Headlines News :
Logo Design by FlamingText.com

SA'ATUL AN

TARIKHUL AN

ARCHIVE

Tarjim

POST

Sabtu, 17 April 2010

peradaban pra islam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Penyelidikan mengenai sejarah peradaban manusia dan dari mana pula asal-usulnya, sebenarnya masih ada hubungannya dengan zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian masih menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah. Sarjana-sarjana ahli purbakala (arkelogi) kini kembali mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan Funisia serta menentukan zaman permulaan daripada kedua macam peradaban itu : adakah ia mendahului peradaban Mesir masa Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusun masa itu dan terpengaruh
Lanjuuut..

Bani Abbasiyah

BAB II
PEMBAHASAN


A. Periodesasi Masa Abbasiyah
Para sejarahwan mengklasifikasi periode Abbasiyah berbeda-beda. Al-Khudri, Guru Besar Ilmu Sejarah dari Universitas Mesir (Egyptian University) membagi ke dalam lima masa, yaitu:
1. Masa kuat-kuasa dan bekerja membangun, berjalan 100 tahun lamanya, dari 132 s.d. 232 H.;
2. Masa berkuasanya panglima-panglima Turki, berjalan 100 tahun lamanya, dari 232 s.d. 334 H.;
3. Masa berkuasanya Bani Buyah (Buwayhid), berjalan 100 tahun lamanya, dari 334 s.d. 447 H.;
4. Masa berkuasanya Bani Saljuk (Seljukiyak), berjalan 100 tahun lamanya, dari 447 s.d. 530 H.;
5. Masa gerak balik kekuasaan politik Khalifah-Khalifah Abbasiyah dengan merajalelanya para panglima perang, selama 125 tahun, dari 530 H. sampai musnahnya Abbasiyah di bawah serbuan Jengiz Khan dan putranya Hulagu Khan dari Tartar pada tahun 656 H.
Menurut B.G. Stryzewki membagi masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah menjadi lima periode, yaitu:
1. Periode pertama (132 H./750 M. s.d. 232 H./847 M.), disebut periode pengaruh Persia Pertama;
2. Periode kedua (232 H./847 M. s.d. 334 H./945 M.), disebut periode pengaruh Turki Pertama;
3. Periode ketiga (334 H./945 M. s.d. 447 H./1105 M.), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga pengaruh Persia Kedua;
4. Periode keempat (447 H./1105 M. s.d. 590 H./1195 M.), masa kekuasaan Dinasti Saljuk yang biasa disebut dengan masa pengaruh Turki Kedua;
5. Periode kelima (590 H./1194 M. s.d. 656 H./1258 M.), masa Khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di Baghdad.
Kedua pola periodesasi di atas, pada dasarnya sama dan tidak signifikan. Untuk memudahkan pembahasan, periode Abbasiyah dibagi menjadi empat tahap, yaitu pendirian, kemajuan, kemunduran, dan kehancuran.

B. Pendirian Bani Abbas (750-857 M. – 132-232 H.)
Babak ketiga dalam drama besar politik Islam dibuka oleh Abul Al-Abbas (750-754) yang berperan sebagai pelopor. Irak menjadi panggung besar drama itu. Dalam khotbah penobatannya, yang disampaikan setahun sebelumnya di masjid Kufah, Khalifah Abbasiyah pertama itu menyebut dirinya As-Saffih, penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya. Julukan itu merupakan pertanda buruk karena dinasti yang baru muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam menjalankan kebijaksanaannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, di sisi singgasana Khalifah tergelar karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. As-Saffah menjadi pendiri dinasti Arab Islam ketiga –setelah Khulafa Ur-Rasyidun dan Dinasti Umayah– yang sangat besar dan berusia lama. Dari 750 M. hingga 1258 M., penerus Abu Al-Abbas memegang pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa. Orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati keKhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi, yang menggantikan pemerintahan sekuler (mulk) Dinasti Umayah. Sebagai ciri khas keagamaan dalam istana kerajaannya, Khalifah dan pada Shalat Jum’at, Khalifah mengenakan jubah (burdah) yang pernah dikenakan oleh saudara sepupunya, Nabi Muhammad. Akan tetapi, masa pemerintahannya, begitu singkat. As-Saffah meninggal (754-775 M.) karena penyakit cacar air ketika berusia 30-an.
Saudara yang penerusnya, Abu Ja’far (754-775), yang mendapat julukan Al-Mansur adalah Khalifah terbesar Dinasti Abbasiyah. Meskipun bukan seorang muslim yang saleh, dialah sebenarnya, bukan As-Saffah, yang benar-benar membangun dinasti baru itu. Seluruh Khalifah yang berjumlah 35 orang berasal dari garis keturunannya.
Masa kejayaan Abbasiyah terletak pada Khalifah setelah As-Saffah. Penulis mengutip Philiph K. Hitty, bahwa masa keemasan (Golden Prime)Abbasiyah terletak pada 10 Khalifah. Hal berbeda dengan Badri Yatim, yang memasukkan 7 Khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyah, Jaih Mubarok memasukkan 8 Khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyah. Begitu pula, Harun Nasution, hanya memasukkan 6 Khalifah ke dalam katergori sebagai Khalifah yang memajukan Abbasiyah.
Kesepuluh Khalifah tersebut; As-Saffah (750); Al-Manshur (754); Al-Mahdi (775); Al-Hadi (785); Ar-Rasyid (786); Al-Amin (809); Al-Makmun (813); Al-Mu’tashim (833); Al-Watsiq (842); dan Al-Mutawakkil (847).
Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah didirikan. Ke_Khalifahan Baghdad yang didirikan oleh As-Saffah dan Al-Manshur mencapai masa keemasannya antara masa Khalifah ketiga, Al-Mahdi dan Khalifah kesembilan, Al-Watsiq, dan lebih khusus lagi pada masa Harun Ar-Rasyid dan anaknya, Al-Makmun. Karena kehebatan dua Khalifah itulah Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam. Diktum yang dikutip oleh seorang penulis antologi, Ats-Tsa’labi (w. 1038) bahwa dari para Khalifah Abbasiyah. “sang pembuka” adalah Al-Manshur, “sang penengah” adalah Al-Makmun, dan “sang penutup” adalah Al-Mu’tadhid (892-902) adalah benar.




C. Kemajuan Masa Abbasiyah
Masa ini adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat Islam sebagai pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek kehidupan:
a. Administratif pemerintahan dan biro-bironya;
b. Sistem organisasi militer;
c. Administrasi wilayah pemerintahan;
d. Pertanian, perdagangan, dan industri;
e. Islamisasi pemerintahan;
f. Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi, hostoriografi, filsafat Islam, teologi, hukum (fiqh), dan etika Islam, sastra, seni, dan penerjemahan;
g. Pendidikan, kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab), menengah, dan perguruan tinggi; perpustakaan dan toko buku, media tulis, seni rupa, seni musik, dan arsitek.
Rincian berbagai kemajuan tersebut dapat dilihat dari temuan Philip K. Hitti sebagai berikut.

1. Biro Pemerintahan Abbasiyah
Dalam menjalankan sistem teknis pemerintahan, Dinasti Abbasiyah memiliki kantor pengawas (dewan az-zimani) yang pertama kali diperkenalkan oleh Al-Mahdi; dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan at-tawqi) yang menangani semua surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan Khalifah; dewan penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan pos. Dewan penyelidik keluhan (dewan an-nazhar fi al-mazhalini) adalah sejenis pengadilan tingkat banding, atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang diputuskan secara keliru pada departemen administratif dan politik. Cikal bakal dewan ini dapat dilacak pada masa Dinasti Umayah, karena Al-Mawardi meriwayatkan bahwa Abd. Al-Malik adalah Khalifah pertama yang menyediakan satu hari khusus untuk mendengar secara langsung permohonan dan keluhan rakyatnya. Umar II meneruskan praktik tersebut. Praktek itu kemudian diperkenalkan oleh Al-Mahdi ke dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah, penggantinya Al-Hadi, Harun, Al-Makmun dan Khalifah selanjutnya menerima keluhan itu dalam sebuah dengar publik; Al-Muhtadi (869-870) adalah Khalifah terakhir yang memelihara kebiasaan tersebut. Raja Normandia, Roger II, (1130-1154) memperkenalkan lembaga tersebut ke Sisilia, yang kemudian mengakar di daratan Eropa.

2. Sistem Militer
Sistem militer terorganisasi dengan baik, berdisiplin tinggi, serta mendapat pelatihan dan pengajaran secara reguler. Pasukan pengawal Khalifah (hams) mungkin merupakan satu-satunya pasukan tetap yang masing-masing mengepalai sekelompok pasukan. Selain mereka ada juga pasukan bayaran dan sukarelawan, serta sejumlah pasukan dari berbagai suku dan distrik. Pasukan tetap (jund) yang bertugas aktif disebut murtaziqah (pasukan yang dibayar secara berskala oleh pemerintah). Unit pasukan lainnya disebut muta-thawwi’¬ah (sukarelawan), yang hanya menerima gaji ketika bertugas. Kelompok sukarelawan ini direkrut dari orang badui, petani, dan orang kota. Pasukan pengawal istana memperoleh bayaran lebih tinggi, bersenjata lengkap, dan berseragam. Pada masa-masa awal pemerintahan Khalifah Dinasti Abbasiyah, rata-rata gaji pasukan infanteri, disamping gaji dan santunan rutin sekitar 960 dirham pertahun, pasukan kalaveri menerima dua kali lipat dari itu.

3. Wilayah Pemerintahan
Pembagian wilayah kerajaan Umayah ke dalam provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur (tunggal amir atau ‘amil) sama dengan pola pemerintahan pada kekuasaan Byzantium dan Persia. Pembagian ini tidak mengalami perubahan berarti pada masa Dinasti Abbasiyah. Provinsi Dinasti Abbasiyah mengalami perubahan dari masa ke masa, dan klasifikasi politik juga tidak selalu terkait dengan klasifikasi geografis, seperti yang terekam dalam karya Al-Ishthakhri, Ibnu Hawqal, Ibn Al-Faqih, dan karya-karya sejenis. Berikut ini merupakan provinsi utama pada masa awal ke_Khalifahan Baghdad: 1) Afrika di sebelah barat Gurun Libya bersama dengan Sisilia; 2) Mesir; 3) Suriah dan Palestina, yang terkadang dipisahkan; 4) hijaz dan Yamamah (Arab tengah); 5) Yaman dan Arab Selatan; 6) Bahrain dan Oman; 7) Sawad atau Irak (Mesopotamia bawah), dengan kota utamanya setelah Baghdad, yaitu Kufah dan Wash; 8) Jazirah (yaitu kawasan Assyiria Kuno, bukan semenanjung Arab) dengan Ibukota Mosul; 9) Azerbaijan, dengan kota-kota besarnya, seperti Ardabil, Tibriz, dan Maraghah; 10) Jibal (perbukitan, Media Kuno), kemudian dikenal dengan Irak Ajami (iraknya orang Persia), dengan kota utamanya adalah Ramadan.

4. Perdagangan dan Industri
Sejak masa Khalifah kedua Abbasiyah, Al-Manshur, sumber Arab paling awal yang menyinggung tentang hubungan Maritim Arab dan Persia dengan India dan Cina berasal dari laporan perjalanan Sulaiman At-Tajir dan para pedagang Muslim lainnya pada abad ke-3 Hijriah. Tulang punggung perdagangan ini adalah sutra, kontribusi terbesar orang Cina kepada dunia barat. Biasanya jalur perdagangan yang disebut “jalan sutra”, menyusuri Samarkand dan Turkistan Cina, sebuah wilayah yang kini tidak banyak dilalui dibanding wilayah-wilayah dunia lainnya yang sudah dihuni dan berperadaban. Barang-barang dagangan biasanya diangkut secara estafet; hanya sedikit Khalifah yang menempuh sendiri perjalanan sejauh itu. Akan tetapi hubungan diplomatik telah dibangun sebelum orang Arab terjun ke dunia perdagangan, diriwayatkan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqas, penakluk Persia, menjadi duta yang dikirim Nabi ke Cina, “Makam” Sa’d masih bisa ditemukan di Kanton. Tulisan-tulisan tertentu pada Monumen Cina lama tentang agama Islam di Cina jelas merupakan tulisan palsu yang dibuat oleh para tokoh agama. Pada ke-8 telah dilakukan pertukaran duta. Dalam catatan Cina abad itu, kata amir al-mukiminin diucapkan dengan hami mo mo ni oleh Abu Al-Abbas, Khalifah dinasti Abbasiyah pertama, A bo lo ba; dan Harun, A lun. Pada masa Khalifah-Khalifah itu terdapat sejumlah orang Islam yang menetap di Cina. Pada mulanya, orang Islam itu dikenal dengan sebutan Ta syih dan kemudian Hui Hui (pengikut Muhammad). Di sebelah barat, para pedagang Islam telah mencapai Maroko dan Spanyol. Seribu tahun sebelum de Lesseps, Khalifah Harun mengemukakan gagasan tentang menggali kanal di sepanjang Its-mus di Suez. Namun perdagangan di Mediterania Arab tidak pernah mencapai kemajuan yang berarti. Laut Hitam juga tidak mendukung perdagangan Maritim, meskipun pada abad ke-10 telah dilakukan perdagangan singkat melaui jalur darat ke Utara dengan orang yang tinggal di kawasan Valda. Namun karena jaraknya yang dekat dengan pusat kota Persia dan kota-kota makmur di Samarkand dan Bukhara, laut Kaspia menjadi titik pertemuan dagang yang favorit. Para pedagang muslim membawa kurma, gula, kapas, dan kain wol juga peralatan dari baja dan gelas.
Pada masa Abbasiyah, orang-orang justru mampu mengimpor barang dagangan, seperti rempah-rempah, kapur harus, dan sutra dari kawasan Asia yang lebih jauh, juga mengimpor gading, kayu eboni, dan budak kulit hitam dari Afrika. Gambaran tentang jumlah keuntungan yang diperoleh Rothschild dan rockefeller pada abad tersebut mungkin juga telah diraih oleh seorang penjual permata dari Baghdad, Ibn Al-Jashshash, yang tetap kaya meskipun Al-Muqhtadhir telah menyita hartanya sebesar 16 juta dinar, dan menjadi keluarga pertama yang dikenal sebagai pengusaha permata. Para pengusaha dari Bashrah yang membawa daganganya dengan kapal laut ke berbagai negeri yang jauh, masing-masing membawa muatan bernilai lebih dari satu juta dirham. Seorang pemilik penggilingan di Bashrah dan Baghdad yang tidak berpendidikan mampu berderma untuk orang miskin sebesar seratus dinar per hari, dan kemudian diangkat oleh A-Mu’tashim menjadi wazirnya.
Tingkat aktifitas perdagangan semacam itu didukung pula oleh pengembangan industri rumah tangga dan pertanian yang maju. Industri kerajinan tangan menjamur di berbagai pelosok kerajaan. Daerah Asia barat menjadi pusat industri karpet, sutra, kapas dan kain wol, satin dan brokat (dibaj), sofa, dari bahasa Arab (suffah) dan kain pembungkus bantal, juga perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya. Mesin penganyam Persia dan Irak membuat karpet berkulitas tinggi. Ibu Al-Musta’in memiliki karpet yang dipesan khusus seharga 130 juta dirham dengan corak berbagai jenis burung dari emas yang dihiasi batu rubi dan batu-batuan indah lainnya. Sebuah pusat industri di Baghdad yang namanya diambil dari nama seorang pangeran Umayah, Attab memberi merek kainnya dengan nama ‘attabi yang pertama kali dibuat disana pada abad ke-12. Kain tersebut ditiru oleh pengrajin Arab di Spanyol, dan terkenal di Prancis, Italia dan negara Eropa lainnya dengan nama tabi. Istilah tersebut kemudian berubah menjadi tabby, yang merujuk pada seekor kucing yang unik dan berwarna. Kufah memproduksi kain sutra atau separuh sutra untuk penutup kepala yang masih digunakan hingga sekarang dengan nama kuftyah. Tawwaj, Fasa dan kota-kota lainnya di Paris memiliki sejumlah pabrik kelas satu yang membuat karpet, sulaman, brokat, dan gaun panjang untuk kalangan atas. Barang-barang semacam itu dikenal sebagai Thiraz (dari bahasa Persia) yang memuat nama atau kode sultan.

5. Perkembangan Bidang Pertanian
Bidang pertanian maju pesat pada awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah karena pusat pemerintahannya berada di daerah yang sangat subur, di tepian sungai yang dikenal dengan nama Swad. Pertanian merupakan sumber utama pemasukan negara dan pengolahan tanah hampir sepenuhnya dikerjakan oleh penduduk asli, yang statusnya mengalami peningkatan pada masa rezim baru. Lahan-lahan pertanian yang terlantar, dan desa-desa yang hancur di berbagai wilayah kerajaan diperbaiki dan dibangun kembali secara bertahap. Daerah rendah di daerah Tigris-Efrat, yang merupakan daerah terkaya setelah Mesir, dan dipandang sebagai surga Aden, mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat. Mereka membuka kembali saluran irigasi yang lama dari sungai Efrat, dan membuat saluran irigasi yang baru sehingga membentuk sebuah “jaringan yang sempurna”.
Ada 113 kanal besar pertama, yang disebut Nahr Isa setelah digali kembali oleh keluarga Al-Manshur, menghubungkan alirang sungai Efrat di Anbar sebelah barat laut dengan sungai Tigris di Baghdad. Salah satu cabang utama nahr Isa adalah Sharah. Kanal terbesar kedua adalah Nahr Sharshar yang bertemu dengan sungai Tigris di daerah Madain. Kanal ketiga adalah Nahr Al-Malik (“sungai raja”), yang tersmbung ke sungai Tigris di bawah Madain. Di bawah dua sungai itu terdapat Nahr Kutsa dan Sharah besar, yang mengairi sejumlah saluran. Kanal lainnya Dujayl (sungai yang lebih kecil dari Diljah, Tigris), yang awalnya menghubungkan Tigris dan Efrat, semakin dangkal pada abad ke-10, dan nama itu kemudian menjadi nama kanal baru berbentuk oval, yang merupakan cabang dari sungai Tigris di bawah Kadisiyah dan membuat beberapa cabang lain sebelum akhirnya bertemu kembali dengan sungai Tigris. Kanal lainnya yang kurang penting adalah Nahr Ash-Shilah yang di gali di wash oleh Al-Mahdi.
Para ahli geografi Arab menyebutkan beberapa Khalifah yang “menggali” atau “membuka” saluran, yang dalam kebanyakan kasus, sebenarnya hanya menggali dan membuka kembali kanal-kanal yang pernah ada sebelumnya sejak masa Babilonia. Di Irak dan Mesir, yang dilakukan adalah mengaktifkan kembali jaringan kanal lama. Bahkan, sebelum Perang Dunia Pertama, Sir William Willcock yang ditugaskan oleh pemerintah Utsmani untuk mengkaji persoalan irigasi di Irak, merekomendasikan untuk membuka lagi aliran sungai yang lama, dari pada membangun kanal-kanal yang baru.
Tanaman asli Irak terdiri atas gandum, padi, kurma, wijen, kapas, dan rami. Daerah yang sangat subur berada di bantaran tepian sungai ke selatan, Sawad, yang menumbuhkan berbagai jenis buah dan sayuran, yang tumbuh di daerah panas maupun dingin. Kacang, jeruk, terong, tebu, dan beragam bunga, seperti bunga mawar dan violet juga tumbuh subur.

6. Islamisasi Masyarakat
Sebanyak 5.000 orang Kristen Banu Tanukh di dekat Aleppo mengikuti perintah Khalifah Al-Mahdi untuk masuk Islam. Proses konversi secara normal berjalan lebih gradual, damai dan bersifat pasti. Kebanyakan konversi yang dilakukan oleh penduduk taklukan didorong oleh motif kepentingan individu, agar terhidar dari pajak dan sejumlah aturan lain yang membatasi, agar mendapat prestise sosial dan pengaruh politik, serta menikmati kebebasan yang lebih besar. Penduduk Persia baru beralih ke agama Islam pada abad ketiga setelah wilayah itu dikuasai Islam. Sebelumnya mereka menganut Zoroaster.

7. Bidang Kedokteran
Dari penulisan Ibnu Maskawayh, kita mendapatkan sebuah risalah sistematik berbahasa Arab paling tua tentang Optalmologi. Belakangan ini sebuah buku berjudul Al-‘Asyr Maqalat fi Al-‘Ayn (Sepuluh Risalah tentang Mata) yang dianggap sebagai karya muridnya Hunayn ibn Ishaq, telah diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai buku teks tentang optalmologi paling awal yang kita miliki. Minat orang Arab terhadap ilmu kedokteran diilhami oleh Hadits Nabi yang membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua kelompok: teologi dan kedokteran. Dengan demikian, seorang dokter sekaligus merupakan seorang teolog.
Ali ibn Al-Abbas (Haly Abbas, w. 994), yang awalnya menganut ajaran Zoroaster, sebagaimana terlihat dari namanya, Al-Majusi, dikenal sedbagai penulis buku Al-Kitab Al-Maliki (buku raja, Liber Regius), yang ia tulis untuk raja Buwaihi, Adhud Ad-Dawlah Fanna Khusraw, yang memerintah antara 949 hingga 983. karya ini yang disebut juga Kamil Ash-Shind’ah Ath-Thibbiyyah, sebuah “kamus penting yang meliputi pengetahuan dan praktik kedokteran”.
Nama paling terkenal dalam catatan kedokteran setelah Ar-Razi adalah ibnu Sina (Avicenna, yang masuk ke bahasa Latin melalui bahas Ibrani, Aven Sina, 980-1037, yang disebut oleh orang Arab sebagai Asy-Syaikh Ar-Ra’is, “pemimpin” (orang terpelajar) dan “pangeran” (para pejabat). Ar-Razi lebih menguasai kedokteran dari pada Ibnu Sina, sedangkan Ibnu Sina lebih menguasai filsafat dari pada Ar-Razi. Dalam diri seorang dokter, filsof, dan penyair inilah, ilmu pengetahuan Arab mencapai titik puncaknya dan berinkarnasi.
Diantara karya-karya ilmiahnya, dua buku yang paling unggul adalah Kitab Asy-Syifa’ (buku tentang penyembuhan), sebuah buku ensiklopedia filsafat yang didasarkan atas tradisi Aristotelian yang telah dipengaruhi oleh neo-Platonisme dan teologi Islam, serta Al-Qanun fi Ath-Thibb, yang merupakan kodifikasi pemikiran kedokteran Yunani-Arab. Teks berbahasa Arab dari buku Al-Qanun diterbitkan di Roma pada 1593, dan kemudian menjadi salah satu buku berbahasa Arab tertua yang pernah diterbitkan. Diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona pada abad ke-12, buku tersebut, dengan semua kandungan ensiklopedinya, susunan yang sistematis dan penuturannya yang filosofis, segera menempati posisi penting dalam literatur kedokteran masa itu, menggantikan karya-kaya Galen, Ar-Razi, dan Al-Majusi, serta menjadi buku teks pendidikan kedokteran di sekolah-sekolah Eropa.

8. Pendidikan, Perpustakaan, dan Toko Buku
Lembaga pendidikan Islam pertama untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya adalah Bait Al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) yang didirikan oleh Al-Makmun (830 M.) di Baghdad, ibukota negara. Selain berfungsi sebagai biro penerjemahan, lembaga ini juga dikenal sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum, serta memiliki sebuah observatorium. Pada saat itu, observatorium- observatorium yang banyak bermunculan juga berfungsi sebagai pusat-pusat pembelajaran astronomi. Fungsi lembaga itu persis sama dengan rumah sakit, yang pada awal kemunculannya sekaligus berfungsi sebagai pusat pendidikan kedokteran. Akan tetapi, akademi Islam pertama yang menyediakan berbagai kebutuhan fisik untuk mahasiswanya, dan menjadi model bagi pembangunan akademi-akademi lainnya adalah Nizhamiyah yang didirikan pada tahun 1065-1067 oleh Nizham Al-Mulk, seorang menteri dari Persia pada ke_Khalifahan Bani Saljuk, Sultan Alp Arslan, dan Maliksyah, yang juga merupakan penyokong Umar Al-Khayyam. Dinasti Saljuk, sebagaimana Dinasti Buwaihiyyah dan sultan-sultan non-Arab lainnya yang mengemban kekuasaan besar atas kehidupan umat Islam, bersaing satu sama lain dalam hal pengembangan seni dan pendidikan yang lebih tinggi.
Perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, Adud Ad-Dawlah (977-982) yang semua buku-bukunya disusun di atas lemari-lemari, didafar dalam katalog, dan diatur dengan baik oleh staff administrator yang bekerja secara bergiliran. Pada abad yang sama, kota Bashrah memiliki perpustakaan yang di dalamnya para sarjana bekerja dan mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan. Dan kota Rayy terdapat sebuah tempat yang disebut Rumah Buku. Dikatakan bahwa tempat itu menyimpan ribuan manuskrip yang diangkut oleh lebih dari empat ratus ekor unta. Seluruh naskah itu kemudian didaftar dalam sepuluh jilid katalog.
Selain perpustakaan, gambaran tentang budaya baca pada periode ini bisa dilihat dari banyaknya toko buku. Toko-toko itu, yang juga berfungsi sebagai agen pendidikan, mulai muncul sejak awal ke_Khalifahan Abbasiyah. Al-Ya’qub meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar 891) ibukota negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama. Sebagian toko tersebut, sebagaimana toko-toko yang muncul di Damaskus dan Kairo.

D. Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Faktor-faktor Penyebab Kemunduran
a. Faktor Intern
1) Kemewahan hidup di kalangan penguasa
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap Khalifah cenderung ingin lebih mewah daripada pendahulunya. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan.
2) Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbassiyah
Perebutan kekuasaan dimulai sejak masa Al-Makmun dengan Al-Amin. Ditambah dengan masuknya unsur Turki dan Parsi. Setelah Al-Mutawakkil wafat, pergantian Khalifah terjadi secara tidak wajar. Selebihnya, para Khalifah itu wafat karena dibunuh atau diracun dan diturunkan secara paksa.
3) Konflik keagamaan
Sejak terjadinya konflik antara Muawiyah dan Khalifah Ali yang berakhir dengan lahirnya tiga kelompok umat: pengikut Muawiyah, Syi’ah, dan Khawarij, ketiga kelompok ini senantiasa berebut pengaruh. Yang senantiasa berpengaruh pada masa keKhalifahan Muawiyah maupun masa keKhalifahan Abbasiyah adalah kelompok Sunni dan kelompok Syi’ah. Walaupun pada masa-masa tertentu antara kelompok Sunni dan Syi’ah saling mendukung, misalnya pada masa pemerintahan Buwaihi, antara kedua kelompok tak pernah ada kesepakatan.

b. Faktor Ekstern
1) Banyak pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, akibat kebijaksanaan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam, secara real, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan Gubernur-Gubernur yang bersangkutan. Akibatnya, provinsi-provinsi tersebut banyak yang melepaskan diri dari genggaman penguasa Bani Abbas. Adapun cara provinsi-provinsi tersebut melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad adalah: Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh Khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, kemudian melepaskan diri, seperti Daulat Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Kurasan.
2) Dominasi Bangsa Turki
Sejak abad kesembilan, kekuasaan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki, kemudian mengangkatnya menjadi panglima-panglima. Pengangkatan anggota militer inilah, dalam perkembangan selanjutnya, yang mengancam kekuasaan Khalifah. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Waluapun Khalifah dipegang oleh Bani Abbas, di tangan mereka, Khalifah bagaikan boneka yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, merekalah yang memilih dan menjatuhkan Khalifah yang sesuai dengan politik mereka.
Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah yang berkuasa pada masa kekuasaan Bangsa Turki I, mulai Khalifah ke-10, Khalifah Al-Mutawakkil (tahun 232 H.) hingga Khalifah ke-22, Khalifah Al-Mustaqfi Billah (Abdullah Sunni-Qasim tahun 334 H). pada masa kekuasaan bangsa Turki II (Banu Saljuk), mulai dari Khalifah ke-27, Khalifah Muqtadie bin Muhammad (tahun 467 H.) hingga Khalifah ke-37, Khalifah Musta’shim bin Mustanshir (tahun 656 H.).
3) Dominasi Bangsa Persia
Masa kekuasaan bangsa Parsi (Banu Buyah) berjalan lebih dari 150 tahun. Pada masa ini, kekuasaan pusat di Baghdad dilucuti dan di berbagai daerah muncul negara-negara baru yang berkuasa dan membuat kemajuan dan perkembangan baru.
Pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah, keturunan Parsi bekerjasama dalam mengelola pemerintahan dan Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai bidang. Pada periode kedua, saat keKhalifahan Bani Abbasiyah sedang mengadakan pergantian Khalifah, yaitu dari Khalifah Muttaqi’ (Khalifah ke-22) kepada Khalifah Muthie’ (Khalifah ke-23) tahun 334 H. Banu Buyah (Parsi) berhasil merebut kekuasaan.
Pada mulanya mereka berkhidmat kepada pembesar-pembesar dari para Khalifah, sehingga banyak dari mereka yang menjadi panglima tentara, diantaranya menjadi panglima besar, setelah mereka memiliki kedudukan yang kuat, para Khalifah Abbasiyah berada di bawah telunjuk mereka dan seluruh pemerintahan berada di tangan mereka. Khalifah Abbasiyah hanya tinggal nama saja, hanya disebut dalam do’a-do’a di atas mimbar, bertanda tangan di dalam peraturan dan pengumuman resmi dan nama mereka ditulis atas mata uang, dinar dan dirham.
E. Sebab-Sebab Kehancuran Dinasti Abbasiyah
1. Faktor Intern
a. Lemahnya semangat Patriotisme Negara, menyebabkan jiwa jihad yang diajarkan Islam tidak berdaya lagi menahan segala amukan yang datang, baik dari dalam maupun dari luar.
b. Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi menghancurkan sifat-sifat baik yang mendukung negara selama ini.
c. Tidak percaya pada kekuatan sendiri. Dalam mengatasi berbagai pemberontakan, Khalifah mengundang kekuatan asing. Akibatnya kekuatan asing tersebut memanfaatkan kelemahan Khalifah.
d. Fanatik madzhab persaingan dan perebutan yang tiada henti antara Abbasiyah dan Alawiyah menyebabkan kekuatan umat Islam menjadi lemah, bahkan hanmcur berkeping-keping.
Perang ideologi antara Syi’ah dari Fatimiyah melawan Ahlu Sunnah dari Abbasiyah, banyak menimbulkan korban. Aliran Qaramithah yang sangat ekstrem dalam tindakan-tindakannya yang dapat menimbulkan bentrokan di masyarakat. Kelompok Hashshashin yang dipimpin oleh Hasan bin Shabah yang berasal dari Thus di Parsi merupakan aliran Ismailiyyah, salah satu sekte Syi’ah adalah kelompok yang sangat dikenal kekejamannya, yang sering melakukan pembunuhan terhadap penguasa Bani Abbasiyah yang beraliran Sunni.
Pada saat terakhir dari hayatnya Abbasiyah, tentara Tartar yang datang dari luat dibantu dari dalam dan dibukakan jalannya oleh golongan Awaliyin yang dipimpin oleh Al-Qamiy.
e. Kemerosotan ekonomi terjadi karena banyaknya biaya yang digunakan untuk anggaran tentara, banyaknya pemberontakan dan kebiasaan para penguasa untuk berfoya-foya, kehidupan para Khalifah dan keluarganya serta pejabat-pejabat negara yang hidup mewah, jenis pengeluaran yang makin beragam, serta pejabat yang korupsi, dan semakin sempitnya wilayah kekuasaan Khalifah karena telah banyak provinsi yang telah memisahkan diri.
2. Faktor Ekstern
Disintegrasi, akibat kebijakan untuk mengutamakan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada politik, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai melepaskan diri dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah, mereka bukan sekedar memisahkan diri dari kekuasaan Khalifah, tetapi memberontak dan berusaha merebut pusat kekuasaan di Baghdad. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak luar dan banyak mengorbankan umat, yang berarti juga menghancurkan Sumber Daya Manusia (SDM). (Provinsi-provinsi yang melepaskan diri dari Dinasti Abbasiyah, dijelaskan selanjutnya). Yang paling membahayakan adalah pemerintahan tandingan Fathimiyah di Mesir, walaupun pemerintahan lainnya pun cukup menjadi perhitungan para Khalifah di Baghdad. Pada akhirnya, pemerintah-pemerintah tandingan ini dapat ditaklukkan atas bantuan Bani Saljuk atau Buyah.
Lanjuuut..

Mencari Biografi KH. Khozin Mansur Putat

PENCARIAN


Saya adalah alumni Pondok pesantren Manba'ul Hikam Putat tahun periode 1994 saya ingin mencari Biografi dan kisah perjalanan Kyai saya K.H. CHOZIN MANSYUR. Selama ini saya berusaha untuk mencari dari berbagai sumber, Alumni, pengurus dan Internet namun sampai sekarang saya belum menemukannya. Saya ingin mengabadikannya, sebab beliau adalah seorang kyia yang sangat aku kagumi dan 'alim. Barang siapa yang mempunyai biografi dan kisah perjalanan hidup KH. Khozin Mansur tolong dikirimkan ke blog ini.
Lanjuuut..

Minggu, 11 April 2010

Pengertian Janazah

BAB I
PENDAHLUAN


A. Latar Belakang
Dilakukan pembahasan pada bab ini adalah agar kita tahu dan mengerti bagaimana cara memandikan jenazah, mengkafani, dan tentang perlakukan terhadap jenazah yang benar. Sehingga tak ada kesalah fahaman tentang hal itu.

B. Rumusan Masalah
1.1. Pengertian Jenazah
1.2. Cara memandikan jenazah
1.3. Cara mengkafani jenazah
1.4. Menyalatkan jenazah
A. Dalam melaksanakan sholat jenazah terdapat beberapa amalan sunnah
B. Hukum sholat jenazah bagi wanita
1.5. Menguburkan jenazah
A. Cara mengantar jenazah ke kuburan
B. Hal-hal yang harus dilakukan setelah mayat sampai ke makam
C. Hukum mengubur mayat dengan menggunakan peti.
1.6. Ziarah kubur.
A. Pengertian ziarah kubur
B. Hukum ziarah kubur

BAB II
PEMBAHASAN


1.1 Jenazah
Jenazah berasal dari bahasa arab, jenazah dan jinazah yang berarti mayat dan dapat pula berarti usungan beserta mayatnya. Jenazah dapat disebut juga orang yagn telah meninggal dunia. Seorang muslim yang telah meninggal dunia harus segera diselesaikan pengurusannya.

1.2 Memandikan Jenazah
Memandikan jenazah adalah membersihkan dan mensucikan tubh mayat dari kotoran dan najis yang melekat padanya. Setiap muslim yang meninggal dunia wajib dimandikan.
Dalam memandikan jenazah hendaklah diperhatikan beberapa hal yaitu:
a. Air yang digunakan sebaiknya air dingin kecuail keadaan menghendaki air panas, seperti karena udara terlalu dingin atau susah membuang kotoran yang menempel pada jenazah.
b. Disunnahkan pada setiap penyiraman dilakukan tiga kali atau lima kali.
c. Disunnahkan menggunakan air yang dicampur wangi-wangian atau kapur barus sebagai pembasuh terakhir.
d. Dalma memandikan jenazah disunnahkan dimulai sebelum kanan dahulu.

Cara Memandikan Mayat
”lebih utama jenazah itu dimandikan dalam keadaan berpakaian”. Pendapat ini disetujui Ahmad kata Abu Hanifat dan Malik: dilepaskan pakan dan ditutupi pada aurat saja. Amal utama dimandikan di udara terbuka / diluar rumah.


Demikian pendapat Asy-Syafi’iy.

1.3 Mengafani Jenazah
Mengafani jenazah adalah menutup atau membungkus tubuh jenazah dengan kain sedikit-sedikitnya selapis kain yang dapat menutu seluruh tubuhnya.
Mengafani jenazah dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Kain kafan dihamparkan di atas tikar yang bersih lalu jenazah diletakkan diatasnya.
b. Kedua tangan jenazah diletakkan di atas dada tangan kanan di atas tangan kiri.
c. Sebelum kain menutup dilepaskan, bagian-bagian tubuh seperti kemaluan, dubur, mulut, hidung, mata dan telinga ditutup dengan kapas dan seluruh tubuh jenazah ditaburi wangi-wangian, kemudian kain kafan sehelai demi sehelai dihubungkan dengan mendahulukan sebelah kiri baru kemudian sebelah kanan.
d. Setelah terbungkus diikat dengan sehelai kain dari potongan kain kafan pada ujung kepala, dada, perut, lutut dan di bawah ujung kaki.

1.4 Menyalatkan Jenazah
Persaudaraan dalam Islam tidaklah terbatas selama hidup, tapi juga sewaktu meninggal, bahkan sampai berada di dalam kubur.
A. Dalam melaksanakan salat jenazah terdapat beberapa amalan sunnah yaitu:
a. Mengangkat kedua belah tangan dalam setiap takbir.
b. Membaca setiap bacaan dengan siir (suara rendah)
c. Membaca ta’awudz sebelum membanca surat al-Fatihah
d. Dilaksanakan secara berjama’ah
e. Makmum dalam sholat jenazah dibagi dalam 3 shaf setiap shaf sedikitnya dua orang.

B. Hukum Shalat Jenazah bagi Wanita
”Apakah seorang wanita dianjurkan untuk shalat jenazah?”
Rasulullah menjawab: Rasulullah SAW menunjukkan agar wanita tidak terlibat dalam mengantarkan jenazah, dan berikutnya ia pun tidak juga melaksanakan shalat atas mayat, akan tetapi apabila seorang wanita berpapasan sholat atas si mayit, maka diperkenankan baginya untuk sholat bersama mereka, dengan catatan, keluarnya dari rumah bukan bertujuan untuk melaksanakan shalat atas jenazah.

1.5 Menguburkan Mayat
Setelah jenazah dishalatkan, jenazah dibawa ke kubur untuk dimakamkan.
A. Mengantarkan jenazah ke kubur dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
Jenazah diletakkan di atas usungan atau tandu dan dipikul di atas bahu, disunnahkan memikul tandu atau usungan itu pada setiap sisi tandu tersebut, Ibnu Mas’ud bersabda:
من اتبع جنازة فليحمل بجوانب السرير كلها فإنه من السنة
Artinya: “Barang siapa mengantar jenazah hendaklah ia ikut memikul pada setiap sisi usungan karena perbuatan demikian termasuk sunnah (HR. Ibnu Majjah)

a. Orang-orang yang berjalan kaki hendaknya berada di sekitar jenazah dan orang yang berkendaraan berada di belakang orang yang berjalan.
b. Orang yang mengantarkan disunnahkan tidak membicarakan tentang keduniaan dan lebih banyak mengingat Allah.
c. Membawa jenazah ke kubur hendaknya dilakukan dengan segera.
d. Setelah dekat kubur sebaiknya membaca bacaan yang baik, doa-doa guna menghindari pembicaraan yang buruk.



B. Setelah sampai ke kuburan dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Jenazah diturunkan ke dalam lubang yang telah disediakan ketika menurunkan jenazah disunnahkan membaca بسم الله الرحمن الرحيم
2) Membuka semua tali atau pengikat dan juga kain kafan bagian muka agar pipi jenazah terkena tanah.
3) Menghadapkan jenazah ke arah kiblat dengan membaringkannya di atas lambung kanan.
4) Disunnahkan melemparkan tanah ke kuburan sebanyak tiga kali.
5) Mengubur jenazah berarti menimbuni jenazah dengan segala do’a agar dapat ketenangan di alam kubur.
C. Hukum mengubur mayat dengan menggunakan peti
Bagaimana hukum mengubur mayat dengan peti?
Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang paling mulia dan terhormat. Allah SWT berfirman.
ولقد كرمنا (الإسراء: 70)

“Sesungguhnya telah kami muliakan anak cucu keturunan Adam” (Q.S. Al-Isro’: 70)

Kemuliaan ini tetap ada baik ketika manusia itu masih hidup ataupun setelah ia meninggal dunia, sebagai salah satu bentuk pengorbanan itu adalah kewajiban untuk menguburkan jenazah, pemakaman itu juga untuk menyadarkan manusia agar selalu ingat pada asal-usul kejadiannya. Manusia dari tanah dan akan kembali lagi ke tanah. Karena itu disunnahkan untuk menyentuhkan mayat ke tanah agar nampak nyata bahwa ia telah kembali ke tanah. Maka makruh hukumnya membuat penghalang antara mayat dan tanah.
Orang mati akan diadzab karena ratapan tangis keluarganya.
Dari Umar bin Khattab ra. Nabi bersabda:
الميت يعذب في قبره بما نيح عليه (متفق عليه)
Artinya: “Orang yang meninggal dunia akan diadzab dalam kuburnya akibat ratapan atas dirinya (H.R. Muttafaqun Alaih)

1.6 Ziarah Kubur
A. Pengeritan Ziarah Kubur
Ziarah kubur adalah mengunjungi kuburna seseorang untuk mendo’akan si mayat, ziarah kubur dulu pernah dilarang oleh Rasulullah, tetapi setelah keamanan umat Islam semakin kuat, maka ziarah kubur dibolehkan kembali, Rasulullah SAW bersabda:
عن بردة قال: قال رسول الله ص.م: قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور (فقد أذن لمحمد في زيارة أمه فزورها فإنها تذكر الأخرة)

Artinya:”Dari buraidah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: sungguh dahulu aku melarang kalian ziarah kubur (kemudian Nabi Muhammad diizinkan menziarahkan karena ziarah itu mengingatkan kehidupan akhirat” (HR. rimidzi dan Abu Daud)

B. Hukum Ziarah Kubur
Hukum ziarah kubur bagi laki-laki adalah sunnah. Sedang bagi wanita ada beberapa pendapat. Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Hambali membolehkan bahkan termasuk sunnah. Menurut al-Ansori ziarah bagi wanita hukumnya makruh, tetapi jika wanita ziarah ke makam Nabi, Wali atau Ulama’ maka hukumnya sunnah. Menurut al-ANshori ziarah bagi wanita hukumnya makruh tetapi jika wanita ziarah ke makam Nabi, Wali atau ulama’ maka hukumnya. Sunnah. Menurut al-Anshory ziarah bagi wanita hukumnyua makruh tetapi jika wanita ziarah ke makam Nabi, wail atau ulama’ maka hukumnya sunnah. Sebagian ulama’ lainnya menghukumi makruh. Sebab tabiat perempuan itu mudah sedih dan tak tahan membendung ratapan, sedangkan al-Qurtubi mengaitkan bahwa bila perempuan itu mampu menahan ratapan dan menghindari perbuatan yang kurang baik, maka tidak ada halangan bagi wanita untuk ziarah kubur.

DAFTAR PUSTAKA

Rolly Abdul Rokhman. M.Ag. dkk. 2005. Fiqih. Prov Jatim. MDC Kanwil Depag.
Ash Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi, 1997. Hukum-hukum Fiqh Islam. Semarang. : PT. Pustaka Rizki Putra.
Asy Sya’roqi Syaik Mutawalli, 2000. 442 Persoalan Umat. Jakarta: CV. Cendekia sentra Muslim.
KH. Muhyiddin abdus Shomad. 2007. Fiqih Tradisional, Malang: Pustaka Bayan.
Syaikh Kami Mukhammad Uwaidh dkk, 1998, Fiqih Wanita, Jakarta: Buu Islam Utama.
Ali Mahfudz, S.Ag, dkk, 2008, Fiqih, Surakarta: CV. Alfadinar.
Lanjuuut..

AKAD QIRADH DALAM SISTEM BANK SYARI’AH

APLIKASI AKAD QIRADH DALAM SISTEM BANK SYARI’AH
(Kajian Teoritik dan Realisasi Qiradh menurut Perspektif Fiqih)


Sistem finansial bank syari’ah saat ini mulai berkembang di negara-negara Islam. Sistem ini memang diakui dalam praktik ekonomi dan perdagangan sebagai sistem yang memiliki efektifitas dan keuntungan yang cukup tinggi. Gambaran mengenai sistem haruslah komprehensif baik mengenai karakteristik maupun syarat-syarat keberlakuannya, sehingga dimungkinkan untuk melakukan studi fiqih mengenai status hukum dan nilai syari’ahnya. Studi ini bertujuan untuk memberikan kontribusi yang mampu memberikan suatu pengenalan atau studi pengantar.

Download Makalah Pendidikan : "Akad qiradh" Lengkap
Lanjuuut..

Riwayat Hidupq

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


Data Pribadi

Nama : MOH.FAISHOL AMIR, S.Ag
Tempat/Tanggal Lahir : Sidoarjo, 12 Juni 1977
Agama : Islam
Status : Kawin
Alamat : Tebuireng III/8 Cukir Diwek Jombang
Telp. 0321 – 870961
Ijazah terakhir : S-I IAIN Sunan ampel Surabaya
Fakultas tarbiyah ( PAI )

Riwayat Pendidikan Formal/Non Formal
1. Madrasah Ibtida’iyah ( MI ) Dukuhtengah Buduran Sidoarjo ( 1986 )’ BERIJAZAH
2. Badrasah Tsanawiyah ( MTs ) Gedangan Sidoarjo ( 1989 ), BERIJAZAH
3. Sekolah Menengah atas ( SMA ) Al-Islamiyah Tanggulangin Sidoarjo ( !993 ), BERIJAZAH
4. Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Manba’ul Hikam Tanggulangin Sidoarjo ( 1994 ), BIRIJAZAH
5. Tahfidhul Qur'an PP. Manba'iul Hikam Tanggulangin Sidoarjo
6. S-I IAIN Sunan Ampel Surabaya ( 1999 ), BERIJAZAH

Pengalaman mengajar
1. Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam Tanggulangin (1992-1994)
2. TPQ Tanwirul Qulub Dukuhtengah Buduran Sidoarjo ( 1994-1996)
3. Madrasah Diniyah Al-Ihsan Tebel Gedangan Sidoarjo (1995 – 1998)
4. MI. Annahdliyin Dukuhtengah Buduran Sidoarjo ( 1996 – 2002 )
5. Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang (2005 – 2009)
6. Madasah Salafiyah Syafi’iyah Seblak diwek jombang (2002 sampai sekarang )

Pengalaman Organisasi
1. Ketua OSIS MTs. Bi'rul Ulum Gedangan Sidoajo.
2. Sekretaris OSIS SMU Al-Islamiyah Tanggulangin Sidoarjo
3. Ketua Koperasi SMU Al-Islamiyah Tanggulangin Sidoarjo
4. Ketua dana sehat ponpes Mamba’ul Hikam Tanggulangin
5. Sekretaris Pengurus ponpes Mamba’ul Hikam Tanggulangin
6. Ketua Ranting IPNU desa Dukuhtengah Buduran Sidoarjo
7. Sekretaris IPNU Ancab Buduran Sidoarjo
8. Sekretaris Remaja Masjid dukuhtengah Buduran Sidoarjo
9. Ketua Khotmul Qur'an Dukuhtengah.

Keterampilan Khusus
1. Kaligrafi Arab
2. Komputer

Demikian daftar riwayat hidup yang saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila dikemudian hari ada yang kurang sesuai, penulis akan mempertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Lanjuuut..

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


Data Pribadi

Nama : MOH.FAISHOL AMIR, S.Ag
Tempat/Tanggal Lahir : Sidoarjo, 12 Juni 1977
Agama : Islam
Status : Kawin
Alamat : Tebuireng III/8 Cukir Diwek Jombang
Telp. 0321 – 870961
Ijazah terakhir : S-I IAIN Sunan ampel Surabaya
Fakultas tarbiyah ( PAI )

Riwayat Pendidikan Formal/Non Formal
1. Madrasah Ibtida’iyah ( MI ) Dukuhtengah Buduran Sidoarjo ( 1986 )’ BERIJAZAH
2. Badrasah Tsanawiyah ( MTs ) Gedangan Sidoarjo ( 1989 ), BERIJAZAH
3. Sekolah Menengah atas ( SMA ) Al-Islamiyah Tanggulangin Sidoarjo ( !993 ), BERIJAZAH
4. Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Manba’ul Hikam Tanggulangin Sidoarjo ( 1994 ), BIRIJAZAH
5. Tahfidhul Qur'an PP. Manba'iul Hikam Tanggulangin Sidoarjo
6. S-I IAIN Sunan Ampel Surabaya ( 1999 ), BERIJAZAH

Pengalaman mengajar
1. Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam Tanggulangin (1992-1994)
2. TPQ Tanwirul Qulub Dukuhtengah Buduran Sidoarjo ( 1994-1996)
3. Madrasah Diniyah Al-Ihsan Tebel Gedangan Sidoarjo (1995 – 1998)
4. MI. Annahdliyin Dukuhtengah Buduran Sidoarjo ( 1996 – 2002 )
5. Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang (2005 – 2009)
6. Madasah Salafiyah Syafi’iyah Seblak diwek jombang (2002 sampai sekarang )

Pengalaman Organisasi
1. Ketua OSIS MTs. Bi'rul Ulum Gedangan Sidoajo.
2. Sekretaris OSIS SMU Al-Islamiyah Tanggulangin Sidoarjo
3. Ketua Koperasi SMU Al-Islamiyah Tanggulangin Sidoarjo
4. Ketua dana sehat ponpes Mamba’ul Hikam Tanggulangin
5. Sekretaris Pengurus ponpes Mamba’ul Hikam Tanggulangin
6. Ketua Ranting IPNU desa Dukuhtengah Buduran Sidoarjo
7. Sekretaris IPNU Ancab Buduran Sidoarjo
8. Sekretaris Remaja Masjid dukuhtengah Buduran Sidoarjo
9. Ketua Khotmul Qur'an Dukuhtengah.

Keterampilan Khusus
1. Kaligrafi Arab
2. Komputer

Demikian daftar riwayat hidup yang saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila dikemudian hari ada yang kurang sesuai, penulis akan mempertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Lanjuuut..

larangan menimbun dan monopoli

LARANGAN MENIMBUN DAN MEMONOPOLI
BAB I
PENDAHULUAN
Hadis disebut sebagai sumber hukum kedua dalam Islam. Hal itu disebabkan karena sumbernya bermuara dari kekasih Allah SWT yang diutus untuk menyampaikan wahyuNya. Beliau adalah manusia pilihan yang terjaga dari segala hal yang berbau maksiat, atau dikenal dengan istilah ma’sum. Sifat-sifat beliau merupakan hal yang spesifik yang tidak dimiliki manusia pada umumnya. Sebab keistimewaan itulah, wajar jika segala ucapan, perbuatan dan takrirnya dijadikan pendamping al Qur’an dan panutan bagi pengikutnya. Karena sebagai seseorang yang diberi wahyu, secara otomatis beliaulah yang lebih mengetahui dan paham mengenai kandungan firman Allah SWT.
Lanjuuut..

pinjam meminjam

PINJEM-MEMINJEM ( ARIYAH ) BAB LATAR BELAKANG Kata mu’amalah yang kata tunggalnya mu’malah yang berakar pada secara arti kata mengandung arti ”saling berbuat” atau berbuat secara timbal balik. Sederhana lagi berarti” hubungan antara orang dengan orang”. Bila kata ini dihubungkan kepada lafadz fiqih, mengandung arti aturan yang mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia. Ini merupakan imbahan dari fiqih ibadat yang mengatur hubungan lahir antara seseorang dengan Allah pencipta.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Allah SWT. Mengatur hubungan lahir antara manusia dengan Allah dalam rangka menegakkan hablum minnallah dan hubungan antara sesama manusia dalam rangka menegakkan hablum minnannas,
Lanjuuut..

poligami dalam islam

PENDAHULUAN

Agama adalah suatu pondasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dengan beragama, disitu akan terdapat konteks dimana saling terjadi suatu koneksi antara Manusia dengan Tuhannya, ataupun sebaliknya. Dengan beragama juga, manusia senantiasa dapat mengatur pola hidup Pribadinya, dan juga diantara Masyarakat luas. Mentalitas manusia senantiasa ditata oleh agama, dimana orang yang lebih beriman kepada Tuhan, jelaslah dalam hidupnya akan lebih tenang dalam melakukan sesuatu ataupun tindakan. Sebenarnya usia bukan pengaruh untuk mengukur suatu keimanan seseorang, karena Tuhan tidak memandang suatu perbedaan yang ada pada manusia tersebut, kecuali Rasa Iman dan Taqwa orang tersebut.
Lanjuuut..

ribah dalam islam

RIBA DAN TINJAUAN FIQH
MU’AMALAH ATAS BUNGA BANK KONVENSIONAL

Dewasa ini perbincangan mengenai riba di kalangan Negeri Islam mencuat kembali. Sehingga upaya-upaya melakukan usaha yang bertujuan menghindari persoalan riba mulai dilaksanakan. Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam.
Makalah ini akan menguraikan topik-topik sebagai berikut :
- Pengertian riba
- Macam-macam riba
- Tinjauan fiqh mu’amalah atas bunga bank konvensional dan hukumnya dalam kacamata Islam.





Download Makalah Pendidikan : "riba dalam fiqh" Lengkap
Lanjuuut..

hadis palsu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai sumber hukum Islam kedua, Sunnah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Bahkan karena demikian pentingnya, di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mengharuskan kita untuk konsisten terhadap Rasululloh SAW, baik berupa perintah-perintahnya maupun larangan-larangannya. Diantaranya ayat-ayat tersebut adalah (QS. 59).
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka berimanlah kalian. Dan apa yang dilaragnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.”.

Oleh karena itulah, tidak heran jika komitmen kaum Muslimin terhadap sunnah demikian tingginya, setinggi komitmen mereka terhadap Al-Qur’an. Karena mereka begitu meyakini dalam Aqidah mereka bahwa sunnah merupakan Wahyu yang Allah wahyukan kepada Rasulullah SAW, sebagaimana al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan bhawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.

Namun manakala Islam telah menyebar sedemikian luas ke berbagai penjuru dunia dengan demikian pesatnya. Ternyata terdapat beberapa kelompok dari kaum Muslimin sendiri yang mengikuti hawa nafsu mereka dengan membuat Hadits-Hadits palsu yang disandarkan kepada Rasululloh SAW yang sama sekali tidak pernah diucapkan oleh Rasululloh SAW. Sejarah mencatat bahwa Hadits-Hadits palsu banyak berkaitan dengan munculnya golongan-golongan seperti Syi’ah dan Mu’awiyah yang pada umumnya mereka ingin “sesuatu” yang dapat mengutamakan kelompok mereka sendiri hingga akhirnya mereka membuat Hadits-Hadits palsu tersebut. Selain sebab itu, tidak dapat dipungkiri juga ada sebab-sebab lain dalam pemalsuan-pemalsuan Hadits, seperti “mencari rizki”, menodai Islam. Dari permasalahan di atas maka kami akan membahas tentang Hadits palsu.

B. Rumusan Masalah
a. Pengertian Hadits Maudhu’
b. Permulaan munculnya Hadits palsu dan penyebab munculnya Hadits palsu.
c. Usaha-usaha memberantas Hadits palsu.
d. Ciri-ciri Hadits palsu dan cara mendeteksi Hadits palsu
e. Pengaruh dan dampak tersebarnya Hadits palsu.

C. Tujuan Pembahasan
- Siswa memahami pengertian Hadits palsu
- Siswa mengerti kapan munculnya Hadits palsu dan penyebab munculnya Hadits palsu.
- Siswa mengetahui usaha-usaha ulama dalam memberantas Hadits palsu.
- Siswa mengerti ciri-ciri Hadits palsu dan cara mendeteksi Hadits palsu
- Mahasiswa mengerti dampak Hadits palsu pada masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian
Hadits Maudhu’ secara etimologis merupakan bentuk isim Maf’ul dari يضع – وضع. Kata وضع memiliki beberapa makna. Antara lain (menggugurkan), (meninggalkan), mengada-ngada, dan membuat-buat. Sedangkan menurut istilah Hadits maudhu’ adalah sesuatu yang distandarkan atau dinisbatkan kepada Rasululloh SAW secara mengada-ngada dan dusta. Yang sama sekali tidak pernah diucapkan, dikerjakan atau ditetapkan oleh beliau.

2. Permulaan Munculnya Hadits Palsu
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Hadits-Hadits palsu muncul sejak terbunuhnya Kholifah Utsman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Tholib serta Mu’awiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan Kholifah. Maka umat Islam terpecah belah menjadi 3 golongan, yaitu Syi’ah, Mu’awiyah, dan Khawarij.

3. Sebab-sebab Munculnya Hadits Palsu
a. Motif Politik
- Kelompok Syi’ah
Syi’ah merupakan kelompok yang paling besar dan paling banyak membuat Hadits-Hadits palsu. Bahkan dikemukakan oleh Ibnu Abi al-Hadid, “Asal mula munculnya Hadits-Hadits palsu dari golongan Syi’ah mereka pada mulanya hanya membuat Hadits-Hadits palsu mengenai keutamaan mereka, kemudian mereka membuat Hadits-Hadits palsu untuk menantang musuh-musuh mereka.
Diantara Hadits-Hadits palsu yang mereka buat adalah:
“Wahai Ali, sesungguhnya Allah telah mengampuni, kedua orang tuamu, keluargamu, pendukungmu dan orang-orang yang mencintaimu”.


b. Pendukung Mu’awiyah
Sementara itu kelompok yang mendukung Mu’awiyah juga tidak mau kalah ketika mereka merasa diserang dengan Hadits-Hadits palsu, mereka pun ada yang akhirnya membuat Hadits palsu untuk menandingi lawannya, diantaranya Hadits palsu tersebut adalah:
“Orang-orang yang terpercaya di sisi Allah ada tiga: Aku, Jibril dan Mu’awiyah”.

c. Khawarij
1. Muhammad Ajjaj Al-Khatib mengemukakan:
“Tidak ada riwayat yang tegas bahwa kaum Khawarij membuat Hadits palsu. Bahkan menurut pendapat yang kuat, bahwa latar belakang ketiadaan mereka membuat Hadits palsu adalah keyakinan mereka bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan berdusta termasuk dosa besar. Bahkan banyak kabar yang mengukuhkan bahwa mereka merupakan kelompok yang paling jujur dalam meriwayatkan Hadits. Dalam hal ini Abu Daud mengatakan, “diantara para pengikut hawa nafsu, tidak ada aliran lebih yang lebih shahih Haditsnya dibandingkan dengan Khawarij”.
2. Upaya-upaya Musuh Islam
Ketika wilayah Islam semakin luas dan pengikut Islam semakin banyak, ternyata tidak sedikit diantara mereka orang-orang yang sebenarnya sangat memusuhi Islam namun tidak kuasa untuk konfrontatif dengan Islam menggunakan senjata, karena begitu kuatnya pemerintahan Islam. Hal ini membuat mereka untuk berupaya menghancurkan Islam dari dalam. Diantara mereka adalah Muhammad bin Sa’id al-Syami yang merupakan kelompok zindiq, dia membuat Hadits-Hadits palsu. Diantara Hadits-Hadits palsu adalah:
“Aku adalah penutup para Nabi. Dan tidak ada Nabi sesudahku, kecuali apabila dikehendaki oleh Allah”.

Ada juga pemalsu Hadits yang bernama Abdul Karim bin Abi al-Auja’ yang memberikan pengakuan sebelum lehernya dipenggal karena memalsukan hadtis bahwa ia telah membuat hadtis palsu sebanyak empat ribu Hadits.
3. Perbedaan ras fanatisme, kesukuan, daerah dan imam
Terkadang fanatisme pada ras, suku, daerah atau imam dapat menjadikan pendorong dalam pemalsuan Hadits. Sebagai contoh pada fanatisme ras adalah Hadits palsu berikut:
a. Sebagai contoh pada fanatisme ras dan kesukuan adalah Hadits palsu berikut:
“Sesungguhnya bahasa orang-orang yang ada di Arsy adalah Bahasa Parsi”.

Kemudian ras lain yang berlawanan dengan kelompok Persia membuat Hadits palsu tandingannya:
Bahasa yang paling dibenci Allah adalah Bahasa Persia dan bahasa penduduk surga adalah Bahasa Arab.
b. Contoh Hadits palsu pada fanatisme imam adalah
“Akan tiba pada umatku seseorang yang bernama Muhammad bin Idris, dia lebih berbahaya bagi umatku dari pada Idris.”

4. (الخلافات المذهبية و الكلامية) perbedaan Mazhab dan Faham
Perbedaan madzhab dalam ibadah sampai derajat fanatic juga merupakan penyebab munculnya Hadits palsu. Masing-masing ingin mendapatkan legitimasi penguat untuk madzhab yang dianutnya. Diantaranya adalah Hadits palsu berikut:
من رفع يده في الركوع فلا صلاة له
“Barang siapa yang mengangkat tangannya ketika ruku’, maka tiadalah sholat baginya”

5. (القصاصون) pembuat cerita
Sebagian tukang cerita memiliki keinginan agar ceritanya didengar oleh orang banyak yang kemudian memotivasi mereka. Dan melambungkan angan-angan mereka. Dan melambungkan angan-angan mereka. Terkadang mereka melakukan itu demi untuk mendapatkan pemberian-pemberian dari para audiensnya. Salah satu contohnya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ja’far Muhammad Atthayalisi (Al-Khatib, 1989: 424-425).
”Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in sholat di masjid Ar-Rashafah. Kemudian ada seorang tukang cerita di hadapan jamaah berkata: “telah meriwayatkan pada kami Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in, keduanya berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Aburrazaq dari Ma’mar dari Qatadah dari Anas, katanya : Rasululloh SAW, bersabda:
من قال لاإله إلا الله خلق الله من كل كلمة طهر امنقاره من ذهب و ريشه م مرجان.

“Barang siapa mengucapkan La ilaaha illallah, maka Allah akan menciptakan satu burung setiap katanya, yang paruhnya dari emas dan bulunya dari marjan”.

Mendengar kisah ini Ahmad bin Hambal menoleh ke Yahya bin Ma’in dan Yahya bin Ma’in juga menoleh ke Ahmad bin Hambal, lalu bertanya, engkau meriwayatkan Hadits itu? Lalu ia menjawab, demi Allah baru kali ini aku mendengarnya”. Kemudian seusai orang tersebut bercerita dan mengambil pemberian-pemberian, tukang cerita itu duduk untuk menunggu yang lainnya. Lalu Yahya memanggilnya, kemarilah! Lalu orang itu mendatangi Yahya bin Ma’in mengira akan diberikan sesuatu. Lalu Yahya bertanya: siapa yang meriwayatkan Hadits ini kepadamu? Ia menjawab, Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in. Lalu Yahya berkata, aku Yahya bin Ma’in dan ini temanku Ahmad bin Hambal. Dan kami tidak pernah mendengar Hadits ini dari Rasululloh SAW. Lalu ia berkata: aku sering mendengar bahwa Yahya bin Ma’in adalah orang yang dungu, dan baru saat ini aku membuktikannya. Apakah tidak ada Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hambal selain kalian berdua? Aku telah menulis tujuh belas Ahmad bin Hambal dan yang Yahya bin Ma’in. lalu Ahmad bin Hambal menutupkan kerah bajunya kemurkaan seraya berkata, “Biarkan ia pergi”, lalu ia pergi seperti sedang meremehkan keduanya”.
6. (الرغبة في القهر مع الجهل بالدين)
Terlalu semangat dalam kebaikan tanpa ilmu yang cukup terkadang orang-orang shaleh dan zuhud ingin memotivasi orang-orang yang sibuk dengan ke duniawi yaitu merek dengan Hadits-Hadits palsu, dengan harapan agar orang-orang tersebut terdorong untuk beribadah atau meninggalkan perbuatan yang tidak benar, serta mendapatkan pahala dari Allah SWT. Diantara Hadits-Hadits palsu yang mereka buat adalah:
من قرأ ليس في ليلة أصبح مغفورا له و من قرأ الدخان في ليلة أصبح مغفورا له.
“Barang siapa membaca surat Yasin pada malam hari maka pada pagi harinya dia telah diampuni dari segala dosanya, dan barang siapa membaca surat ad-Dukhon pada malam hari, pada subuh harinya dan telah diampuni dosa-dosanya”.

Diantara mereka adalah Maisaroh bin Abdi Rabbih, ketika Ibnu Mahdi bertanya kepadanya mengapa ia membuat Hadits-Hadits palsu seperti itu? Ia menjawab, aku memalsukannya untuk memotivasi manusia agar membacanya. (Al-Thahan, 1996:91).
Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan tersebut sangat berbahaya dan jelas-jelas dilarang. Dan bila mereka diingatkan dengan Hadits ”Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaknya ia mempersiapkan tempatnya di Neraka”. Mereka menjawab, ”Kami tidak berdusta atas Rasululloh SAW, namun kami berdusta demi Rasululloh SAW”.
7. (التقرب من الحكام) ingin dekat dengan penguasa
Diantara pemalsuan Hadits yang terjadi adalah dikarenakan faktor ingin “Mencari muka” kepada para penguasa, agar mereka mendapatkan “sesuatu”. Diantaranya adalah seperti yang dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim yang berdusta untuk kepentingan Khalifah al-Mahdi yang ketika itu Al-Mahdi sedang bermain burung. Ghiyats mengatakan:
لا سبق إلا فس فضل أو خف أو حافر أو جناح
“Tidak ada perlombaan kecuali dalam memanah, balapan unta, pacuan kuda, dan burung merpati”

Ghiyats menambah Janah (burung merpati) pada Hadits tersebut. Kemudian al-Mahdi memberikan sepuluh ribu dirham kepada Ghiyats kemudian memotong burung tersebut”. Setelah Ghiyats pulang, Al-Mahdi mengatakan, aku bersumpah bahwa tengkukmu adalah tengkuk tukang dusta kepada Rasulullloh SAW.

Hukum Meriwayatkan Hadits Palsu
Para ulama’ sepakat bahwa penyebaran Hadits palsu hukumnya “Haram” ini berdasarkan sebuah Hadits shahih dimana Nabi SAW. Bersabda: “Barang siapa dengan sengaja mendustakan aku, maka siap-siaplah dia masuk neraca. Sementara dari Golongan al-Karamiyah, yaitu pengikut Nabi Muhammad bin Karram (W. 255H) yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki jasad seperti manusia. Ia berpendapat membuat Hadits palsu itu boleh-boleh saja asalkan untuk kepentingan Islam. Dan pendapat ini dibabat habis oleh para ulama’. Bahkan imam al-Juwaini menganggap pemalsu Hadits sudah keluar dari Islam.

Usaha Ulama’ Memberantas Hadits Palsu
Melihat munculnya Hadits-Hadits palsu, para ulama’ tidak tinggal diam. Mereka melakukan segala usaha dan upaya untuk memberantas Hadits palsu. Diantara usaha yang dilakukan para ulama’ adalah;
1. Berpegang pada Sanad
Karena berpegang pada sanad, seorang perawi dapat mengetahui atau mengecek kembali apakah perawi sebelumya itu termasuk yang tsiqah atau tidak. Jika perawinya adalah termasuk ahlul bathil dan ahlul bid’ah atau yang dikenal sebagai orang yang tidak dapat dipercaya. Maka riwayatannya akan ditinggalkan. Sebaliknya perawi Hadits hanya akan menerima Hadits-Hadits yang perawinya tsiqah dan terpercaya. Dalam hal ini Abdullah bin Sirrin mengatakan:
”Mulanya mereka tidak bertanya mengenai sanad, namun manakala terjadi fitnah mereka selalu menanyakan: sebutkan oleh kalian perawi-perawi kalia. Jika perawinya termasuk ahlus sunnah diterimanya Hadits. Dan jika ia temasuk ahlul bid’ah Haditsnya tidak diterima.”
2. Ketelitian dalam Meriwayatkan Hadits
Disamping sanad, para ulama mulai zaman tabi’in hingga zaman setelah mereka sangat teliti dan hati-hati dalam meriwayatkan Hadits. Hingga dari ketelitian tersebut dapat diketahui suatu Hadits maqbul atau mardud. Kemudian juga dipilah-pilah antara metode yang satu dan yang lainnya. Sehingga keotentikan Hadits tetap terpelihara hingga kini”.
3. Memerangi Para Pendusta dan Tukang Cerita
Para ulama Hadits juga memerangi para Pendusta Hadits dan juga para tukang cerita yang dikenal gemar memasulkan Hadits dengan cara menjelaskan dan mewanti-wanti mereka agar jangan mendekati dan mendengarkan mereka. Ulama Hadits juga menerangkan Hadits-Hadits maudhu’ tersebut kepada para murid-muridnya dan mengingatkan mereka untuk tidak meriwayatkan Hadits-Hadits palsu tersebut. Diantara para ulama yang dikenal sangat ”keras” terhadap Pemalsu Hadits adalah imam Syu’bah bin Al-Hajjaj (W. 160 H), Amir al-Sya’bi (W. 103. H), Sufyan al-Tsauri (W. 161 H), Abdurrahman bin Mahdi (W. 198H)
4. Menjelaskan ”status” perawi Hadits
Terkadang perawi Hadits harus menjelaskan mengenai keadaan perawi Hadits yang diriwayatkannya. Sejarah hidupnya, guru-gurunya, murid-muridnya, perjalanannya dalam menuntut Hadits dan lain sebagainya. Sehingga dari sini setiap perawi Hadits dapat diketahui ”statusnya”, apakah ia yang diterima sebagai perawi ini akhirnya memunculkan ilmu baru dalam Hadits, yaitu ilmu jarh wa ta’dil dan ilmu ruwatul Hadits. Dari ilmu in seseorang yang belajar Hadits akan dapat menjumpai mana Hadits yang shahih, hasan atau dhaif. Yang dhaif pun dapat diklasifikasikan apakah karena keterputusan sanad atau karena sebab lainnya. Sehingga Hadits tetap terjaga hingga sekarang ini.

5. Membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui Hadits palsu
Disamping semua usaha yang telah dilakukan oleh para ulama sebagaimana di atas, ulama Hadits juga meneliti matan yang terdapat pada Hadits-Hadits palsu tersebut. Tujuan dari penelitian itu adalah agar dibuat kaidah-kaidah atau ciri-ciri khusus yang terdapat pada Hadits-Hadits palsu, agar setiap orang dapat membedakan antara Hadits dengan Hadits palsu.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang untuk memalsukan Hadits-Hadits Rasululloh SAW, namun Allah SWT tetap menunjukkan kepada kaum Muslimin betapa usaha mereka mendapatkan perlawanan yang hebat dari kaum Muslimin itu sendiri. Sehingga sunnah senantiasa tetap terjaga keotentikannya hingga hari ini dan Insya Allah hingga akhir zaman nanti. Barangkali inilah yang telah Allah janjikan dalam kitabnya. 61:8.
”Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya_Nya meskipun orang-orang kafir benci”.

Namun sebagai hamba-hamba Allah dan juga sebagai pengikut setia Rasululloh SAW, seharusnya generasi-generasi sekarang ini juga memahami dan tetap mewaspadai akan munculnya Hadits-Hadits palsu, yang tidak mustahil juga akan bermunculan pada era-era ini. Atau paling tidak dapat menjelaskan ke masyarakat mengenai Hadits-Hadits palsu yang beredar di masyarakat dengan sangat Masyhur, sementara mereka sendiri tidak mengetahui kepalsuan Hadits tersebut. Semoga Allah melimpahkan pahalanya kepada para ulama’ yang telah mengerahkan segala tenaga dan fikirnannya untuk ”menyelamatkan” sunnah dari tangan-tangan jahil yang akan merusaknya. Dan semoga kita dapat mengikuti langkah kaki mereka menuju keridhoan Allah SAW.

Ciri-ciri Hadits Palsu
a. Susunan Hadits itu baik lafadz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW. Seperti Hadits :
لا تسبوا الديك فإنه صديقي
Artinya:
“Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku”
b. Isi / maksud Hadits tersebut bertentangan dengan akal. Seperti Hadits:
الباذنجان شفاء من كل داء
Artinya:
“Buah terong itu menyebahkan segala macam penyakit”
c. Isi / maksud itu bertentangan dengan nash al-Qur’an dan atau Hadits mutawatir, seperti Hadits:
لا يدخل ولد الزنا الجنة
Artinya:
“Anak zina itu tak akan masuk surga”

Hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT:
ولاتزر وازرة وزر أخرى (فاطر: 18)
Artinya:
“Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”

Cara Mendeteksi Hadits
Ada beberapa cara untuk mengetahui Hadits palsu antara lain:
a. Pengamalannya ditolak
b. Bertentangan dengan al-Qur’an
c. Pengakuan Pemalsu
Para Pemalsu Hadits terkadang mengakui sendiri bahwa mereka membuat Hadits palsu seperti pengakuan Abu Ishmah Muh Bin Abu Maryam al-Wamawazi, ia mengakui membuat Hadits ”palsu yang berkaitan dengna fadhilah (keutamaan) membaca surat-surat al-Qur’an”.
d. Semi pengakuan
Pemalsu haditas terkadang tidak mengakui bahwa ia memalsukan Hadits. Namun ketika ditanya kapan ia lahir dan kapan gurunya wafat. Ia memberikan jawaban yang tidak tepat.
e. Rawinya Pendusta
Apabila dalam sanad Hadits terdapat rawi yang pendusta, maka para ahli Hadits itu palsu.

Pengaruh Dan Dampak Buruk Tersebarnya Hadits Palsu
Hadits “Palsu” yang banyak beredar di tengah masyarakat kita memberi dampak dan sangat buruk pada masyarakat Islam di antaranya:
1. Munculnya keyakinan-keyakinan yang sesat
2. Munculnya ibadah-ibadah yang bid’ah
3. Matinya sunnah.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1. Hadits palsu adalah sesuatu yang disandarkan atau dinisbatkan kepada Rasululloh SAW secara mengada-ngada dan dusta, yang sama sekali tidak pernah diucapkan, dikerjakan atau ditetapkan oleh beliau.
2. Sebab-sebab munculnya Hadits palsu antara lain:
a. Motif Politik
- Kelompok Syi’ah
- Kelompok Mu’awiyah dan
- Kelompok Khawarij
b. Upaya-Upaya Musuh Islam

DAFTAR PUSTAKA

• Yaqub, Musthofa Ali, 2000. Kritik Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.
• Ahmad, Muhammad. 2000. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia
• Azami. M.M. 2003. memahami Ilmu Hadits. Jakarta: Lentera
• Al-Khatib. Ajaj Muhammad. 2003. Usuhul al-Hadits. Jakarta: Gata Media Pratawa
Lanjuuut..

ijma' dalam islam

BAB I
PENDAHULUAN


Ijma’ merupakan hukum Islam yang ketiga setelah as-Sunnah. Ijma’ digunakan untuk menggali dalil-dalil dari suatu permasalahan yang ada. Karena banyaknya permasalahan yang timbul saat ini dalam masyarakat, banyak juga yang tidak dapat menyelesaikannya sehingga para Ulama’ bersepakat untuk menyelesaikannya.
Saya mengambil pembahasan ijma’ karena saya ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang ijma’ dan saya juga ingin menggali dalil-dalil dan hukum-hukum yang terkandung dalam ijma’.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Definisi Ijma’
Ijma’ menurut ulama’ ushul fiqh adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka sepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut ijma’. Kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa hukum itu adalah syara’ atas suatu kejadian. Dalam definisi disebutkan “setelah wafatnya Rasul”, hukum syara’, sehingga tidak mungkin ada perbedaan hukum syara’ juga tidak dapat ada kesepakatan. Karena kesepakatan hanya bisa terwujud dari beberapa orang. Lafal al-Ijma’ menurut bahasa arab berarti tekad, seperti dalam firman Allah SWT.
  
”Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).”

B. Unsur-unsur
Dalam definisi telah disebutkan bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid mulim pada suatu masa atas hukum syara’ bila mencakup empat unsur:
Pertama : Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian.
Kedua : Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan atau kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa oleh hanya mujtahid Haramain, Iraq, Hijaz, keluarga Nabi, atau mujtahid Ahlu Sunnah tidak termasuk Syi’ah. Maka kesepakatan masing-masing negara, kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hukum syara’.
Ketiga : Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid. Pendapat itu diungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas peristiwa, atau perbuatan seperti bentuk putusan hukum.
Keempat : kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia Islam. Bila yang bersepakat hanya mayoritas, maka kesepakatan itu tidak disebut ijmak meskipun yang tidak sepakat adalah minoritas dan yang sepakat adalah mayoritas.

C. Kekuatan Ijma’ sebagai Hujjah
Bila keempat unsur ijma’ tersebut terpenuhi yakni setelah wafatnya Rasul dapat didata jumlah seluruh mujtahid dunia Islam dari berbagai negara, bangsa dan kelompok. Kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka untuk mengetahui hukumnya, dan seluruh mujtahid tersebut mengemukakan, pendapat hukumnya secara jelas dengan perkataan atau perbuatan, berkelompok atau perorangan.

Bukti Kekuatan Ijmak sebagai Hujjah antara lain:
1. Sebagaimana Allah SWT, dalam al-Qur’an memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya, dia juga memerintahkan untuk taat kepada ulil amri, seperti dalam firmannya:
          

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’: 59)

Lafal al-Amri artinya adalah hal atau perkara, ia bersifat umum, meliputi masalah agama dan dunia. Ulir Amri pada masalah dunia adalah raja, para pemimpin dan penguasa, sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa.
2. Pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat Islam adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya. Ada beberapa hadits dari Rasul dan atsar dari para sahabat yang menunjukkan terpeliharanya umat (dalam kebersamaan) dari kesalahan, antara lain:
لا تجمع أمتي على خطأ
“Umatku tidak akan berkumpul (dan sepakat) untuk kesalahan”
لم يكن الله ليجمع أمتي على الضلالة
“Tidak mungkin Allah mengumpulkan umatku melakukan ketaatan”
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik menurut Allah SWT”
Ketidak mungkinan melakukan kesalahan itu ditunjukkan oleh kesepakatan seluruh mujtahid atas satu hukum terhadap itu ditunjukkan oleh kesepakatan seluruh mujtahid atas satu hukum terhadap satu kejadian. Perbedaan sudut pandang, lingkungan dan bermacam-macam sebab perbedaan mereka adalah bukti bahwa kesamaan haq dan kebenaranlah yang menyatukan pendapat mereka dan menyisihkan alasan-alasan perbedaan pendapat mereka.
3. Ijma’ atas suatu hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula, karena mujtahid Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasil ijthadnya tidak didukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nash dan makna dari petunjuk nash yang ada.
Sebagaimana ijma’ dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum terdapat suatu peristiwa, ia juga dapat digunakan memberikan ta’wil atau tafsir suatu nash, alasan hukum nash atau penjelasan hal-hal yang berkenan dengan nash.
4. Kemungkinan mengadakan Ijma’
Sekelompok ulama’ termasuk diantaranya kelompok Nadzdzam dan sebagian Syi’ah berkata: Ijma’, dengan unsur-unsur yang telah jelas ini, menurut adat tidak mungkin untuk daidakan, karena sulit untuk memenuhi semua unsur-unsurnya. Hal itu karena tidak ada ukuran pasti, seseorang sudah mencapai tingkat ijtihad atau belum. Juga tidak ada patokan hukum, seseorang termasuk mujtahid atau tidak. Sehingga sulit mengetahui mujtahid selain oleh mujtahid sendiri.
Apabila mungkin masing-masing mujtahid di dunia Islam pada saat terjadinya suatu peristiwa itu diketahui, maka mengetahui pendapat mereka secara keseluruhan dalam peristiwa itu dengan cara yang meyakinkan atau mendekati yakin adalah sulit.
Diantara alasan yang memperkuat bahwa ijma’ tidak mungkin diadakan adalah bila ijma’ itu diadakan, maka harus distandarkan kepada dalil. Jika dalil yang dipakai sandaran itu pasti, menurut kebiasaan pasti diketahui, karena bagi umat Islam tidak sulit mengetahui dalil syara’ yang pasti sehingga mereka butuh untuk menunjuk pada mujtahid dan kesepakatan mereka.
Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Ahkam meriwayatkan pendapat Abdullah bin Ahmad bin Hambal: saya mendengar Ayah berkata, “Apa yang diakui oleh seseorang sebagai ijma’ adalah bohong dan siapa yang mengakui adanya ijma’ dia adalah pembohong.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat diadakan, menurut kebiasaan. Mereka berkata, “Apa yang dikatakan oleh penentang kemungkinan ijma’ itu adalah pasti kerena meragukan masalah yang terjadi, “Mereka menyebutkan beberapa contoh hal-hal yang telah ditetapkan sebagai hasil ijma’, seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, keharaman minyak babi.
Pendapat yang saya anggap lebih kuat adalah bahwa ijma’, dengan definisi dan unsur-unsur seperti yang telah saya jelaskan, menurut kebiasaan tidak mungkin diadakan bila diserahkan kepada masing-masing umat Islam dan kelompoknya. Ijma’ mungkin dapat diadakan bila dikuasai oleh pemerintah Islam dimana saja. Masing-masing pemerintahan dapat menentukan syarat seseorang dianggap mencapai tingkatan ijtihad dan memberikan title ijtihad kepada orang telah memenuhi syarat-syarat tersebut.

5. Terbentuknya Ijma’
Apakah ijma’ dalam pengertian seperti tersebut setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pernah terjadi? Tidak. Orang yang melihat kenyataan pada masalah hukum yang telah diputuskan oleh para sahabat kemudian hukum itu dianggap sebagai ijma’. Akan mengetahui bahw aijma’ itu tidak dalam pengertian seperti diatas. Tetapi kesepakatan dari ilmuwan pada waktu itu atas hukum mengenai peristiwa yang diajukan. Kesepakatan itu pada dasarnya adalah hukum yang dihasilkan dari musyawarah orang banyak, bukan pendapat perorangan.
Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ketika menerima suatu pengaduan masalah dan tidak mendapatkan hukumnya dalam kita Allah maupun Al-Sunnah, maka beliau mengumpulkan pemimpin umat serta para sahabat pilihan untuk diajak musyawarah. Bila mereka sepakat atas satu pendapat, maka hukumnya segera dilaksanakan. Demikian juga yang dilakukan Umar. Ini yang oleh ulama’ Fiqh disebut Ijma’, yang pada hakikatnya adalah pembentukan hukum oleh Jama’ah, bukan satu orang.
Maka penetapan hukum itu bersifat individu, bukan hasil musyawarah, kadang-kadang ada kesamaan dan kadang-kadang ada pertentangan. Maksimal yang dapat dikatakan seorang ahli fikih, ”Hukum tentang peristiwa ini tidak diketahui ada yang menetangnya.”
6. Macam-macam Ijma’
Ijma’, dintinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma’ Shahih : Yaitu para Mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terpada suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti : Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jeals terdapat suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak terdapat yang telah dikemukakan.
Ijma’ shahih adalah ijma’ yang sesungguhnya, dalam pandangan jumhur ulama’ ia adalah suatu hujjah hukum syara’. Sedangkan ijma’ sukuti adalah ijma’ yang seakan-akan, karena diam berarti sepakat sehingga tidak dikatakan pasti adanya kesepakatan dan tidak pasti terjadinya ijma’.
Pendapat yang saya anggap lebih kuat adalah pendapat jumhur ulaama’; karena seorang mujtahid yang diam, kemungkinan terpengaruh beberapa masalah dan keragu-raguan, baik masalah pribadi atau bukan masalah pribadi. Tidak mungkin meneliti semua masalah dan keragu-raguan yang mempengaruhinya lalu memutuskan bahwa diamnya adalah setuju dan pendapat menerima pendapat yang lain. Mujtahid yang diam berarti tidak mempunyai pendapat dan tidak dapat dikatakan setuju atau menentang.




DAFTAR PUSTAKA

Syaikh Muhammad Al-Khudhori Biek. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Amani. 2007
Prof. DR. Abdul Wahab Khallaf. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Amani. 2003.
Lanjuuut..

ushul fiqh

BAB I
PENDAHULUAN

lmu ushul fikih menurut istilah syara’ adalah pengetahuan tantang kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hokum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau, kumpulan kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hokum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Berdasarkan penelitian, para ulama telah menetapkan dalil yang dapat diambil sebagai hokum syariat yang sebangsa perbuatan itu ada empat, Al-Qur’an, Al-Sunnah, Al-Ijma,’, dan Al-qiyas. Dan bahwa sumber pokok dalil-dalil tersebut serta sumber huum syariat adalah Al-Qr’an kemudian Al-Snnnah sebagai penjelas atas keglobalan Al-Qur’an, pembatas keumumannya, pengikat kebebasannya dan sebagai penerang serta penyempurna.


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN QIYAS
Menurut bahasa, qiyas artinya ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Dengan demikian,qiyas diartikan mengukurkan sesuatu atas yamg lain, agar diketahui persamaan antara keduanya.
Sedangkan secara terminologi adalah, menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab sama dalam illat hukumnya.

B. MACAM-MACAM QIYAS
1. Qiyas Aulia, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakannya (mulhaq bih).
Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ ah “ kepadanya, yang tersebut dalam firman Allah SWT.

        •  •                 

23. Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.


Mengatakan “ ah “ kepada ibu bapak dilarang karena illat-nya ialah menyakitkan hati. Oleh karena itu, memukul kedua ibu bapak tentu lebih dilarang, sebab di samping menyakitkan hati juga menyakitkan jasmaninya. Illat larangan yang terdapat pada mulhaq ( yang disamakan) lebih berat dari pada yang terdapat pada mulhaq bih. Dengan demikian, larangan memukul kedua orang tua lebih keras dari pada larangan mengatakan “ ah “ kepadanya.

2. Qiyas MuSAW.i, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaq-nya sama dengan illat hukum terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama-sama merusak harta. Sedang makan harta anak yatim diharamkan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT.

              

10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Maka merusak harta anak yatim adalah haram. Keharamannya karena diqiyaskan pada memakan harta anak yatim.

3. Qiyas Dalalah, yaitu suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah. Dalam masalah ini, Abu Hanifah berpendapat lain. Bahwa harta benda anak yang belum dewasa tidak wajib di zakati lantaran diqiyaskan dengan haji. Sebab, menunaikan ibadah haji itu tidak wajib bagi anak yang belum dewasa (mukallaf).


C. ILLAT DAN BENTUK-BENTUKNYA

1. Pengertian Illat
Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan merupakan unsur yang terpenting, karena adanya illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat diterangkan kepada yang lain.

Pada dasarnya, hukum-hukum yang ditetapkan oleh suatu nash mengandung maksud tertentu. Sehinnga bila seseorang melaksanakan hukum tersebut, maka apa yang dituju dengan ketetapan hukum itu akan tercapai. Tujuan hukum itu dapat dicari dan diketahui dari teks atau nash yang menetapkannya, yakni melalui sifat atau hal yang menyertai hukum itu. Dari sifat yang menyertai hukum itu diketahui illat hukumnya.

2. Bentuk-Bentuk Illat
Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum. Ada beberapa bentuk sifat yang mungkin menjadi illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antara bentuk sifat itu adalah :

a. Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada ‘urf (kebiasaan) atau lainnya. Contohnya : sifat memabukkan pada minuman keras.

b. Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera. Contohnya : pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan, pencurian yang menyebabakan hukum potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan, seperti senang atau benci.

c. Sifat ‘urf, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya : buruk dan baik, mulia dan hina.

d. Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam artian bahasa. contohnya : diharamkannya nabiz karena ia bernama khamar.

e. Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum. Contohnya : menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual.

f. Sifat murakkah, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya : sifat pembunuhan secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan alasan berlakunya hukum qishash.
Lanjuuut..

Ulumul Qur'an 12

BAB I
PENDAHULUAN

Yang dimksud dengan pengumpulan al qur’an oleh para ulama’ adalah salah satu dari dua pengertian yaitu. Pertama, pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Dan yang kedua, pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan qur’an semua), baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya.
Dan disini kami akan membahas tentabg pengumpulan atau penulisan al qur’an dalam arti kitabatuhu
Lanjuuut..
 
Support : Creating Website | Fais | Tbi.Jmb
Copyright © 2011. Moh. Faishol Amir Tbi - All Rights Reserved
by Creating Website Published by Faishol AM
Proudly powered by Blogger