petunjuk cara mengerjakannya jika telah dilaksanakan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang semestinya, maka orang-orang yang diperintah itu telah bebas dari tanggungan memenuhi perintah itu dilaksanakan sesuai dengan syarat rukunnya hingga selesai, maka orang itu telah bebas dari perintah, tak usah melakukan beberapa kali.
5. Perintah Qadha
Qadha ialah melakukan sesuatu pekerjaan sesudah habis waktunya. Mengkadha pekerjaan wajib adalah wajib, tetapi kewajiban qadha tadi masih dalam rangkaian perintah adaan. Adaan yaitu mengerjakan kewajiban tepat pada waktunya, tegasnya, perintah qadha itu memerlukan perintah baru.
Dal hal ini ada pendapat lain, yaitu :
"Qadha itu harus dengan perintah baru " " artinya, bukan yang datang dari perintah yang pertama sebab apabila waktu yang tertentu itu sudah lewat, kemaslahatran yang berhubungan dengan waktu itu telah lewat pula. Karena itu, diperlukan lagi perintah baru sebagai susulan untuk kemaslahatan tersebut
6. Keadaan Amr
Makna hakiki amr yang diperselisihkan di atas adalah apabila Amr itu tidak disertai qorinah, golongan zahiriyah, antara lain Ibnu Hazm berpendapat bahwa Amr yang terdapat dalam Al-Qur’an, sungguhpun disertai qorinah tetap menunjukkan wajib, kecuali kalau ada nash lain atau ijma' yang memalingkan pengertian amr dari wajib. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa tak adanya qarinah menunjukkan wujub, sebaliknya adanya suatu qarinah sudah cukup dapat mengubah hakikat arti amar itu.
BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan pada bab pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1. Suatu perintah selalu menunjukkan pada kaum wajib kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut.
2. Suatu perintah tidak wajib dilakukan berulang kali kecuali ada dalil untuk itu. Pada prinsipnya suatu perbuatan telah terwujud bila perbuatan yang diperintahkan dilakukan, meskipun dilakukan satu kali.
3. Suatu perintah tidak harus segera dikerjakan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan itu, karena tujuan dari suatu perintah adalah mewujudkan perbuatan yang diperintahkan


DAFTAR PUSTAKA
• Khallaf, Abdul Wahab. Prof. DR. Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Amani, Jakarta, 2003.
• Firdaus, M.Ag. Ushul Fiqih, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Zikrul Media Intelektual, Jakarta, 2004.
• Rifa'i, Muhammad. Drs. Ushul Fiqih. PT. Al-Ma'arif, Bandung, Bandung, 1973.
• Syafi'e, Rahmad, Prof. Dr. MA, Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia, Bandung, 1999.
Lanjuuut..

PIDANA MATI MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA

PIDANA MATI MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA


Pendahuluan
Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatankejahatan berat dengan pidana mati. Waktu berjalan terus dan di pelbagai negara terjadi perubahan dan
perkembangan baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan dipelbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidak
sama mengenai permasalahan kedua komponen tersebut diatas. Dengan adanya
pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian sosio-kriminologis, maka
Lanjuuut..

sengketa tanah

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH

A. Pendahuluan
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi.
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
Lanjuuut..

Pidana penjara pendek

MASALAH PIDANA PENJARA PENDEK

Pendahuluan
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum. Larangan yang disertai sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana. Yang mana antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang sangat erat. Oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian tidak dapat dipisahkan. Jadi perbuatan tidak dapat dilarang atau dikenai sanksi apabila yang melakukan perbuatan bukan orang, dan orang yang tidak dapat diancam pidana, oleh karena itu dalam istilah hukum maka dipakailah dengan perbuatan, yaitu pengertian abstak yang menunjuk perbuatan kongkrit, pertama adanya kejadian yang tertentu dan yang kedua adanya orang yang berbuat, yang minimbulkan kejadian itu.
Lanjuuut..

hukum perjanjian

HUKUM PERJANAJIAN1. Prihal Perikatan Dan Sumber- Sumbernya
Buku III B.W. berjudul “ Prihal perikatan” perkataan. “ Perikatan” ( verbintenis) mempuyai arti yang lebih luas dari perkataan “ perjanjian” sebab dalam buku III itu, diatur juga prihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan dan perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum ( onrechtmatige daad) dan prihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan
(zaakwaarneming)tetpi, sebagai dasar dari Buku III ditujukan kepada perikatan- perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hukum perjanjian1.
Adapun yang dimaksud dengan “ perikatan” oleh buku III B.W. itu, ialah: suatu hubungan hukum ( mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada
Lanjuuut..
Lanjuuut..

Ihtihsab.com

Al Istishhab
PENDAHULUAN
1. pengertian istishhab
االا ستصحاب عند الاصوليّين هو الحكم علي الشيئ بالحال التي كان عليها من قبل حتي يقوم دليل علي تغير تلك الحال او هو جعل الحكم الذيكان ثابتا في الماض باقيا في الحال حتي يقوم دليل علي تغيره
Istihhab menurut ulama’ usuliyin adalah meneapkan hokum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebeumnya, sampai ada dalil yang merubahnya “ dengan ungkapan ini istihhab ialah menjadikan hokum suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga hingga peristiwa berikutnya kecuali ada dalil yang merubah ketentuan itu.
Sedangkan istihhab secara harfiyah ialah. Mengakui adannya hubugan perkawinan.Oleh sebab itu apabila seorang mujtahid di tannya tentang sesuatu perkara atu hukum, yang mana hukum tersebut tidak bias di cari kaidah hukumnya baik didalam Al Quran atupun Al hadis atupun didalam dalil-dalil syara’ maka alternatif terahir alah menggunakan dasar hukum islam yang kedelapa yaitu istishhab dan di hukumi boleh sebab pada dasarnya semua apa yang ada di bumi ini adalah hukumnya boleh, sebelum ada dalil-dalil yang melarangnya. Sesuai dengan koidah usul fiqih
الأصل فىالأشياء الإباحة
Artinya : padadasarnya sesuatu itu adalah boleh
Kemudian apabila seorang mujtahid ditannya tentang hokum binatang, benda-benda, tumbuh-tumbuhan, makanan dan minuman atu sesuatu amal yang hukumnya tidak di temukan di dalam dalil syara’ maka hukumnya ialah boleh sesuai dengan hukum pada asal mula perkara tersebut. Sebelum ada dalil yang mengubahnya menjadi tidak boleh. Kebolehan disini adalah merupakan pangkal (asal ) meskipun tidak ada dalil yangmenunjukan atas kebolehannya. Dengan demikian pangkal sesuatu itu adalah boleh seperti firman Allah dalam surat Al Baqoroh
هو الذى خلق لكم ما فى الارض جميعا
Artinya : dialah allah yangmenjadikan segala apa yang ada dibumi ini untukmu
Istishhab merupakan dalil syara yang terahir yang dipakai mujtahid yang dipaki untuk menggali hokum. Sedangkan ulama’ usul mengatakan pada dasarnya istihhab merupakan tempat berputarnya fatwa yang terahir untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hokum yangtelah di tetapkan sebelum ada dalil yang merubahnya. Hal tersebut merupakan metode didalam pengambilan dalil yang telah menjadi lebiasaan atu adat manusia pada seluruh pemeliharaan dan penetapan mereka. Karena jika seseoragmengetahui adanya seseorangyang hidup, maka ia itu di hukumi hidup dan dasar hidupnya itu di pelihara hingga terdapat dalil yang menunjukan bahwa ia itu sudah meninggal. Dengan dasarnya ialah
االأ بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
Artinya : asal sesuatu itu merupakan ketetapan terhadap sesuatu yangtelah ada berdasarkan keadaan semula hingga adanya ketetapan sesuatu yang merubahnya
الأ صل فى الانسان البرأة
Artinya asal yang ada pada manusia iu adalah kebebasan
2. KEHUJAHAN ISTISHHAB
Istishhab merupakan dalil syara’ terahir yang dipakai oleh mujtahid sabagi hujah untuk mengetahui hokum sesuatu kejadian yang dihadapkan kepadanya. Sedangkan istishab menurut ulama’ usul merupakan berputarnya fatwa yang terahir untuk mengetahui sesuatu berdasrkan hukum tang telah di tetapkan selama tidak ada dalil yang merubahnya. Sedangkan apabila setalah itu ada dalil yang melarangnya, maka hukum yang tadinya boleh menjadi tidak boleh.
Jika seseorang memiliki sesuatu berdasarkan sebab pemilikan, maka pemilikan itu tetap berlaku sampai adanya ketetapan lain yangmenggugurkan pemilikan hal itu. Halalnya hubunganan suami isterikarna ikata akat nikah, berlaku seterusnya hingga adanya ketetapan yangmengharampan hubungan itu.tanggungan hutang tetap berlaku hingga adanya ketetapan akan gugurnya tanggungan itu.
Sedangkan dalam masalah khujahan istishab ini ada tiga pendapat dikalanganulama’ ulama’ usul fiqih:
a) Mayoritas dari pengikut Maliki syafi’i , Ahmad dan sebagian ulama’ Hanafiberpendapat bahwa istishhab bias menjadi hujandalam menetapkah hukum
syara’
alasan mereka ialah sesuatu yangtelah ditetapkan pada masalalu , selama tidak ada dalil yang mengubahnya,baik secara qoti maupun zoni maka ukum yan telah ditetapkan itu terus berlaku karna ada dugan keras belum ada perubahan.
b) Sebagian besar ulama’ mutahirin, Hanafi berpendapat, bahwa istishab dapat menjadi hujah dalam menetapkan hokum syara’
sedangkan alasan mereka seorang mujtahid dalm meneliti hukum suatu masaah yangtelah ada, mempunyai gambaran bahwa hukum nya sudah ada atu sudah di batalkan.
c) Segolongan ulama’ mutakalimin seperti Hasa al basri dan yang sependapat dengannya. Berpendapat bahwa istishab secara mutlaq tidak dapat dipakai (dijadikan hujah ) didalammenentukan hokum syara’ karna hokum yang ditetapkan adalah ukum yang sama pada mas lampau yangmenghendaki adanya dalil. demikian juga untuk menetapkan hokum yangsama pada masa sekarang dan mas yang akan dating harus pula berdasrkan dalil.
3. MACAM-MACAM ISTISHAB
para ulama’ fiqih mengemukakanbahwasanya istishhab itu terbagi menjadi lima macam yang sebagiannya di sepakati dan sebagian yanglain masih di perselisihkan. Kelima istishab ini antara lain:
a. استصحاب حكم الاباحة الاصليّة
b. Maksutnya ialah menetapkah hokum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukan kharamannya.
c. istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlaku terus maksutnya ialah sifat yang melekat pada suatu hokum sampai ditetapkannya hukumyang berbeda degan hokum itu. Misalnya hak milik sesuatu benda adalahtetap dan berlangsung terus disebabkan adanya teransaksi pemilikan, yaitu aqat,sampai ada sebab lain yang meyebab kan hak milik itu berpindah tanga kepada orang lain.
d. istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yangmenghususkannya dan istishab dngan nas selama tidak ada dalil nas yang membatalkannya.
e. istishab hokum akal sampai datangnya hokum syara’
4. PENDAPAT ULAMA’ TENTANG ISTISHHAB
Ulama’ Hanafiyah menetapkan bahwa istishab merupakan hujah untuk mempertahanka dan bukan menetapkan apa-apa yang dimaksut oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jeas bahwa istishab merupakan ketetapan sesuatu yangtelah asa menurut keadaan dan juga mempertahankan keadaan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan perbedaannya.
5. KESIMPULAN
Dengan mencermati pendapat-pendapat para ulam’ di atas maka kami bias menarik kesimpulan bahwasanya apabila kita dihadapkan pada suatu masalah atu perkara yang mana perkara tersebut tersebut menuntut adanya sebuah hokum, maka kita haus mencarinya di dalam Al Quran dan Al Hadis dan namun bila kita tidak menemuka dasar hokum untuk perkara tersemut maka bolehlah kita beristishhab tentang perkara tersebut. Karena sesuai dengan dalil
الاصل فى الشياء الا باحة dan firman Allah
هوالذي خلق لكم ما فىالارض جميعا
Dengan melihat dalil di atas, maka segala sesuatu itu pada dasarnya adalah mubah (boleh) sebelum ada dalil yang melaragnya.
Olehkarna itu kai sangatlah mendukung tentang istihsan ini sebagi landasan hokum islam yang terahir. Sebab bila ada sesuatu masalah yang timbul dan tidak ada hokum yang menetapkannya baik itu di dalam Al Quran dan Al Hadis apakah perkaraitu akn kitabiarkan begitu saja, sedangkan orang-orang itu dibuat bingung akan masalah itu akrna tidaj jelas hokumnya.menurut saya tidak seperti itu . jelas allah menciptakan akal, itu untuk kebaikan agar manusia itu bias memilah dan memilih mana yang dianggap benar dan yang di anggap salah.jelas kalau dalam tataran hokum maka akal lah yang difungsikan untuk menggali hokum, bila tidak ada hokum yang pasti di dalam al quran dan al hadis dan yanglain-lain maka jalan satusatunya ialah menggunakan istihsan. Demi kemaslahatan umat.

AL-IMAMAH
(Telaah tentang menhangkat penguasa dan mendirikan lembaga pemerintahan)

“Dari Abdullah Ibnu Umar (Ibnul-Ash) ra. sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: tidak halal bagi tiga orang yang berada ditanah lapang, kecuali mereka mengangkat sebagai pemimpin salah seorang dari mereka.” (HR. Ibnu Hambal)

“Dari Abi Said al- Khudri bahwasannya Rosulullah Saw. telah bersabda: bila bergegas tiga orang melakukan perjalanan maka seyogyanya mereka mengangkat sebagai pimpinan salah seorang dari mereka . (HR. Abu Daud)

Dari hadit diatas maka timbullah berbagai pertanyaan, diantaranya apakah suatu kewajiban bagi umat Islam menyelenggarakan (mendirikan) pemerintahan?, bagaimana sistem pemerintahan itu ?, dan urgenkah lembaga pemerintahan?.
Dalam wacana fiqh siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan khilafah. Keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam. Istilah imamah lebih banyak digunakan oleh kalangan Syi’ah sedangkan istilah khilafah lebih populer penggunaanya dalam masyarakat Sunni. Hanya saja terdapat perbedaan yang mendasar antara kedua aliran ini dalam memahami imamah. Kelompok Syi’ah memandang bahwa imamah merupakan bagian dari prinsip ajaran agama, sedangkan Sunni tidak memandang demikian.
Penegakan institusi imamah dan khilafah, menurut para fuqoha’, mempunyai dua fungsi, yaitu menegakkan agama Islam dan malaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan polotik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan Islam. Menurut al-Mawardi, imamah dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.
Sejalan dengan pandangan al-Mawardi, ‘Audah mendefinisikan bahwa khilafah atau imamah adalah kepemimpinan umat Islam dalam masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad Saw dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat Islam
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad mempunyai dua fungsi sekaligus menjalankan dakwahnya, yaitu manyampaikan risalah dari Allah dan menegakkan peraturan-peraturan duniawi berdasarkan risalah yang dibawanya. Setelah beliau wafat, fungsi pertama otomatis berakhir dan tidak dapt dijalankan oleh siapapun , sebab beliau adalah penutup para rosul. Maka tinggallah fungsi yang kedua yang dilanjutkan oleh pengan tidak beliau .Karena orang yang mengantikan hanya melaksanakan peran kedua maka ia dinamakan khalifah
Dalam pandangan Islam, antara fungsi religius dan fungsi politik imam atau khalifah tidak dapat dipisahkan. Antara keduanya menpunyai hubungan timbak balik yang erat sekali. Dalam praktiknya, para khalifah didunia Islam mempunyai kapasitas sebagai pemimpin agama dan pemimpin politik sekaligus. Kenyataan ini kemudia melahirkan pandangan dikalangan pemukir modern bahwa Islam merupakan agama dan negara sekaligus, sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad Yusuf Musa ( al Islam din wa dawlah ). Barulah ketika kekhalifahan Turki Usmani melemah dan dihancurkan oleh Musthafa Kemal Attaturk (1924), timbul wacana pemisahan antara kekuasaan agama dan politik dalam dunia Islam. Attaturk melepaskan semua yang berbau agama dalam kehidupan Turki modern. Pandangan demikian juga terdapat pada Thaha Husain.
Arah kepemimpinan Islam (imamah atau khalifah) tersebut berelaku efektif dalam dunia Islam, maka umat Islam membutuhkan pendirian negara untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa negara dibutuhkan dalam Islam untuk merealisasikan wahyu-wahyu Allah, maka Islam memandang negara hanyalah merupakan alat, bukan tujuan itu sendiri. Karena merupakan alat, para ulama berbeda pendapat tentang landasan berdirinya negara Islam. Menutut al- Mawardi pendirian agama ini didasarkan pada ijma’ ulama, adalah fardhu kifayah. Pandangan ini didasarkan pada kenyatan sejarah al- khulafa’ al – Rasyidun dan khalifah –khalifah setelah mereka .Pandangan ini juga sejalan dengan kaidah yang menyatakan ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak sempurna kecuali melalui alat atau sarana, maka alat atau sarana itu juga hukumnya wajib ) Artinya menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib , sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan itu adalah negara , maka hukum mendirikan negara adalah fardhu kifayah.
Pandangan senada juga dianut oleh juris sunni lainnya, Al-Ghozali. Menurutnya agama adalah landasan bagi kehidupan manusia dan kekuasaan politik (negara ) adalah penjaganya. Keduanya mempunyai hubungan yang erat politik tanpa agama bisa hancur, sebaliknya agama tanpa kekuasan polotik atau negara merupakan penjaga bagi pelaksanaan agama. Karena itu, pembentukan negara bukanlah didararkan pada pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i.
Berbeda dengan dua pemikir Sunni diatas, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa pengatur kehidupan umat memang merupakan bagian kewajiban agama yang terpenting. Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa agama tidak bisa hidup tanpa negara. Ibnu Taimiyyah menolak ijma’ sebagai landasan kewajiban mendirikan negara. ia melakukan pendekatan sosiologis dalam hal ini. Menurutnya kemaslahatan manusia tidak akan tercipta kecuali hanya dalam suatu tatanan sosial di mana setiap orang saling bergantung pada yang lainnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan negara dan pemimpin yang akan mengatur kehidupan sosial tersebut. Jadi Ibnu Taimmiyyah, penegakan negara bukanlah salah satu asas atau dasar agama Islam, melainkan hanya kebutuhan praktis saja.
Kelompok Khowarij berpendapat hampir sama dengan pendapat Ibnu Taimmiyyah. Pendirian negara menurut mereka bukanlah didasarkan pada perintah syar’i. Pertimbangan mendirikan negara adalah kemaslahatan. Kalau menurut kemaslahatan dibutuhkan negara maka hal tersebut boleh dilakukan .tapi kalau tanpa negara sudah tercipta kemaslahatan, maka negara tidak dibutuhkan. Pendapat ini juga dianut oleh Mu’tazilah. Hanya saja Mu’tazilah menambahkan bahwa akallah yang menetapkan perlu tidaknya membentuk negara, maka umat Islam wajib mematuhinya.sebab kekuatan hukum akal sama dengan Nash. Dalam hal ini, berbeda dengan Khowarij yang terkesan sederhana dalam cara berfikirnya, kaum Mu’tazilah memberikan argumentasi teologis dan filosofis dalam menjelaskan landasan berdirinya negara.
Pemikir modern aktivis al- Ikhwan al-Muslimun, ‘Abd al Qodir ‘Audah, mengemukakan enam argumen tentang wajibnya mendirikan negara ini, yaitu:
1. Khilafah atau imamah merupakan sunnah fi’liyah Rosuluallah Saw. sebagaimana pendirian negara madinah.
2. Sebagian besar kewajiban syar’i tergantung pada adanya negara. kemaslahatan yang hendak diciptakan oleh Islam tidak akan terwujud tanpa sarananya. Jadi negara merupakan sarana untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan dalam kehidupan manusia.
3. Nash-nash al-Qur’an dan hadis Nabi sendiri mengisyaratkan tentang wajibnya mendirikn negara seperti dalm surat An- Nisa’ ayat 59 dan juga hadis Nabi.
4. Sesungguhnya Allah menjadikan umat Islam sebagai satu kesatuan meskipun berbeda bahasa ,suku bangsa, warna kulitnya.
5. Konsekwensi dari kesatuan politik ini adalah bahwa umat Islam harus memilih dan mematuhi pemimpin tertinggi.
Di samping itu ‘Audah juga mengemukakan argumentasi kewajiban mendirikan negara secara akal. Menurutnya mewujudkan pemerintah dalam masyakat Islam merupakan kebutuhan bagi masyarakat itu sendiri. Mereka membutuhkan negara untuk menciptakan kemaslahatan dan menghilangkan persengketaan.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa baik secara akal maupun syar’i mendirikan lembaga pemerintahan (negara) merupakan kewajiban umat Islam. Mendirikan lembaga pemerintahan itu sangat urgen, karna untuk mensejahterakan umat dari kemungkinan berebut kepentingan, mempersatukan mereka dalam upaya mewujutkan cita-cita bersama dalam kondisi sosial yang dinamis. Dan juga, negara merupakan alat bagi umat Islam untuk dapat melaksanakan ajaran-ajaran Islam sehingga tujuan syara’ menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudaratan dapat tercapai dalam masyarakat. Sedangkan sistem pemerintahan yang dianut harus berdasarkan syari’at Islam.

DAFTAR PUSTAKA

 Ahmad ibnu hambal, Al-musnad, II.
 As-Syaukani, Nailul-Authar.
 Abu Hasan al-Mawardi, Al-ahkam al sulthaniyyah.
 Muhammad Yusuf Musa, Nizham al- Hukum fi al- Islam.
 Ibnu Taimiyyah, Al- Siyasah al- Syari’yah.
Ibnu Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah al- Nabawiyah.
Lanjuuut..
 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger