Headlines News :
Logo Design by FlamingText.com

SA'ATUL AN

TARIKHUL AN

ARCHIVE

Tarjim

POST

Minggu, 04 April 2010

Ibnu Arabi

BAB I
PENDAHULUAN

Sedikit sekali tokoh spiritual muslim yang begitu terkenal di Barat salah satunya Ibnu Arabi. Dalam dunia Islam sendiri tampaknya tak ada seorang tokoh-pun yang memiliki pengaruh luas dan begitu dalam terhadap kehidupan intelektual masyarakatnya selama lebih dari tujuh ratus tahun, dia dikenal oleh para muridnya dengan sebutan Al-Syaikh al-Akbar (maha guru). Sebagian mereka yang menemukan kesulitan dalam mempelajari karya-karyanya ada yang menolak gelar itu, namun bagaimanapun juga mereka tetap mengakui kebesarannya.
Salah satu sisi yang paling menakjubkan dari perjalanan beliau adalah hasil karyanya. Usman Yahya dalam dua volumenya tentang sejarah dan karya Ibnu Arabi menyatakan, bahwa Ibnu Arabi menulis 700 buku risalah dan kumpulan puisi yang berjumlah lebih dari 400 buah.
Karya-karya beliau yang terkenal banyak dipakai oleh umat Islam sebagai pijakan dan referensi, diantaranya adalah Futuhat al-Makkiyah. Dan ajarannya yang terkenal adalah Wahdatul al-Wujud, untuk keterangan lebih lanjut akan dibahas dalam bab berikutnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Arabi
Nama lengkap beliau adalah Muhyiddin Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah Ath-Tha’i al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia, Spanyol, pada 17 Ramadhan 560 H / 28 Juli 1165 dan wafat pada 28 Rabiul Awal 638 H / 16 Nopember 1240. Beliau berasal dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuwan. Namanya disebut tanpa “Al” untuk membedakan dengan Abu Bakar Al-Arabi seorang qodhi dari Sevilla yang wafat 543.
Pada masa kecilnya ia diajar oleh dua wanita suci yaitu Yasmin dari Marcena dan Fatima dari Cordova. Ketika ia berumur 8 tahun keluarganya pindah ke Sevilla, tempat Ibnu Arabi kecil mulai belajar Al-Qur'an dan Fiqh. Karena kecerdasannya yang luar biasa, pada usia belasan tahun ia pernah menjadi sekretaris (katib) beberapa gubernur di Sevilla. Di kota ini pula ia berkenalan dengan Ibnu Rusyd, yang menjadi qodhi di Sevilla dan berguru kepadanya.
Setelah usianya menginjak 30 tahun, Ibnu Arabi mulai berkelana untuk menuntut ilmu. Mula-mula ia mendatangi pusat-pusat ilmu pengetahuan Islam di semenanjung Andalusia kemudian ia pergi ke Tunis untuk menemani Abdul Aziz al-Mahdawi (seorang ahli tasawuf). Pada tahun 594 H / 1198 M ia pergi ke Fez, Maroko. Di tahun berikutnya ia kembali ke Cordova dan sempat menghadiri pemakaman gurunya Ibnu Rusyd, kemudian ia pergi ke Almeira.

Tahun 598 H / 1202 M, Ibnu Arabi pergi lagi ke Tunis, Kairo, Yerussalem dan Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ketika berada di Tunis, Ibnu Arabi sempat mempelajari kitab Khal’u an-Nailami karya Abdul Qasim bin Qisyi yang kemudian disyarah (diberi uraian penjelasan tertulis) olehnya.
Menurut pengakuan Ibnu Arabi, keberangkatannya ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji berdasarkan ilham yang diterimanya dari Allah SWT. Ia tinggal di Makkah selama 2 tahun. Hari-hari kehidupannya di Makkah diisi dengan kegiatan tasawuf, membaca Al-Qur'an dan iktikaf (menciptakan suasana kerohanian yang syahdu, membuat adanya kontak antara dia dan yang ghaib).
Pada 612 H / 1215 M, Ibnu Arabi pergi lagi ke Malatya dan bermukim sampai 618 H / 1221 M. Di sini ia sempat menikah dengan janda bernama Majiduddin Ishaq dan mempunyai anak yang bernama Sa’addin Muhammad (618 H ./ 1221 M). Ibnu Arabi pernah disebut beberapa kali menikah dan mempunyai beberapa anak, tetapi anaknya yang dikenal dalam sejarah hanya Sa’addin Muhammad dan Imaddin Abu Abdullah (wafat di Damaskus, 667H/ 1269 M).

B. Ajaran Ibnu Arabi
Adalah Wahdat al-Wujud, yaitu ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan atau dalam bahasa Inggris unity existence. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu wahdat digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan ruh, substansi (hakikat) dan format (bentuk) antara yang nampak (dzahir) dan yang batin, antara alam dengan Allah karena alam pada hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
Pengertian wahdat al-wujud yang terakhir itulah yang digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah kesatuan wujud. Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek yaitu aspek luar yang disebut al-Khalq (makhluk), al-‘Arad (acciden-kenyataan luar), zahir (luar, nampak), dan aspek dalam yang disebut al-Khaq (Tuhan) al-Jauhar (subtance-hakikat) dan al-Batin (dalam).
Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan wujud makhluk adalah wujud khalik juga. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan antara keduanya, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indera lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat semua yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu terhimpun padanya. Hal itu tersimpul dalam ucapan Ibnu Arabi berikut :

Artinya : Maha suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu.

Atau ucapan Ibnu Arabi yang lain yaitu :

Artinya : Wahai yang menjadikan segala sesuatu pada dirinya. Engkau bagi apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang Engkau jadikan, barang yang tak henti adanya pada Engkau, maka Engkaulah yang sempit dan yang lapang.

Menurut Ibnu Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat alam, tidak ada perbedaan antara wujud yang qodim yang disebut khalik dengan wujud yang hadits yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (yang menyembah) dengan ma’bud (yang disembah) adalah satu. Untuk itu Ibnu Arabi mengemukakan lewat syairnya :

Artinya :
Hamba adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba
Demi syu’ur (perasaanku) siapa yang mukallaf ?
Jika engkau katakan hamba, padahal (pada hakikatnya) Tuhan juga
Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif ?

Dalam bentuk lain dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh khalik (Tuhan) dan wujudnya tergantung pada wujud Tuhan sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan, yang berwujud selain Tuhan tidak akan mempunyai wujud, seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu Tuhan yang sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Dengan demikian wujud hanya satu yaitu wujud Tuhan.
Selanjutnya Ibnu Arabi menjelaskan, hubungan antara Tuhan dengan alam menurutnya alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu alam merupakan alam ajali (penampakan) Tuhan.
Menurut Ibnu Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini Ia juga memberikan sifat-sifat Tuhan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan juga seperti badan yang tidak bernyawa, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan kata lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dan asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam sifat dan asmanya kehilangan maknanya dan senantiasa berbentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarradan (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
Dalam Fushush al-Hikam, Ibnu Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan syairnya :


Artinya : Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi anda memperbanyak cermin, Ia pun menjadi banyak.

Untuk memperkuat pendiriannya itu Ibnu Arabi merujuk sebuah hadits qudsi yang berbunyi :

Artinya : Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal maka Kuciptakan makhluk, lalu dengan itulah mereka mengenal Aku.


C. Karya-karya Ibnu Arabi
Diantara karya-karya Ibnu Arabi adalah :
1. Fushush al-Hikam
2. Futuhat al-Makkiyah
3. Al-Isra’
4. Mawaqi’ an-Nujum
5. Risalah al-Anwar
Diantara karya-karya itu masih banyak lagi karangan Ibnu Arabi yang lain.

BAB III
PENUTUP

Salah satu tokoh sufi yang terkenal adalah Muhyiddin Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’i al-Haitami atau biasa disebut atau dikenal dengan Ibnu Arabi. Ia selalu berkelana untuk menuntut ilmu dan banyak mengarang kitab-kitab yang terkenal, seperti Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam.
Ajaran beliau yang terkenal adalah Wahdat al-Wujud yang artinya kesatuan wujud, dimana pada hakikatnya makhluk dan khalik adalah satu, tidak ada perbedaan antara keduanya dalam segi hakikat.
Demikian sedikit uraian yang bisa kami sampaikan, semoga bermanfaat, Amiin.

DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Rosihan, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2004
Abudinata, Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo, Jakarta, 2002
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam 2, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2001.
Mustofa, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 1997
Lanjuuut..

Qiyas 22

BAB I
PENDAHULUAN

lmu ushul fikih menurut istilah syara’ adalah pengetahuan tantang kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hokum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau, kumpulan kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hokum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Berdasarkan penelitian, para ulama telah menetapkan dalil yang dapat diambil sebagai hokum syariat yang sebangsa perbuatan itu ada empat, Al-Qur’an, Al-Sunnah, Al-Ijma,’, dan Al-qiyas. Dan bahwa sumber pokok dalil-dalil tersebut serta sumber huum syariat adalah Al-Qr’an kemudian Al-Snnnah sebagai penjelas atas keglobalan Al-Qur’an, pembatas keumumannya, pengikat kebebasannya dan sebagai penerang serta penyempurna.




BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN QIYAS
Menurut bahasa, qiyas artinya ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Dengan demikian,qiyas diartikan mengukurkan sesuatu atas yamg lain, agar diketahui persamaan antara keduanya.
Sedangkan secara terminologi adalah, menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab sama dalam illat hukumnya.

B. MACAM-MACAM QIYAS
1. Qiyas Aulia, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakannya (mulhaq bih).
Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ ah “ kepadanya, yang tersebut dalam firman Allah SWT.

        •  •                 

23. Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.


Mengatakan “ ah “ kepada ibu bapak dilarang karena illat-nya ialah menyakitkan hati. Oleh karena itu, memukul kedua ibu bapak tentu lebih dilarang, sebab di samping menyakitkan hati juga menyakitkan jasmaninya. Illat larangan yang terdapat pada mulhaq ( yang disamakan) lebih berat dari pada yang terdapat pada mulhaq bih. Dengan demikian, larangan memukul kedua orang tua lebih keras dari pada larangan mengatakan “ ah “ kepadanya.

2. Qiyas MuSAW.i, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaq-nya sama dengan illat hukum terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama-sama merusak harta. Sedang makan harta anak yatim diharamkan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT.

              

10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Maka merusak harta anak yatim adalah haram. Keharamannya karena diqiyaskan pada memakan harta anak yatim.

3. Qiyas Dalalah, yaitu suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah. Dalam masalah ini, Abu Hanifah berpendapat lain. Bahwa harta benda anak yang belum dewasa tidak wajib di zakati lantaran diqiyaskan dengan haji. Sebab, menunaikan ibadah haji itu tidak wajib bagi anak yang belum dewasa (mukallaf).


C. ILLAT DAN BENTUK-BENTUKNYA

1. Pengertian Illat
Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan merupakan unsur yang terpenting, karena adanya illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat diterangkan kepada yang lain.

Pada dasarnya, hukum-hukum yang ditetapkan oleh suatu nash mengandung maksud tertentu. Sehinnga bila seseorang melaksanakan hukum tersebut, maka apa yang dituju dengan ketetapan hukum itu akan tercapai. Tujuan hukum itu dapat dicari dan diketahui dari teks atau nash yang menetapkannya, yakni melalui sifat atau hal yang menyertai hukum itu. Dari sifat yang menyertai hukum itu diketahui illat hukumnya.

2. Bentuk-Bentuk Illat
Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum. Ada beberapa bentuk sifat yang mungkin menjadi illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antara bentuk sifat itu adalah :

a. Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada ‘urf (kebiasaan) atau lainnya. Contohnya : sifat memabukkan pada minuman keras.

b. Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera. Contohnya : pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan, pencurian yang menyebabakan hukum potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan, seperti senang atau benci.

c. Sifat ‘urf, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya : buruk dan baik, mulia dan hina.

d. Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam artian bahasa. contohnya : diharamkannya nabiz karena ia bernama khamar.

e. Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum. Contohnya : menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual.

f. Sifat murakkah, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya : sifat pembunuhan secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan alasan berlakunya hukum qishash.
Lanjuuut..

Ulumul Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

Yang dimksud dengan pengumpulan al qur’an oleh para ulama’ adalah salah satu dari dua pengertian yaitu. Pertama, pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Dan yang kedua, pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan qur’an semua), baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya.



Download Makalah Pendidikan : "Ulumul Qur'an" Lengkap





Lanjuuut..
 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger