Headlines News :
Logo Design by FlamingText.com

SA'ATUL AN

TARIKHUL AN

ARCHIVE

Tarjim

POST

Senin, 10 Mei 2010

Aliran Wahabi

ALIRAN WAHABI PENDAHULUAN بسم الله الرحمن الرحيم Segala puji bagi Allah SWT yang telah mengangkat kebenaran dan memberi pertolongan kepada para penegakNya. Dan yang telah menghancurkan kebatilan serta merendahkan para pelakunya. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi yang telah menerima kitab dari Tuhannya, dan menjadi perantara bagi orang yang mendambakan ampunannya, juga keluarga dan Sahabatnya yang telah mengikuti sunnah dan adabnya, dan yang telah mengganti kedudukannya dalam memperjuangkan agama setelah kewafatannya. Nabi SAW telah bersabda; ”Ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, seluruhnya masuk neraka kecuali satu golongan”. Maka nyatalah apa yang telah disabdakan oleh beliau.

Lanjuuut..

Sitem Perbankan

SISTIM PERBANKAN DI INDONESIA A. Pengertian Bank Sebelum membicarakan tentang peranan yang sebenarnya dari Bank dalam melaksanakan pembangunan, terlebih dahulu marilah kita mengenal tata perbankan yang kini berlaku di negara kita, sebagaimana digariskan dalam undang-undang N0.14 tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan. Menurut undang-undang tersebut yang dimaksudkan dengan “BANK” adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Sedang yang dimaksud dengan ‘LEMBAGA KEUANGAN” adalah semua badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan, menarik uang dan menyalurkannya ke dalam masyarakat.
Download Makalah Pendidikan : "Sistem perbankan Indonesia" Lengkap
Lanjuuut..

sistem Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah UUD 1945 pasal 33 menyatakan : “Perekonomian Indonesia disusun atas usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong royong”. Inti dari bunyi pasal tersebut adalah ekonomi yang mengutamakan keadilan, pemerataan, dan pertumbuhan sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perhatian serius terhadap posisi ekonomi mulia timbul beberapa tahun belakangan ini. Perhatian ini timbul dikalangan pemikir-pemikir ekonomi Indonesia.
Lanjuuut..

Riba

BAB I PENDAHULUAN Ajaran Islam telah menetapkan nilai-nilai yang membatasi dan sekaligus sebagai tolak ukur dalam pengembangan perekonomian dan perbankan secara tegas dan jelas, sehingga usaha ekonomi umat selalu selaras dengan nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Menurut pandangan Islam Allah SWT. menciptakan bumi beserta isinya hanya untuk umat manusia. tetapi dalam kesempatan ini saya akan membahas tentang fenomena riba dan bunga Bank,
Lanjuuut..

maslahat mursalah

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan zaman dari masa ke masa menuntut umat manusia untuk ikut mengembangkan pola pikirnya dalam hal apapun, terutama untuk kebaikan dan kemaslahatan kehidupan umat manusia. Demikian juga yang terjadi dalam dunia Islam, dari zaman ke zaman Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi'in sampai sekarang, sudah banyak sekali muncul pemikiran-pemikiran baru dan perkembangan dalam kajian Islam. dimana semuanya harus tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Pemikiran-pemikiran baru dalam penetapan hukum Islam juga banyak sekali muncul setelah wafatnya Rasulullah SAW, diantaranya adalah ijma' qiyas, ihtihsan, maslahah dan masih ada lagi lainnya. Dalam makalah ini yang akan dibahas adalah dalil maslahah mursalah, yaitu pembinaan (penetapan) hukum berdasarkan maslahat (kebaikan,kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara', baik ketentuan secara umum atau secara khusus. Dimana dalam penggunaannya sebagai dalil hukum masih banyak perbedaan pendapat. Oleh karena itu perlu adanya kajian yang lebih mendalam untuk mempelajari dan mengetahui maslahah mursalah sebagai dalil hukum dalam Islam. BAB II PEMBAHSAN A. Pengertian Melihat Mursalah Secara etimologis, kata maslahat berati suatu yang baik dan bermanfaat. Sedangkan secara istilah menurut Ibnu Taimiyah bahwa yang dimaksud dengan maslahat ialah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara'. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa esensi maslahat itu ialah terciptanya kebaikan dan manfaat dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang bisa merusaknya. Namun demikian, kemaslahatan itu berkaitan dengan tatanan nilai kebaikan yang patut dan layak yang hendak diwujudkan oleh kedatangan syari'at Islam, disamping adanya nash-nash syara' dan dasar-dasarnya yang menyuruh untuk memperhatikan maslahat tersebut untuk semua aspek kehidupan, tetapi syara' tidak menentukan satu-persatu maslahat tersebut maupun macam keseluruhannya. Oleh karena itu maslahat tersebut dinamai "mursal" artinya terlapas dengan tidak terbatas. Akan tetapi jika suatu maslahat telah ada ketentuannya dari syara' yang menunjuk kepadanya secara khusus, seperti penulisan qur'an karena dikhawatirkan tersia-sia, atau seperti pemberantas buta huruf, atau ada nas umum yang menunjukkan macamnya maslahat yang harus dipertimbangkan, seperti wajibnya mencari dan mengamalkan ilmu pengetahuan pada umumnya, maka maslahat- maslahat tersebut tidak lagi disebut maslahat mursalah, dan penetapan hukumnya didasarkan atas nas, bukas didasarkan atas aturan maslahat mursalah. B. Pembagian Maslahat 1. Maslahat dari segi tingkatannya Yang dimaksud dengan maslahat dari segi tingkatannya ialah berkaitan dengan kepentingan yang menjadi hajat hidup manusia, maslahat ini dibedakan kepada tiga macam : a. Maslahat Daruriyah (المصالح الضرورية ) Ialah kemalahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia, baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika ia luput dari kehidupan manusia maka mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Yang termasuk dalam lingkup maslahat dharuriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta yang merupakan maslahat paling asasi yang harus dipelihara dan dilindungi. b. Maslahat Hajiyat (المصالح الحاجية ) Ialah persoalan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. Diantaranya ketentuan hukum yang disyariatkan untuk meringankan dan memudahkan kepentingan manusia ialah semua keringanan yang di bawah oleh ajaran Islam, seperti boleh berbuka puasa bagi musafir dan orang-orang yang sedang sakit, mengqasar shalat ketika dalam perjalanan. c. Maslahat Tahsiniyah/Takmiliyah (المصالح التحسنية ) Ialah maslahat yang sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya tidak diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kerusakan. Misalnya seperti dalam urusan ibadat Allah telah mensyariatkan berbagai bentuk kesucian, menutup aurat dan berpakaian yang indah, dan dalam hadits Nabi diajarkan untuk memakai harum-haruman, adab dan tatacara cara makan minum. 2. Maslahat dilihat dari segi Eksistensinya. Para ulama ushul membagi maslahat dari segi eksistensi atau wujudnya kepada tiga macam : a. Maslahat Mu'tabarah ( المصالح المعتبرة ) Ialah kemaslahatan yang terdapat nas secara tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya, dengan kata lain kemaslahatan yang diakhui oleh syara' dan terdapat alilnya yang jelas untuk memelihara dan melindunginya. Yang termasuk kedalam maslahat ini ialah semua kemaslahatan yang diseutkan dan dijelaskan oleh nash, seperti memelihara agamam jiwa, keturtunan dan harta benda. b. Maslahat Mulgah (المصالح المغاة ) Ialah maslahat yang berlawanan dengan ketentuan nash, dengan kata lain, maslahat yang bertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas. Contoh yang sering dirujuk dan ditampilkan ulama fiqih ialah menyamakan pembagian harta warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya, walaupun terlihat ada kemaslahatannya, tetapi berlawanan dengan dalil nash yang jelan dan rinci. Disebutkan dalam Al-Qur’an : يوصيكم الله فى اولادكم للذكر مثل حظ الانثيين "Allah telah menetapkan bagi kamu (tentang pembagian warisan) untuk anak-anak kamu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua anak perempuan." (QS. An-Nisa': 11) c. Maslahat Mursalah (المصالح المرسلة ) Ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya. Dengan demikian maslahat mursalah ini meruapakn maslahat yang sejalan dengan tujuan syara' yang dapat dijadikan pijakan dalam mewujudkan kenyataan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia . diakui hanya dalam kenyataannya jenis maslahat yang disebut terakhir ini terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Islam yang dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat. C. Syarat-Syarat Maslahat Mursalah Zaky al-Din Sya'ban menyebutkan tiga syarat yang harus diperhatikan bila menggunakan maslahat mursalah dalam menetapkan hukum. Ketiga syarat itu adalah sebagai berikut : 1. Kemaslahatan itu hendaknya kemaslahatan yang memang tidak terdapat dalil yang menolaknya. Hakikat maslahat mursalah itu sama sekali tidak ada dalil dalam nash, baik yang menolak maupun yang mengakuinya, tetapi terdapat kemaslahatan yang dihajatkan oleh manusia yang keberadaannya sejalan dengan hukum syara'. 2. Maslahat mursalah itu hendaknya maslahat yang dapat dipastikan bukan hal yang samar-samar atau perkiraan dan rekayasa saja (wahamiah/angan-angan). Misalnya kemaslahatan yang masih diimpikan dalam hal mencabut hak suami untuk menceraikan istrinya. Hak menceraikan ini diserahkan saja pada hakim. 3. Maslahat mursalah hendaknya maslahat yang bersifat umum, yakni kemaslahatan yang terkait dengan kepentingan orang banyak. Dari tiga syarat yang telah diuraikan di atas, ternyata ada yang menambahkan syarat lainnya lagi, yaitu bahwa maslahat mursalah itu hendaknya kemaslahatan yang logis dan cocok dengan akal. D. Kedudukan Maslahat Mursalah Dan Kehujjahannya Terdapat perbedaan pendapat dikalangan madzhab ushul fiqh tentang kedudukan maslahat mursalah dan kehujjahannya dalam hukum Islam, baik yang menerima maupun yang menolaknya. 1. Kelompok pertama mengatakan bahwa maslahat mursalah adalah salah satu dari sumber hukum dan sekaligus hujjah syari'ah. Pendapat ini dianut oleh madzhab Maliki dan Imam Ahmad Ibnu Hambal. Adapun yang menjadi alasan dan argumentasinya adalah : • Bahwa para sahabat telah menghimpun Al-Qur’an dalam satu mushaf, dan ini dilakukan karena khawatir Al-Qur’an bisa hilang. Hal ini tidak ada pada masa Nabi dan tidak ada pula larangannya, itu dilakukan semata-mata demi kemaslahatan. Dan dalam praktiknya para sahabat telah menggunakan maslahat mursalah yang sama sekali tidak ditemukan satu dalil pun yang melarang atau menyuruhnya. • Sesungguhnya para sahabat telah menggunakan maslahat mursalah sesuai dengan tujuan syara', maka harus diamalkan sesuai dengan tujuan itu, oleh karena itu, berpegang kepada maslahat merupakan kewajiban sebab ia merupakan salah satu pegangan pokok yang berdiri sendiri, tidak keluar dari pokok-pokok pegangan yang lain. • Bahwa sesungguhnya pensyaratan hukum adalah untuk merealisir kemaslahatan dan hendak timbulnya kerusakan dalam kehidupan manusia. dan tidak dapat diragukan lagi bahwa kemaslahatan iu terus berkembang dengan perkembangan zaman dan akan terus berubah dengan perubahan situasi dan lingkungan. Jika kemaslahatan itu tidak dicermati dan direspon dengan sesuai, maka kemaslahatan itu akan hilang dari kehidupan manusia serta akan berhentilah pertumbuhan hukum. 2. Kelompok yang menolak maslahat mursalah sebagai hujjah syari'ah kelompok kedua ini berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak dapat diterima sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah madzhab Hanafi, Syafi'i dan madzhab Zahiriyah. Adapun yang menjadi dasar penolakannya adalah : a. Bahwa Allah (syar'i) menolak sebagian maslahat dan mengakui sebagian yang lainnya, sementara maslahat mursalah adalah hal yang meragukan. Sebab boleh jadi maslahat mursalah ditolak atau diakhui kebenarannya oleh syar'i. b. Sesungguhnya menggunakan maslahat mursalah dalam penetapan hukum adalah menempuh jalan berdasarkan hawa nafsu dan hal seperti ini tidak dibolehkan. c. Bahwa menggunakan maslahat mursalah berat akan menimbulkan perbedaan hukum karena perbedaan zaman dan lingkungan. Sesungguhnya kamaslahatan itu, sebagaimana kita saksikan, akan selalu berubah dengan terjadinya perubahan zaman dan situasi. Tentu hal ini akan menghilangkan fungsi keumuman syari'at dan nilainya yang berlaku setiap zaman dan tempat. BAB III KESIMPULAN Maslahat mursalah merupakan salah satu dasar tasyri' yang penting yang memungkinkan untuk melahirkan nilai-nilai kebaikan jika para ahli mampu mencermatinya secara tajam dalam kaitannya dengan ilmu syari'at. begitu pula dengan cara ini para penguasa yang mengendalikan urusan umat dapat menata kehidupan. Mereka dengan jiwa syari'at serta menjadikan maslahat mursalah itu sebagai dasar kaidah umum dalam mengatur kepentingan bersama. Disamping itu, dengan munculnya persoalan baru dan semakin luasnya cakupan kebutuhan manusia, sementara para ulama dan ahli tidak menemukan dalil secara khusus, baik dari nash Al-Qur’an dan sunnah, Ijma' dan qiyas, maka jalan yang ditempuh ialah dengan melihat substansi persoalan baru yang muncul itu dan mencari nilai-nilai manfaatnya bagi kehidupan manusia yang sejalan dengan tujuan syari'at. Disadari sepenuhnya bahwa tujuan pensyariatan hukum tidak lain adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi manusia dalam segala segi dan aspek kehidupan. Dengan kata lain setiap ketentuan hukum yang telah digariskan oleh syar'i adalah bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia. DAFTAR PUSTAKA 1. Romli, SA, M.Ag., Drs., Muqarana Mazahib fil Ushul, Gaya Media Pratama, Jakarta : 1998 2. Hanafi, MA., Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta : 1991 3. Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Rineka Cipta, Bandung : 1991.
Lanjuuut..

ihtihsab Ijtihad

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menghadapi dan menyikapi berbagai macam persoalan hidup, kita sebagai umat Islam yang mempunyai syari'at, sudah sepatutnya bertindak refrenshif dengan sumber-sumber yang ada sebagai legitimasi dalam perumusan konsekwensi hukum yang ditimbulkan. Tentunya tidak semua kita dapat diberikan otoritas kedalamnya. Hanya orang-orang yang telah memiliki persyaratan potensial (mujtahid/ mustambith/mustadlil) yang diberikan kelegalan dalam melakukan prosesi penggalian hukum tersebut (ijtihad) Disamping itu, obyek posesi ijtihad berorientasi kepada sumber-sumber hukum, seperti Al-Qur’an, as-Sunnah dan pendukung yang lainnya. Sumber-sumber tersebut pada perkembangannya ada yang mengalami kontraversi, sumber hukum seperti Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma' dan Qiyas merupakan sumber hukum yang sah dan termufakat kelegalannya oleh sumber hukum itu sendiri, sehingga tidak ada kontroversi sedikitpun yang disebutkan sebelumnya mengalami pro dan kontra oleh para ulama' untuk menjadikan sumber hukum atau bahan rujukan dalam mencari konsekuensi hukum suatu permasalahan. Namun, hal ini tidaklah menjadi kontra yang sebegitu kentalnya hingga tidak diberikan kesempatan sama sekali untuk digunakan. Meskipun sumber-sumber tersebut menjadi sebuah pendekatan alternatif dari sumber-sumber hukum yang utama, yang dalam konteks kekinian yang bersifat suniyah. Bahasan ini, akan mengemukakan sebuah sumber-sumber hukum (yang menurut hemat pemakalah dapat dikatakan sebagai p endekatan hukum alternatif) yang menjadi tumpuhan terakhir bagi para ulama' untuk mengetahui hukum suatu peristiwa. Sumber itu biasa disebut istishab. Bahasan ini disesuaikan dengan penyampaian dari materi qawaid. B. Rumusan Masalah Dalam bahasan ini, akan ditampilkan beberapa rumusan yang menjadi acuan konsentrasi materi yang akan dibahas. Rumusan dimaksudkan agar lebih fokus dan tidak panjang lebar sehingga menghilangkan bahasan utama. Rumusan itu ialah : 1. Definisi istishhab 2. Kehujjahan istishhab sebagai pendekatan hukum. Dua rumusan ini, sekaligus menjadi batasan bagi bahasan ini dalam konsentrasinya sebagaimana umumnya dalam literatur-literatur tentang topik ini. BAB II PEMBAHASAN A. Pendefinisian Istishhab dan Pembagiannya Dalam literatur dan khazanah keilmuan ushul fiqih istirahat merupakan dalil sumber hukum alternatif dan paling sedikit mengalami kontroversi dikalangan madzhab mu'tabar menurut bahasa Arab, istishhab diartikan "ebagai "mengakui adanya hubungan perkawinan". Sedangkan menurut istilah ushuliyah, istishhab telah menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dengan kata lain, istishhab merupakan sebuah proses menjadikan suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang menubah bantuan hukum itu. Oleh karena itu ia bersifat alternatif dan sebagai rujukan terakhir berfatwa. Dalil sumber ini terlegitimasi dengan sebuah kaidah kullliyah. : الاصل بقاء ما كان على ما كان Dan ما ثبت بزمان يحكم ببقائه Sebagai contoh istishhab ialah : si-A mengawini si-B secara sah. Namun, karena suatu hal si-A meninggalkan istrinya selama 5 tahun + tanpa proses talak, kemudian datang si-C berkeinginan mengawinisi B, yang oleh kenyataan dianggap tidak bersuami. Perkawinan antara keduanya tidak boleh dilangsungkan, sebab si-B menurut ketentuan hukum yang berlaku masih dalam status istri si-A. ketentuan hukum tersebut baru dapat berubah setelah ada keputusan pengadilan bahwa si-B benar-benar telah di cerai oleh suaminya (si-A). Berdasarkan contoh di atas, maka istishhab bukan bermaksud menetapkan hukum yang baru tapi hanya melanjutkan hukum yang telah ada, bahkan para ulama madzhab Hanafi menyatakan bahwa istishhab hanya digunakan untuk menolak akibat hykum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda dengan penetapan hukum semula. Istishhab dapat dibagi menjadi 2 komponen, yaitu : a. Istishhab kepada hukum yang berada dalam kondisi mubah (boleh), atau dengan istilah "Sesuatu yang murni menurut aslinya" contoh : setiap makanan dan minuman yang tidak ditunjuk oleh dalil tentang keharamannya adalah mubah, sebab Allah SWT menciptakan segala sesuatuyang ada dimuka bumi ini untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia, ini dekat dengan sebuah kaidah : الاصل فى اشياء الاباحة b. Istishhab kepada hukum syara' yang sudah ada ketentuan hukumnya, namun belum ada dalil yang mengubahnya, contoh : jika seseorang telah berwudlu, kemudian ragu tentang wudhunya, sedangkan dalam keraguan itu dia yakin bahwa wudhunya tidak batal, maka secara istishhab dia masih dianggap sebagai orang yang punya wudhu, ini dekat dengan sebuah kaidah : القياس لا يزال بالساك B. Kehujjahan Istishhab Istishhab merupakan pendekatan dari ketantuan hukum yang bersifat alternatif. Artinya dijadikan ketentuan dalil yang berikut bahkan terakhir setelah penggalian berdasarkan sumber-sumber hukum yang mempunyai legalitas utama. Hal seperti ini telah menjadi teori dan wacana dalam prosesi ia sebagai sumber pengambilam dalil hukum yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam segala pengelolaan dan ketetapannya. Maka barang siapa mengetahui seorang manusia yang hidup, maka dihukumi atas hidupnya, dan disadarkanlah pengelolaannya atas kehidupan ini, hingga terhadap dalil yang melanjutkan atas putusannya. Maka dengan ini telah berjalan yang namanya hukum setiap pemilikan yang tetap kepada manusia siapa saja karena sebab dari beberapa sebab kepemilikan. Maka pemilikan itu dianggap ada sampai ada ketetapan menghilangkan kepemilikan itu. Kehalalan yang sudah ada bagi suami istri sebab akad nikah, dianggap ada, sampai ketetapan yang menghapus kehalalan itu, tanggungan yang tetap berlangsung sebab utang piutang atau sebab ketetapan apa saja, dianggap tetap ada, sampai ada ketetapan yang membebaskan dirinya. Jadi, asal sesuatu keadaan semula, sampai terdapat sesuatu yang mengubahnya. Istishhab sendiri dianggap atau terkategorikan sebagai dalil hukum di karenakan sebagai dalil hukum dikarenakan dalil itu pada hakikatnya adalah dalil yang telah menetapkan hukum tersebut dan tidaklah istishhab itu kecuali hanya menetapkan dalalah/petunjuk dalil ini kepada hukumnya. Sebagian ulama' telah menetapkan bahwa istishhab itu adalah hujjah untuk mempertahankan bentuk bukan penetapan yang dimaksudkan. Ia ialah hujjah atas ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula, dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda dengannya, hingga terdapat dalil yang menetapkan atas perbedaannya. Ia bukan hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Sebagaimana tentang ketetapan orang yang hilang/ghaib baik tidak diketahui tempat tinggal, hidupnya maupun matinya. Maka ghaib/ status hilang tersebut dihukumi sebagai status yang hidup lantaran menetapkan keadaan semulanya, hingga terdapat petunjuk tentang kejelasan statis si ghaib itu. Peran istishhab disini menunjukkan atas hidupnya orang ghaib tersebut. Dan hal inilah membuat istishhab sebagai hujjah yang dengan itu menolak dugaan kemanfaatannya, mewarisi harta bendanya dan keterceraian istri. Pada akhirnya, kehujjahan ini bersifat permanen, namun juga bersifat abadi, maka oleh karena itu ia dianggap sebagai dalil hukum alternatif dalam implementasi pencarian konsekuensi hukum. BAB III P E N U T U P A. Kesimpulan 1. Bahwa istishhab merupakan sebuah dalil hukum alternatif yang dapat dijadikan hujjah. Ia perproses untuk menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, hingga ada dalil yang mengubah ketentuan hukum tersebut. 2. Bahwa istishhab berstatus mubah (boleh) untuk dijadikan sebagai hujjah, pengkategoriannya sebagai dalil sumber hukum dikarenakan dalil itu pada hakikatnya adalah dalil yang telah menetapkan hukum tersebut terhadap suatu peristiwa, dan tidaklah istishhab itu kecuali hanya menetapkan petunjuk (dalam dalil ini kepada hukumnya) B. Daftar Pustaka 1. Khallaf, Abd. Wahab, Ilmu Ushul Al-Fiqh (alih Bahasa : Noer Iskandar), Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000. 2. Syihab, Umar, Prof, Dr., Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Semarang : Dian Utama, 1996.
Lanjuuut..

Aliran Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teori ekonomi pertama lahir karena adanya kenyataan yang dialmi manusia selama hidupnya dan diketahui dari semulanya, tetapi baru kemudian masuk kedalam keinsyafan ilmiah. Ekonomi sebagai ilmu bertugas mengumpulkan, mengklasifir serta mensistimatisir pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa ekonomi, oleh karena itu alian-aliran ekonomi mencoba menemukan sebab-sebab pertumbuhan pendapatan nasional dan proses pertumbuhannya. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Pemikir aliran-aliran pada masa lalu ? 2. Ada berapa aliran dalam ilmu ekonomi ? 3. Faktor-faktor apa yang menjadi kendala bagi aliran-aliran ?
Download Makalah Pendidikan : "Ekonomi Islam" Lengkap
Lanjuuut..
 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger